Quantcast
Channel: Budaya
Viewing all 829 articles
Browse latest View live

Gandarucu

$
0
0
Di warung-warung nasi atau pedagang gorengan sekeliling Kota Tasikmalaya ada sebuah makanan yang selalu disediakan yaitu gandarucu. Makanan ringan berasa manis, gurih, dan renyah ini berbentuk potongan kecil (kotak-kotak menyerupai dadu) buah pisang dicampur adonan tepung terigu yang digoreng basah. Bahan lainnya adalah gula pasir, putih telur, air, garam, dan minyak goreng.

Sedangkan cara membuatnya diawali dengan mengupas pisang lalu memotongnya kecil-kecil membentuk dadu. Kemudian masukkan potongan-potongan pisang tersebut dalam adonan berisi gula pasir, tepung terigu, garam, putih telur, dan air lalu aduk hingga merata. Apabila ingin disajikan, goreng dalam api berukuran sedang agar tidak mudah gosong. Gandarucu hangat umumnya disajikan sebagai teman minum kopi atau teh di pagi dan sore hari.

Nasi Cikur

$
0
0
Cikur adalah istilah orang Sunda bagi sejenis tanaman yang dalam bahasa Indonesia disebut sebagai kencur (kaempferia galanga). Tanaman ini mengandung minyak atsiri dan alkaloid yang bagi stimulan tubuh. Oleh masyarakat Sunda cikur dimanfaatkan juga sebagai salah satu bumbu penyedap masakan. Hasil olahannya kemudian dinamakan sebagai nasi cikur, sesuai dengan bumbu yang paling dominan digunakan yaitu cikur.

Untuk membuat nasi cikur lengkap bahan-bahan yang diperlukan terdiri atas: cikur yang masih muda atau cikur bertunas yang umbinya masih berwarna putih, bawang merah, bawang putih, terasi, cabai rawit, garam dan minyak goreng. Sedangkan cara mengolahnya dengan menghaluskan bawang merah, bawang putih, dan terasi. Selanjutnya tumis hingga berbau wangi. Kemudian masukkan nasi, garam, irisan cabai rawit lalu aduk hingga merata. Setelah matang, nasi bisa dihidangkan untuk seisi keluarga. Sebagai catatan, nasi cikur biasanya disajikan bersama dengan sambal, ayam, telur, ikan asin, tempe, atau tahu goreng serta lalapan sebagaimana layaknya nasi uduk namun bercitarasa cikur.

Payung Geulis

$
0
0
Payung geulis merupakan salah satu kerajinan khas sekaligus ikon Kota Tasikmalaya yang telah diproduksi sejak zaman Belanda hingga sekarang. Payung ini sama seperti payung-payung lainnya yaitu sebagai alat pelindung tubuh yang biasanya dibuat dari kain atau kertas diberi bertangkai dan dapat dilipat-lipat. Namun, payung geulis hanya dapat digunakan sebagai pelindung dari terik sinar matahari karena dia mempunyai fungsi lain yaitu sebagai aksesori penampilan para mojang Tasikmalaya. Bahkan, saat ini penggunaan payung geulis telah beralih fungsi menjadi hiasan dan alat peraga pada acara-acara kesenian tradisional, pintu utama hotel-hotel serta perkantoran di seputaran Kabupaten dan Kota Tasikmalaya.

Lapisan penutup payung geulis terbuat dari kertas atau kain yang akan tembus atau meresap apabila terkena air. Oleh karena itu, tidak cocok atau tidak dapat digunakan sebagai pelindung dari terpaan air hujan. Bagian rangkanya dari bambu yang dibuat sedemikian rupa sehingga dapat menyangga penutup payung. Sedangkan tangkainya dari bahan kayu bulat licin agar penyangga dapat mudah di turun-naikkan.

Adapun proses pembuatanya diawali dengan memotong bambu menjadi bilah-bilah kecil untuk dijadikan sebagai rangka payung. Selanjutnya, membuat bagian tangkai dari bahan kayu yang diampelas hingga berbentuk silinder licin. Tahap berikutnya memasang kain atau kertas sebagai penutup payung dengan bagian tengah dipasang benang berwarna-warni agar terlihat lebih menarik lalu dijemur di bawah sinar matahari selama 1-2 hari. Proses terakhir, pada lapisan penutup yang terbuat dari kertas atau kain dilakukan proses pewarnaan dan pelukisan motif bunga, ornamen, atau bergantung pesanan.

Di Kota Tasikmalaya sedikitnya ada 4 unit usaha payung geulis dengan total bekerja berjumlah 37 orang. Seluruhnya terpusat di Kecamatan Indihiang. Hasil produksi payung geulis di kecamatan ini mencapai nilai sekitar 350 juta rupiah per tahunnya. Sedangkan harga jual payungnya sendiri bervariasi bergantung besar-kecilnya ukuran. Untuk ukuran besar dijual dengan harga Rp.65.000, ukuran sedang Rp.55.000, dan ukuran kecil sekitar Rp. 35.000.

Makam Adipati Sakarembong

$
0
0
Makam Adipati Sakarembong berada di Jalan Bantar, Kelurahan Bantarsari, Kecamatan Bantarsari. Makam dengan luas area sekitar 500 meter persegi ini merupakan tempat bersemayam Adipati Sekarembong, salah seorang isteri dari Prabudilaya. Prabudilaya sendiri adalah tokoh legendaris penyebar agama Islam pada zaman Kebupatian Sukapura yang berasal dari keturunan Kerajaan Sumedang Larang.

Eyang Sekarembong sebenarnya bukanlah keturunan bangsawan Tasikmalaya. Beliau yang bernama asli Ratu Cempaka adalah putri dari Raja Kerajaan Mataram. Setelah menikah dengan Prabudilaya, Ratu Cempaka menetap di Tasikmalaya untuk menyebarkan ajaran Islam ke segenap penduduk di sana. Dan ketika meninggal dunia, lambat laut makamnya kemudian diziarahi sebagai bentuk penghormatan atas jasanya sebagai penyebar syariah Islam.

Selama menjadi tempat peziarahan, Makam Eyang Sekarembong dibiarkan begitu saja seperti apa adanya. Baru pada sekitar tahun 1975 ada usaha dari juru kunci untuk menjaga dan melestarikan tempat tersebut dengan mendirikan bangunan guna menutup makam. Selain itu, dibangun pula sebuah masjid dengan dana yang dikumpulkan dari hasil sumbangan para peziarah. Masjid ini tidak hanya difungsikan sebagai tempat menunaikan sholat, melainkan juga tempat istirahat bagi yang berasal dari luar kota. Di dekat masjid dan makam terdapat sebatang pohon beringin yang dibawahnya mengalir sebuah sumber mata air yang tidak pernah kering walau sedang musim kemarau.

Foto: https://www.radartasikmalaya.com/gunakan-sumbangan-peziarah-menata-makam-sakarembong/

Makam Syech Abdul Muchyi

$
0
0
Syech Abdul Muchyi dipercaya sebagai waliyulloh (wali) penyebar ajaran Islam di dareah Jawa Barat bagian selatan dan bahkan hingga seluruh Pulau Jawa, Madura, dan mancanegara. Oleh karena telah berjasa sebagai penyabar ajaran Islam, setiap bulan Mulud, Rajab, dan Sapar, makamnya selalu diziarahi ribuah orang dari berbagai kota di Pulau Jawa, Madura, dan Sumatera.

Untuk dapat mengunjung makam Syech Abdul Muchyi, peziarah terlebih dahulu harus melapor kepada juru kunci (kuncen) untuk dicatat pada buku tamu. Setelah itu, peziarah baru diperbolehkan masuk ke komplek makam yang di dalamnya terdapat Goa Saparwadi yang merupakan bagian tak terpisahkan dari peninggalan sejarah Syech Abdul Muchyi dalam melaksanakan pendidikan dan penyebaran ajaran Islam. Di dalam goa ada ruangan seperti masjid lengkap dengan mihrab, tempat penyimpanan Al Quran, jabal kopiah, padaringan (tempat penyimpanan beras), dan lain sebagainya. Selain itu, ada pula Cikahuripan sebagai representasi air zam-zam yang mengalir di antara bebatuan stalagtit dan stalagmit dalam sebuah lorong panjang yang konon merupakan jalan tembus menuju Cirebon, Surabaya, dan bahkan Mekkah. Dan, bila telah selesai berziarah pengunjung dapat membeli beraneka ragam cindera mata berupa kerajinan tangan khas Kota Tasikmalaya.

Foto: https://daerah.sindonews.com/read/1115873/29/kisah-karomah-syekh-abdul-muhyi-pamijahan-1465637226

Makam Syech Abdul Ghorib

$
0
0
Makam Syech Abdul Ghorib berada di Cibeas, Kelurahan Gunung Tandala, Kecamatan Kawalu. Lokasi makam sebenarnya merupakan sebuah komplek yang terdiri dari sembilan makam. Makam-makam tersebut adalah: Syech Abdul Ghorib, Raden Ajeng Ayu Sutri (istri Syech Abdul Ghorib), Raden Paranakusumah (Jaksa Sumedang), Raden Surawijaya (Wedana Cicariang), Raden Inda, Raden Indrajaya (Wedana Manonjaya), Ajengan Nursabin, Raden Abdul Manaf, dan makam Raden Abdulloh (putra Syech Abdul Ghorib).

Selain makam, di bagian utara komplek ini ada sebuah sumur dengan diameter sekitar 1,5 meter yang dikelilinngi tiga buah pohon besar. Oleh karena salah satunya (terbesar) adalah pohon sempur, maka penduduk sekitar menamai sumur itu sebagai Sumur Sempur. Di dekat sumur juga ada sebuah batu besar datar yang konon pernah dijadikan sebagai tempat sholat Syech Abdul Ghorib. Tidak jauh dari sumur ada sebuah sungai kecil yang dahulu airnya berwarna putih seperti cucian beras sehingga dinamakan Sungai Cibeas.

Bagi pengunjung yang ingin berziarah, di depan komplek makam juga menyediakan sarana perparkiran yang cukup luas. Namun untuk dapat memasuki area makam pengunjung harus mematuhi aturan yang dibuat oleh juru kunci (kuncen), yaitu: (1) harus mendaftarkan diri ke kuncen; (2) berziarah atas petunjuk kuncen; (3) berpakaian sopan menurut tata cara sesuai aturan agam Islam; (4) berziarah sesuai dengan ajaan Islam; (5) bertawasullah dengan benar; (6) mengindahkan segala ketentuan terutama mengenai ketertiban, keindahan, keamanan, dan kebersihan; (7) dilarang menulis fisik bangunan makam, benteng, jalan, dan lain sebagainya; (8) harus meminta izin kuncen bila hendak meninggalkan lokasi makam; dan (9) berziarah maksimal 3 hari.

Juru kunci atau kuncen yang membuat aturan di atas merupakan pemeliharan makam yang diangkat secara turun-temurun, sesuai dengan amanat/wasiat kuncen pertama (Bapak Kolot putra Syech Abdul Ghorib), yaitu: (a) makam supaya dipelihara dengan baik; (b) kuncen harus anak dari keturunan kuncen sebelumnya dan masih ada hubungan keluarga dengan Syech Abdul Ghorib; dan (c) area tanah sekitar makam yang luasnya sekitar 21 ha menjadi milik kuncen selama mereka masih mengurus makam.

Amanat ini tetap dilaksanakan dari kuncen kedua hingga ke lima (Anti putra Kolot, Anti putra Anti, Haji Abdurrohman putra Anti, Haji Jarkasih putra Haji Abdurrohman, dan KH Muhjidin cucu Haji Abdurrohman). Tetapi setelah KH Muhjidin menjadi kuncen, wasiat kuncen pertama agak sedikit dirubah. KH Muhjidin membuat wasiat baru yang isinya antara lain melimpahkan wewenang sebagai kuncen kepada adiknya (Odjo Sutarjo) dan kuncen-kuncen yang akan menggantikan selanjutnya diteruskan oleh keturunan dari Odjo Sutarjo.

