Genting dan Gentas
Kemponan
Ngangler dan Ngagaru
Garu |
Sosorog |
Nyaplak
Keramat Sungai Kerbau
Raksa Dogar
Aji Putri Bidara Putih
(Cerita Rakyat Daerah Kalimantan Timur)
Alkisah, dahulu di daerah Muara Kaman ada seorang raja yang adil dan bijaksana. Dia mempunyai seorang permaisuri yang cantik jelita. Namun, walau telah menikah selama belasan tahun mereka belum juga dikaruniai momongan. Oleh karena itu, setiap tahun mereka mengadakan belian dan bedewa dengan tujuan agar dikaruniai anak oleh dewa. Setelah belasan kali berbelian dan bedewa barulah dewa mengabulkan permintaan mereka. Permaisuri mulai mengandung.
Sembilan bulan kemudian, pada saat bulan purnama Permaisuri melahirkan seorang bayi perempuan. Sebagai bentuk syukur sekaligus ucapan terima kasih pada para dewa, Sang Raja memberikan sejumlah harta bendanya kepada para pertapa serta fakir miskin yang ada di seantero kerajaan. Selain itu, dia juga mengadakan erau selama empat puluh hari empat puluh malam dengan mengundang para raja dari segenap penjuru mata angin.
Usai perayaan erau, konon karena si jabang bayi berdarah putih maka diberi nama Aji Putri Bidara Putih. Dia dirawat dengan penuh kasih sayang oleh Raja dan Permaisuri serta segenap isi istana. Sesuai dengan namanya, dia tumbuh menjadi seorang putri yang sangat cantik. Ketika dewasa, para lelaki di kerajaan terpesona bila melihatnya. Namun mereka sadar bahwa Sang Putri bukanlah orang kebanyakan sehingga hanya sebatas memandang saja tanpa bisa mendekati, apalagi meremas-remasnya ^_^.
Kecantikan paras serta kemolekan tubuh Sang Putri rupanya tidak hanya tersohor di kalangan rakyat kerajaannya saja, melainkan hingga ke kerajaan-kerajaan lain disekitar dan bahkan sampai pula ke negeri Cina. Salah seorang pangeran dari negeri tersebut kemudian datang ke Muara Kaman bersama para pengawalnya hendak menyaksikan kecantikan Sang Putri. Apabila memang benar cantik jelita, dia akan langsung melamar dengan menyerahkan harta-benda berupa empas, perak, dan intan berlian sebagai maharnya.
Sampai di pelabuhan Muara Kaman mereka disambut oleh kegemparan warga setempat yang kaget bukan kepalang melihat armada asing. Mereka mengira armada itu datang untuk berperang sebab kapal yang digunakan dilengkapi dengan senjata untuk berperang. Atas inisiatif warga, salah seorang di antara mereka segera melaporkan kedatangan armada asing itu pada Raja.
Sang Raja kemudian mengumpulkan para hulu balang agar bersiap sedia apabila armada asing itu menyerang. Ketika kapal merapat, yang turun hanya beberapa orang Cina dengan mengenakan pakaian biasa tanpa perlengkapan perang atau semacamnya. Salah seorang dari mereka lalu bertanya pada penduduk dimana letak istana raja. Oleh karena tidak menampakkan tanda-tanda permusuhan, para penduduk pun memberitahukan arah jalan menuju istana raja.
Sampai di istana salah seorang utusan dari armada Cina tadi langsung menyampaikan maksud kedatangan, bahwa pangeran mereka ingin melamar Aji Putri Bidara Putih. Sang Raja tidak menerima lamaran itu begitu saja. Dia ingin melihat siapakah gerangan si pelamar yang oleh utusannya disebut sebagai pangeran. Dia tidak ingin putri sematawayangnya jatuh pada sembarang orang. Oleh karena itu, dia memerintah para utusan Cina kembali ke armadanya untuk memberitahu pangeran mereka agar menghadap.
Tidak berapa lama kemudian datanglah sang pangeran beserta segenap rombongannya. Mereka datang membawa pundi-pundi berisi emas dan benda mewah lain sebagai persembahan. Hal ini tentu saja membuat Raja senang dan langsung menyambut Sang Pangeran dengan hangat. Begitu juga dengan Aji Putri Bidara Putih yang mengintip dari balik tirai. Dia langsung jatuh hati melihat Sang Pangeran yang sangat tampan, berkulit putih serta berperawakan “sixpack” ^_^. Pikirnya, alangkah indah hidup bila Sang Raja menerima pinangan Sang Pangeran untuk dirinya.
