Quantcast
Channel: Budaya
Viewing all 829 articles
Browse latest View live

Ray Abdul Fatah

$
0
0
Walau berusia masih dibawah 30 tahun, nama serta hasil karyanya mampu menembus pasar internasional. Ray Abdul Fatah adalah wirausahawan muda yang memiliki semangat tinggi untuk menggali potensi diri secara maksimal. Laki-laki yang hanya tamatan SMA ini memulai karir sebagai pengusaha dengan menjual Lampu Benang bersama isterinya. Namun karena pangsa pasar lampu benang mulai menurun, dia banting stir dengan membuka usaha pop up sekaligus sebagai wadah inovasi dalam berkreasi.

Usaha pop up yang didirikannya ternyata laris manis di pasaran. Oleh karena itu dia pun mulai mempekerjakan karyawan guna memenuhi permintaan pasar. Saat ini usaha yang dinamakan sebagai Ravy26house tersebut telah memiliki 11 orang karyawan yang terdiri atas lima orang karyawan tetap, tiga orang magang, dan tiga orang lagi para ibu yang berada di sekitar rumahnya. Para karyawan tadi sebelumnya telah diberikan pelatihan hingga mahir dan profesional sehingga dapat mengerjakan pesanan dari konsumen dengan baik.

Selain jumlah karyawan yang bertambah, hasil kreasi Ray juga ikut berkembang. Produk pop up yang dibuat menjadi lebih bervariasi, di antaranya pop up mahar, pop up card, pop up book, pop up frame, pop up brosur, dan kartu nama pop up. Produk-produk tersebut tidak hanya untuk memenuhi permintaan dari dalam negeri saja, melainkan juga dari Malaysia, Hongkong, dan Australia. Konsumen yang memesan biasanya diberi kebebasan menentukan desain yang diinginkan dan merevisi hasilnya sesuai keinginan.

Ketenaran pop up karya Ray rupanya menarik perhatian sejumlah media massa lokal maupun nasional, seperti MNC TV, DAAI TV, KTV, Kompas TV, Trans 7, Trans TV, TV One, Metro TV, GO Bekasi, Radar Bekasi, Tribun News, Harian Suara, Bekasi Urban City, Kontan, dan lain sebagainya. Dan, berkat ekspose dari berbagai media tadi pada tahun 2018 Ray mencoba mengikuti ajang kompetisi Wirausaha Muda Mandiri (WMM) yang diadakan oleh Bank Mandiri.

WMM merupakan wujud Bank Mandiri dalam mendukung pengembangan industri yang sejalan dengan program Kementerian BUMN. Kehadiran para pebisnis muda akan semakin memperkuat kewirausahaan nasional. Bank Mandiri sebagai salah satu BUMN mendukung pengusaha muda potensial agar dapat menopang dan mendorong ekonomi Indonesia menuju ke arah yang lebih baik. Melalui ajang WMM pada tahun 2018 Bank Mandiri melahirkan 28 pelaku usaha muda potensial, tangguh, dan profesional. Mereka dijaring dari sekitar 800 calon pebisnis yang diseleksi lewat 34 perguruan tinggi di Indonesia dan 10 komunitas maupun inkubasi bisnis.

Penilaian dibagi dalam kelompok mahasiswa dan non-mahasiswa dengan sub kategori wirausaha industri, perdagangan-jasa, boga, kreatif, sosial, dan tenologi. Pemenang kelompok non-mahasiswa akan memperoleh penghargaan serta uang tunai Rp.200 juta (juara pertama) dan Rp.100 juta (juara kedua). Sementara kelompok mahasiswa akan memperoleh Rp.100 juta bagi juara pertama dan juara kedua sebesar Rp. 50 juta.

Ray yang termasuk ke dalam 28 pelaku usaha, berhasil menjadi pemenang kedua bidang Usaha Kreatif dibawah Bella Kartika Aprilia – Sepiak Belitong sebagai juaranya. Adapun pemenang kategori lainnya (non-mahasiswa) adalah: Bidang Usaha Industri (Juwita – Golden Berry dan Reza Rizky Hermawan – Hermawan Propertindo Utama); Bidang Usaha Sosial (Andhika Mahardika – CV Agradaya Indonesia dan Mohammad Andriza Syarifudin – Nusa Berdaya); Bidang Usaha Boga (Endro Firdaus – GreenSmoothie Factory dan Bintang Priyambodo – Papa Buncit); Bidang Usaha Teknologi Digital (Christopher Farrel Millenio Kusuma – Kecilin dan Yudhis Thiro Kabul Yunior – Detron Engineering); Bidang Usaha Teknologi Non-Digital (Achmad Arbi – Lightning Advanced Solution Technology dan Nugroho Hari Wibowo – Encomotion); serta Digital Financial Technology (Adjie Wicaksana – Halofina – LPIK ITB dan Bong Defendy – Zend Money).
Sedangkan pemenang Wirausaha Muda Mandiri kategori mahasiswa adalah: Bidang Usaha Industri, Perdagangan, dan Jawa (Arnandiza Amirul Khadifa – Balon Kado dan Agus Wibowo – Agro Lestari Merbabu); Bidang Usaha Boga (Putu Agi Pratama – Umah Lokal dan Sentanah Limmase – Fermenation Indonesia); Bidang Usaha Kreatif (Malinda Amalia – Linean dan Nabila – Batik Kanawa); Bidang Usaha Sosial (Reno Pati – Rumah OPPO dan M Zulfikri Al Qowy – Pacco.com); Bidang Usaha Teknologi Digital (Aditya Pramata Ghifary – Media Bimbingan Belajar Gratis Website & Aplikasi dan Rafliansyah Ruslan – Scola); serta Bidang Usaha Teknologi Non Digital (Alwy Herfian Satriatama – Majapahitech dan Aprial Syahputra – Herbalfoam).

Bagi Ray, kemenangan dalam ajang WMM 2018 memotivasi dirinya untuk terus berkreasi dan berinovasi. Bahkan tidak hanya itu, dia juga mengajak masyarakat yang berada di sekitarnya untuk ikut berpartisipasi dalam mengembangkan usaha pop up dengan tujuan mengurangi angka pengangguran di daerah Bekasi. Melalui rumah kreatif Ravy26house Ray mencoba memberdayakan mereka melalui pelatihan hingga dapat menjadi pengusaha handal dan mandiri.

Foto: https://news.detik.com/adv-nhl-detikcom/d-4220462/wirausaha-muda-mandiri-2018-sukses-lahirkan-pengusaha-muda-baru

Deden S Cahyana

$
0
0
Bakat seni pada seseorang umumnya muncul sejak dini. Bakat seni inilah yang juga muncul pada sosok Deden S Cahyana, pengagas sanggar seni Duta Pasundan. semenjak berumur sekitar enam tahun Deden yang lahir di Cianjur tahun 1965 telah memiliki cita-cita untuk mengarungi dunia seni sebagai bekal hidup. Waktu itu dia sudah menjadi pemain calung pada sebuah group di desanya di Kabupaten Cianjur Selatan.

Saat duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama Deden mulai membuktikan bakat dengan berkali-kali mewakili daerahnya mengikuti lomba seni/pasanggiri Anggana Sekar, Pupuh, Tari, Degung, Ngadongeng/Carita Sunda baik tingkat kabupaten maupun Provinsi Jawa Barat. Prestasi-prestasi lain juga diukirnya ketika duduk di bangku sekolah menengah atas SMKI hingga tahun 1984.

Lulus SMKI Deden hijrah ke Kota Bekasi untuk menjadi relawan di beberapa sekolah. Selama satu tahun (1984-1985) Deden mengadakan beberapa eksperimen di berbagai sekolah dengan tujuan agar kesenian Sunda lebih dihargai dan mendapat apresiasi dari masyarakat luas. Tahun berikutnya, dengan membawa misi menciptakan peluang melalui kendang, Deden keliling di hampir 40 buah sekolah di Kabupaten Bekasi dalam bentuk pertunjukan seni degung, calung, dan tari. Namun, misi ini kurang berhasil karena hanya beberapa sekolah saja yang mau memberi ruang.

Seiring berjalannya waktu, dengan usaha yang pantang menyerah tentunya, Deden akhirnya berhasil menumbuhkan apresiasi terhadap pelestarian seni budaya Sunda di Bekasi. Berkat dukungan pemerintah setempat melalui bantuan sarana berupa alat musik gamelan, mulai banyak sekolah yang minta dibantu dalam hal pembinaan kesenian tradisional. Deden pun kemudian terjun sebagai tenaga honorer bidang pendidikan kesenian/pembinaan kesenian tradisional. Selain itu, dia juga aktif dalam sejumlah organisasi seni budaya, di antaranya: (1) pengurus DKB (Dewan Kesenian Bekasi); (2) Sekretaris IKASENTRA (Ikatan Seniman Tradisional Bekasi); (3) Litbang HARPI Melati Bekasi; (4) Ketua tim Rampak Kendang Pesona Patriot Bekasi; (5) Ketua Divisi Seni Budaya Islam Al-Azhar Bekasi; (6) Ketua Duta Suara Pelajar MB Bekasi; (7) Ketua Sanggar Duta Pasundan Bekasi; dan (8) Ketua Duta Karya Seni Budaya (DKSB).

DKSB sendiri adalah sebuah sanggar seni yang bergerak dibidang pembinaan dan pelestarian seni budaya. Sanggar yang berdiri sejak tahun 1999 ini sekarang sudah beranggotakan sekitar 150 orang anak yang berdomisili di sekitar Bantargebang. Sementara Sanggar Duta Pasundan yang berada di Jalan Cipta Karya Raya Blok J, Kecamatan Bantargebang didirikan sekitar tahun 2000 merupakan jawaban dari antusiasme masyarakat akan adanya kesenian tradisional Sunda di daerah Bekasi, khususnya gamelan degung, angklung, calung, dan kecapi suling.

Dalam perkembangan selanjutnya, Sanggar Duta Pasundan juga menjadi pusat pelatihan seni tari tradisional. Di samping itu menjadi sentra layanan pementasan seni budaya Sunda khusus untuk prosesi pernikahan. Adapun list pementasan beserta nominal harganya sebagai berikut: musik pengiring (degung Rp.6,5 juta, kecapi suling Rp.2,5 juta, celempungan Rp.3,5 juta, rampak gendang plus 4 penari Rp.3,5 juta), dan prosesi upacara adat pengantin (siraman ngaras Rp.1,5 juta, ngeuyeuk seureuh Rp.2,5 juta, mapag pengantin plus tari persembahan Rp.3,5 juta, sawer huap lingkup Rp.2,5 juta, dan pemandu adat/resepsi/akad nikah Rp.750 ribu).

Foto: http://dksbbekasi.blogspot.com/2010/03/dilahirkan-di-cianjur-pada-tahun-1965.html

Munawar Fuad Noeh

$
0
0
Perubahan adalah transformasi dari keadaan yang sekarang menuju keadaan yang diharapkan akan lebih baik. Perubahan dapat terjadi secara besar-besaran seperti revolusi pertanian disusul oleh revolusi industri di benua Eropa dan ada pula yang hanya berskup kecil yang dilakukan agen-agen perubahan dalam suatu masyarakat. Di daerah Bekasi ada seorang profesional yang bertindak sebagai agen tersebut. Dia, yang di media massa setempat disebut penggiat perubahan, adalah Munawar Fuad Noeh atau lengkapnya Dr. H. Munawar Fuad Noeh, Mag.