Lepas dari siapa yang harus melanjutkan menjadi kuncen, yang pasti orang-orang tersebut telah berjasa merawat dan memelihara makam Syech Abdul Ghorib hingga sekarang. Syech Abdul Ghorib sendiri bukanlah orang asli Tasikmalaya. Beliau adalah seorang ulama penyebar ajaran Islam yang lahir di Kudus (waktu itu termasuk daerah Kerajaan Mataram) sekitar tahun 1655 M/1076 H. Semenjak kecil beliau sering berguru dari satu pesantren ke pesantren lain di Pulau Jawa dan Sumatera.

Suatu hari salah seorang gurunya mengajak menunaikan ibadah haji ke tanah suci. Oleh karena Sang guru telah melihat ada sifat-sifat kewalian pada diri Abdul Ghorib, maka dia memerintahkannya untuk tinggal di Mekkah sambil memper dalam ilmu keagamaan. Beberapa tahun kemudian beliau kembali ke Kudus lalu mendirikan pesatren serta tempat tinggal baru atas bantuan masyarakat sekitar. Setelah terlaksana, oleh kedua orang tua beliau dinikahkan dengan seorang perempuan keturunan keraton yang taat terhadap ajaran Islam bernama Raden Ajeng Ayu Sutri.

Tidak berselang lama setelah pesantren beroperasi meletuslah peperangan melawan Belanda. Syech Abdul Ghorib pun turut bergerilya bersama para santrinya dan warga masyarakat setempat menghalau Belanda yang ingin memperluas daerah kekuasaan. Namun karena persenjataan pasukan Belanda jauh lebih lengkap dan mematikan, lama-kelamaan Syech Abdul Ghorib terdesak dan terpaksa menyingkir. Bersama keluarga, pengikut, dan seorang ajengan bernama Kursiban beliau pindah ke wilayah Jawa Barat.

Sebelum berangkat, beliau sempat berziarah ke makam Syech Maulana Malik Ibrahim di Gresik. Selesai berziarah barulah ke arah barat menuju Cirebon melalui jalur utara Pulau Jawa untuk bersilaturrahim dengan para pembesar serta pemuka agama dan berziarah ke makam Sultan Fatahilah (Maulana Syarif Hidayatulloh/Sunan Gunung Jati). Hal yang sama juga dilakukannya di Banten (mengunjungi makam Syech Sultan Hasanuddin den bersilaturrahim dengan para pembesar dan alim ulama). Begitu pula ketika singgah di Bogor, beliau mengunjungi Prasasti Batu Tulis, bekas kerajaan Tarumanegara peninggalan Raja Purnawarman dan bersilaturrahim dengan para alim ulama di sana.

Dari ketiga daerah tersebut, Syech Abdul Ghorib mendapat semacam petunjuk agar meneruskan perjalanan menuju daerah Sumedang. Di daerah ini beliau tidak hanya disambut dengan baik, tetapi juga diberikan “guide” seorang petugas dari kejaksaan untuk menjumpai Syech Abdul Muchyi di Pamijahan. Atas petunjuk Syech Abdul Muchyi dari Pamijahan beliau menuju Tasikmalaya untuk mendirikan sebuah pesantren pada sekitar tahun 1708 M/1129 H di wilayah Kewedanaan Cicariang Kolot. Dan, setelah lebih dari 37 tahun, Syech Abdul Ghorib tutup usia pada usia 90 tahun. Seiring berjalannya waktu, makam beliau mulai diziarahi orang dari seluruh pelosok Indonesia.

Foto: https://mediadesa.id/pemkot-tasikmalaya-tak-perhatikan-makam-syekh-abdul-ghorib/

Anyaman Mendong di Tasikmalaya

$
0
0
Kerajinan anyaman mendong di Kota Tasikmalaya terpusat di tiga kecamatan, yaitu Cibeurem, Tamansari, dan Purbaratu. Menurut Dinas Perindustrian Tasikmalaya di ketiga kecamatan ini terdapat 165 unit tempat pembuatan mendong yang menyerap sekitar 2.055 orang tenaga kerja dengan nilai total produksi sekitar 34,18 miliar rupiah per tahun. Adapun konsumennya tidak hanya dari kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Bali, dan Surabaya, tetapi juga dari luar negeri seperti Jepang, Australia, Belanda, Malaysia, hingga Timur Tengah.

Hasil produksi kerajinan anyaman mendong antara lain adalah topi, wadah tissue, sandal, tas, tikar, boks, keranjang, dan lain sebagainya sesuai dengan pesanan atau permintaan konsumen. Bahan baku pembuatnya adalah tanaman mendong yang habitatnya sesuai dengan karakteristik agroklimat sebagian zona dataran di wilayah Tasikmalaya yaitu lahan basah seperti sawah atau rawa. Namun saat sekarang tanaman mendong mulai jarang ditemui sehingga tidak mencukupi untuk memenuhi keseluruhan pesanan. Padahal wilayah Tasikmalaya memiliki sumber air cukup dan bahkan di beberapa tempat sangat melimpah. Oleh karena itu, untuk mengatasinya perajin terpaksa mendatangkan mendong dari daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Akibatnya, produksi mendong baru bisa mencukupi kebutuhan kurang lebih 15% dari total pemesanan. Apabila terus berlangsung, bukan tidak mungkin kerajinan mendang suatu saat hanya dijual di sekitaran Tasikmalaya saja atau bahkan didatangkan dari daerah lain.

Foto: https://inilahtasik.com/tag/kerajinan-anyaman-mendong

Lodong Gejlig

$
0
0
Lodong gejlig adalah sebuah kesenian tradisional masyarakat Sunda yang menggunakan lodong atau bambu besar sebagai alat utamanya. Bambu sendiri adalah tumbuhan jenis rumput-rumputan dengan rongga dan ruas di batangnya. Tumbuhan ini memiliki banyak fungsi, mulai dari sumber makanan (hewan dan manusia), peralatan rumah tangga, konstruksi bangunan, senjata, transportasi, hingga instrumen musik. Istilah lodong sendiri pada masyarakat Sunda awalnya bukanlah instrumen musik. Ia merupakan peralatan rumah tangga yang digunakan oleh para penyadap kawung untuk menampung air nira atau aren.

Sebelum proses penampungan nira dilakukan, para penyadap akan memeriksa lodong dengan cara menghempaskan ke tanah. Apabila menghasilkan bunyi nyaring, maka lodong diyakini belum bocor dan dapat digunakan. Sebaliknya apabila tidak berbunyi nyaring, berarti ada kebocoran atau keretakan di dalam lodong yang dapat mengakibatkan air nira merembes keluar.

Lambat laun, karena proses kreativitas, bunyi nyaring lodong ketika diketrukeun tersebut dijadikan sebagai sebuah kesenian yang dalam penyajiannya digabungkan dengan alunan gitar akustik. Kesenian baru ini kemudian dinamakan sebagai “tardong”, akronim dari gitar dan lodong. Selanjutnya, agar lebih menarik, penyajian seni tardong ditambah lagi dengan beberapa instrumen lain seperti angklung, kecapi, suling, kendang, dan bahkan keyboard. Namun, karena komponen awal dan yang paling berperan adalah suara lodong yang digejligkeun, maka nama kesenian pun diubah lagi lodong gejlig.

Dalam penyajiannya, seni lodong gejlig menggunakan lodong berukuran kecil untuk menghasilkan nada tinggi dan logong besar untuk nada rendah dan sedang yang dimainkan oleh 12-24 orang laki-laki dan perempuan selama sekitar setengah jam. Adapun lagu-lagu yang dibawakan antara lain lodong gejlig, sampurasun, salawat, dan lain sebagainya.

Foto: https://elib.unikom.ac.id/download.php?id=362293

Bulava Mpongeo (Emas Mengeong)

$
0
0
(Cerita Rakyat Sulawesi Tengah)

Alkisah, pada zaman dahulu di daerah Bulunggatugo atau Limboro/Towale ada seorang raja baik hati. Apabila sedang tidak mengurusi masalah kerajaan, dia menghabiskan waktu dengan menekuni hobi lamanya, yaitu mencari dan menangkap udang di sungai dekat benteng kerajaan. Tetapi karena telah lanjut usia, secara ngerangsur-angsur hobi ini tidak dilakukan sendiri, melainkan menitah belasan orang dayang istana yang berparas cantik jelita dan menggemaskan untuk mencarinya.

Suatu hari Sang Raja ingin sekali mendapat udang dari kuala sungai yang bermuara di Gunung Ravi. Untuk itu, dikerahkanlah para dayang agar segera mempersiapkan segala perlengkapan dan peralatan penangkap udang. Setelah siap, berangkatlah mereka (para dayang) secara beriringan menuju kuala yang diperkirakan masih terdapat banyak udang berukuran relatif besar.

Sesampai di lokasi para dayang mulai merentang jaring. Namun, setelah ditunggu sekian lama, tidak ada seekor pun yang berhasil terjaring. Mereka lalu pindah ke lokasi baru. Tetapi tetap saja tidak memperoleh hasil. Malah yang terjaring adalah sebutir mirip telur ayam. Telur itu lantas dibuang begitu saja karena target sasaran adalah udang.

Begitu seterusnya. Setiap menebar jaring yang terperangkap adalah sebutir telur yang telah dibuang berulang kali, seakan si telur selalu mengikuti ke mana pun jaring ditebar. Mereka akhirnya menyerah dan membawanya ke istana sebagai “hasil tangkapan” pengganti udang. Rencananya telur tadi akan dijadikan sebagai “tersangka” menghilangnya kawanan udang di sekitar kuala.

Sang Raja yang mendengar pengakuan para dayang tidak lantas mengambil tindakan. Biasanya dia akan marah bila apa yang diinginkan tidak terpenuhi. Tapi kali ini dia hanya terdiam sambil mengamati telur yang dipegang oleh salah seorang dayang. Dia lalu memerintah koki istana membawa dan mengambil si telur untuk disimpan dalam landue . Nanti malam akan dia minta koki istana menggoreng telur itu sebagai lauk saat bersantap.

Tetapi, oleh karena hanya berupa sebutir telur, begitu tiba makan malam Sang Raja lupa. Dia malah asyik bersenda gurau dengan para dayang serta penghuni istana lainnya. Bahkan sesekali menggoda beberapa diantara mereka hingga tersipu malu. Selesai makan barulah teringat akan telur yang disimpan dalam landue. Dia lalu mengingatkan lagi pada Sang koki agar menggoreng terlur untuk sarapan. Anehnya, kejadian serupa terulang kembali. Begitu seterusnya, telur berkali-kali lupa digoreng dan baru teringat setelah selesai makan.

Telur tadi akhirnya dilupakan. Tidak ada seorang pun yang menyinggungnya. Apalagi, para dayang sudah beraksi kembali menangkap udang dengan hasil luar biasa banyak. Akibatnya, suatu hari terdengarlah sebuah ledakan maha dahsyat di istana. Setelah dilakukan investigasi ^_^ ternyata sumber ledakan berasal dari arah dapur. Pada bagian solopio dapur terdapat lubang sangat besar besar sebagai tanda bahwa pusat ledakan tidak jauh dari situ. Seluruh benda yang berada di dapur rusak atau bahkan hancur tidak bersisa, termasuk telur yang berada dalam landue. Namun ajaibnya, hanya cangkang dan putih telur saja yang hancur. Putih telur tersebut terbang bersama solopio sementara bagian intinya (kuning telur) tetap utuh.

Kejadian luar biasa ini tidak dianggap serius oleh segenap penghuni istana. Mereka tetap beraktivitas seperti biasa karena beranggapan bahwa dapur adalah sebuah tempat yang selalu berhubungan dengan panas, api membara, serta kepulan asap. Jadi, merupakan suata hal lumrah apabila kadangkala terjadi kebakaran atau ledakan. Kemungkinan besar hal tersebut terjadi akibat kelalaian orang yang sedang ada gawe di dalamnya.

Malam hari setelah kejadian, di atap kamar tidur raja samar-samar terdengar suara sesuatu sedang melompat. Semakin lama suaranya semakin terdengar jelas. Di sela-sela lompatan terdengar pula beberapa kali suara mengeong. Raja yang sepanjang hidup tidak pernah melihat ada seekor kucing di dalam istana langsung terkejut dan memerintahkan para pengawal mencari dan menemukan makhluk yang mengeong di atas atap kamar tidurnya.