Perasaan senang dan gembira Raja serta Aji Putri Bidara Putih hanya berlangsung singkat. Malam hari, saat jamuan makan, perasaan itu langsung berubah akibat adanya perbedaan budaya. Ketika berbagai macam makanan mewah telah dihidangkan, Sang Raja dan segenap isi istana mengharap agar para tamu dari Cina segera memakannya dan memuji kelezatan makanan di istana Raja. Namun yang terjadi sebaliknya, Sang Pangeran menitah salah seorang pengawalnya kembali ke kapal untuk membawa perlengkapan makan yang tidak tersedia di istana.
Saat pengawal menuju kapal, segenap penghuni istana saling berpandangan. Mereka heran dan agak sedikit tersinggung karena tamu belum juga mencicipi makanan yang telah dihidangkan. Padahal, umumnya orang dijamu oleh Raja langsung menyantap makanan yang dihidangkan karena dianggap sebagai anugerah super mewah. Sebab, sangat jarang ada orang yang dijamu kecuali tamu-tamu khusus yang diundang oleh Raja.
Sekembali dari kapal, pengawal itu membawa bungkusan kain berwarna hitam. Ketika dibuka isinya berupa puluhan pasang sumpit sebagai alat makan. Dalam tradisi masyarakat Cina, makan haruslah menggunakan sumpit dan mangkuk. Oleh karena itu, mereka pun meminta mangkuk yang sebenarnya akan digunakan sebagai mencuci tangan alias kobokan. Selanjutnya, mereka makan dengan lahap tanpa merasa canggung atau risih dengan tatapan melongo penghuni istana.
Usai makan mereka berpamitan hendak kembali menuju kapal. Sebelum undur diri Sang Pangeran yang telah melihat kecantikan Aji Putri Bidara Putih mengatakan bahwa semoga Raja mengabulkan permohonan untuk meminang putrinya. Beberapa hari ke depan dia akan mengutus salah seorang pengawal untuk menanyakan apakah lamarannya diterima atau tidak. Apabila diterima, dia akan datang dengan membawa barang hantaran untuk diserahkan pada Raja.
Setelah Sang Pangeran pergi, Aji Putri Bidara Putih mendekati ayahnya lalu berkata bahwa dia malu apabila nanti berjodoh dengan Sang Pangeran. Alasannya, Sang Pangeran beserta para pengikutnya adalah orang-orang liar yang tidak tahu tata krama. Sumpit dan mangkuk kobokan yang digunakan makan merupakan bukti akan tingkah laku mereka. Bagi Aji Putri, percuma kawin dengan orang tampan perkasa namun memiliki tabiat buruk.
Senada dengan Aji Putri, Sang Raja pun menganggap tingkah laku Pangeran Cina dan anak buahnya tidak sopan. Raja dan Aji Putri Bidara Putih melihat hal itu dalam kacamata budayanya sendiri sehingga menganggapnya sebagai tidak sopan, tidak patut, dan tidak tahu diri. Mereka tidak tahu kalau adat makan orang Cina yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya mengenai tata cara makan yang benar adalah seperti itu.
Ketidaktahuan akan adanya budaya lain itulah yang kemudian menjadi malapetaka. Aji Putri Bidara Putih tidak mau berjodoh dengan Pangeran Cina. Apabila mereka tidak terima dan merasa terhina lalu menginginkan perang, Aji Putri Bidara Putih sendiri yang akan melawannya. Dia meminta Sang Raja mengumpulkan seluruh hulubalang dan segenap rakyat agar bersiap-siap apabila terjadi peperangan.
Singkat cerita pinangan ditolak sehingga Pangeran Cina marah dan memproklamirkan perang. Pagi-pagi buta mereka sudah menyerang istana menggunakan senjata tempur yang sebelumnya telah dipersiapkan di kapal. Di lain pihak, bersama rakyat dan para hulubalang Aji Putri Bidara Putih telah bersiap di dalam benteng istana. Setelah saling berhadapan, peperangan tidak dapat dihindarkan lagi. Kedua belah pihak sama-sama tidak mau mundur sehingga banyak terjadi pertumpahan darah selama beberapa hari.