Munawar yang lebih dikenal dengan nama Bang Fuad atau Bang Kabek lahir di Bekasi pada tanggal 16 Mei 1970 dari pasangan KH Raden Noeh Inayatillah Ahmad dan Nyai Raden Hj Maskanah. Bang Fuad menempuh pendidikan awalnya di Sekolah Dasar Negeri Sukamanah di Kampung Babakan Cibarusah. Lima tahun kemudia melanjutkan ke Madrasah Tsanawiyah Yaspia dan Madrasah Aliyah Cibogo Cibarusah. Selain itu, dia juga pernah mondok selama beberapa lama di Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur.
Selama menempuh pendidikan dasar dan menengah Bang Fuad sudah mulai menunjukkan prestasi, antara lain dengan menjadi juara kedua Lomba Cerdas Cermat se-Kabupaten Bekasi (1986), Juara Pertama Lomba Cerdas Cerman mewakili Bekasi di Tingkat Jawa Barat (1988), juara nominasi Lomba Karya Tulis Ilmiah Santri Tingkat Nasional (1988), dan Juara Pertama Lomba Pidato Pemuda se-Kabupaten Bekasi (1989).

Usai menempuh pendidikan menengah atas, Bang Fuad melanjutkan ke perguruan tinggi guna menempuh jenjang Strata 1. Setelah lulus, dia melanjutkan lagi di Pasca Sarjana IAIN Jakarta (1998) dalam bidang studi Islam dan Tata Negara. Bahkan tidak hanya Strata 1 dan 2 saja yang ditempuhnya, melainkan juga Strata 3 di University Malaya, Malaysia, dengan riset berjudul “Peranan Kyai Dalam Pemilu Presiden 2004: Studi Kasus Jawa Timur”. Hasil riset tersebut kemudian dipublikasikan dalam bentuk sebuah buku berjudul “Kyai Di Panggung Pemilu Presiden: Dari Kyai Khos sampai Kyai High Cost”.

Pria yang menikah dengan Dra. Hj. Ariyana Wahidah (putri KH. Muhammad Thahir dan Nyai Hj. Tazkiyah Thahir) dan dikaruniai empat orang anak (R. Ahela Shindy Farica, R. Arsya Millenio Fuad, Farah Najwa Madiena, dan Muhammad Kaisar Khan) ini pernah mendapat kepercayaan sebagai Asisten Bidang Sosial Engineering (Hubungan Kelembagaan dan Sosial) dari tahun 1999 hingga 2012.

Di antara masa tersebut Bang Fuad juga dipercaya mendampingi Susilo Bambang Yudhoyono (saat menjadi Mentamben) sebagai Alhi Pemberdayaan Persepsi Publik Menteri Pertambangan dan Energi. Adapun tugasnya terkait dengan pemberdayaan masyarakat, media relation, dan eksternal relation dari Kementerian Pertambangan dan Energi beserta BUMN yang berada di bawahnya seperti Pertamina, Aneka Tmbang, PLN, PT Timah, dan lain sebagainya.

Berkat kompetensi, profesionalisme serta pengalamannya, tahun 2004 Bang Fuad masih dipercaya oleh SBY menjadi staf khusus kandidat presiden yang menangani pengelolaan hubungan dan penggalangan aspirasi politik umat Islam dan lintas agama secara nasional. Bang Fuad dianggap mampu berinteraksi secara luas karena memiliki basis sosio-kultural dengan kalangan pesantren dan tokoh-tokoh lintas agama sehingga diharapkan dapat ikut membangun komunikasi yang kuat guna menata berbagai agenda strategis dalam kerangka pemberdayaan pesantren, perdesaan, dan pembangunan secara lebih terarah dan menyeluruh. Tahun berikutnya, dia bekerja sebagai staf khusus Menteri Komunikasi dan Informasi Dr. H. Sofyan A Djalil.
Selain berkutat dalam dunia konsultan, Bang Fuad juga aktif dalam keorganisasian tingkat nasional maupun internasional, di antaranya: Pimpinan Pusat Ansor yang membidangi Hubungan Luar Negeri dan Media Komunikasi (2000-2005); Sekretaris Pengurus Pusat Dewan Masjid Indonesia (2012-2017); Wakil Bendahara LTNU (Lajnah Taklif Wan Nashr)/ Badan Informasi, Komunikasi dan Publikasi PBNU (2015-2020); Ketua Departemen Kajian Lingkungan Hidup dan Pembangunan Berkelanjutan di Majelis Pengurus Pusat ICMI (2015-2020); Anggota Komisi Riset dan Pengembangan MUI Pusat (2015-2020); penasihat bidang perekonomian BUMDES, pimpinan pusat Parade Nusantara sejak 2015-sekarang; Vice President Pemuda Asia (The Asian Youth Coincil) di Korea selatan periode 2008-2011); Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Komite Nasional Pemuda Indonesia (DPP KNPI) periode 2005-2008; Sekretaris Jenderal Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor (2005-2010); President Global Common Society (GCS) International Indonesia Chapter (2003-2005); Wakil Sekretaris Jenderal SAMYO (South East Asia Muslim Youth Organization – Organisasi Pemuda Muslim Asia Tenggara); dan Direktur Program Workshop dan Pelatihan The New Generaton of Religious Leaders di berbagai daerah Indonesia.

Seabreg jabatan tersebut tentu saja membuat Bang Fuad menjadi orang super sibuk, baik di dalam maupun luar negeri. Di kancah internasional dia pernah menghadiri berbagai macam seminar dan workshop, di antaranya: sebagai narasumber, pembicara, dan peserta dialog antarbangsa untuk misi perdamaian dan diplomasi di New Zaelan, Turki, dan Korea Selatan; penceramah dalam The New Asian African’s Strategic Partnership di India, Sri Lanka, dan China; memimpin delegasi pemuda Indonesia dalam Forum Dialog Pemuda Malaysia-Indonesia di Selangor, Malaysia; memimpin delegasi dan mempresentasikan pemikirannya tentang pemuda dan entrepreneurship dalam forum pertemuan pemuda Asia di Beijing; kunjungan kenegaraan bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla ke Afrika Selatan; memimpin delegasi pemuda NU untuk sebuah kunjungan kebudayaan dan persahabatan di Jepang; narasumber acara Voice of America dengan presentasi tentang pengembangan tradisi keagamaan moderat melawan terorisme; peserta Forum Indonesia-Australia untuk mengikuti berbagai diskusi lintas agama; mewakili delegasi pemuda Indonesia dalam Forum Konvensi Pemuda Dunia di Thailand; dan lain sebagainya.

Namun, walau memiliki segudang kegiatan, Bang Fuad masih juga sempat melahirkan berbagai karya tulis intelektual yang dipublikasikan secara luas. Adapun karya tulis tersebut, di antaranya adalah: Kyai di Panggung Pemilu Presiden: Substansialisasi Hukum Islam dalam Hukum Pertanahan di Indonesia (1994); 99 Alasan Memilih SBY for President (sby.com, 2009); 31 Alasan Memenangkan Partai Demokrat (sby.com, 2009); Islam dan Gerakan Moral Anti Korupsi (1997); Islam di Abad 21 (1998); Masalah Korupsi di Indonesia: Respons Cendekiawan Muslim (1998); Menembus Batas; Lintas Agama, Budaya, dan Bangsa (1999); Susilo Bambang Yudhoyono: Mengatasi Krisis Menyelamatkan Reformasi (1999); Jejak Setapak Saifullah Yusuf (2000); Menghidupkan Ruh Pemikiran KH. Ahmad Siddiq (2000); Dua yang Satu: Nu-Muhammadiyah (2003); Bersaksi di Tengah Badai; Jenderal Wiranto (2004); SBY dan Islam (2004); Kebangsaan-Keislaman SBY (2004); Ziarah Nurani SBY (2005); Kyai di Republik Maling (2005); Tentara Berkarakter dan Profesional: Jelang Pelantikan Pangkostrad (catatan kritis Munawar Fuad, 2006); Mengelola Pemuda Pelopor Perdamaian (2007); Indonesia Today: The Characteristic Indonesian Muslim (2007); Menegakkan Daulat dan Martabat Bangsa (2008); Awakening the Giant: Membangunkan Negeri Raksasa yang Tertidur (2009); Mahligai Cinta Firdaus, Ketika Rasul Membelaiku (Novel, 2009); Pesona Ibu Negara: Hj. Kristiani Herrawati (2009); Terbanglah ke Angkasa Anakku (2011), Sahabat, Salam Indonesia, Bunga Rampai SMS Dr. Darwin Zahedi Saleh (2007-2011); Dari Kyai Khos sampai Kyai High Cost (2014); serta puluhan artikel yang dipublikasikan di media massa (Kompas, Media Indonesia, Gatra, Tempo, Republika, Suara Pembaruan, dan lain sebagainya).

Sementara di kampung halaman sendiri, kiprah serta pengabdian sosial Bang Fuad juga tidak kalah banyaknya. Di daerah Cibarusah misalnya, sejak tahun 1994 hingga sekarang menggantikan Sang ayah menjadi Direktur Pesantren Al Quran Ash-Shulaha yang bergerak di bidang keagamaan, sosial, pendidikan, dan pembinaan mental remaja. Oleh Badan Kekeluargaan Masyarakat Bekasi dia diangkat menjadi Sekretaris Majelis Adat Kabupaten Bekasi (2016-2021). Kemudian, mendapat amanah pula sebagai Syuriah NU Kabupaten Bekasi, Pengurus Badan Kekeluargaan Masyarakat Bekasi, Dewan Pertimbangan KADIN Kabupaten Bekasi, dan Ketua Umum Yayasan Masjid Al Mujahidin Cibarusah.

Peran lainnya adalah sebagai penggagas dan Ketua Dewan Pembina GSA Foundation (Yayasan Silih Asah Asih Asuh Bekasi), Ketua Dewan Pembina LSM Aliansi Masyarakat Bekasi (2012-2017), Ketua Dewan Pembina LSM Gempal (Gerakan Masyarakat Peduli Alam dan Lingkungan), Ketua Panitia Pemilihan Daerah (PPD II) Pemilu Legislatif 1999; Direktur Eksekutif Asosiasi Forum Investor Bekasi; dan penggagas berdirinya Bekasi Industri Society Association atau Lembaga Kemitraan Masyarakat Industri Bekasi yang bertujuan mengembangkan kerjasama dan hubungan baik antarpemangku kepentingan di lingkungan masyarakat industri di Bekasi.

Foto: https://www.facebook.com/moonmf1203/

Guntur Elmogas

$
0
0
Situn, begitu istilah orang Bekasi bagi salah satu bentuk sastra lisan gabungan antara puiSI dan panTUN. Situn merupakan puisi yang dibuat dalam konsep pantun, namun tidak memiliki sampiran alias seluruhnya berupa isi (pingpoint.co.id). Adapun orang yang mempopulerkannya tiada lain adalah Mohamad Guntur. Pria yang lahir di Bekasi pada 8 Maret 1954 ini dikenal juga dengan nama Guntur Elmogas atau Kong Guntur Elmogas. Penambahan nama Elmogas di belakang nama aslinya menurut Winata (2017) hanya sebagai “pemanis” agar terdengar lebih keren dan macho.

Apabila sedang pentas, situn-situn ciptaan Kong Guntur dilantunkan dalam bentuk nyanyian sambil mengenakan pakaian khas Bekasi. Isi situnnya bersifat jenaka, aktual, kekinian, spontan, dan lain sebagainya yang dapat membuat orang seperti terhipnotis sekaligus terhibur bila mendengarnya. Baginya situn haruslah seperti itu (menghibur). Dia merasa gagal apabila yang mendengar atau membaca tidak terhibur.

Kong Guntur mulai berkarya lewat situn sekitar tahun 2005. Sejak itu, dalam sehari dia bisa membuat situn antara lima hingga sepuluh buah. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila saat ini jumlah situn yang telah dibuatnya mencapai sekitar 164.000 buah. Seluruhnya dibuat berdasarkan tema-tema kehidupan sehari-hari yang luwes dan tidak terbatas hanya pada Bekasi dan permasalahannya saja, mulai dari nasihat orangtua pada anak-anaknya hingga pemilihan kepala daerah.