Setelah ditemukan, alangkah terkejutnya para pengawal. Mereka melihat makhluk yang mengeong bukanlah seekor kucing melainkan kuning telur yang ditinggal bagian putihnya. Si kuning telur mondar-mandir kesana-kemari sembari mengeong layaknya seekor anak kucing. Dengan sangat hati-hati seorang pengawal mendekat dan menangkapnya untuk diserahkan pada Sang Raja.

Ketika sudah berada di hadapan, Sang Raja mengamati “kucing telur” dengan saksama. Rupanya kuning telur itu sudah berumah menjadi emas berwarna kuning terang. Emas yang dapat melompat dan mengeong. Raja menamakannya sebagai Bulava Mpongeo atau emas yang mengeong. Dia dianggap sebagai benda keramat yang sangat langka sehingga harus dipelihara dengan baik. Si Bulava Mpongeo dibiarkan berkeliaran di sekitar istana tanpa ada yang boleh mengganggunya.

Agar tetap hidup, raja beranggapan Bulava Mpongeo harus mendapat makan sebagaimana halnya makhluk hidup lain. Tetapi setelah diberi berbagai macam makanan dari mulai nasi, jagung, hingga umbi-umbian dia tidak mau menyentuhnya. Sang Raja menjadi khawatir kalau makhluk langka yang tidak mau makan itu sebentar lagi akan mati atau menghilang.

Satu minggu kemudian, entah mengapa Bulava Mpongeo keluar dari istana menuju sebatang pohon kolontigi yang sedang berbunga lebat. Dia lalu mendekati salah satu ranting dan memakan bunga-bunga yang tumbuh di sana. Semenjak itu seluruh penghuni istana tahu bahwa makanan Bulava Mpongeo adalah bunga pohon kolontigi. Setiap minggu, tepatnya pada hari Jumat dia selalu mendatangi pohon itu untuk memakan bunganya. Begitu seterusnya hingga suatu hari ada seorang tamu kerajaan melihatnya sedang memakan bunga sambil sesekali mengeong.

Sang tamu yang awalnya terperanjat lalu menyadari kalau telur mengeong itu bukanlah makhluk sembarangan. Selesai bertamu dia bergegas pulang ke daerahnya di Palu untuk menceritakan pada sanak kerabat tentang makhluk ajaib yang kemungkinan dapat mendatangkan berkah serta kesejahteraan bagi siapa saja yang dapat memilikinya. Walhasil, timbullah niat untuk mencuri Bulava Mpongeo. Mereka sepakat mencuri pada hari Jumat, sesuai dengan laporan kawan yang datang ke istana Raja.

Beberapa jam menjalang hari H mereka telah bersembunyi di luar tembok istana. Ketika malam tiba secara mengendap-endap mereka menuju ke halaman tempat biasa Bulava Mpongeo memakan bunga kolontigi. Tidak lama berselang, dari dalam istana muncullah sinar terang menyilaukan mata yang perlahan-lahan menuju pohon kolontigi. Saat sang sinar mulai menyantap bunga, dari arah belakang kawanan pencuri datang menyergap dan membawanya pergi.

Keesokan hari barulah seisi istana sadar Bulava Mpongeo telah menghilang. Spekulasi pun mulai berkembang. Ada berpendapat Bulava Mpongeo kembali ke tempat asalnya di kahyangan. Ada lagi yang berprasangka dia telah dicuri karena dianggap sebagai benda bertuah, dan ada juga yang mengira kembali bersatu dengan bagian putihnya. Spekulasi-spekulasi tadi membuat Sang Raja pasrah dan merelakan kepergian Bulava Mpongeo.

Selang beberapa bulan setelahnya, daerah tempat para pencuri menjadi subur dan makmur. Seluruh penduduk hidup damai dan sejahtera. Sedangkan para pemilik Bulava Mpongeo sendiri hidup lebih mewah dari warga yang makmur tersebut. Mereka memiliki harta benda jauh lebih banyak dan besar, baik dari segi jumlah maupun ukuran. Oleh karena itu, mereka bersepakat mengadakan pesta besar-besaran dengan mengundang kerajaan-kerajaan terdekat sebagai ungkapan rasa syukur atas anugerah berupa emas mengeong walau didapat dari hasil curian.

Setelah sebagian besar tamu undangan datang, pesta dimulai dengan suguhan berbagai macam tari dan musik. Saat para tamu tengah asyik mendengarkan musik sambil menyantap aneka makanan, dari dalam sebuah rumah muncullah Bulava Mpongeo melompat-lompat sembari mengeong di sela-sela tempat duduk para tamu. Sang raja yang kebetulan melihat langsung berteriak bahwa mahkluk ajaib itu adalah miliknya.

Tuan rumah yang merasa tertangkap basah tentu berusaha membela diri. Di depan orang banyak dia mengatakan bahwa Bulava Mpongeo adalah miliknya sehingga terjadi perdebatan berujung pertengkaran dengan Sang Raja. Keduanya saling klaim sebagai pemilik sah Bulava Mpongeo tanpa memberikan bukti-bukti kuat tentang klaim tersebut.

Walhasil, suasana yang tadinya riang gembira berubah menjadi tegang. Tuan rumah dan Sang Raja sama-sama bersikeras ingin memiliki. Sementara para tamu yang tidak terlibat ada yang memilih berdiam diri sambil mengamati, ada yang mencoba melerai dan menjadi penengah, serta ada pula yang secara diam-diam pergi meninggalkan arena pesta karena menganggap suasana sudah tidak kondisuf lagi.

Di tengah kondisi semakin memanas, tiba-tiba seorang tamu mengusulkan agar Bulava Mpongeo dibuang ke Karone (Sungai Palu). Apabila milik sang raja, maka dia akan kembali ke istana. Sebaliknya bila milik si tuan rumah, maka dia akan kembali lagi ke tempat pesta. Dengan demikian tidak akan terjadi perselisihan karena si emas mengeong telah memilih sendiri siapa tuannya.

Usul tersebut diterima oleh kedua belah pihak. Selanjutnya bersama-sama dengan para tamu mereka membawa Bulava Mpongeo ke Karone. Sampai di sana si emas ajaib dilepas di tengah aliran sungai yang mengalir deras. Kemudian mereka pulang kembali ke tempat masing-masing tanpa melanjutkan pesta.

Begitu sampai di istana, Sang Raja sudah disambut oleh suara mengeong Bulava Mpongeo. Sekarang tahulah Raja bahwa si emas mengeong memanglah miliknya. Oleh karena itu, dia tidak mempersoalkan lagi mengapa emas tadi bisa sampai di Palu. Baginya, dengan kembalinya Bulava maka persoalan dianggap selesai. Dia tidak ingin masalah perebutan Bulava menjadi berlarut-larut hingga menimbulkan permusuhan.

Sebaliknya, para pencuri yang merasa dipermalukan tidak terima dengan kembalinya Bulava Mpongeo ke istana Raja. Mereka ingin merebut kembali makhluk itu agar kemakmuran tetap terjaga dan orang-orang di sekitar tidak mencemooh. Pencurian kedua dilakukan dengan perencanaan sangat matang dan akhirnya berhasil mendapatkan Bulava Mpongeo.

Agar tidak dapat keluar rumah, atas nasihat seorang ahli nujum sekujur tubuh Bulava Mpongeo disiram perasan air jeruk. Tetapi akibatnya malah sebaliknya. Secara perlahan kondisi Bulava semakin melemah dan akhirnya mati. Ia tidak dapat lagi melompat ataupun mengeong dan perlahan beralih ujud menjadi seonggok emas bulat. Para pencuri tidak dapat berbuat apa-apa selain menyesal telah menuruti nasihat sang ahli nujum.

Beberapa bulan setelahnya keadaan daerah para pencuri malah memburuk. Tanaman tidak lagi tumbuh subur, kekeringan melanda, dan jumlah hewan ternak berkurang. Atas kesepakatan bersama mereka bersepakat mengembalikan pada pemiliknya walau dalam kondisi sudah mati dan telah menjadi seonggok emas bulat. Alasan pengembalian adalah kematian Bulava Mpongeo membawa kesengsaraan bagi banyak orang.

Ketika para pencuri datang ke istana untuk mengembalikan Bulava Mpongeo Sang Raja tidak banyak bereaksi. Bahkan saat mereka menceritakan mengapa sang makhluk ajaib berubah menjadi onggokan emas, Sang Raja hanya tersenyum (kecut) dan tidak berusaha menyalahkan para pencuri atau ahli nujumnya. Dia lalu memerintahkan para pengawal membawa dan menaruh emas itu di suatu tempat khusus dalam istana.

Konon, walau telah mati Bulava Mpongeo malah benar-benar menjadi benda keramat bagi kerajaan. Dia selalu dimandikan di daerah kuala (tempat ditemukan) apabila kerajaan sedang terjadi kekacauan atau mengalami suatu bencana, seperti kekeringan akibat kemarau panjang, kelaparan, maupun wabah penyakit. Dengan begitu, segala macam wabah maupun kekacauan dapat teratasi.

Diceritakan kembali oleh ali gufron

Masjid Agung Buahbatu

$
0
0
Masjid Agung Buahbatu (dulu bernama Masjid Kaoem Boeahbatoe) berada tidak jauh dari Pasar Kordon di Jalan Margacinta-Terusan Buahbatu. Masjid ini merupakan masjid tertua di kawasan Bandung Selatan yang mulai dibangun pada 17 Ramadhan 1357 H (10 November 1938) dengan peletakan batu pertama oleh Bupati Bandung Padoeka Kandjeng Dalem Raden Wiranatakoesoema hingga selesai dan diresmikan pada 22 Jumadil Awal 1358 H atau 9 Juli 1938. Adapun pelindung kepanitiaan pembangunan masjid adalah Raden Wiriadipoetra yang juga menjabat sebagai Wedana Oejoengbroeng sedangkan yang bertindak sebagai petugas pengawas (Noe Nitenan) adalah Opzichter Desawerken RR Bandoeng Mas Memed.

Selain Padoeka Kandjeng Dalem Raden Wiranatakoesoema dan Mas Memed, nama-nama lain yang ikut terlibat dalam proses pembangunan masjid tercatat di prasasti peresmian terpahat pada lempengan batu marmer berbentuk persegi yang ditempel pada salah satu tiang di teras masjid. Mereka adalah Padoeka Djoeragan Raden Demang Wiriadinata, Patih Bandoeng, Paduka Djoeragan Raden Hadji Abdul Kadir, Penghoeloe Bandoeng, Padoeka Djoeragan Raden Moehammad Enoch, Padoeka Djoeragan Raden Wiriadipoetra, dan Wedana Oejoengbroeng.

Sebagai catatan, masjid yang dirancang oleh N. Goedbloed Bouwkundige ini telah mengalami beberapa kali renovasi. Renovasi pertama dilakukan tahun 1988 pada masa pemerintahan Bupati Bandung HD Cherman E dengan menghancurkan seluruh bangunan masjid dan hanya menyisakan prasasti peresmian. Selesai renovasi, dibuat prasasti lagi bertuliskan “Masjid Agung Buah Batu diresmikan Bupati Bandu HD Cherman E, Paseh 16 Desember 1988”.

Satu dasawarsa kemudian (tahun 2002) bangunan mulai direnovasi lagi karena telah tercakup dalam wilayah pemekaran Kota Bandung. Dan sejak saat itu, perombakan demi perombakan terus dilakukan dari mulai hal-hal kecil hingga besar. Perombakan besar terjadi pada tahun 2010 dan baru rampung dua tahun setelahnya. Tanggal 30 Agustus 2010 atau 20 Ramadhan 1431 H hasil perombakan diresmikan oleh Walikota Bandung Dada Rosada dan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan. Sebagai penanda, keduanya membubuhkan tanda tangan pada prasasti hitam yang berada di bawah prasasti yang diresmikan oleh HD Cherman E.

Saat sekarang, bangunan masjid yang diarsiteki oleh H. Ahmad Nu’man ini telah berlantai dua. Pada bagian kubah berwarna emas sedangkan dinding luar berbalut kaca patri bermotif kaligrafi berwarna kuning dan hijau. Sementara untuk lantai bagian dalam berbahan parkit dan luarnya menggunakan keramik. Dan, untuk menambah kemegahan masjid, di sekeliling bangunan dipasang kusen-kusen terbuat dari kayu jati.