Oleh karena karena kalah dalam persenjataan, walau jumlah rakyat Muara Kaman lebih banyak mereka akhirnya terkepung di dalam benteng istana. Raja yang mulai gusar kemudian masuk ke sebuah ruangan khusus tempat dia biasa bersemedi. Di ruang itu dia berdoa memohon pada dewata agar rakyatnya dapat melepaskan diri dari pasukan Pangeran Cina.
Sejurus selepas memanjatkan doa, dari arah danau di belakang istana tiba-tiba muncul ratusan ribu lipan berwarna hitam legam yang marayap cepat menuju pasukan Pangeran Cina. Mereka menggigit anggota tubuh pasukan Pangeran Cina hingga tewas menggelepar. Sementara sisa pasukan yang tersisa (termasuk Sang Pangeran Cina) lari tunggang langgang menuju kapal. Dengan demikian, terbebaslah rakyat Muara Kaman dari ancaman pemusnahan pasukan Pangeran Cina. Dan, sebagai ucapan terima kasih, lokasi “pasukan lipan” muncul oleh masyarakat kemudian dinamakan sebagai Danau Lipan.
Diceritakan kembali oleh Gufron
Pencebung
Raja dan Janda Setengah Baya
(Cerita Rakyat Daerah Kalimantan Timur)
Alkisah, dahulu di negeri Berau ada seorang raja arif dan bijaksana. Dia bercita-cita ingin membuat negeri aman serta seluruh rakyatnya hidup sejahtera. Untuk itu, diangkatlah sebagian rakyatnya yang dianggap pintar guna ditempatkan pada posisi menteri dan pegawai kerajaan. Pada hari-hari tertentu setiap bulannya Sang Raja memanggil mereka dalam sebuah rapat untuk mengetahui sejauh mana kebijakan-kebijakan yang diterapkan dapat meningkatkan keamanan serta kesejahteraan rakyat.
Anehnya, seluruh pejabat yang diundang rapat melaporkan bahwa kerajaan dalam keadaan baik. Rakyat dalam keadaan aman. Tidak ada satu pun kejahatan sepanjang Raja memerintah. Dalam dunia perdagangan, setiap hari kapal-kapal dagang datang dan pergi dari pelabuhan, baik itu menurunkan maupun menaikkan komoditi, sehingga rakyat tidak pernah kekurangan sandang dan pangan. Sementara dalam bidang kesehatan, rakyat dikabarkan dalam keadaan baik. Tidak ada penyakit berbahaya yang menjadi pandemi dan memakan banyak korban jiwa. Yang ada hanyalah penyakit-penyakit ringan dan dapat diatasi secara cepat oleh para tabib.
Begitu seterusnya, setiap kali rapat laporan para pembesar selalu menyampaikan hal-hal baik pada Raja. Padahal, kadi kerajaan hampir kerap kali melaporkan adanya pencurian, perampokan, dan bahkan pemunuhan sehingga penjara menjadi penuh. Oleh karena itu, agar dapat mengetahui kondisi yang sebenarnya, dia berniat terjun langsung ke lapangan. Dengan demikian, dapat mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada rakyat di kerajaannya.
Agar tidak diketahui, Raja mulai beraksi tepat tengah malam ketika sebagian besar penghuni istana tertidur lelap. Berbekal pakaian seadanya yang umum dikenakan orang kebanyakan, dia menyelinap keluar istana. Sepanjang pagi dikunjunginya kampung-kampung sekitar kerajaan. Dan, yang tampak adalah pemandangan rumah-rumah panggung kumuh berdinding papan serta beratap daun rumbia yang bagian bawahnya sebagian besar tergenang air.
Pada salah satu rumah yang sudah reot dan tampak hampir roboh terdengar suara anak kecil menangis. Sang kakak yang tadinya berada di kolong rumah bergegas menghampiri dan berusaha menghibur agar berhenti menangis dengan berkata pada ibunya bahwa sang adik lapar. Sementara dari dalam rumah Sang ibu menjawab kalau air tanakan beras sudah mendidih. Begitu seterusnya, setiap sang adik menangis kakaknya akan berkata seperti itu dan ibunya menjawab seperti itu tanpa ada nasi yang dihidangkan.