Sebagian dari situn tadi telah dibukukan menjadi enam buah jilid dengan tebal masing-masing hingga 300-an halaman. Selain itu, juga telah dipentaskan dalam bentuk pentas tunggal maupun berkelompok dengan Group El Borus (Bocah gampang DiuRUS) yang beranggotakan 8-10 orang pemegang peralatan musik, seperti jimbe, ukulele, dan lain sebagainya. Mereka manggung di mana saja, mulai dari sekolah, gedung pemerintahan, pusat perbelanjaan, hingga ke pinggir kali dalam acara hajatan (sunatan, perkawinan dan lain sebagainya) (Suyitno, 2017)

Bahkan untuk salah satu pentas tunggalnya, Kong Guntur yang saat ini telah menjadi salah satu “ikon” Bekasi, pernah mendapat penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI) sebagai pelantun terlama dalam pembacaan situn selama 8 jam 8 menit. Penghargaan diberikan oleh pengurus MURI, Yusuf Ngadri, pada pada hari Rabu 21 Agustus 2013 pukul 23.05 WIB setelah Kong Guntur menyelesaikan pembacaan situnnya.

Dengan keberhasilannya meraih rekor MURI ini Kong Guntur berharap akan semakin banyak generasi muda menekuni bidang kebudayaan, khususnya puisi-pantun. Sebab, anak-anak muda Bekasi sekarangkurang punya perhatian pada seni dan bahasa lokal. Mereka lebih suka menggali bahasa dan seni dari budaya lain.

Sumber:
“Aktivitas Budaya Menelisik Sastra Khas Bekasi”, diakses dari https://pingpoint.co.id/berita/akti vis-budaya-menelisik-sastra-khas-bekasi/, tanggal 18 Agustus 2019.

Winata, Gitafee. 2017. “Mari Lestarikan Situn dan Ikut Jejak Kong Guntur Elmogas”, diakses dari https://www.kompasiana.com/reragitaa12/58688d6e1fafbd361ca0876e/mari-lestarikan-situn -dan-ikut-jejak-kong-guntur-elmogas, tanggal 19 Agustus 2019.

Suyitno. PS. 2017. “Kong Guntur Elmogas, Menyapa Indonesia dari Bekasi”, diakses dari http:// indikatornews.com/kong-guntur-elmogas-menyapa-indonesia-dari-bekasi/, tanggal 19 Agustus 2019.

Nalih

$
0
0
Nalih adalah wadah sejenis bakul yang mempunyai pegangan berfungsi sebagai tempat penyimpanan sementara hasil kebun atau ladang seperti lada dan kopi. Wadah ini dibuat dari anyaman bambu atau rontan yang dibentuk sedemikian rupa dengan memakai pegangan untuk dapat diangkat dengan tangan. Pada masyarakat pedesaan Lampung Nalih umumnya dibuat sendiri dan bukan dibeli di pasar tradisional.

Sastra Lampung

$
0
0
Sastra Lampung adalah sastra yang menggunakan bahasa Lampung sebagai media kreasi, baik sastra lisan maupun sastra tulis. Sastra Lampung memiliki kedekatan dengan tradisi Melayu yang kuat dengan pepatah-petitih, mantera, pantun, syair, dan cerita rakyat.

A. Effendi Sanusi (1996) yang dikutip oleh www.wikipedia.org, menyatakan bahwa khasanah sastra lisan di daerah Lampung dapat diklasifikasikan menjadi lima jenis, yaitu:

1. Sesikun/sekiman (peribahasa)
Sesikun/sekiman adalah bahasa yang memiliki arti kiasan atau semua berbahasa kias. Fungsinya sebagai alat pemberi nasihat, motivasi, sindiran, celaaan, sanjungan, perbandingan atau pemanis dalam bahasa.

2. Seganing/teteduhan (teka-teki)
Seganing/teteduhan adalah soal yang dikemukakan secara samar-samar, biasanya untuk permainan atau untuk pengasah pikiran.

3. Memmang (mantra)
Memmang adalah perkataan atau ucapan yang dapat mendatangkan daya gaib: dapat menyembuhkan, dapat mendatangkan celaka, dan sebagainya.

4. Warahan (cerita rakyat)
Warahan adalah suatu cerita yang pada dasarnya disampaikan secara lisan; bisa berbentuk epos, sage, fabel, legenda, mite maupun semata-mata fiksi.

5. Puisi
Puisi adalah bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan seseorang secara imajinatif dan disusun dengan semua kekuatan bahasa dengan pengonsentrasikan struktur fisik dan struktur batin. Menurut fungsinya, puisi di daerah Lampung dapat dibagi lagi menjadi lima bagian, yaitu: (a) bebandung; (b) ringget/pisaan; (c) Paradinei/paghadini, puisi yang biasa digunakan dalam upacara penyambutan tamu pada saat berlangsungnya upacara perkawinan. Paradinei/paghadini diucapkan jurubicara masing-masing pihak, baik pihak yang datang maupun yang didatangi. Secara umum, isi paradinei/paghadini berupa tanya jawab tentang maksud atau tujuan kedatangan; (d) Pepaccur/pepaccogh/wawancan adalah puisi tradisi Lampung yang berisi nasihat atau pesan-pesan setelah pemberian adok (gelar adat) kepada bujang-gadis sebagai penghormatan/tanda telah berumah tangga dalam pesta pernikahan. Pemberian adok (gelar adat) dilakukan dalam upacara adat yang dikenal dengan istilah butetah atau istilah lainnnya, ngamai dan nginai adek, ngamai ghik ngini adok, dan kabaghan adok atau nguwaghko adok; dan (e) pantun/segata/adi-adi adalah salah satu jenis puisi tradisi Lampung yang lazim digunakan dalam acara-acara yang sifatnya bersukaria, misalnya dalam beberapa acara muda mudi (nyambai, miyah damagh, kedayek).

Pulau Kubur

$
0
0
Pulau Kubur merupakan salah satu pulau di Teluk Lampung yang secara administratif terletak di wilayah Kecamatan Telukbetung Barat. Untuk mencapai ke lokasi, dari Pulau Pasaran yang berjarak sekitar 3 kilometer membutuhkan waktu 20-30 menit menggunakan perahu motor. Selain itu, dapat pula ditempuh melalui Pantai Puri Gading ataupun Pantai Tirtayasa juga menggunakan perahu motor dengan waktu tempuhnya sekitar 10 menit. Pulau Kubur memiliki luas sekitar 5 hektar dengan kondisi tanpa dihuni oleh manusia sehingga masih terlihat alami.

Pulau yang hanya ramai saat ada libur nasional atau keagamaan ini memiliki daya tarik luar biasa khususnya dalam hal panorama alam serta suasana alami di sekitarnya. Pengunjung akan merasakan hembusan angin sepoy-sepoy di antara rimbunan pepohonan yang menghiasi pulau. Sementara di bagian pesisir akan terlihat ikan-ikan kecil berkeliaran di sela-sela karang. Pulau ini dapat dijadikan sebagai alternatif belibur bagi pengunjung yang membutuhkan suasana hening dan tenang.

Foto: https://wisato.id/wisata-alam/pulau-kubur-lampung/

Pantai Puri Gading

$
0
0
Pantai Puri Gading terletak di jalan RE. Martadinata, kelurahan Sukamaju, Kecamatan Telukbetung Barat, Lampung. Letaknya bersebelahan dengan Pantai Duta Wisata dan Pantai Tirtayasa. Untuk dapat mencapai pantai ini relatif mudah, karena hanya berjarak sekitar 14 kilometer dari Kota Tanjungkarang atau 20 menit perjalanan dengan menggunakan kendaraan pribadi maupun umum.

Daya tarik dari pantai ini, selain pemandangan alamnya yang indah juga memiliki fasilitas yang relatif lengkap, seperti: tempat penyewaan peralatan olahraga air (kano, banana boat, jetski serta perahu khusus yang disediakan untuk perjalanan ke Krakatau); kios-kios penjual makanan dan cinderamata; shelter dan lain sebagainya.

Sayur Daun Kelor-Labu Peringgi

$
0
0
Bahan
200 gram daun kelor
100 gram labu peringgi
Santan dari 1/3 butir kelapa
Bawang merah dan bawang putih
Cabe merah, daun salam, laos
Garam dan gula pasir secukupnya

Cara membuat
Jerangkan santan dan bumbu yang diiris sampai mendidih, lalu masukkan labu. Kalau sudah empuk masukkan daun kelor. Masak sebentar lalu diangkat.

Pepes Ikan Mumbang Kelapa

$
0
0
Bahan
200 gram ikan kecil-kecil (lambak)
100 gram mumbang kelapa (cengkir kelapa)
Cabe, bawang merah, bawang putih
Gula, garam dan kunyit
Asam jeruk dan kemiri sedikit

Cara membuat
Ikan dibuang kepalanya, lalu dicuci. Bumbu digiling, kecuali daun kunyit bahan-bahan diaduk jadi satu + mumbang kelapa (diambil isi dalamnya) dipotong-potong lalu diaduk diatas daun, terus dikukus. Setelah masak dipanggang dengan arang.

Taman Kupu-kupu Gita Persada

$
0
0
Sesuai dengan namanya, taman ini merupakan tempat penangkaran berbagai jenis kupu-kupu, terutama yang berendemi di Pulau Sumatera, khususnya Provinsi Lampung. Adapun lokasinya berada di Jalan Wan Abdul Rahman, Desa Tanjung Gedong, Kecamatan Kemiling. Untuk mencapainya, dari Kota Tanjungkarang yang berjarak sekitar 21 kilometer hanya membutuhkan waktu lebih-kurang 20-25 menit menggunakan kendaraan pribadi atau angkutan umum. Adapun rutenya (apabila menggunakan kendaraan pribadi) dari Jalan Pagar Alam menuju Beringin Raya menyeberangi fly over Kemling. Selanjutnya, dari Kemiling dilanjutkan ke arah Sumber Agung. Di tempat inilah Taman Kupu-kupu Gita Persada berada.

Taman yang menjadi kebanggaan warga Lampung ini terwujud atas prakarsa pasangan suami-istri Anshori Djausal dan Herawati Soekardi pada sekitar tahun 1997. Gagasan pendiriannya sendiri berawal dari keprihatinan mereka terhadap kerusakan hutan di wilayah Sumatera akibat eksploitasi hutan yang berlebihan dan berdampak pada terganggunya ekosistem. Gita Persada merupakan wadah bagi konservasi lebih dari 140 spesies kupu-kupu di Sumatera yang terancam punah akibat eksploitasi tadi.

Fasilitas Taman Kupu-kupu Gita Persada
Memasuki area taman terdapat vegetasi berbagai jenis bunga serta pepohonan yang sengaja dibiarkan tumbuh secara alami agar dapat menarik kehadiran kupu-lupu. Di antara rimbunan pepohonan dengan beberapa anak tangga serta jalan setapak tersebut terdapat beberapa fasilitas penunjang taman sebagai area rekreasi, di antaranya: (1) museum berbentuk rumah panggung kayu. Pada beberapa bagian tertentu rumah dipajang spesies kupu-kupu awetan yang dibingkai serta diberi nama sesuai dengan jenisnya. Selain itu, ada pula kerajinan tangan berbentuk kupu-kupu terbuat dari kayu yang dapat dijadikan sebagai souvenir atau buah tangan; (2) tempat penangkaran ratusan jenis kupu-kupu. Di tempat ini pengunjung dapat melihat metamorfosis dari mulai ulat, kepompong, dan akhirnya menjadi seekor kupu-kupu yang indah; (3) rumah berbahan kayu dan bambu yang berada di atas sebuah pohon besar sebagai tempat untuk menikmati pemandangan di sekitar; (4) taman bermain anak yang menyediakan berbagai macam wahana permainan, seperti ayunan, perosotan, dan lain sebagainya; (5) kafetaria yang menyediakan berbagai macam makanan dan minuman; (6) dan fasilitas penunjang layaknya tempat wisata lain yaitu area parkir, toilet, musholla, dan lain sebagainya.