Foto: https://komunitasaleut.com/tag/masjid-agung-buah-batu/

Festival Lengkong Balakecrakan

$
0
0
Selain Kampung Toleransi, di Kelurahan Paledang, tepatnya di RW 01 ada pula event khusus yang dapat dijadikan sebagai potensi budaya yaitu Festival Lengkong Balakecrakan. Festival ini sengaja diadakan secara rutin untuk memperingati Hari Kemerdekaan Republik Indonesia sekaligus sebagai saranan perekat persatuan dan kesatuan warga masyarakat Lengkong. Adapun pihak penyelenggaranya melibatkan pihak UMKM, Kepolisian, Babinkamtibmas, PKK, Karang Taruna, dan warga masyarakat lain di RW 01. Sedangkan lokasinya berada di perempatan Jalan Lengkong Besar dan Lengkong Kecil.

Di sepanjang jalan berjarak sekitar 500 meter tersebut mulai dari pagi hari hingga tengah malam dialihfungsikan menjadi sebuah pesta rakyat. Pada tahun 2018 para budayawan dan seniman dari berbagai daerah di Jawa Barat hingga Banten silih berganti menampilkan sejumlah kesenian tradisional buhun, seperti: dogdog lojor, karinding buhun (Komunitas Tradisional Karinding Jempling Asgar) yang melantunkan petuah-petuah leluhur, benjang, antraksi laes khas kampung adat Ciptamulya dan Ciptagelar, debus, dan lain sebagainya.

Foto: https://www.ayobandung.com/read/2018/09/23/38417/ngeri-pesta-rakyat-lengkong-balakecrakan-suguhkan-atraksi-debus

Kampung Toleransi Paledang

$
0
0
Kampung Toleransi sebenarnya merupakan sebuah gang bernama Ruhana yang berada di Jalan Lengkong Kecil, Kelurahan Paledang, Kecamatan Lengkong, Kota Bandung. Untuk dapat mencapainya relatif mudah karena berada di pusat Kota Bandung, tepatnya tidak begitu jauh dari jalan utama Lengkong Kecil. Sebagai penanda gang ada papan petunjuk Masjid dan Madrasah Al-Amanah serta gapura masuk yang agak mencolok dihiasi payung warna-warni. Di dalam kampung, rumah-rumah berdinding torehan mural berisi gambar dan pesan-pesan mengenai toleransi. Sementara di bagian ujung gang ada sebuah masjid yang berdiri bersebelahan dengan vihara.

Gang ini diresmikan menjadi Kampung Toleransi oleh Pjs Walikota Bandung Muhamad Solihin pada tanggal 5 November 2018. Adapun tujuannya adalah sebagai upaya Pemerintah menjaga keberagaman di Kota Bandung yang telah sekian lama dihuni oleh warga bermacam sukubangsa, ras, dan agama maupun kepercayaan. Atau dengan kata lain, keberadaan Kampung Toleransi dimaksudkan untuk memperkuat kebersamaan dan kerukunan antarumat beragama di Kota Bandung.

Gang Ruhana sendiri bukanlah yang pertama dijadikan sebagai Kampung Toleransi. Sebelumnya Pemerintah Kota Bandung juga telah meresmikan Kampung Toleransi Jamaika yang berada di RW 04, Kelurahan Jamaika, Kecamatan Bojongloa Kaler sebagai media komunikasi sekaligus penjaga toleransi atas keberagaman yang ada di Kota Bandung.

Foto: http://humas.bandung.go.id/humas/foto/2018-05-11/peresmian-kampung-toleransi-paledang

Kampung Wayang Urban

$
0
0
Kampung Wayang Urban merupakan nama lain dari RW 08 di Jalan Pangaran, Kelurahan Cikawao. Rukun Warga ini dijadikan sebagai kampung wayang urban oleh Kecamatan Lengkong karena sejak tahun 1964 ada salah seorang warganya (Ruhiyat) yang bekerja sebagai perajin wayang golek. Keahlian membuat wayang tersebut kemudian diturunkan kepada salah seorang anak bernama Tatang yang hingga kini masih eksis dengan berbagai macam pembaruan bentuk wayang kreasinya.

Selain itu, Tatang juga “menularkan” keahliannya pada anak-anak di sekitar Jalan Pangaran dengan tujuan untuk mengenalkan serta membangkitkan rasa cinta mereka terhadap wayang serta sejarahnya. Konsepnya bukan hanya memperkenalkan wayang klasik melainkan juga kontemporer. Jadi, apabila sore hari sepulang sekolah banyak anak yang mencoba membuat dan mewarnai wayang dalam berbagai macam bentuk yang dipadupadankan dengan beberapa tokoh superhero dari luar negeri.

Dan, agar menarik minat wisatawan, belakangan Kampung Wayang Urban juga mengembangkan kerajinan lain seperti topeng, lampu hias, dan barang souvernir lainnya yang diproduksi oleh para ibu Majelis Taklim Kelurahan Cikawao dan Turangga. Berbagai macam cinderamata tersebut tidak hanya dipasarkan di dalam kampung, tetapi juga ke hotel-hotel di sekitaran wilayah Kota Bandung.

Foto: http://jabarekspres.com/2018/wayang-urban-jadi-unggulan-lengkong/

Muliaman Darmansyah Hadad

$
0
0
Muliaman Darmansyah Hadad merupakan salah seorang putra Bekasi yang berhasil menempati beberapa posisi strategis di pemerintahan. Pria yang lahir pada tanggal 3 April 1960 ini sudah mulai menunjukkan prestasi dengan menyelesaikan pendidikan dasarnya lebih cepat dari yang seharusnya (wikipedia.org). Begitu pula ketika menempuh pendidikan tingkat tinggi di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia jurusan Studi Pembangunan pada tahun 1979 Muliaman memperoleh gelar Sarjana Ekonomi tahun 1984 sebagai salah satu lulusan tercepat di antara teman-teman satu angkatannya.

Dua tahun setelah mendapat gelar Sarjana Ekonomi, Mualiman memulai karir dengan bekarja sebagai staf umum di Kantor Bank Indonesia cabang Mataram. Tahun 1990 Muliaman kembali melanjutkan pendidikan di John F Kennedy School of Government, Havard University dan memperoleh gelar Master of Public Administration satu tahun setelahnya. Tidak puas hanya mendapat gelar Master, lima tahun kemudian (1996) dia pergi ke Australia untuk belajar di Faculty of Bussines and Economics Monas University hingga memperoleh gelar Doctor of Philosophy.

Sekembali dari Australia, tahun 2003 Muliaman diangkat sebagai Kepala Biro Stabilitas Keuangan lalu menjadi Direktur Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan pada tahun 2005 (finance.detik.com). selanjutnya, berdasarkan Keputusan Presiden RI No.69/P Tahun 2006, tanggal 22 Desember 2006 diangkat menjadi Deputi Gubernur Bank Indonesia. Jabatan sebagai Deputi Gubernur Bank Indonesia ini diembannya dua kali setelah dilantik kembali oleh Ketua Mahkamah Agung Harifin A Tumpa pada tanggal 29 Desember 2011 berdasarkan Keputusan Presiden No.75/P tanggal 21 Desember 2011. Dalam proses pemilihannya Muliaman berhasil mengalahkan Wakil Direktur Bank Mandiri Riswandi yang merupakan hasil pilihan Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat RI.

Selain jabatan prestisius tadi, Muliaman juga aktif sebagai Anggota Dewan Komisaris Lembaga Penjamin Simpanan, Basel Committee on Banking Supervision (BCBS), Financial Stability Board (FSB), Ketua Umum Masyarakat Ekonomi Syariah (MES), pengurus Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI), Sekretaris Dewan Penasihat Indonesian Risk Proffesionals Association (IRPA), Ketua Komite Evaluasi Pendidikan dan Pelatihan Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI), dan pengajar di beberapa perguruan tinggi di Jakarta (finance.detik.com).

Setelah tidak menjabat sebagai Deputi Gubernur Bank Indonesia, Muliaman terpilih secara aklamasi menjadi Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di Komisi XI DPR RI yang dilaksanakan pada 19 Juni 2012. OJK sendiri adalah sebuah lembaga supervisi industri jasa keuangan. Bersama Nelson Tampubolon, Nurhaida, Rahmat Waluyanti, Firdaus Djaelani, Ilya Avianti, dan Kusumaningtuti S Soetiono, Muliaman mengelola dana OJK yang besarnya setara dengan produk domestik bruto Indonesia (ekonomisyariah.org).

Terpilihnya Muliaman sebagai ketua OJK tidak lepas dari sepak terjangnya dalam dunia perbankan khususnya dalam penelitian dan pengaturan perbankan di Indonesia. Baginya, untuk mengatur sektor keuangan Indonesia OJK harus memiliki sejumlah karakteristik tertentu agar dapat bekerja secara efektif dan efisien. Salah satunya adalah berhati-hati dalam menjalankan pengawasan terhadap industri jasa keuangan, terutama pada lembaga keuangan yang mengelola dana seperti bank, asuransi, dana pensiun, hingga pasar modal. Selanjutnya, kegiatan pengawasan dilakukan sebagai “business is not as usual”. Kemudian, membangun koorniasi dengan Bank Indonesia agar tidak terjadi overlapping pekerjaan. Dan, karakteristik lainnya adalah meningkatkan kebijakan keuangan yang bersifat inklusif dengan tujuan untuk meningkatkan akses masyarakat.

Jabatan sebagai Ketua Dewan Komisioner OJK diemban Muliaman dari tahun 2012 hingga 2017. Usai menunaikan masa bakti di OJK, awal tahun 2018, tepatnya tanggal 20 Februari 20108, Muliaman secara resmi dilantik oleh Presiden Joko Widodo menjadi Duta Besar Republik Indonesia untuk negara Swiss merangkap Leichtenstein. Muliaman menggantikan Linggawaty Hakim yang telah telah menjabat sejak 11 Februari 2014.

Foto: http://www.tribunnews.com/bisnis/2014/09/03/ojk-minta-lembaga-keuangan-non-bank-biayai-infrastruktur
Sumber:
“Muliaman Darmansyah Hadad”, diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Muliaman_Darman syah_Hadad, tanggal 25 Mei 2019.

“Muliaman Darmansyah Hadad”, diakses dari https://finance.detik.com/moneter/d-1946032/ini-profil-7-petinggi-ojk-terpilih/2, tanggal 25 Mei 2019.

“Dr. Muliaman D Hadad [Ketua Umum Masyarakat Ekonomi Syariah] Memimpin Otoritas Jasa Keuangan”, diakses dari http://www.ekonomisyariah.org/4569/dr-muliaman-d-hadad-ketua-umum-masyarakat-ekonomi-syariah-memimpin-otoritas-jasa-keuangan-ojk/, tanggal 26 Mei 2019.

Kelenteng Jin De Yuan

$
0
0
Kelenteng atau klenteng Jin De Yuan adalah salah satu dari empat kelenteng besar1 yang ada di Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta. Kelenteng yang dahulunya di bawah pengelolaan Gong Guan atau "Dewan Opsir Tionghoa" Batavia ini berada di Jalan Kemenangan III Nomor 13 Jakarta yang secara administratif termasuk dalam wilayah Kelurahan Glodok, Kecamatan Tamansari, Kotamadya Jakata Barat.

Claudine Salmon dan Denys Lombard dalam Les Chinois de Jakarta: Temples et vie Collectives (1977) yang dikutip Adolf Heuken dalam Historical Sites of Jakarta (1989) menyebutkan bahwa dalam "Catatan Sejarah Tionghoa tentang Batavia" sekitar tahun 1650 Luitenant Tionghoa Guo Xun Guan [Kwee Hoen] mendirikan sebuah kelenteng untuk menghormati Guan Yin [Kwan Im] di Glodok. Oleh karena itu, kelenteng tersebut disebut Guan Yin Ting [Kwan Im Teng] atau yang secara harafiah berarti “Paviliun Guan Yin”. Namun, ketika terjadi Tragedi Pembantainn Angke (1740) .kelenteng ini dirusak dan dibakar.