Heran melihat “pertunjukan” mereka, Sang Raja mendatangi rumah itu. Sampai di depan pintu dia disambut oleh seorang perempuan setengah baya pemilik rumah. Dia adalah seorang janda beranak dua yang telah lama ditinggal mati sang suami. Setelah dipersilahkan masuk, tanpa banyak basa-basi Sang Raja langsung menanyakan percakapan yang terjadi antara anak dan ibu tadi agar si bungsu tidak menangis, padahal nasi yang diminta tidak kunjung datang.
Melihat si penanya sangat berwibawa, walau berpakaian layaknya orang kebanyakan, Sang janda terdiam. Dia tidak berkata apa pun, hanya pandangannya diarahkan ke tungku tempat menjerang sebuah periuk tua yang airnya sudah mendidih. Di dekat tungku berserakan potongan-potongan kayu bakar. Sementara di sampingnya bergeletakan peralatan masak sederhana yang tampak jarang terpakai.
Penasaran melihat periuk mengepulkan asap, Sarang Raja meminta izin pada si janda untuk melihat isinya. Setelah dipersilahkan, Raja tertegun melihat isi periuk berupa batu kerikil dalam air yang sudah mendidih. Sebelum Raja sempat berkomentar, Si Janda sudah menyela dan mengatakan bahwa sejatinya selama beberapa minggu ini tidak pernah ada beras yang ditanak. Selama musim hujan sedang berlangsung, pekerjaannya sebagai buruh cuci dan atau penumbuk tepung menjadi sepi. Dia tidak dapat meminjam atau berhutang pada tetangga karena sebagian besar dari mereka juga berada dalam situasi serba kekurangan.
Mendengar penjelasan itu, kini giliran Sang Raja yang terdiam. Dalam benaknya berkecamuk berbagai macam pikiran yang intinya selama ini dia belum dapat mensejahterakan rakyat. Para pembesar yang diangkat ternyata hanya bermanis muka di depannya. Sementara dia sendiri terlanjur percaya laporan mereka tanpa melakukan cross check kembali atas laporan-laporan tersebut.
Atas kesalahan ini, raja kemudian mengubah kebijakannya. Hampir setiap minggu dia keluar istana bersama para pembesar yang tadinya menyatakan keadaan rakyat baik-baik saja. Mereka diperintah memperbaiki apa yang salah sesuai dengan jabatannya masing-masing. Sementara bagi sang janda yang telah memberikan kesaksian, diberikan pekerjaan tetap sebagai tukang cuci istana. Dan mulai sejak saat itu, dia dan kedua anaknya dapat hidup secara layak.
Diceritakan kembali oleh Gufron
Dukung
Kujur
Sungai Berair Merah
(Cerita Rakyat Daerah Kalimantan Timur)
Alkisah, dahulu di hulu Sungai Mahakam ada sebuah desa bernama Kembang Janggut. Penduduknya sebagian besar menggantungkan hidup dari malau atau mengumpulkan sejenis getah pohon. Salah satu dari mereka adalah adik beradik Pak Moga dan Pak Kunci. Suatu hari mereka ingin malau ke dalam hutan. Segala perbekalan dikumpulkan guna digunakan selama malau.
Malam hari sebelum berangkat Pak Moga mendapat mimpi yang dia anggap sebagai firasat atau pertanda buruk. Mimpi itu disampaikan pada Pak Kunci. Dia menyarankan agar malau ditunda keberangkatannya. Apalagi jika pergi membawa serta keluarga, kemungkinan terjadi hal tidak diinginkan menjadi bertambah besar karena fokus mencari malau akan menjadi terpecah bila sambil mengawasi anak-anak, istri, dan ipar.
Pak Kunci percaya dengan ucapan Pak Moga. Menurut nenek moyang terdahulu, bentuk mimpi yang dialami Pak Moga kemungkinan besar akan menjadi kenyataan. Namun, bagi ipar Pak Moga yang turut serta dalam pencarian malau, mimpi tadi hanyalah kembang tidur belaka dan tidak ada sangkut pautnya dengan dunia nyata. Oleh karena itu, sambil bercanda dia pun menyindir mereka agar mengganti celana dengan sarung sebagai simbol “penakut”.