Bagaimana? Tertarik membawa keluarga atau pasangan Anda mengunjungi sebuah taman yang dipenuhi ratusan atau bahkan ribuan kupu-kupu beraneka warna sambil menikmati pemandangan alam di sekitarnya? Bila tertarik, Anda dapat berkunjung ke taman ini antara pukul 08.00 hingga 17.00 WIB dengan biaya masuk hanya sebesar Rp.10.000 per orang.

Foto: https://destinasipariwisata.com/wisata-taman-kupu-kupu-gita-persada/

Sa’duddin

$
0
0
Sa’duddin adalah Bupati Bekasi periode 2007-2012 dan anggota DPR-RI 2014-2019 mewakili Jawa Barat VII dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera. Sa’duddin adalah anak ke-5 dari pasangan H. Marzuki Saat dan Hj. Aisyah yang lahir di Bekasi pada tanggal 2 Juni 1961. Semenjak kecil, oleh kedua orang tua Sa’duddin dididik dalam lingkungan keagamaan yang cukup kuat. Dia disekolahkan di Pondon Pesantren Attaqwa di bawah binaan KH Noer Alie, salah seorang pahlawan nasional dari Bekasi. Melalui tempaan kedisip-linan dari KH Noer Ali inilah, Sa’duddin tumbuh menjadi seorang yang sangat taat dalam beribadah yang mendasari setiap gerak langkahnya dalam menjalani kehidupan.

Selepas menamatkan pendidikan di Pesantren Attaqwa, Sa’duddin memperdalam ilmu agamanya di Madrasah Aliyah YAPINK di bawah asuhan KH. Dawam dan khususnya ilmu tasyawuf dengan KH. Mahfud sehingga konsep-konsep dalam ilmu tersebut, seperti muhasabah (introspeksi diri), mutaba’ah (menghakimi diri), mujahadah (bersemangat tinggi), dan murokobah (senantiasa merasa diawasi) selalu mewarnai segenap aktivitasnya dalam menjalankan profesinya di kemudian hari.

Tamat Aliyah YAPINK Sa’duddin mencoba mengabdikan diri sebagai guru di sebuah Madrasah Diniyah yang berlokasi di kampung halamannya sendiri. Genap satu tahun mengajar Sang Ayah mengirimnya ke sebuah pondok pesantren di daerah Serang, Banten, guna memperdalam ilmu Al Quran serta Kitab Kuning pada KA As’ari dan KH Mukit. Dan ternyata, bukan hanya ilmu agama saja yang di dapat, melainkan juga pasangan hidup bernama Cucu Sugiarti yang sekarang telah menyelesaikan Program Doktoral pada Studi Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup di Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta.

Setelah lulus ponpes dan menikahi Cucu Sugiarti, Sa’duddin “nekat” meneruskan pendidikannya ke jenjang perguruan tinggi mengambil program Diploma tiga. Hasilnya, tentu saja dia harus membanting tulang demi menghidupi keluarga kecilnya sambil berusaha menamatkan pendidikannya. Beragam usaha pun dilakoni demi kelangsungan hidup keluarga, seperti mengajar, berdagang koran ke kampung-kampung dengan sistem konsinyasi, hingga berjualan buku dan majalah ke sekolah-sekolah.

Beberapa tahun kemudian, merasa tidak puas hanya memperoleh gelar BA, dia meneruskan lagi ke Program Strata satu di IAIN Serang hingga selesai tahun 1990 dan pulang kembali ke Bekasi (memenuhi permintaan orangtua) guna mengamalkan ilmunya di kampung halaman dengan mengajar sebagai guru madrasah di Kampung Gabus Pabrik, Tambun Utara.

Berbekal semangat, kesungguhan hati, dan keseriusan terhadap pembangunan bidang pendidikan di daerah Bekasi, Sa’duddin melanjutkan sekolah lagi ke jenjang pascasarjana di STIE IPWI Jakarta hingga lulus tahun 1999. Bahkan ketika terjun ke dunia politik dan berhasil menjabat sebagai Bupati Bekasi, dia tetap bersekolah dan meraih gelar doktor bidang ilmu pendidikan pada Universitas Negeri Jakarta pada tahun 2009 dengan disertasi berjudul “Pengaruh Komunikasi Interpersonal Kerja Tim dan Kepemimpinan Terhadap Produktivitas Kerja Aparat Pejabat Eselon II di Pemerintahan Daerah Kabupaten Bekasi”.

Ketertarikan pada dunia politik berawal ketika dia mencalonkan sebagai anggota DPRD Kabupaten Bekasi. Selama dua periode dia terpilih dan bahkan berhasil menduduki jabatan sebagai Ketua DPRD Kabupaten Bekasi periode 2004. Selesai masa jabatan sebagai anggota legislatif daerah, tahun 2007 dia maju menjadi calon Bupati dari Partai Keadilan Sejahtera menggandeng Darip Mulyana sebagai wakilnyaParipurna Istimewa Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Bekasi tanggal 20 April 2007.

Selama menjabat ada tiga pilar yang dicanangkannya dalam membangun Bekasi, yaitu SDM yang berkualitas dan agamis, Pembangunan agro-bisnis, serta pembangunan industri yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Baginya, kunci dari pemajuan Bekasi dengan membangun sumber daya manusia berkualitas adalah pendidikan sehingga dalam APBD Bekasi anggaran bagi pendidikan menjadi prioritas yang utama.

Selepas masa jabatan sebagai bupati berakhir, Sa’duddin masuk lagi ke dunia pendidikan dengan mendirikan Yayasan Thariq Bin Ziyad yang mengelola Sekolah Islam Terpadu meliputi TK-IT, SD-IT, SMP-IT, dan SMA-IT. Namun, masuknya Sa’duddin ke dunia pendidikan ini hanya bersifat sementara karena pada tanggal 23 September 2016 bersama Ahmad Dhani balik lagi ke panggung politik dengan mendaftarkan diri ke Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Bekasi sebagai calon bupati dan wakil bupati periode 2017-2022.

Foto: https://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Sa%27duddin,_2017.jpg

Museum Perjuangan Bogor

$
0
0
Museum Perjuangan (Perdjoangan) Bogor berada di Jalam Merdeka Nomor 56, Kelurahan Cibogor, Kecamatan Bogor tengah, Kota Bogor. Sesuai dengan namanya, museum ini ditujukan untuk mewariskan semangat dan jiwa juang serta nilai-nilai perjuangan pada generasi muda dalam bentuk penyimpanan benda-benda bersejarah yang dipergunakan para pejuang Bogor dalam mempertahankan kemerdekaan (id.wikipedia.org). Adapun pendiriannya menurut disparbud.jabarprov.go.id berawal dari musyawarah para tokoh pejuang Karesidenan Bogor yang digagas oleh Mayor Ishak Djuarsah, Pekumil Daerah Res. Inf 8 Suryakancana Devisi III Siliwangi pada tanggal 10 November 1957 di rumah Bupati Bogor saat itu RE. Abdoellah.

Hasil musyawarah, disepakati untuk memanfaatkan sebuah bangunan di Jalan Cikeumeuh No. 20 (sekarang Jalan Merdeka) sebagai museum (Ariesmunandi, 2017). Bangunannya sendiri dahulu adalah milik seorang pengusaha Belanda bernama Wilhelm Gustaf Wissner yang dibangun sekitar tahun 1879. Oleh sang pemilik bangunan difungsikan sebagai gudang komoditas pertanian untuk dikirim ke Batavia sebelum diekspor ke berbagai negara di Benua Eropa.

Ketika Wissner kembali ke negaranya, tahun 1938 bangunan dialihfungsikan sebagai kantor perusahaan dan gedung persaudaraan Parindra (Partai Indonesia Raya) cabang Bogor dan kemudian diberi nama Gedung Persaudaraan. Pada masa pergerakan gedung sempat pula dimanfaatkan sebagai tempat aktivitas pemuda di bawah panji Gerakan Pemuda Kepanduan Indonesia (Pandu Suryawirawan). Saat Jepang berkuasa gedung menjadi tempat penyimpanan barang-barang sitaan milik interniran Belanda. Kemudan, antara tahun 1945-1950 secara silih berganti pernah menjadi Kantor Komite Nasional Indonesia, Kantor BP3, Markas Pejuang, Call Sigen RRI Perjuangan Karesidenan Bogor, GABSI Cabang Bogor, Kantor Dewan Perdjoangan Karesidenan Bogor, Kantor Pemerintah sementara Kabupaten Bogor dan markas Laskar Rakyat Bambu Runcing (situsbudaya.id). Selanjutnya, gedung dimiliki seorang pedagang keturunan Arab bernama Umar bin Usman Albawahab melalui surat Eigendom Verponding No. 4016. Oleh Umar gedung difungsikan sebagai balai pertemuan pemuda rakyat dan bahkan Sekolah Rakyat. Dan, baru tanggal 17 Maret 1958 diserahkan sepenuhnya kepada Yayasan Museum Perdjoangan Bogor melalui akta notaris J.L.L. Wonas di Bogor.

Sebagai catatan, yang diserahkan Albawahab adalah lahan seluas sekitar 650 meter persegi beserta sebuah bangunan di dalamnya dengan ukuran luas sekitar 515 meter persegi (situsbudaya.id). Ariesmunandi, 2017, mencatat bahwa bangunan yang kemudian dijadikan sebagai museum ini hingga tahun 1981 belum pernah mengalami renovasi. Bangunan baru direnovasi antara 18 September 1981 hingga Juni 1987 dengan dana sekitar 80 juta rupiah dari hasil penggalangan.

Koleksi Museum Perjuangan Bogor
Museum Perjuangan Bogor berada dalam sebuah bangunan berlantai dua berisi benda-benda bersejarah yang digunakan oleh para pejuang terutama pada masa revolusi fisik 1945. Lantai dasar berisi koleksi: senjata modern (pistol, senapan, granat, ranjau, senapan mesin, mortir dengan berbagai kaliber); senjata tradisional berupa bambu runcing yang pernah digunakan saat perang kemerdekaan; dokumen-dokumen; mata uang zaman VOC; lukisan; dan beberapa diorama yang menggambarkan pertempuran Bojong Kokosan, pertempuran di Kota Paris, pertempuran Maseng, pertempuran di Bantammer Weg (Jalan Kapten Muslihat) tahun 1945, dan pertempuran Ceplang 1945.

Sementara di lantai dua terdapat koleksi: senjata tradisional berupa golok, kujang; katana, pedang buatan Belanda dan lain sebagainya yang disimpan berjejer dalam lemari kaca; mesin ketik tua; pesawat telepon; mesin jahit; helmet; pakaian yang pernah dipakai para pejuang ketika berperang; peralatan stensil yang pernah digunakan membuat surat serta mencetak edaran bagi para pejuang; daftar nama para pejuang yang gugur; sejumlah bendera merah putih yang pernah diusung para pejuang pada zaman perang kemerdekaan; dan panggung teater guna memutar film-film tentang kemerdekaan.

Khusus untuk pakaian, ada beberapa diantaranya yang masih bernoda darah sebagai tanda pernah dikenakan ketika berperang melawan penjajah. Di antara pakaian-pakaian tersebut ada baju peninggalan TB Muslihat (gugur di Kota Bogor) yang terpajang di sudut kanan museum berdekatan dengan panggung teater dan seragam, helmet, serta tongkat Bupati Bogor periode 1950-1958, RE Abdullah. Selain itu, ada pula kain penutup jenazah berwarna merah-putih yang dahulu pernah digunakan PMI membalut jenazah pejuang yang gugur di medan perang.

Bagaimana? Anda tertarik mengunjungi Museum Perdjoangan Bogor guna menambah pengetahuan tentang sejarah perjuangan rakyat Bogor merebut dan mempertahankan kemerdekaan? Apabila berminat, museum yang mempunyai program bimbingan, pameran keliling, workshop, dan seminar ini buka setiap hari dari pukul 08.00-16.00 WIB dengan harga tiket masuk hanya sebesar Rp.3.000,-. Adapun fasilitas yang ada di museum, di antaranya: ruang pamer tetap, ruang auditorium, ruang diskusi publik, galeri merdeka, ruang penyimpanan koleksi, ruang administrasi, dan mushola.