Tahun 1755 seorang Kapiten Tionghoa memugarnya dan memberi nama Jin De Yuan (Kim Tek Ie) Jin De [Kim Tek] artinya “kebajikan emas” dan Yuan [Ie] menurut Carstairs Douglas dalam Chinese-English Dictionary of the Vernacular or Spoken Language of Amoy (i.e. Xiamen), with the Principal Variations of the Chang-Chew (i.e. Zhangzhou) and Chin-Chew (i.e. Quanzhou) Dialects (1873:164a) berarti "Kelenteng yang berhalaman luas dengan beberapa bangunan umum".

Keterangan tertulis mengenai Kelenteng Jin De Yuan antara lain terdapat dalam Kai-ba li-dai shi-ji (Kronik Penduduk Tionghoa di Batavia). Dokumen tersebut menyebutkan bahwa kelenteng ini dibangun sekitar pertengahan abad XVII. Kelenteng yang disebut Guan Yin Ting itu dibangun tahun 1650 oleh Letnan Quo Xun Guan dan diselesaikan pada tahun 1669 oleh Kapten Guo Jun Guan. Menurut kronik yang sama, nama Jin De Yuan diberikan oleh Kapten Huang Shi Lao (Huang Yi Qu) pada tahun 1755 (Salmon & Lombard 1980: 730). Masyarakat sekitarnya menyebut “Kelenteng Kim Tek I” (sekarang bernama “Vihara Dharma Bhakti”).

Data Bangunan
a. Bangunan Utama
Bangunan Kelenteng Jin De Yuan terdiri atas bangunan utama dan bangunan samping (sayap) kanan, kiri, dan belakang. Bangunan utama berukuran 12 x 26 m dengan orientasi arah utara-selatan. Bangunan ini memiliki serambi dan ruang utama. Dalam ruang utama terdapat ruangan depan, impluvium, dan ruang samping, serta ruang suci utama. Di ruang tengah bangunan utama terdapat impluvium yang lantainya lebih rendah dari lantai di sekelilingnya. Sedangkan, lantai ruang utama bagian depan, samping, dan belakang (ruang suci utama) dibuat lebih tinggi.

Ruang suci utama yang terletak di bagian belakang atau di sebelah utara terbagi menjadi tiga. Masing-masing ada patung dewanya. Ruang tengah lebih besar dari ruang yang lainnya, karena merupakan tempat altar dewa-dewa utama.

Serambi (teras) yang terletak di bagian depan dibatasi dengan dinding ruang utama dan memiliki pagar besi berwarna merah. Dinding depan ini mempunyai pintu masuk dengan dua daun pintu dari kayu. Pintu ini diberi gambar orang penjaga yang berpakaian perang (dewa pintu). Di atas ambang pintu terpampang sebuah papan horizontal berisi tulisan Cina yang menyebutkan nama kelenteng dan tanggal Minguo 25 (1936). Minguo adalah perhitungan tahun Cina yang dimulai dari tahun 1911. Dalam perhitungannya, angka belakang Minguo dijumlahkan dengan 1911. Selain pintu masuk yang menghadap ke selatan, juga terdapat dua pintu lain untuk menuju ke ruang utama. Pintu ini terletak di dekat pintu pertama (utama) dan keduanya berdiri saling berhadapan.

Di kanan-kiri pintu utama tampak sebuah bidang segi empat berukuran 120 x 160 cm. Bidang tersebut terbagi menjadi beberapa bidang (panel) yang tidak sama besarnya. Pada permukaan bidang ini diberi ukiran vas berbunga, seekor gajah dengan bunga-bungaan, atau pohon dengan hewan seperti burung atau rusa. Motif pada ukiran berwarna kuning keemasan dengan tepi bingkai berwarna merah, kuning, dan hitam. Di kiri-kanan pintu utama juga terdapat jendela bulat dengan ukiran yang menerawang ke dalam. Ukuran jendela ini berdiameter 192 cm. Di tengah bulatan bergambar lilin dengan motif awan, matahari, dan beberapa lambang Buddhis seperti suling, daun, dan tanduk, serta warna merah di sekelilingnya. Panel-panel yang lain berukuran 215 x 120 cm dengan relif yang menggambarkan burung phoenik dan naga yang ditempatkan di sudut-sudut bangunan.

Ruang bangunan bagian dalam terdiri atas ruang bagian depan, impluvium, samping ipluvium, dan ruang suci utama. Antarruang-ruang tersebut tidak ada dinding pemisah. Dinding pemisah hanya terdapat pada ruang suci utama yang terletak paling belakang sebagai tempat dewa-dewa. Di ruang utama bagian depan, tepat di depan pintu masuk, terdapat meja altar dan diletakkan sebuah patung Wei Tuo yang dianggap sebagai dewa penjaga kelenteng dengan sikap membelakangi, karena ia menghadap ke dalam. Patung ini berjubah dan bertutup kepala warna keemasan. Kedua tangannya diletakkan di depan dada sambil memegang pedang. Sebuah padupaan (tempat hio) dan dua vas bunga diletakkan di atas meja altar.

Di atas ambang pintu bagian dalam terdapat sebuah kotak berisi tiga patung sebagai gambaran dari San Yuan, yaitu “kaisar Tiga Dunia” yang merupakan dewa Taoist. Di sudut ruangan sebelah timur, dekat pintu masuk, terdapat penjualan keperluan upacara. Sedangkan, di sudut ruang sebelah barat ada sebuah lemari tempat menyimpan obat-obatan.

Setelah melewati altar Wei Tuo, terdapat satu bangunan yang disebut impluvium berukuran 5x6 meter dengan lantai yang lebih rendah dan beratap kawat. Imoluvium ini terbentang tidak beratap, hanya ditutup atap anyaman kawat sebagai pengaman. Di sebelah kanan dan kiri impluvium terdapat ruangan, sedangkan di sebalah barat terdapat sederetan kursi untuk istirahat dan meja panjang untuk menempatkan piring-piring makanan. Di dinding sebelah barat dipasang sebuah papan prasasti. Sementara, ruang sebelah timur impluvium juga terdapat sederet kursi untuk istirahat dan lemari dengan laci-laci tempat menyimpan kertas-kertas ramalan. Dinding ruangan ini juga terpampang sebuah prasasti. Pada kedua prasasti itu tertulis nama-nama para pederma yang telah membantu perbaikan berguna dengan jumlah uang atau benda lain yang disumbangkan. Salah satu prasasti tersebut menyatakan bahwa pada tahun 1890 telah dilaksanakan perbaikan atas inisiatif Kong Tong (Dewan Tionghoa) di Jakarta. Di sebelah kiri prasasti tersebut digantung sebuah tambur besar dari kulit macan, sedangkan di seberangnya tergantung sebuah genta. Tidak jauh dari impluvium ada pintu keluar menuju ke halaman samping dan halaman belakang. Pintu ini berada di bagian barat menyamping. Bentuknya serupa dengan pintu masuk utama yang terdiri dua daun pintu, tetapi bentuknya lebih kecil yaitu tinggi 236 cm, lebar 60 cm, dan dicat merah.

Ruang suci utama berada di bagian paling belakang (lantainya paling tinggi). Di ruangan ini tempat patung-patung dewa. Di dinding barat dan timur, di dalam almari kaca, masing-masing terdapat sembilan patung Luo Han atau arhat yang dilapis warna emas. Di tengah-tengah ruang suci utama ditempatkan dua meja panjang berukir. Satu meja untuk Dewa Kwan Im dan dua pengiring yang disimpan dalam lemari kaca. Ketiganya berwarna keemasan. Dewa Kwan Im digambarkan dalam sikap duduk di atas bunga lotus dengan kaki bersila dan mempunyai tangan sebanyak sembilan pasang. Sepasang terletak di depan dada dan yang lainnya memegang sebuah benda. Seorang pendampingnya juga duduk di atas bunga lotus dengan melipat tungkai kaki ke atas dan tungkai kaki kiri dilipat mendatar. Sedangkan, pendamping yang lainnya menduduki seekor singa dengan kedua kaki menjuntai ke bawah dan tangan di depan dada. Sebuah bejana kuningan diletakkan di depan lemari kaca tersebut. Meja panjang lainnya dipergunakan sebagai tempat buku-buku kitab suci, sebuah kotak hitam tempat membakar kayu cendana, dan kentongan agak bulat yang disebut bo-ki.

Bagian paling belakang ruang suci ini terdiri atas tiga ruang yang diisi patung-patung dewa. Ruang terbesar berada di tengah tempat patung dewa utama, yaitu sebuah patung kayu Kwan Im berwarna hitam yang didampingi seorang pengiring dan tiga patung Budha besar di belakangnya. Ketiga patung Budha itu disebut Tri Tunggal Budhis atau San-zun fo-zuy yang terdiri atas Sakyamuni Buddha, Bhaisjyaguru, dan Amitabha (Salmond dan Lombard 1985: 59-0). Ketiga pantung ini diberi warna emas, tanpa jubah kain. Patung Kwan Im berjubah saten kuning dengan kerudung sutera merah panjang dan mahkota di kepalanya. Pengiring juga diberi jubah sutera dan mahkota.

Ruang patung dewa utama berkaca dan diberi tirai merah yang diletakkan ke samping. Sebuah lampu kristal bunder meneranginya. Di bagian atas tirai digantung sehelai kain (sulaman yang bertuliskan huruf Cina pada kain sutera). Kain ini merupakan sumbangan seseorang yang telah berhasil permintaannya. Di depan ruang dewa ini berdiri sebuah meja panjang untuk persembahan yang berisi dua pelita yang terus menyala (disebut pelita kehidupan), dua jambangan besar, lampu keramik bundar, beberapa piring berisi sajen kue dan buah-buahan. Tempat kuningan untuk pedupaan diletakkan di atas meja kecil di depan meja panjang.

Ruang lain yang berada di sebelah kanan (timur) Kwan Im berisi patung dewa Guan Di (Kwan Kong) sebagai dewa perang (berpakaian perang warna emas). Selembar kain sutera merah menyelimuti kedua bahunya dan tutup kepala juga berwarna merah. Wajahnya merah dan berjenggot. Kedua pengawal juga berpakaian perang dan salah seorang berwajah coklat dan membawa tombak. Mereka diterangi dua lampu merah kecil di depannya. Di ruang sebelah kiri (barat) Kwan Im berisi patung Dewi Ma Co Po (Thian Huo) sebagai pelindung para pelaut dan dua orang pengiringnya. Jumah Ma Co Po disepuh keemasan dan selembar kain sutera merah menutupi bahu. Ruangan ini diterangi dua lampu merah kecil dan di depannya diletakkan meja untuk tempat pedupaan dan sesajian.

b. Bangunan samping
Sesuai dengan namanya bangunan ini terpisah dari bangunan utama. Untuk menuju ke sana melalui dua pintu yang berada di tengah dinding barat dan timur bangunan utama. Sebuah halaman berada di antara bangunan utama dan bangunan samping yang mengelilinginya. Dari pintu penghubung dibuat sebuah koridor hingga ke teras. Di halaman samping ada sebuah tempat pembakaran kertas dari bata yang berbentuk pagoda (dekat ke dua pintu penghubung). Di belakangnya (utara) terdapat tiga genta dan satu pembakaran kertas kuno (jin-lu) yang terletak tepat di balik dinding utara ruang suci utama yang semuanya terdapat angka tahunnya (berhuruf Cina). Masing-masing genta berukuran tinggi 75-100 cm, diameter antara 67-76 cm. Genta yang terbesar berhiasan naga dan yang terkecil berhiaskan manusia yang bersikap akrobatik. Sedangkan, tempat pembakaran berukuran tinggi 200 cm dan lebar 40 cm, berbentuk menyerupai rumah yang ditopang empat tiang. Tempat tersebut terbuat dari besi cor (dari kaki hingga atap penuh dengan ukiran). Di bagian tubuhnya bertulisan prasasti yang menyatakan bahwa jin-lu ini dibuat di Kwantung pada tahun 1821. Sebagai catatan, benda-benda tersebut sudah tidak terpakai lagi.