Tidak terima dengan sindiran itu, Pak Moga dan Pak Kunci mengurungkan niat untuk membatalkan malau. Mereka kemudian berangkat menggunakan perahu. Sampai di hulu pencarian getah pohon dilanjutkan dengan berjalan kaki memasuki hutan. Tengah hari mereka memilih tempat teduh untuk beristirahat melepas lelah sambil mengisi perut. Sebelum memasak Pak Kunci membuat tungku sederhana, sementara Pak Moga mencari kayu bakar.
Ketika Pak Moga sedang asyik membelah kayu, di antara pepohonan berkali-kali terdengar suara burung seset. Dia selalu berpindah dari satu pohon ke pohon lain di sekeliling Pak Moga sehingga membuatnya kesal dan melemparnya dengan mandau hingga mati.
Tidak berapa lama kemudian, lewatlah seekor kancil yang sedang mencari makan. Merasa ada makanan menghampiri, ditebasnya kancil itu hingga mati. Setelah itu, lewat pula seekor ular besar dan dipukul hingga mati pula oleh Pak Moga. Pikirnya, kedua daging binatang itu lumayan untuk dijadikan teman nasi.
Saat makan tiba Pak Moga berkata lagi bahwa selesai makan sebaiknya mereka kembali ke rumah. Rencana malau dibatalkan saja karena sudah seharian belum juga menemukan pohon untuk dimalau. Sang adik ipar yang sebelum berangkat memanasi Pak Moga dan Pak Kunci langsung menyela bahwa mereka sudah berjalan jauh. Jadi apabila tidak dilanjutkan akan sangat rugi karena telah membuang waktu dan tenaga. Dia mengusulkan agar mereka bermalam saja karena hari telah senja.
Esok harinya, sebelum matahari terbit dari ufuk timur mereka melanjutkan perjalanan. Menjelang senja barulah menemukan pepohonan yang akan dimalau. Namun, karena matahari sudah mulai tenggelam Pak Moga memutuskan membangun pondok darurat untuk bermalam di tepi sungai tidak jauh dari lokasi malau. Sang istri disuruhnya memasak bekal makanan yang dibawa dari rumah.
Usai makan, Pak Moga dan Pak Kunci berdiskusi tentang pohon mana yang esok hari akan di malau. Sebab, banyak sekali pohon yang dapat dimalau sehingga harus dipilih mana di antaranya yang terbaik. Sementara sang isteri berada di bagian belakang pondok membersihkan perlengkapan makan dan merebus air sedangkan sang adik ipar di bagian depan menghangatkan badan di dekat api unggun.
Tatkala keduanya berdiskusi dari belakang pondok terdengar jeritan minta tolong. Ketika didatangi ternyata istri Pak Moga telah terkena tombak di bagian perut. Dia langsung digendong dan dibawa masuk. Namun, belum sempat mengobati luka sang istri, tiba-tiba terdengar pula jeritan dari depan pondok. Rupanya adik ipar Pak Moga juga terkena tombak hingga berlumuran darah. Dia juga dibawa masuk.
Melihat Sang istri dan adik ipar berlumuran darah Pak Moga menjadi murka. Sambil membawa mandau dia langsung keluar pondok dan berteriak menantang orang yang telah menombak keluarganya. Sejurus kemudian, dari kegelapan malam muncullah puluhan orang bersenjata tombak dan mandau. Tanpa basa basi Pak Moga langsung menyerang sehingga pertarungan tidak dapat dielakkan.
Walau tidak seimbang Pak Moga dapat menewaskan mereka satu demi satu. Dia memiliki ilmu kebal senjata mandau dan tombak sehingga tubuhnya tidak terluka sama sekali. Hal ini membuat para penyerang kewalahan dan sebagian melarikan diri. Beberapa di antaranya mencari bala bantuan pada orang-orang yang memiliki keahlian menggunakan senjata sumpitan. Harapannya, Pak Moga tidak kebal sumpitan sehingga dapat dilumpuhkan.
Selang beberapa waktu orang-orang yang melarikan diri tadi kembali menyerang tidak lama setelah Pak Moga dan Pak Kunci menguburkan jenazah istri dan ipar Pak Moga. Mereka dibantu oleh belasan ahli sumpit. Walhasil, walau kebal mandau dan tombak, Pak Moga akhirnya kewalahan juga. Matanya berhasil disumpit hingga menjadi buta. Sementara mandaunya terlempar ke dalam sungai.