Untuk mencapai lokasi pun tergolong mudah. Bila menggunakan kereta api, dari stasiun Bogor hanya berjarak sekitar 100 meter menjuju ke arah Jembatan Merah. Dan, bila dari terminal Baranangsiang dapat menggunakan angkutan kota nomor 03 berwarna merah dan dilanjut dengan nomor 01 menuju Jalan Merdeka. (gufron)

Sumber:
“Museum Perjuangan Bogor”, diakses dari http://www.disparbud.jabarprov.go.id/wisata/dest-det.php?id=397&lang=id, tanggal 8 Oktober 2019.

“Museum Perjuangan Bogor”, diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Museum_Perjuangan_Bogor, tanggal 8 Oktober 2019.

Ariesmunandi. 2017. “Mengintip Sejarah di Museum Perjuangan Bogor”, diakses dari https://www.hipwee.com/list/mengintip-sejarah-di-museum-perjuangan-bogor/, tanggal 16 Oktober 2019.

“Museum Perjungan Bogor”, diakses dari https://situsbudaya.id/museum-perjuangan-bogor/, tanggal 16 Oktober 2019.










SDN Cibiru 08

Kalabu

$
0
0
(Cerita Rakyat Sulawesi Tengah)

Alkisah, pada zaman dahulu ada sebuah daerah bernama Lobu yang berada di lereng gunung sebelah barat Palu. Desa ini dipimpin oleh seorang raja arif dan bijaksana sehingga rakyat dapat rukun dan damai. Dalam hidup keseharian, seluruh penduduk menggantungkan sepenuhnya pada tanah di sekitar lereng dengan bercocok tanam pertanian lahan kering alias berladang. Mereka tidak pernah kekuarangan makanan, kecuali bahan-bahan tertentu yang diambil dari laut seperti ikan dan garam.

Suatu hari, datanglah empat orang dari Tomene (Mandar) untuk berdagang garam. Mereka tidak hanya menerima uang sebagai imbalan atas garam yang diberikan, tetapi juga hasil pertanian ladang dan bahkan kain sarung hasil tenunan. Sebelum berdagang pada kalangan orang kebanyakan, tentu saja mereka menawarkan terlebih dahulu pada penguasa Lobu yang dalam hal ini adalah Raja Lobu.

Sang raja yang kebetulan sedang tidak mempunyai uang tetapi sangat membutuhkan garam kemudian menawarkan kain sarung terbuat dari kulit kayu sebagai barternya. Namun kain itu belumlah selesai ditetun. Salah seorang pedagang yang garamnya akan dibarterkan sempat terdiam sejenak. Setelah berpikir agak lama akhirnya Sang pedagang mensetujui dengan catatan raja harus menyelesaikan pengerjaan sarungnya. Sarung akan diambil saat dia datang lagi untuk berdagang.

Beberapa waktu setelahnya, istri Raja Lobu mengandung dan melahirkan seorang anak. Semenjak lahir sang anak tidak pernah berhenti menangis sehingga membuat kedua orang tua menjadi masygul karena khawatir akan terjadi hal-hal tidak diinginkan. Berbagai macam cara telah mereka lakukan, tetapi Sang bayi tetap saja menangis. Bahkan, Sang raja juga telah menitah salah seorang pembantunya mencari dukun-dukun sakti di sekitar kerajaan, namun tidak seorang pun dapat menghentikan tangis Sang bayi.

Oleh karena tangisan tak kunjung berhenti, lama-kelamaan kekhawatiran Sang ibu berubah menjadi kejengkelan. Semenjak bayi lahir, dia beserta seluruh isi rumah tidak dapat tidur nyenyak. Setiap saat selalu aja terdengar tangisan bayi yang terkadang sangat keras. Walhasil, karena telah habis akal dia pun geram dan menghardik Sang bayi dengan sebutan “nosonggo karatu pombalua” atau wadah terbuat dari tembaga yang biasa digunakan oleh kaum bangsawan sebagai tempat menaruh bayi.

Tanpa disangka, hardikan Sang ibu tadi langsung membuat bayi terdiam. Namun, bersama terdiamnya Sang bayi, hujan turun dengan sangat lebat disertai guntur dan likat yang sambar-menyambar disertai tiupan angin kencang. Akibatnya, bukan hanya seisi rumah menjadi terjaga, melainkan juga seisi kampung. Mereka tidak menyangka akan datang cuaca buruk bukan di saat sedang musim penghujan.

Keesokan hari, setelah beredar “bisik-bisik tetangga”, barulah mereka sadar bahwa cuaca buruk tadi malam adalah akibat umpatan istri raja pada bayinya yang tidak mau berhenti menangis. Bahkan, akibat dari umpatan itu, kini sang bayi tidak lagi berada dalam tempat buaian melainkan di atas karatu pombalua yang secara ajaib tiba-tiba saja ada di sana. Karatu pombalua tadi bukanlah benda sembarangan. Sebab, setiap malam Jumat selalu memuntahkan benda-benda kecil menyerupai kalung.

Pedagang garam yang mendengar berita Raja Lobu memiliki sebuah benda ajaib, segera bergegas menemui. Saat bertemu, pedagang langsung menagih hutang atas garam yang telah diberikan. Namun, ketika kain sarung yang telah ditenun sempura diserahkan, pedagang dengan tegas menolak. Dia menginginkan karatu pombalua sebagai ganti garam yang telah diberikan.

Permintaan tersebut tentu saja ditolak Raja Lobu yang menganggap bahwa karatu pombalua telah menjadi benda pusaka kerajaan. Sebagai ganti, dia lalu menawarkan sejumlah babi yang berusia masih muda. Ketika mereka tetap menolak, dia menawarkan lagi sejumlah kerbau, kemudian domba, sepasang budak belian, hingga tawaran terakhir berupa tujuh pasang budak belian. Dan, karena tetap memaksa karatu pombalua diserahkan, Raja Lobu kemudian meminta waktu untuk memikirkannya. Sementara Raja Lobu berpikir, para pedagang dipersilahkan menjajakan dagangan di daerah lain.

Sepeninggal para pedagang garam, Raja Lobu segera mengumpulkan orang tua-tua di seantero kerajaan guna mencari jalan keluar agar karatu pombalua tidak beralih tangan. Hingga larut malam mereka saling bertukar pikiran dan baru menjelang subuh dicapailah kesepakatan untuk membuat kalabu. Dalam kepercayaan masyarakat setempat, apabila kalabu dibuat maka seluruh manusia yang berada di sekitarnya akan musnah. Konsekuensi ini tetap ditempuh oleh Raja Lobu dan rakyatnya karena tidak rela menyerahkan karatu pombalua.

Pada hari yang telah disepakati diadakanlah sebuah pesta besar berlangsung selama tujuh hari tujuh malam. Seluruh penduduk desa beserta sejumlah tamu undangan (termasuk para pedagang garam dari Mandar) datang menghadiri pesta. Mereka bersuka-ria sambil menikmati berbagai macam hidangan mewah yang jarang ditemukan pada hari-hari biasa. Khusus bagi pedagang garam, mereka tidak tahu bahwa akan terjadi malapetaka apabila mereka tetap memaksa Raja Lobu menyerahkan karatu pombalua.

Esok harinya, saat pedagang garam datang, Raja Lobu segera memerintahkan bawahannya membuat kalabu beserta sebuah tulang kaki anjing dan kucing. Setelah selesai, diturunkanlah karatu pombalua di depan rumah lalu bagian bawahnya ditabuh menggunakan tulang kaki anjing dan kucing hingga mengeluarkan suara sangat merdu. Sang penabuh adalah tetua kampung yang biasa melaksanakan upacara adat, baik upacaraa lingkaran hidup individu maupun upacara adat lainnya.

Tidak lama kemudian, tanpa diduga-duga kerajaan itu lenyap berganti bebatuan besar yang muncul dari dalam tanah. Seluruh penduduk beserta harta benda mereka hilang tanpa bekas. Hanya ada seorang saja yang berhasil selamat, yaitu si bayi raja yang saat kejadian terlempar jauh hingga ke Desa Sibalaya, dekat Sungai Gumbasa.

Diceritakan kembali oleh Ali Gufron

Sadhu Amar Bharati

$
0
0
Sadhu atau sadu (साधु) adalah istilah bagi petapa yang dalam bahasa India berarti mulia, orang baik, atau orang suci. Sebagai sebuah jalan hidup, seseorang yang memilih menjadi sadhu akan melepaskan semua keterikatan dengan masyarakat, baik secara materi, keluarga, keinginan seksual, maupun segala hal yang bersifat duniawi lainnya (Tiarasari, 2018). Adapun tujuannya adalah untuk mendedikasikan hidup secara spiritual demi mencapai moksa, suatu jenjang kehidupan (caturasrama) yang keempat sekaligus yang terakhir menurut kepercayaan Hindu.

Masih menurut Tiarasari (2008), sadhu secara umum dapat dikategorikan menjadi dua kelompok besar, yaitu: Shaiva Sadhus dan Waisnava Sadhus. Waisnava Sadhus adalah sadhu yang mendedikasikan diri pada Dewa Wisnu, sedangkan Shaiva Sadhus pada Dewa Siwa. Kedua dewa tersebut adalah dua dari tiga dewa utama (Trimurti: Siwa, Brahma, Wisnu) dalam ajaran Hindu. Siwa atau yang bernama lain Jagatpati, Nilakantha, Paramêśwara, Rudra, dan Trinetra adalah dewa pelebur/pemusnah yang mengembalikan manusia dan makhluk hidup lain ke unsurnya menjadi Panca Maha Bhuta (id.wikipedia.org).

Dewa Siwa digambarkan bermata tiga (trinetra) dan bertangan empat yang masing-masing membawa tri wahyudi, cemara, tasbih/genitri, serta kendi. Pada bagian kepala terdapat hiasan ardha chandra (bulan sabit), bagian leher ada ular kobra yang sedang melilit, dan perut dililit ikat pinggang dari kulit harimau. Dewa yang menempati arah tengah dalam pangider Dewata Nawa Sanga ini bersenjatakan padma dengan kendaraan lembu Nandini.

Para sadhu yang mendedikasikan diri bagi dewa Siwa umumnya tampil dalam kesederhanaan dengan pakaian serba oranye safron atau kuning kunyit, rambut gimbal, dan wajah penuh polesan abu suci yang melambangkan kehidupan seorang petapa (sanyasin) sekaligus telah mengalami keterputusan dari hal-hal berbau duniawi. Mereka hidup dalam kemiskinan mutlak dan sepenuhnya bergantung pada kebaikan atau sumbangan orang (bangka.tribunnews.com).

Setiap sadhu membawa atribut masing-masing seperti corong trisula, pedang, tongkat, kerang, senjata dan alat musik yang mencerminkan status mereka. Selain itu, sebagai lambang dedikasi sebagian dari sadhu juga melakukan hal-hal ekstrem yang jarang atau bahkan tidak pernah dilakukan oleh orang kebanyakan. Salah satunya adalah dengan mengangkat lengan selama bertahun-tahun seperti yang dilakukan oleh Amar Bharati.

Amar Bharati adalah orang kebanyakan pada umumnya yang memiliki istri, tiga orang anak, dan pekerjaan tetap (kejadiananeh.com). Namun, sebuah mimpi di sekitar tahun 1970 (yang dia anggap sebagai firasat gaib) membuat jalan hidupnya berubah total. Sejak mendapat firasat tersebut dia memutuskan menjadi seorang sadhu dan mengabdikan diri sepenuh hati kepada Dewa Siwa. Amar kemudian mulai melepaskan atributnya sebagai orang biasa dengan mengenakan pakaian sederhana sambil membawa trisula logam (trishula) kemana pun pergi. Dia juga membiarkan rambut tumbuh gondrong dan gimbal karena tidak pernah mandi lagi.