Pada bangunan samping ini terdapat ruang-ruang dengan altar-altar sekunder yang terpisah dari ruang suci utama. Bentuk denah bangunan samping yang berada di sisi-sisinya (kanan, kiri, dan belakang bangunan utama) menyerupai huruf “U” terbalik serta susunan tata letak ruang-ruang di sebelah barat dan timur simetris. Beberapa tahun yang lalu salah satu ruang di bagian timur mengalami perubahan. Dinding bangunan samping berdiri di atas lapik yang tidak tinggi, tetapi lantai di dalam ruangan-ruangan tidak ada yang ditinggikan. Dinding bangunan dipergunakan sebagai penyangga atap, ruangannya terbuka, tanpa pintu untuk penempatan altar dewa. Sedangkan, ruang tertutup dilengkapi dengan pintu yang bercat merah dan jendela yang beruji untuk tempat penyimpanan barang-barang atau keperluan lainnya.

Atap bangian dalam bangunan samping dibuat dari papan-papan kayu berwarna hitam yang disusun berjejer ke samping. Atap luar terbuat dari genting, berbentuk pelana berwarna polos putih. Ruang-ruang bangunan samping yang terbuka dipergunakan untuk menyimpan patung dewa. Dewa-dewa di sini diberi pak wan dan mahkota dilapisi warna emas, selebar kain saten merah yang menutupi kedua bahu. Selain itu, di ruangan ini terdapat patung pendamping, dua buah lampu merah kecil yang ditempatkan dalam lemari kayu, dan sebuah tempat pedupaan dari kuningan yang diletakkan di atas meja (di depannya), serta dua lilin besar dalam keadaan terus menyala.

Dewa yang berada di bangunan samping bagian timur yaitu: patung dewa To Ta Thian Wang (Thian Ong) berjenggot dan didampingi oleh No Cak Gong (Lo Cah Kong) dan Mu Cak Gong (Bok Zha Kong). Mereka dianggap sebagai pemberi pertolongan kepada orang yang mengalami kesulitan. Arca-arca lain seperti: Qin, Shui Zu Shi (Cu Su Kong) sebagai dewa laut; Can Kui Zi Shi (Cuo Kue Cosu) atau guru pertama seorang rahib dari Yanping, Fujian (arca mengenakan jubah kuning dan tangannya memegang kipas); macan (harimau) putih yang ditempatkan dalam suatu kotak yang berbentuk rumah; Cheng Huan Yi (Seng Ho Ja) atau dewa sumpah; Tai Sui Ye (Tai Sue Ye); dan Hua-po (Hua-kong hua-bu) sebagai pelinduk anak.

Patung-patung dewa pada bagian samping sebelah belakang (utara) yaitu: (1) Patung Dutho Jiang Jun (Tatmo Co Su) berawjah suram berwarna coklat, mata melotot, berambut keriting dan berjenggot. Ia sebagai dewa yang dapat memberi keselamatan bagi pemujanya; (2) Patung Dewa Ze Hai Zhen Ren (Tik Hai Cin Jin) sebagai pelindung samudera dan di sampingnya berdiri Dewa Wen Chang Gong (Boen Ciong Kong) yang memegang seperti gulungan kertas sebagai ahli sastra, serta ditemani oleh seorang pengawal; (3) Patung Dewa Mi-lei-fo berperawakan gendut, sedang tertawa, duduk dengan satu lutut terangkat, sehingga perutnya kelihatan. Ia dapat memberikan kebahagiaan kepada orang lain bagi yang memujanya; dan (4) Xuan Tan Gong (Hian Tan Kong), ia sebagai tempat meminta pertolongan oleh orang sakit agar sembuh. Ia berjenggot, memakai pakaian kebesaran dan mahkota, lima orang pengawal bersenjatakan pedang.

Dewa-dewa yang berada di bagian samping sebelah barat dimulai dari utara, yaitu: (1) Dewa Fu De Zheng Shan atau Hok Tek Ceng Sin (dewa bumi) dengan dua pengawalnya yang berwajah hitam. Ciri-cirinya yaitu orang tua berjenggot, bermahkota, dan berwajah merah; (2) Cai Shen Ye (Chay Sin Ja) atau dewa bintang kekayaan. Ia ahli menghimpun kekayaan. Dewa ini disertai pendamping yang berdiri di sampingnya; (3) Macan agak besar dan dikelilingi empat macan kecil, orang memuja agar terhindar dari kesakitan; (4) Himpunan arca-patung dewa yang merupakan sumbangan orang-orang. Selain itu, ada tempat penyimpanan papan nama serta foto para pendeta yang telah meninggal di kelenteng ini.

c. Halaman
Di sebelah selatan terdapat sebuah gapura besar menyerupai gerbang dengan bagian atap yang tertutup. Bentuk ini disebut tipe pai lou (jenis paduraksa). Gerbang ini menyatu dengan tembok pagar yang melebar ke samping. Di tengah gapura terdapat dua daun pintu terbuat dari kayu berwarna merah khas kesenian Cina. Tepat di atas ambang pintu terpampang tulisan “Vihara Dharma Bhakti”. Sementara, di bagian luar sederetan huruf Cina berbunyi “Kim Tek I” pada sisi gapura bagian dalam. Atap gapura berbentuk pelana. Gapura yang lebih kecil terdapat pada pagar tembok sebelah timur. Keduanya juga berbentuk arsitektur Cina, walaupun pintunya bukan dari bahan kayu lagi, melainkan dari besi. Di halaman pertama ini berdiri tiga bangunan kelenteng lainnya yang semuanya menghadap ke arah timur. Halaman kelenteng dipergunakan untuk upacara-upacara tertentu hingga sekarang.

Halaman lainnya dibatasi pagar tembok setinggi 170 cm. Pintu masuk ke halaman ini terbuat dari besi (berada di tengah tembok). Bagian atasnya terpampang tulisan “Yayasan Vihara Dharma Bhakti”. Di masa lalu lapangan di dalam lingkup halaman ini merupakan sebuah taman kecil yang dihiasi tanaman, namun sekarang dengan semakin banyaknya jumlah umat yang bersembahyang diubah menjadi pelataran berlantai semen. Di bagian tengah halaman ini, tepatnya di muka bangunan kelenteng, berdiri sebuah bangunan segi delapan tanpa dinding yang ditopang oleh tiang kecil-kecil berjumlah empat buah. Atapnya juga berdenah segi delapan bersusun dua. Setiap jurainya mengarah ke atas. Bagian puncaknya dihiasi bunga teratai yang sedang mekar.

Di tengah bangunan terdapat sebuah wadah terbuat dari kuningan, berdiameter 85 cm. Wadah ini diletakkan di atas alas berbentuk bunga teratai berfungsi untuk tempat menancapkan hio setelah melaksanakan sembahyang kepada Thian (Tuhan). Di halaman ini terdapat sepasang patung singa (bougushi) berdiri di atas laping setinggi 70 cm yang berfungsi sebagai penjaga. Tinggi patung singa 80 cm, terbuat dari batu berada di kiri dan kanan halaman. Bangunan lainnya adalah dua buah balai pengobatan yang terletak di sebelah barat (bersebelahan dengan Vihara Dharma Bakti). Sedangkan, lainnya tepat di sisi timur bangunan utama Kelenteng Jin De Yuan.

Sumber:
Supardi, Nunus, dkk,. 2000. Kelenteng Kuno di DKI Jakarta dan Jawa Barat. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
http://community.siutao.com
http://www.detiknews.com
http://www.geocities.com

KH Ma’mun Nawawi

$
0
0
KH Ma’mun Nawawi adalah seorang tokoh ulama sekaligus pejuang yang berasal dari daerah Cibogo, Kecamatan Cibarusah, Bekasi. Ulama yang produktif sebagai penulis 63 kitab ini lahir di Cibogo pada hari Kamis bulan Jumadil Akhir 1334 H/1915 M (As-Samfuriy, 2014). Beliau adalah putra sulung (tujuh bersarudara) dari pasangan H. Anwar (seorang pedagang sekaligus guru mengaji) dan Siti Romlah. Saudara-saudara kandungnya yang lain adalah: Nyi Rukiyah, Nyi Endeh, H. Yahya, Siti Iyok, Endang, Dimiyati, dan Abdul Salim. H. Anwar sendiri adalah putra Marhan bin H. Abdul Wahid, salah seorang keturunan dari Kerajaan Banten (mondok.co).

Berdasar garis keturunan tersebut, tidak heran bila Nawawi memperoleh pendidikan yang berkaitan dengan agama Islam. Tidak lama setelah menamatkan pendidikan dasar di usia yang baru mencapai 13 tahun, anak dari KH. R Anwar ini nyantri di Plered Sempur asuhan Tubagus Ahmad Bakri bin Seda (Mama Sempur) hingga tujuh tahun lamanya (ypialkamiliyyah.wordpress.com). Selesai nyantri di sempur, Nawawi hijrah ke Mekkah selama dua tahun (1937-1939) untuk memperdalam ajaran Islam dengan berguru pada 13 muallif (pengarang kitab), di antaranya: al-Muhaddits as-Sayyid Alawi al Maliki, Syekh Mukhtâr ‘Athârid al-Bûghûrî al-Jâwî tsumma al-Makkî (ulama besar hadits di Masjidil Haram asal Bogor), Syekh Bâqir ibn Nûr al-Jukjâwî tsumma al-Makkî (ulama besar Masjidil Haram asal Yogyakarta), Sayyid ‘Alawî ibn ‘Abd al-‘Azîz al-Mâlikî al-Makkî, Syekh ‘Umar Hamdan al-Mahrasî, Syekh Khalifah Nabwah, Syekh Ibrahim bin Muhammad al-Fathoni, dan lain sebagainya (Sya’ban, 2017).

Kembali dari Mekkah, atas saran Sang Ayah pada tahun 1942 Nawawi nyantri lagi di beberapa pesantren guna lebih memperdalam ilmu, seperti: Pesantren Tebuireng (Jombang) asuhan Hadhratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari dan pesantren asuhan Syaik Ikhsan (Jampes Kediri). Adapun para guru Nawawi selama nyantri di Jawa menurut Mondok.co, di antaranya adalah: H. Masdiki al-Quruthi Sempur-Plered, Mualif Siradjud Tolibin Kediri, Syekh Muhammad Cholil Jember, Syekh Muhammad Yunus bin Abdullah Kediri, KH Suja’i al-Quruthi Sukaraja. Muhammad Ali bin Husen, Syahid Alwie bin Abas al-Maliki, Syahid Muhammad ‘Amin al-Qutbhi, Syekh Hasan bin Muhammad al-Masad, Sayyid Abdul Bari al-Quruti, Syekh Ibrahim bin Muhammad al-Banduni al-Jawi, Abdurahman Asyburaki al-Maki, Syekh Ibrahim bin Muhammad al-Fatoni, Syekh Sabibullah al-Hindi al-Maki, Syekh Ubaidillah al-Maki, dan KH. Manshur Abdul Hamid (Guru Mansur Betawi). Dari para guru ini Nawawi mempelajari berbagai macam kitab, seperti: tafsir, alfiyah, mantiq, fiqih, lughat, dan lain sebagainya. Khusus ketika berguru dengan KH. Manshur Abdul Hamid di Jembatan Lima, Jakarta, Nawawi mempelajari ilmu falaq yang dapat dikuasai hanya dalam waktu 40 hari saja.

Selesai nyantri dan dianggap telah cakap bila mengembangkan dakwah, Nawawi diminta oleh mertuanya (Tugabus Bakri) untuk mendirikan pesantren di daerah Pandeglang, Banten. Namun, baru berjalan sekitar dua tahun, Sang ayah meminta pula mendirikan pesantren di Cibogo. Walhasil, para santri di Pandeglang pun ikut diboyong ke Cibogo dan tinggal di pesantren baru yang diberi namaAl-Baqiyatus Sholihat. Pesantren ini dibangun pada bulan Rajab tahun 1359 H/1938 M saat Ma’mun Nawawi baru berusia sekitar 25 tahun (http://nizomalhasani.blogspot.com).