Sekitar tiga tahun menjalani hidup sebagai sadhu, Amar merasa tidak puas. Menurut Alicia (2018), Amar yakin dirinya masih diliputi oleh kemewahan.dan kesenangan duniawi yang hanya bersifat semu. Oleh karena itu, pada sekitar tahun 1973 dia membuat sebuah keputusan ekstrem untuk terus-menerus tanpa henti mengangkat lengan kanannya di atas kepala. Adapun tujuannya ada yang mengatakan sebagai upaya memisahkan diri dari kesenangan hidup sekaligus wujud pengabdian pada Dewa Siwa Dan, ada pula yang memperkirakan sebagai bentuk kekecewaan sekaligus protes Amar atas terjadinya peperangan dan konflik di dunia (Khoirul, 2018).

Pada masa-masa awal mengangkat lengan, Amar merasakan hal yang “luar biasa”. Mulai dari rasa pegal, kebas, hingga mati rasa karena peredaran darah tidak lancar pernah dialaminya. Namun, seiring berjalannya waktu rasa sakit tersebut hilang bersamaan dengan terhentinya perkembangan tulang beserta otot lengan Amar yang menciut dan kaku pada posisi semi-vertikal di atas kepala (tidak bisa digerakkan lagi).

Saat ini, hanya bagian kuku saja yang masih terus bertumbuh melengkung panjang. Meskipun demikian, di sisi lain Amar telah berhasil membuktikan keimanannya pada Dewa Siwa. Dia mampu melewati siksaan selama puluhan tahun agar dapat mencapai suatu pembebasan diri dari godaan duniawi. Berkat kegigihan dan keteguhan hati mengabdi pada Dewa Siwa, Amar berhasil menempati strata tinggi dalam masyarakatnya.

Sumber:
Alicia, Nesa. 2018. “Amar Bharati, Petapa India Mengangkat Lengan Kanannya Selama 45 Tahun”, diakses dari https://nationalgeographic.grid.id/read/13947159/amar-bharati-petapa-india-mengangkat-lengan-kanannya-selama-45-tahun?page=all, tanggal 10 Oktober 2019.

“Siwa”, diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Siwa, tanggal 10 Oktober 2019.

Tiarasari, Rizkianingtyas. 2018. “Mengenal Sadhu, Orang Paling Suci di India yang Tinggalkan Segala Hal Berbau Duniawi”, diakses dari https://travel.tribunnews.com/2018/07/23/mengenal-sadhu-orang-paling-suci-di-india-yang-tinggalkan-segala-hal-berbau-duniawi?page=3, tanggal 11 Oktober 2019.

“Mengenal Naga Sadhu, Petapa Sakti sekaligus Klan Paling Rahasia dan Misterius India”, diakses dari https://bangka.tribunnews.com/2018/08/07/mengenal-naga-sadhu-petapa-sakti-sekaligus-klan-paling-rahasia-dan-misterius-india?page=3, tanggal 12 Oktober 2019.

“Pertapa India Angkat Tangan selama 45 Tahun Demi Bhaktinya Kepada Dewa Siwa”, diakses dari https://www.kejadiananeh.com/2018/10/pertapa-india-angkat-tangan-selama-45-tahun.html, tanggal 12 Oktober 2019.

Khoirul, Afif. 2018. “Demi Mengabdikan Diri Pada Dewa Siwa Petapa India Ini Terus Mengangkat Lengannya Selama 43 Tahun”, diakses dari https://intisari.grid.id/read/03942614/demi-mengabdikan-diri-pada-dewa-siwa-petapa-india-ini-terus-mengangkat-lengannya-selama-43-tahun?page=2, tanggal 12 Oktober 2019.

Legenda Bau Nyale

$
0
0
(Cerita Rakyat Nusa Tenggara Barat)

Alkisah, zaman dahulu di pantai selatan Pulau Lombok ada sebuah Kerajaan yang diperintah oleh Tonjang Beru, seorang arif dan bijaksana. Dalam kesehariannya Tojang Beru kerap membantu rakyat sehingga seantero negeri pun hidup makmur, aman, dan sentosa. Mereka tidak pernah khawatir menderita kelaparan karena Tojang Beru selalu memberi “subsidi” bagi orang-orang yang tidak mampu atau sedang mengalami kesulitan.

Tojang Beru sendiri memiliki seorang permaisuri nan anggun dan cantik jelita bernama Dewi Seranting. Mereka dikaruniai seorang anak perempuan yang diberi nama Putri Mandalika. Sang putri mewarisi keanggunan dan kecantikan Permaisuri. Parasnya elok rupawan, mata laksana bintang di timur, pipi menyerupai pauh dilayang, dan rambut bagaikan mayang terurai. Sementara dari Sang ayah, dia mewarisi sifat arif dan bijaksana. Oleh kalangan istana dan rakyat kebanyakan dia terkenal ramah dan sopan serta memiliki tutur kata lembut dan santun.

Kemolekan Sang putri rupanya tersohor hingga ke seluruh pelosok Pulau Lombok. Para pangeran dari kerajaan lain (Johor, Lipur, Pane, Kuripan, Daha, dan Beru) menjadi penasaran dan ingin melihatnya. Banyak yang kemudian datang dan setelah berhasil melihat Putri Mandalika mereka menjadi mabuk kepayang dan berhasrat ingin mempersuntingnya. Sayang, mereka harus pulang dengan tangan hampa dan hanya bisa gigit jari. Putri Mandalika menolak seluruh pinangan.

Tetapi tidak seluruh pangeran mau “legowo”. Ada dua orang yang tidak bisa menerima kenyataan. Mereka adalah Pangeran Datu Teruna dari Kerajaan Johor dan Pangeran Maliawang dari Kerajaan Lipur. Ketika pulang lagi ke kerajaan masing-masing Pangeran Datu Teruna mengutus Arya Bawal dan Arya Tebuik untuk melamar kembali dengan ancaman jika ditolak Kerajaan Tojang Beru akan dihancurkan. Sementara Pangeran Maliawang mengirim Arya Bumbang dan Arya Tuna dengan ancaman serupa.

Ancaman kedua pangeran tadi tidak ditanggapi oleh Putri Mandalika. Dia tetap menolak dan malah mengusir Arya Bawal dan Arya Tebuik serta Arya Bumbang dan Arya Tuna. Mereka pulang dan melaporkan penolakan kedua dari Putri Mandalika. Pangeran Datu Teruna yang marah segera melepaskan ajian Senggeger Utusaning, sedangkan Pangeran Maliawang meniup Senggeger Jaring Sutra. Kedua ajian ini rupanya dapat mempengaruhi pikiran Putri Mandalika. Dia tidak dapat makan, telihat lesu, dan sulit tidur nyenyak sehingga beberapa waktu kemudian badan menjadi kurus kering layaknya orang sakit.

Melihat kondisi Sang putri yang kian hari kian merana, seisi negeri turut berduka. Sebagian dari mereka ada mencoba mengkaitkannya dengan lamaran-lamaran yang ditolak Sang Putri. Namun mereka tidak berani bertanya karena Putri Mandalika selalu menolak untuk bicara. Sang Raja dan Permaisuri juga tidak dapat berbuat banyak. Mereka hanya dapat berdoa agar anak semata wayang dapat kembali seperti sedia kala.

Di dalam hati Putri Mandalika sendiri sebenarnya berkecamuk berbagai macam pemikiran. Salah satunya adalah jika waktu itu menjatuhkan pilihan pada salah seorang pangeran, kemungkinan akan menimbulkan malapetaka bagi negeri karena pangeran lain marah dan menyatakan perang. Untuk mengatasi kegundahan hati dan mencari jalan keluar dia lalu bersemedi memohon bantuan Yang Kuasa.

Dalam semedinya, Sang putri mendapat bisikan gaib agar mengundang seluruh pangeran yang melamarnya untuk bertemu tanggal 20 bulan 10 Sasak sebelum fajar menyingsing. Esok harinya, dia memerintah kurir kerajaan untuk menyampaikan undangan pada para pangeran. Mereka diminta datang bersama seluruh rakyatnya di sebuah tempat yang telah ditentukan, yaitu di Pantai Kuta. Adapun maksud dan tujuannya masih dirahasiakan dan baru akan diungkapkan setelah seluruh pangeran berkumpul.

Pada hari yang telah ditentukan, menjelang fajar menyingsing Putri Mandalika datang dengan diusung tandu berlapiskan emas. Tepat di belakang Sang Putri ada rombongan prajurit beserta penghuni istana. Mereka berjalan menuju sebuah onggokan batu besar yang membelakangi laut lepas. Selanjutnya, Sang putri turun dari tandu dan berjalan ke arah puncak onggokan batu. Saat berjalan tersebut, para hadirin hanya dapat terpana menyaksikan kecantikan dan kemolekan Putri Mandalika yang dibalut oleh gaun berbahan sutra.

Setelah berada di puncak batu, Sang Putri segera berucap lantang namun hikmat menyatakan bahwa dirinya bukanlah milik satu orang saja melainkan seluruh rakyat di Pulau Lombok. Pernyataan ini tentu saja membingungkan, terutama bagi para pangeran yang mendambakan cintanya. Mereka tidak mengerti apa maksud perkataan Putri Mandalika. Apakah artinya Sang putri tidak ingin dinikahi ataukah ada hal lain yang perlu diusahakan untuk mendapatkannya?

Saat hadirin bingung menerka-nerka, tanpa diduga Putri Mandalika menceburkan diri dan langsung ditelan gelombang laut. Orang-orang yang menyaksikan mengira kalau Sang Putri terpeleset hingga jatuh ke laut. Namun, setelah ditunggu sekian lama tidak ada tanda-tanda kemunculannya. Tidak lama kemudian, tepat di lokasi jatuh Sang Putri muncul ribuan binatang kecil yang oleh masyarakat setempat biasa disebut sebagai nyale. Nyale adalah sejenis cacing laut yang biasa disajikan sebagai salah satu menu makanan orang Lombok.

Kehadiran ribuan nyale tersebut oleh masyarakat dianggap sebagai jelmaan Putri Mandalika. Oleh karena itu, tahulah mereka apa maksud perkataan Putri Mandalika tentang dirinya yang akan menjadi milik semua orang. Mereka kemudian berlomba-lomba menangkapnya. Dan, seiring berjalannya waktu, proses penangkapan nyale menjadi sebuah tradisi yang dilaksanakan pada bulan dan tanggal tertentu.

Diceritakan kembali oleh Gufron

Putri Kemang

$
0
0
(Cerita Rakyat Daerah Bengkulu)

Di kalangan orang Serawai ada sebuah cerita berjudul Putri Kemang. Sang Putri dikisahkan memiliki sifat seperti seorang laki-laki. Hobinya berburu dan memancing ikan di sungai-sungai yang berada jauh di dalam hutan. Hal ini tentu tidak sesuai dengan statusnya sebagai putri seorang raja yang umumnya dituntut harus tampil anggun dan lemah lembut di hadapan orang banyak.

Sifat kelaki-lakian Sang putri justru membuat Baginda Raja senang. Dia bahkan mendidik layaknya seorang prajurit dengan berlatih pedang, memanah, serta menombak. Walhasil, Sang Putri pun tumbuh menjadi seorang perempuan yang mandiri, kuat, pantang menyerah, dan bermental baja.

Suatu hari dia ingin berburu rusa. Berbekal sebilah pedang, sebatang tombak, dan seekor anjing buru dia masuk ke hutan saat matahari mulai bersinar. Namun karena binatang yang dicari sulit ditemukan, area perburuan pun semakin jauh ke tengah hutan melewati rimbunan pepohonan, perbukitan, dan bahkan menyeberangi sungai-sungai besar. Baru menjelang petang dia berjumpa dengan seekor binatang besar dengan tanda belang di kakinya. Binatang tadi lalu dipanah tetapi meleset dan malah melarikan diri hingga dia harus bersusah payah mengejarnya.

Setelah sekian lama berkejaran, tiba-tiba si binatang berhenti di dekat sebatang pohon kemang berukuran besar. Ketika didekati dan akan ditombak ada sebuah suara yang mengatakan agar tidak membunuhnya karena binatang itu adalah harimau penjaga hutan. Sang suara bukanlah berasal dari manusia melainkan pohon kemang tempat si harimau berhenti berlari.

Walau bingung sekaligus penasaran dengan apa yang didengar, Sang putri tetap melanjutkan niat membunuhnya. Pikirnya, daripada mencari binatang lain lebih baik memburu apa yang sudah ada di depan mata. Oleh karena itu, dia lalu memanjat pohon kemang tadi untuk membidik si harimau. Sejurus kemudian, melesatlah sebuah anak panah tepat mengenai jantung si harimau hingga mati seketika.

Namun, ketika akan dikuliti tiba-tiba saja terjadi suatu keanehan. Pohon kemang yang tadi berbicara secara ajaib beralih wujud menjadi seorang pemuda gagah dan tampan. Dia lalu mendekati Sang putri dan mengatakan hal yang sama sewaktu masih berwujud sebatang pohon. Sang putri tidak mengindahkan perkataan pemuda tadi dan bahkan malah mengajaknya ikut berburu.

Sebagai mahkluk penunggu hutan tentu dia tidak dapat pergi begitu saja karena terikat wujud dan lokasi dimana dia berada. Sementara untuk beralih wujud menjadi manusia terlebih dahulu dia harus meubah lingkungan yang dijaganya menjadi sebuah negeri beserta sekumpulan orang di dalamnya. Oleh karena itu, dia tidak dapat menemani Sang Putri mencari pergi ke wilayah lain untuk berburu binatang.

Sang Putri hanya mengangguk-angguk sambil tetap menguliti harimau yang baru saja dipanahnya. Selesai menguliti, dia bergegas pergi. Di lain tempat, dia bertemu seekor kucing hutan. Sang anjing yang mengendus keberadaannya segera berlari mengejar. Namun, secara ajaib kucing hutan tadi membesar hingga belasan kali lipat dari pengejarnya. Akibatnya, anjing Sang Putri balik dikejar, diterkam, dan langsung menjadi santapan.

Melihat kejadian itu tahulah Sang Putri bahwa telah memasuki wilayah terlarang yang biasa dihuni para siluman. Dia kemudian memutuskan mengakhiri perburuan dan kembali ke kerajaan. Agar cepat sampai, dalam perjalanan pulang dia mengambil rute terdekat dengan menyeberang sungai. Tetapi ketika akan menyeberang, datanglah sekumpulan buaya lapar dengan jumlah puluhan ekor. Salah seekor di antaranya kemudian mendekat dan berkata akan memangsa Sang Putri.

Tidak gentar terhadap ancaman buaya, Sang putri menggunakan “siasat Si kancil” dengan mengatakan bahwa tubuhnya cukup untuk seluruh buaya yang ada di sungai itu. Selanjutnya, dia menyuruh para buaya berbaris hingga ke sebarang sungai agar seluruhnya mendapat bagian. Saat buaya berbaris, mulailah Sang Putri melompati mereka satu persatu. Ketika berada pada punggung buaya terakhir dia lalu melompat ke darat dan pergi begitu saja.

Tahun berikutnya Sang Putri kembali lagi ke tempat pertemuannya dengan Putra Kemang. Sesampai di lokasi yang dilihat bukanlah hutan belantara dengan pohon kemang besar sebagai pusatnya, melainkan sebuah negeri nan indah. Heran akan apa yang dilihat, dia bertanya pada salah satu penduduk di sana dan mendapat penjelasan bahwa negeri itu dahulu adalah kerajaan gaib diperintah oleh dewa yang dikutuk menjadi pohon kemang. Sang dewa baru akan terbebas dari kutukan dan menjadi manusia biasa apabila ada orang yang bisa berbicara dengannya.

Mendengar penjelasan tersebut tahulah Sang Putri bahwa pohon kemang yang dulu berbicara dengannya adalah seorang dewa. Oleh karena itu, dia bergegas menuju istana untuk berjumpa dengannya. Singkat cerita, mereka pun bertemu, saling jatuh hati, dan kemudian menikah. Adapun adat yang mereka pilih adalah semendo rajo-rajo atau adat menetap yang memberi kebebasan kedua pasangan untuk memilih tempat tinggal setelah menikah.

Diceritakan kembali oleh Gufron

Naga Sabang dan Raksasa Seulawah

$
0
0
(Cerita Rakyat Daerah Nanggroe Aceh Darussalam)

Alkisah, pada zaman dahulu Andalas masih berbentuk dua buah pulau (barat-timur) yang dipisahkan oleh sebuah selat sempit yang dihuni oleh seekor naga besar bernama Sabang. Pulau bagian timur dikuasai oleh Kerajaan Daru dengan rajanya bernama Sultan Daru, sementara pulau bagian barat oleh Kerajaan Alam dengan rajanya bernama Sultan Alam. Kedua sultan mempunyai sifat bertolak belakang. Sultan Alam adalah raja yang adil dan bijaksana sehingga rakyat di wilayah kerajaannya menjadi maju, makmur, dan sejahtera. Sebaliknya, Sultan Daru adalah seorang kejam yang lalim pada rakyat sendiri serta serakah alias tamak dan tidak puas dengan apa yang telah dimiliki. Dia tidak segan-segan memerintahkan prajuritnya merompak perahu-perahu saudagar hanya untuk mendapatkan harta mereka. Bahkan, untuk memperluas daerah kekuasaan, berkali-kali dia berusaha menyerang Kerajaan Alam namun selalu gagal karena harus berhadapan dengan Naga Sabang yang menguasai selat.

Suatu hari, Sultan Daru memanggil penasihat kerajaan guna mencari orang sakti yang mampu mengalahkan Naga Sabang sehingga dia dapat menyerang Kerajaan Alam. Sang penasihat terkejut mendengar perintah Sultan Daru dan menjelaskan bahwa Naga Sabang adalah penyangga sekaligus perawat pulau yang apabila dibunuh dapat membuat selat menghilang dan kedua pulau menyatu.

Penjelasan dari penasihat tadi rupanya tidak diindahkan. Sultan Daru tetap memintanya mencari siapa saja yang mampu menaklukkan Naga Sabang. Oleh karena itu, Sang penasihat terpaksa memberitahu bahwa ada dua orang raksasa sangat sakti bernama Seulawah Agam dan Seulawah Inong. Dia menganggap kedua raksasa tadi mampu mengalahkan Naga Sabang karena ukuran mereka yang relatif sama.

Penjelasan Sang Penasihat langsung di “follow up” oleh Sultan Daru dengan memerintahkan beberapa orang pengawal memanggil Seulawah Agam dan Seulawah Inong. Setelah datang Sultan Daru membujuk mereka agar mau membunuh Naga Sabang dengan iming-iming imbalan sejumlah uang dan harta benda lainnya. Ketika mereka setuju, dikirimlah seorang utusan lagi menemui Naga Sabang menyampaikan tantangan bertarung melawan Seulawah Agam dan Seulawah Inong.

Naga Sabang tidak langsung menyambut tantangan tersebut. Dia meminta waktu selama beberapa hari untuk menjawabnya. Sebelum waktu yang diminta habis, Naga Sabang sempat menceritakan tantangan Seulawah Agam dan Seulawah Inong kepada Sultan Alam. Di hadapan Sultan dia menyatakan bahwa kedua raksasa itu sangatlah sakti dan mustahil dikalahkan. Sang Naga berpesan apabila nanti dia bertarung dan mati, rakyat Kerajaan Alam harus segera melarikan diri ke dataran tinggi. Sebab, bumi akan berguncang keras akibat bersatunya kedua pulau yang kemudian diikuti oleh surutnya air laut. Tidak lama setelah air laut surut datang gelombang sangat besar yang akan menyapu daratan.

Singkat cerita, tantangan pun disetujui. Pada hari yang telah ditentukan mereka bertarung disaksikan oleh seluruh penduduk Kerajaan Daru dan Alam. Dan benar saja, hanya dalam waktu tidak terlalu lama Naga Sabang dapat ditaklukkan. Seulawah Inong berhasil menebaskan pedangnya ke arah leher Sang Naga, sementara Seulawah Agam mengangkat dan melemparkannya ke laut lepas.

Sejurus setelah Naga Sabang mati, kedua pulau bergerak saling mendekat dan akhirnya berbenturan sehingga menimbulkan gempa hebat selama beberapa saat. Usai gempa air laut tiba-tiba menyurut dan ribuan ikan mulai menggelepar di sepanjang bibir pantai. Penduduk Kerajaan Daru yang tidak mendapat pesan Naga Sabang segera berebut menangkap ikan-ikan tersebut. Sementara rakyat Kerajaan Alam secara berbondong-bondong berlari menuju dataran tinggi.

Ketika penduduk Kerajaan Daru sedang asyik menangkap dan memasukkan ikan dalam wadah-wadah seadanya dari arah laut lepas tiba-tiba muncul gelombang sangat besar dengan kecepatan tinggi. Mereka langsung dihantam gelombang tanpa dapat menyelamatkan diri. Bahkan, gelombang itu juga menyapu seluruh rumah beserta hewan-hewan ternak sehingga Kerajaan Daru luluh lantak dan hampir tanpa bekas. Sedangkan penduduk Kerajaan Alam berhasil selamat karena berada di daerah yang tidak dapat dijangkau gelombang.

Setelah surut, dibawah komando Sultan Alam mereka kembali ke kerajaan yang juga hancur lebur diterjang gelombang. Sultan yang wilayah kekuasaannya menjadi luas kemudian memerintah sebagian rakyatnya membangun kerajaan baru di lokasi Naga Sabang bertarung. Ketika selesai kota diberi nama Koeta Radja dan pantai tepat naga tergeletak dinamakan Ulee Leue atau kepala ular. Selain itu, ada pula tempat lain yang diberi nama baru, yaitu Seulawah Agam dan Seulawah Inong sesuai dengan lokasi kedua raksasa Seulawah terkubur lumpur. Sedangkan lokasi terlemparnya Naga Sabang yang kemudian menjadi sebuah pulau dinamakan Weh sesuai dengan teriakan Seulawah Agam ketika melemparkan tubuh Naga Sabang ke tengah laut.

Diceritakan kembali oleh Gufron

Siluq

$
0
0
(Cerita Rakyat Daerah Kalimantan Timur)

Alkisah, dahulu di hulu Sungai Mahakam ada sebuah pohon besar yang dibawahnya tinggal tiga orang bersaudara. Mereka adalah Siluq (perempuan) serta dua orang adik laki-lakinya bernama Sayus dan Songo. Ketiganya memiliki kekhasan masing-masing. Silqu memiliki hobi berbelian dan bedewaan atau mencari ilmu kesaktian guna mengobati penyakit. Dia terkadang lupa makan dan tidur karena asyik mempelajari ilmunya. Sang adik, Sayus, bernyali besar serta memiliki tubuh yang dapat dibesar-kecilkan. Apabila tubuh sedang dalam keadaan besar pepohonan dapat dicabutnya dengan mudah. Sebaliknya, bila sedang mengecil dapat menyerupai tubuh seorang kanak-kanak berusia sembilan tahun. Sayus memiliki sifat kurang bijak dengan sering mencampuri orang lain serta jika bertindak kurang memikirkan akibatnya. Sedangkan sang adik, Songo, tidak memiliki keahlian apa pun selain tidur. Dia tidak memiliki kemauan untuk bekerja dan hanya bergerak jika diperintah walaupun hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan.