Para santri asuhan KH Ma’mun Nawawi yang jumlahnya beberapa ratus orang pada masa perang kemerdekaan pernah mendapat pelatihan militer sebagai bekal menghadapi tentara sekutu. Mereka membentuk sebuah laskar yang dinamakan Hizbullah. Adapun pelatihan perdananya dilaksanakan pada 28 Februari 1945 dipimpin oleh KH. Wahid Hasyim (mewakili KH Hasyim Asy’ari) dan beberapa tokoh lain seperti KH. Zainul Arifin, dan KH. Noer Alie (kini telah ditetapkan sebagai pahlawan nasional) serta dihadiri oleh Gunseikan, para perwira Nippon, pimpinan pusat Partai Masyumi, dan para Pangreh Praja.

Para santri yang ikut serta dalam pelatihan tidak melulu berlatih perang menghadapi musuh. Pada malam hari mereka mengaji dengan beberapa ulama seperti KH. Mustada Kamil dari Singaparna dan lain sebagainya. Usai pelatihan para santri kembali ke kampung halaman masing-masing guna memberikan latihan kepada para pemuda lain. Hasilnya, pada saat Jepang menyerah anggota Hizbullah telah mencapai sekitar 50.000 orang. Menurut muslimedianews.com, mereka tidak saja aktif selama revolusi fisik, tetapi juga mampu mengubah peta militer di Indonesia.

Para laskar Hizbullah ini masuk menjadi sayap militer bagi Partai Masyumi yang berdiri pada 7 November 1945. Bersama dengan laskar Sabilillah, mereka kemudian bertempur melawan tentara Sekutu pada pertempuran 10 November 1945. Selanjutnya, bersama Gerakan Pemuda Islam Indonesia yang diprakarsai M. Natsir dan KH. Wahid Hasyim laskar Hizbullah dan Sabilillah membentuk Dewan Mobilisasi Pemuda Islam Indonesia yang menentang semua perundingan dengan Belanda selepas agresi militer pertama 1947.

Lepas dari perannya dalam pembentukan laskar Hizbullah, yang jelas KH Ma’mun Nawawi merupakan ulama yang sangat produktif dalam menulis kitab berbahasa Arab dan Sunda. Sedikitnya ada 63 buah kitab yang pernah ditulis, di antaranya: At-Taisir fi ‘Ilmi al-Falak, Bahjatul Wuduh Fi Hadits Awfatil Fuluh, Idha’ al-Mubhamat (tentang rumus-rumus akumulasi dari kitab-kitab yang mengandung akronim), Hikayat al-Mutaqaddimin (tentang kisah-kisah ulama terdahulu), Manasiq H. wal Umrah, Khutbah Jumat, Kasyf al-Humum wa al-Ghumum (tentang doa), Majmu’at Da’wat, Risalah Zakat, Syair Qiyamat, Risalah Syurb ad-Dukhan, Qolaidul Juman Fi Aqaidul Iman, I’anah Rafiq fi Tarjamah, Sulamu Taufiq, Muhasinul al-Khatabh, As-Sirajul Wahaj, Syi’ran Kiyamat, Hibatullah Karimul Aly, Tahtasikul Abid, Majmu Da’wah, Kasyful Humum wal Ghumum, Tadwirul Qulud, Taysirul Awam, Tuhfatul At Fal, Manaqib Syekh Abdul Qadir, Fiqh (dua jilid), Maulid Nabi (empat jilid), Parakunan Pashalatan, Al-Atiyatul Haniyah, At-Taisir Ilmu Falaq (Empat Jilid), dan Hushuli Rojai, dan lain sebagainya (As-Samfuriy, 2014 dan mondok.co).

Setelah berhasil membuat sebuah “pencerahan” bagi umat Islam di daerah Bekasi, KH. Ma’mun Nawawi wafat pada malam Jumat 26 Muharram 1395H/7 Februari 1975 M di Cibogo-Cibarusah pada pukul 01.15 WIB dalam usia 63 tahun. Selama hidup beliau pernah menikah dengan Nyi Jumenah (bercerai) lalu dengan Nyi Siti Junah yang menghasilkan enam orang anak (Muhaimin, Muhammad Jajuli, Zainal Mutaqin, Abdul Mu’min, Abdul Rahim, dan Abdul Halim). Selain dengan Nyi Jumenah dan Nyi Siti Junah, Ma’mun Nawawi pernah menikah dengan tujuh perempuan lain, namun hanya empat orang yang menemani hingga akhir hayat, yaitu: Hj. Ummah, Hj. Nyi Junah, Hj. Rohman, dan Hj. Romiah. Dan, dari pernikahan-pernikahan tersebut beliau dikaruniai sejumlah anak, di antaranya: Nyi Rahman, Muhammad Firdaus, Nyi Fatimah, Nyi Khadijah, Muhammad Syahroni, Nyi Safiah, Nyi Aisyah, Muhammad Shahalidin, Abdul Qudus, Abdul Raul, Abdul Mujib, Nyi Umu Habibah, Abdullah, Muhammad Mahfudz, Ahmad, Muhammad, Abdur Rahman, Nyi Ummu Salamah, Abdul Mu’min, Nyi Rukayah, Nyi Maryam, Abdul Latif, Abdul Khabir, Nyi Aminah, R. Abdul Hamid, R.A Qadir, Abdul Hafidz, Nyi Endin, Abdul Khalik Yanwari, Jamal Abdul Ghafar, dan Endin Quratul Aeyin (As-Samfuriy, 2014).

Saat ini penerus pondok pesantren adalah salah satu dari putranya sendiri, KH. Jamaluddin Nawawi. Pesantren merupakan salah satu dari beberapa peninggalan KH Ma’mun Nawawi. Peninggalan lainnya adalah asrama pesantren, Masjid Jami Al-Baqiyatus Sholihat, Yayasan Pendidikan Agama Islam Al-Baqiyatus Sholihat, almanak, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Aliyah Al-Baqiyatus Sholihat, serta kitab-kitab yang telah dan belum diterbitkan.

Foto: http://nizomalhasani.blogspot.com/2017/04/kh-raden-mamun-nawawi-bekasi.html
Sumber:
“KH. Raden Ma’mun Nawawi (1915-1975)”, diakses dari https://mondok.co/kh-raden-ma%C2%92mun-nawawi-1915-1975/, tanggal 10 Juni 2019.

As-Samfuriy, Sya’roni. 2014. “KH. R. Ma’mun Nawawi Ahli Falak Bekasi Santri Hadhratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari”, diakses dari http://www.muslimedianews.com/2014/06/kh-r-mamun-nawawi-ahli-falak-bekasi.html#ixzz5pNOuiFCY, tanggal 10 Juni 2019.

“KH Raden Ma’mun Nawawi Bekasi”, diakses dari http://nizomalhasani.blogspot.com/2017/04/kh-raden-mamun-nawawi-bekasi.html, tanggal 11 Juni 2019.

“Mengenal Ulama Nusantara (KH Ma’mun Nawawi/Mama Cibogo, Bekasi), diakses dari https://ypialkamiliyyah.wordpress.com/2012/09/04/kh-mamun-nawawi-mama-cibogo-bekasi/, tanggal 12 Juni 2019.

Sya’ban, A. Ginanjar. 2017. “Kitab Fiqih Manasik Berbahasa Sunda Karya KH Ma’mun Nawawi Cibarusah”, diakses dari http://www.nu.or.id/post/read/76983/kitab-fiqih-manasik-berbahasa-sunda-karya-kh-mamun-nawawi-cibarusah, tanggal 12 Juni 2019.

H Madinah

$
0
0
H Madinah adalah Pimpinan Pondok Pesantren Miftahul Madaniyah, Ketua Tanfidhiyah Pengurus Cabang Nahdhatul Ulama (PCNU) Kota Bekasi, dan sekaligus juga menjabat sebagai Kepala Kantor Urusan Agama Bekasi Barat, Kota Bekasi. Seabreg jabatan tersebut tidak lepas dari perjuangan serta pengalaman hidup yang ditempuhnya selama ini yang mulai dirintis dari bawah.

Laki-laki kelahiran Bekasi tersebut memiliki latar belakang pendidikan agama yang agak dominan. Dia mengawalinya dengan bersekolah di Madrasah Ibtidaiyah Al Hidayah (1977) lalu melanjutkan ke Madrasah Tsanawiyah Agus Salim (1981). Lulus dari MTS Agus Salim, Madihan melanjutkan ke Sekolah Pendidikan Guru Negeri Lubang Buaya (1984). Kemudian hijrah ke Bandung untuk menempuh pendidikan tinggi di IAIN (sekarang UIN) Sunan Gunungjati (1996), Uninus Bandung (1997), dan Akta IV di Unisma 45 (1999). Terakhir dia mendapatkan ijazah S2-nya di Jakarta pada tahun 2008 (tentangbekasi.com).

Selama menempuh pendidikan formal keseharian Madinah tidak melulu belajar dan belajar. Di sela-sela waktu, berbekal sepeda onthel dia pernah menjadi loper koran, tukang dekor hajatan, penjual petasan,hingga berjualan es mambo dari daerah Jatiasih sampai ke Halim. Selain berdagang, dia juga menyempatkan diri belajar agama pada beberapa orang berpengaruh, seperti: KH Musryid Kamil, KH Latif Kamil (DR Syafie Kamiel), KH Mir’an Syamsuri, KH Jamaksari, KH Noer Ali, KH Muhazirin, KH Sirojil Munir, KH Dawam, dan DR KH Ali Mustofa Yakub.

Pada saat bersekolah di SPGN Lubang Buaya, pada tahun 1982 Madinah pernah menjadi menjadi guru honorer di salah satu sekolah di daerah Bekasi. Waktu itu, honor pertama yang diterima hanya sebesar Rp.5.000,00 per bulan. Namun seiring waktu meningkat menjadi Rp.12.000,00 dan di tahun 1996 menjadi RP.50.000,00 per bulan. Walaupun honorarium relatif kecil Madinah tetap menjalaninya, sebab dia beranggapan bahwa mengajar merupakan sebuah pengabdian bagi sesama sekaligus sebagai ibadah mencari ridlo Illahi.

Pengalaman hidup inilah yang kemudian membuat Madinah dapat lebih menghargai setiap kejadian. Dia berpendapat bahwa hidup haruslah cerdas dan jangan menjadi orang bodoh. Orang harus bersungguh-sungguh dalam menjalani hidup dan dapat mengambil hikmah sehingga dapat memperoleh hasil yang maksimal. Selain itu, juga menjaga “lima masa sebelum datang lima masa berikutnya”. Menurut poskotanews.com, masa-masa tersebut adalah masa muda sebelum masa tua, masa kaya sebelum miskin, masa sehat sebelum sakit, masa luang sebelum sibuk, dan masa hidup sebelum kematian.

Atas dasar prinsip hidup tersebut, Madinah bersama sejumlah tokoh ulama Bekasi kemudian mendirikan sebuah pondok pesantren yang diberi nama Miftahul Madaniyah. Pendirian pondok pesantren bertujuan agar generasi penerus bangsa memiliki akhlak baik di tengah masyarakat yang norma-norama aturannya sudah mulai bergeser. Adapun peresmiannya sendiri dilakukan pada tahun 2014 oleh Walikota Bekasi Rahmat Efeendi yang juga dihadiri pula oleh KH Ali Mustofa Yakub dan H Roma Irama.

Saat ini, di sela-sela kesibukan sebagai pimpinan pondok pesantren dan kepala KUA Bekasi Barat, Madinah juga menjabat sebagai Ketua Tanfidhiyah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kota Bekasi menggantikan KH Abdul Majid yang telah usai masa kepengurusannya. Pemilihan Madinah sebagai pengurus PCNU berlangsung dalam Konferensi Cabang IV Nahdlatul Ulama Kota Bekasi di Islamic Center. Madinah sebagai figur panutan di Bekasi dianggap mampu merangkul semua elemen dan potensi NU dalam mengembangkan peran dan manfaat kepada masyarakat (poskotanews.com).

Sumber:
“Tokoh Asli Jatiasih jadi Ketua NU Kota Bekasi”, diakses dari http://poskotanews.com/2018/12/19/tokoh-asli-jatiasih-jadi-ketua-nu-kota-bekasi/, tanggal 3 Juli 2019.

“Madinah: Jadikan Pengalaman Hidup sebagai Pembelajaran”, diakses dari http://www.tentangbekasi.com/2017/09/22/madinah-jadikan-pengalaman-hidup-sebagai-pembelajaran/, tanggal 2 Juli 2019.

“Kepala KUA Ini Pernah Jadi Loper Koran Pos Kota”, diakses dari http://poskotanews.com/2017/04/01/kepala-kua-ini-pernah-jadi-loper-koran-pos-kota/, tanggal 3 Juli 2019.

Siti Rohmah

$
0
0
Bila berbicara mengenai emansipasi di Indonesia, tentu yang terbayang adalah gambaran nama-nama besar seperti Kartini sebagai perempuan Jawa yang walau dapat menyuarakan isi hati melalui tulisan namun tetap tunduk pada aturan patriakis, Raden Dewi Sartika yang memberi pengajaran bagi anak negeri, hingga perempuan-perempuan gagah berani (Cut Nyak Dhien dan Martha Kristina Tiahahu) yang memimpin pasukan menghalau penjajah.

Di beberapa daerah juga ada perempuan-perempuan pejuang emansipasi seperti di atas, namun karena peran mereka kurang diekspos, maka jarang ada yang mengetahui. Di daerah Bekasi misalnya, ada seorang perempuan pejuang bernama Siti Rohmah. Beliau adalah putri dari KH Abdul Mugni dan isteri dari pahlawan nasional KH Noer Ali. Mereka menikah pada bulan April 1940 dan dikaruniai tujuh orang putri serta lima orang putra.

Perempuan yang biasa dipanggil Nyai Rohmah ini merupakan orang yang berada di belakang perjuangan KH Noer Ali yang terkenal dengan julukan Si Singa Bekasi. Sang suami berjuang dengan memanggul senapan memimpin laskar Hisbullah menghalau penjajah, sedangkan sang isteri dalam dunia pendidikan demi mencerdaskan kaum bumi putra.

Raden KH Umar

$
0
0
Raden KH Umar atau biasa disapa dengan Mbah Guru Keneng adalah seorang ulama ahli tassawuf yang sangat disegani di Bekasi, khususnya di daerah Jatibening, Cikunir, Jatiasih, dan Ceger. Oleh masyarakat setempat, beliau dianggap sebagai waliyullah yang banyak karomah serta masih memiliki garis silsilah bersambung terus hingga ke Wali Songo dan Nabi Muhammad SAW (Firdaus, 2016).

Masih menurut Firdaus (2016) yang mengutip Porbatjaraka, Mbah Guru Keneng lahir pada tahun 1857 dan meninggal tahun 1972. Beliau diperkirakan merupakan keturunan rombongan kerabat Kerajaan Banten yang menetap di Jati Kramat Jatiasih antara tahun 1527-1530. Rombongan dipimpin oleh Syeikh Syarifudin (Mbah Kandong) yang merupakan keturunan Pangeran Sageri/Segori dan masih memiliki garis dengan Syeikh Sunan Gunu Jati Cirebon. Selain Mbah Kandong, Pangeran Sageri juga memiliki keturunan bernama R.H. Sholeh yang kemudian menetap di Kampung Ceger Jaka, Bekasi Selatan. R.H. Sholeh inilah ayahanda dari R. H. Umar atau Mbah Guru Keneng.

Adapun susunan nasabnya adalah: Taajul Arsy. Rh Umar bin Rh Zahiri bin Rh Muhadir bin Raden Kanzul Asikin bin Pangeran Sageri bin Aabulfath Abdul Fattah Sultan Ageng Tirtayasa bin Abul Ma’ali Ahmad bin Abul Mafakhir Mahmud Abdul Qadir bin Maulana Muhammad bin Maulana Yusuf bin Maulana Hasanuddin bin Syeikh Syarif Hidayatulloh Sunan Gunung Jati bin Raja Abdulloh bin Alhusein Jamaluddin Alkubro bin Ahmad Syah Jalaluddin Al Akbar bin Abdulloh Khan bin Sayyid Abdul Malik Ba’aali Adzumat Khan bin Alwi bin muhammad Shohib Mirbath Alawi bin Ali Kholi’ Qosim bin Alwi bin Muhammad Shohib Assouwmaah bin Alwiy Ba’alawiy Al A’ala bin Abdulloh bin Ahmad Almuhajir Alfaqihil Muqoddam hingga ke Rasulullah SAW.

Semasa hidup Mbah Guru Keneng pernah mengajar di salah satu sekolah Islam diniyah yang sekarang menjadi YPIA Islam Al-Mu’awanah Bekasi. Selain itu beliau juga melakukan dakwah kepada warga masyarkat di Kampung Ceger (Irhamni, 2017). Dalam berdakwah, beliau mempunyai pesan tersendiri yaitu “Jalanilah apa yang tidak kamu pilih jangan menjalani apa yang kamu pilih, beragam pernak pernik kehidupan selalu saja menjadi bayangan dalam setiap gerak alur raga ini bergerak, aku bertanya apakah ini yang aku mau dan yang aku pilih…Ternyata menjalani apa yang aku pilih adalah suatu kesusahan hidup yang amat teramat menyakitkan” (Firdaus, 2016). Kata-kata “mutiara” ini rupanya banyak menarik minat orang, sehingga dakwahnya kemudian diikuti pula oleh orang-orang di luar Kampung Ceger. Mereka tidak hanya berasal dari Pulau Jawa saja melainkan juga dari daerah lain di luar Pulau Jawa.

Bagi para pengikutnya, Mbah Guru Keneng tidak hanya ahli dalam ilmu Islam, melainkan memiliki juga keistimewaan tertentu yang tidak dimiliki oleh orang lain. Keistimewaan tersebut di antaranya adalah: tubuh tetap kering walau kehujanan, pencuri yang masuk ke rumahnya seakan mematung dan tidak dapat keluar sebelum diizinkan, dapat memasak sebutir telur hanya dengan menggenggamnya, suara speaker yang keras tidak berbunyi bila dihadapkan ke rumahnya, dan lain sebagainya.

Berkat jerih payah dalam menyebarkan agama Islam di Bekasi, hingga saat ini makamnya sering diziarahi orang untuk memanjatkan doa. Mereka tidak hanya berasal dari daerah Bekasi dan sekitarnya, melankan juga dari daerah lain di seluruh Indonesia.

Foto: https://www.kompasiana.com/firdausiahmad/56cadaee4223bd2a12ea3597/mbah-guru-keneng-keramat-dari-ceger
Sumber:
Firdaus, Ahmad. 2017. “Mbah Guru Keneng Keramat dari Ceger”, diakses dari https://www.kompasiana.com/firdausiahmad/56cadaee4223bd2a12ea3597/mbah-guru-keneng-keramat-dari-ceger, tanggal 23 April 2019.

Irhamni, Bayu. 2017. “Kisah Perjalanan Seorang Ulama Ceger”, diakses dari http://bayuirhamni.blogspot.com/2017/02/kisah-perjalanan-seorang-murid.html, tanggal 24 April 2019.

H Ilyasa

$
0
0
H. Ilyasa bin H. Malih adalah seorang pejuang kemerdekaan dari daerah Babelan, Kabupaten Bekasi. Beliau merupakan bagian dari Laskar Hisbullah pimpinan oleh H. Noer Alie. Laskar Hisbullah sendiri berawal dari para santri asuhan KH. Makmun Nawawi yang mendapat pelatihan militer sebagai bekal menghadapi tentara sekutu. Adapun pelatihan perdananya dilaksanakan pada 28 Februari 1945 dipimpin oleh KH. Wahid Hasyim (mewakili KH Hasyim Asy’ari) dan beberapa tokoh lain seperti KH. Zainul Arifin, dan KH. Noer Alie (kini telah ditetapkan sebagai pahlawan nasional) serta dihadiri oleh Gunseikan, para perwira Nippon, pimpinan pusat Partai Masyumi, dan para Pangreh Praja.

Para santri yang ikut serta dalam pelatihan tidak melulu berlatih perang menghadapi musuh. Pada malam hari mereka mengaji dengan beberapa ulama seperti KH. Mustada Kamil dari Singaparna dan lain sebagainya. Usai pelatihan para santri kembali ke kampung halaman masing-masing guna memberikan latihan kepada para pemuda lain. Hasilnya, pada saat Jepang menyerah anggota Hizbullah telah mencapai sekitar 50.000 orang. Menurut muslimedianews.com, mereka tidak saja aktif selama revolusi fisik, tetapi juga mampu mengubah peta militer di Indonesia.

Para laskar Hizbullah ini masuk menjadi sayap militer bagi Partai Masyumi yang berdiri pada 7 November 1945. Bersama dengan laskar Sabilillah, mereka kemudian bertempur melawan tentara Sekutu pada pertempuran 10 November 1945. Selanjutnya, bersama Gerakan Pemuda Islam Indonesia yang diprakarsai M. Natsir dan KH. Wahid Hasyim laskar Hizbullah dan Sabilillah membentuk Dewan Mobilisasi Pemuda Islam Indonesia yang menentang semua perundingan dengan Belanda selepas agresi militer pertama 1947.

Sebagai mantan anggota laskar Hisbullah, Ilyasa tentu pernah merasakan pahit getirnya berjuang demi merebut kemerdekaan dari tangan penjajah. Beliau pernah ikut terlibat dalam baku tembak melawan tentara Sekutu di daerah Pedaengan (kini bernama Cakung di Jakarta Timur), tepatnya di sekitar front demarkasi pasca Jakarta dijadikan sebagai kota diplomasi pada 9 November 1945.

Pada waktu itu, seluruh pasukan bersenjata (kecuali polisi) diharuskan keluar dari wilayah Jakarta dan keberadaan tentara hanya boleh diwakilkan oleh kantor penghubung di Jalan Cilacap Nomor 5. Sungai Cakung dijadikan sebagai garis demarkasi yang dijaga oleh pasukan Batalyon III Bekasi dan sejumlah organisasi perjuangan lain termasuk laskar Hisbullah di bawah pimpinan KH Noer Ali.

Garis demarkasi yang dijaga oleh Ilyasa dan kawan-kawannya tersebut tidak dapat bertahan lama karena pasukan Sekutu terus mendesak hingga terjadilan pertempuran Sasak Kapuk di daerah Pondok Ungu pada 29 November 1945. Sebelum terjadi pertempuran, konvoi pasukan Sekutu yang datang dari arah Klender menuju Cakung sempat dihadang di daerah Kranji oleh kelompok pesilat Subang pimpinan Ama Puradiredja.

Meski tidak berdampak besar, konvoi pasukan Sekutu sempat tercerai berai sebelum dihantam lagi di Sasak Kapuk oleh gabungan laskar Hisbullah, angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI), serta para pemuda rakyat. Namun karena kalah dalam persenjataan, Ilyasa dan rekan-rekannya terpaksa mundur ke arah Kaliabang. Beruntung, mereka hanya dihujani tembakan dan tidak dikejar oleh pasukan Sekutu hingga ke Kaliabang.

Ada cerita menarik ketika Ilyasa melarikan diri ke Kaliabang. Saat itu senapan Lee Enfield-nya nyaris hilang. Padahal itulah senjata api satu-satunya yang dimiliki. Sebelumnya, beliau hanya memakai golok atau alat panah bermata bambu yang diberi racun dari tubuh katak beracun. Senapan Lee Enfield sendiri didapat dari seorang penghubung tentara yang sering berkomunikasi dengan atasannya (KH Noer Ali). Senapan Lee Enfield (buatan Inggris) beliau anggap lebih mudah digunakan dan relatif tepat sasaran ketimbang senjata buatan Jepang yang sering meleset alias tidak mengenai target.

Saat ini, di sisa-sisa hidupnya Ilyasa tetap menyimpan semangat sebagai seorang pejuang. Beliau enggan menerima tunjangan dari pemerintah. Kendati hidup dalam kesederhanaan, Ilyasa tetap memegang teguh sumpah sebagai anggota laskar Hisbullah yang harus berjuang tanpa pamrih (tanpa mengharapkan balas jasa) demi menegakkan kemerdekaan Indonesia.

Foto: https://historia.id/politik/articles/aksi-pejuang-bekasi-DrBeb
Viewing all 829 articles
Browse latest View live