Suatu hari, terjadilah hujan lebat semalam suntuk hingga ketiga bersaudara tadi tidak dapat tidur karena pondok mereka yang beratap dedaunan bocor. Esok harinya, Sayus bergegas hendak mencari daun serdang guna memperbaiki rumah serta memeriksa jerat yang dipasang di tengah hutan. Sebelum pergi dia mendatangi Siluq dan berpesan agar dia memasak. Siluq yang tengah khusuk bebelian tentu saja kaget mendengar suara Sayus yang menggelegar. Bahkan dia sampai kesal karena usaha bebelian yang telah dilakukan semalam suntuk harus diulang kembali gara-gara terganggu suara Sayus.

Namun, sebagai kakak yang menggantikan peran orang tua dia mahfum apa yang dikehendaki oleh Sayus. Tanpa banyak bicara Siluq menuju dapur. Ketika anak menanak nasi ternyata persediaan beras telah habis. Apabila dia meminta Sayus membeli beras tentu akan menolak karena sudah berniat mencari daun serdang. Sedangkan, bila menyuruh Songo tentu beras yang dibeli tidak sesuai dengan yang diharapkan. Oleh karena itu, Siluq coba mempraktekkan ilmu beliannya guna mendapatkan beras secara gaib.

Hal pertama yang dilakukan adalah mengambil tujuh helain daun padi, dibersihkan dengan air, lalu dimasukkan dalam periuk. Kemudian dia mendatangi Sayus dan berpesan agar jangan sekali pun membuka tudung periuk yang sedang digunakan menanak. Apabila dia belum kembali dari mencuci serta menjemur tikar di tepian sungai, hendaklah Sayus menjaga agar apinya tetap menyala dengan selalu menambahkan kayu bakar.

Selesai berkata demikian Siluq menuju tepi sungai, sementara Sayus menuju hutan mencari daun serdang serta memeriksa jerat. Sampai di hutan Sayus mendapati seekor babi jantan besar terjerat perangkap. Secepat kilat babi itu dipukul hingga tewas lalu diikat menjadi satu dengan daun serdang untuk diangkut ke rumah.

Tiba di rumah, babi serta daun diletakkan begitu saja di pelataran. Sayus langsung menuju dapur hendak memeriksa apakah makanan sudah tersaji atau belum. Namun yang dilihat hanyalah pengukus bertudung dengan bara api yang menyala di bawahnya. Sebenarnya Sayus tahu kalau tudung tidak boleh diangkat atau dibuka, tetapi karena sifatnya yang sembrono tetap saja dilakukannya. Walhasil, belian Siluq tidak sepenuhnya berhasil karena daun padi hanya setengahnya saja yang berhasil menjadi nasi.

Siluq yang kebetulan telah pulang tentu saja menjadi marah besar. Akibat perbuatan Sayus, Siluq telah melanggar tuhing (pantangan) besar bagi seorang balian. Dia tidak lagi dapat mengubah daun padi menjadi bulir beras secara ajaib. Akibatnya jelas, mereka harus membeli atau menanam padi untuk mendapatkan beras sebagai makanan pokok. Hal ini akan membutuhkan tenaga dan waktu antara tiga hingga enam bulan dalam sekali panen.

Akibat lain dari pelanggaran tuhing adalah akan timbul bencana apabila adik-beradik ini tetap berkumpul. Oleh karena itu, Siluq mengatakan bahwa mereka harus berpisah dan hidup sendiri-sendiri. Dia memilih untuk tinggal di dekat sumber air dengan tujuan agar dapat lebih fokus dalam bebelian dan bedewa tanpa ada yang mengganggu.

Selanjutnya, tanpa mengindahkan rengekan Sayus dan Songo dibungkuslah pakaian serta dibawanya ayam jantan kesayangan yang berada di belakang dapur lalu berjalan cepat keluar rumah. Ketika berada di pelataran tapeh-silaqnya (sarung) tersangkut ranting daun serdang dan kaki babi hutan hasil buruan Sayus hingga robek. Siluq menjadi lebih marah dan disepaknya tubuh babi hutan itu hingga jatuh ke tanah. Anehnya, babi dan daun serdang kemudian bersatu hidup kembali menjelma menjadi seekor binatang menyerupai kerbau yang bertaring di bagian moncongnya.

Siluq menjadi ketakutan setengah mati dan berlari tunggang langgang menuju rakit yang ditambatkan di tepi sungai. Walau saat itu air sedang banjir dia tetap mengayuh rakitnya mengikuti arus Air. Sayus yang melihat sang kakak pergi mencoba mencegah dengan berlari menyusuri tepi sungai.

Saat berada di depan Siluq, Sayus melemparkan bebatuan besar guna membendung sungai. Namun, ketika Siluq mendekat tiba-tiba sang ayam berkokok misterius yang membuat bendungan hancur dan rakit kembali melaju. Melihat hal itu Sayus menjadi marah dan mencoba membuat bendungan baru tetapi lagi-lagi hancur akibat kokokan ayam Siluq. Begitu seterusnya hingga Siluq hampir mencapai muara dan Sayus tidak dapat membuat bendungan lagi karena keterbatasan bebatuan serta sungai yang semakin lebar.

Tidak putus asa usahanya selalu gagal, Sayus mencoba siasat baru dengan membuat kuala. Dikumpulkanlah lumpur dari tepian sungai lalu bagian atasnya ditanam pepohonan nipah sehingga terlihat menyerupai hutan nipah. Siasat ini ternyata juga tidak berhasil. Kokokan ayam Siluq membuat kuala terbelah yang konon sekarang menjadi Kuala Bayur, Kuala Berau dan delta-delata di Kuala Mahakam.

Siluq yang tidak dapat ditahan lagi berteriak pada Sayus bahwa dia pantang menarik ucapannya. Namun dia tidak akan meninggalkan Sayus dan Songo begitu saja. Suatu saat nanti, apabila ada kawanan burung kangkaput ramai berbunyi, maka itu merupakan tanda kedatangannya. Saat dia datang, maka pertanda musim panen padi dan jagung pun akan tiba sehingga Sayus dan Songo tidak akan kelaparan. Suara Siluq kemudian menghilang siring rakit yang memasuki laut lepas dan akhirnya hilang dari pandangan mata.

Diceritakan kembali oleh Gufron

Haji Rijan

$
0
0
Haji Rijan adalah tokoh pejuang perintis kemerdekaan (1945-1949) yang lahir di Bekasi sekitar tahun 1875. Sebagai perintis kemerdekaan, namanya kerap disebut oleh para pelaku dan saksi sejarah pada masa Hindia Belanda, pendudukan militer Jepang, perang kemerdekaan, hingga awal demokrasi liberal. Sementara menurut anaknya sendiri (Marzuki Hidayat) yang dikutip oleh Anwar (2017), Sang ayah selalu diidentikkan sebagai penggelora semangat juang rakyat. Haji Rijan dipandang sebagai pemimpin kharismatis, guru mengaji yang disegani, dan tempat bertanya para pemuda pejuang.

Predikat sebagai penggelora semangat juang rakyat disebabkan karena pada periode 1930-1950an Haji Rijan kerap hadir dalam segenap perjuangan melawan penjajah. Pada masa Hindia Belanda misalnya, beliau masuk dalam jajaran pimpinan Sarekat Islam Bekasi. Sedangkan pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), aktif di organisasi AAA atau Jepang pemimpin Asia, Jepang cahaya Asia, dan Jepang pelindung Asia.

Bahkan saat awal kemerdekaan, tokoh karismatis ini masih ikut mengayomi dan menggelorakan semangat para pejuang muda untuk ikut bertempur membela tanah air. Dia menjadikan rumahnya sebagai markas pasukan Pelopor dan Barisan Banteng Republik Indonesia (BBRI) yang dipimpin oleh Sang anak, M. Husein Kamaly. Selain itu, dalam arsip Badan Keamanan Rakyat (BKR) Keresidenan Jakarta yang tersimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia, nama Haji Rijan pun juga disebutkan.

Arsip bernomor 47/BKR bertanggal 9 November 1945 itu berisi laporan Pemimpin BKR Keresidenan Jakarta, R. Soeriodipoetra kepada Presiden Republik Indonesia, Soekarno. Dalam lamporannya R. Soeriodipoetra juga melampirkan hasil laporan Tarmidji (salah seorang anggota BKR bagian penyidikan) sejumlah tiga halaman. Sebagian besar isi laporan Tarmidji sebagian besar berisi pertemuan dengan Haji Rijan di rumahnya di daerah Kranji.

Ada semacam tanya jawab dengan Haji Rijan dalam laporan Tarmidji. Dia menceritakan Haji Rijan menyambut dengan gembira dan sekaligus memujinya sebagai anak muda yang bisa menyatukan para haji di Bidara Cina dengan para haji lain untuk mendirikan Madrasatul Islamiyah, yaitu Haji Joenoes, KH. M. Moentaha S., Abdoelkadir bin Mohammad Alhaded, dan Ir. Safwan. Beliau bangga sekaligus heran melihat anak-anak muda seperti Tarmidji berani bertaruh nyawa demi mempertahankan kemerdekaan. Sebaliknya, Tarmidji juga memuji karena walau telah berusia lanjut, Haji Rijan masih bersedia menjadi pemimpin pasukan rakyat berjuang membela agama Islam sekaligus menghancurkan perintang-perintang Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu NICA dan para kaki tangannya.

Dalam kesempatan itu Haji Rijan berharap agar Tarmidji dapat mempertemukannya dengan Ir. Safwan. Namun Haji Rijan tidak menguraikan ciri-ciri fisik atau profil Ir. Safwan secara gamblang. Dia hanya mengatakan bahwa Ir. Safwan adalah seorang pejuang yang berintelegensia tinggi serta seorang sangat taat dalam beragama. Hal ini tentu saja membuat Tarmidji bingun dan hanya dapat berkata akan berusaha mencari tanpa memberi jaminan akan bertemu dengan Ir. Safwan.

Ketokohan Haji Rijan bukan hanya tercatat dalam arsip nasional Republik Indonesia saja, melainkan juga dalam ingatan kolektif para murid, kerabat, serta masyarakat di sekitarnya. Damanhuri Husein misalnya, salah seorang cucu Haji Rijan membenarkan kalau termasuk salah satu pemimpin yang dimusuhi oleh para tuan tanah dan diincar oleh Belanda. Pasalnya, banyak “aksi” beliau yang meresahkan mereka. Salah satunya, ketika para pemuda menggelar rapat raksasa di Ikada pada 19 September 1945, Haji Rijan memimpin rombongan pemuda Bekasi yang berangkat dari rumahnya di Kranji yang dijadikan sebagai markas pejuang. Pada awal revolusi, rumah ini pernah dilempari sebuah mortir namun hanya mengenai pohon yang ada di bagian pekarangannya.

Sebagai catatan, Haji Rijan menikah dengan seorang perempuan bernama Kisah. Dari hasil pernikahan tersebut mereka dikaruniai tujuh orang anak, yaitu: Muhammad, Saabah, Sauwih, Riah, Eno, Amsani, dan Muhammad Husein Kamaly. Muhammad dan Muhammad Husein Kamaly mengikuti jejak Sang Ayah. Muhammad menjabat sebagai detasement comandan atau komandan polisi pertama di Bekasi, sedangkan Muhammad Husein Kamaly, selain ketua BBRI juga merangkap sebagai ketua DPRD Kabupaten Bekasi periode 1956-1960.

Haji Rijan sendiri wafat pada 23 September 1957 dalam usia 82 tahun. Beliau dimakamkan di Komplek Pemakaman Mushala Al-Ikhlas, Gang Swadaya, Jalan Banteng, Kampung Kranji Besar, Kota Bekasi. Di dekat pusaranya terdapat sebuah replika bambu runcing berbendera Merah-Putih yang disematkan oleh Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) terhadap sebagai pengakuan terhadap segala jasa yang telah diberikan pada bangsa dan negara.
Viewing all 829 articles
Browse latest View live