Kebutaan Pak Moga tidak lantas membuat para penyerang menghentikan serangan. Mereka tetap menghujaninya dengan tebasan mandau dan tusukan tombak. Namun, Pak Moga tidak bergeming karena masih kebal terhadap kedua senjata tersebut. Tetapi dia sudah tidak melakukan perlawanan lagi. Malahan dia menyarankan agar para penyerang mengambil mandaunya yang tercebur di sungai bila ingin membunuhnya. Hanya dengan mandau itulah Pak Moga dapat dikalahkan.
Singkat cerita, para penyerang beramai-ramai terjun ke sungai mencari mandau milik Pak Moga. Oleh karena badan penuh dengan luka tebasan mandau, maka sungai pun menjadi keruh dan berwarna merah darah. Mandau tidak berhasil ditemukan walau telah berjam-jam dicari hingga mereka bosan dan akhirnya pergi begitu saja meninggalkan Pak Moga yang dianggap sudah tidak berdaya. Konon, sejak saat itu lokasi jatuhnya mandau Pak Moga tidak dapat ditumbuhi pepohonan besar. Kalaupun ada hanya berupa rerumputan yang tidak berwarna hijau melainkan kuning kemerahan.
Diceritakan kembali oleh Gufron
Kujur Brongsong
Pak dan Mbok Mendong
(Cerita Rakyat Daerah Jawa Timur)
Alkisah, ada sepasang suami istri bernama Pak dan Mbok Mendong yang tinggal di sebuah gubuk reot. Tidak ada yang tahu siapa nama mereka sebenarnya. Mendong adalah istilah warga setempat bagi orang yang pekerjaannya membuat tikar mendong. Oleh karena itu mereka disebut Pak dan Mbok Mendong karena pekerjaannya tiada lain adalah membuat tikar mendong yang hasilnya dijual untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Kadang, apabila tikar tidak laku mereka terpaksa tidak makan barang satu atau dua hari.
Pasangan suami istri ini memiliki seorang anak perempuan yang masih kecil. Dia diberi nama Sumi. Badannya kurus kering karena kekurangan gizi. Dalam berpakaian, Sumi tidak seperti anak sebayanya. Dia hanya memiliki beberapa helai yang kondisinya lusuh dan di beberapa tempat tampak sudah berlubang. Pak Mendong tidak mampu membelikan yang baru karena hasil penjualan tikar untuk makan sehari-hari kadang juga tidak cukup.
Suatu ketika Pak Mendong bermimpi didatangi oleh mendiang nenek buyutnya. Sang nenek berpesan agar dia mengadakan semacam kenduri dengan menyembelih seekor kerbau. Orang-orang yang diundang dalam kenduri haruslah mereka yang berstatus sebagai fakir miskin. Adapun maksud dan tujuannya, Sang nenek tidak menyebutkan karena Pak Mendong terlanjur bangun dari tidur.
Pagi harinya, mimpi tadi malam diceritakan pada Mbok Mendong. Mimpi itu mereka anggap sebagai sebuah “wangsit” yang apabila dikerjakan maka akan mendatangkan berkah. Namun, dari mana mereka dapat membeli seekor kerbau beserta segala macam makanan untuk dihidangkan dalam kenduri?
Ada usulan dari Mbok Mendong agar menjual gubuk. Tetapi menurut Pak Mendong, walau dijual beserta isinya tidak akan cukup untuk mengadakan kenduri. Bahkan, untuk membeli seekor kerbau pun masih kurang. Lagi pula, mana ada orang yang mau membeli gubuk mereka karena kondisinya sudah tidak layak dan lahannya juga sangat kecil.
Percakapan suami-istri tadi akhirnya berhenti begitu saja. Baru beberapa hari kemudian Pak Mendong menemukan sebuah ide gila alias gendeng yang bagi sebagian orang dianggap di luar nalar. Dia membujuk Mbok Mendong agar mau menggadaikan anak semata wayang mereka pada orang terkikir sekaligus terkaya di kampung. Apabila selesai kenduri dan mendapat berkah Sumi akan ditebus kembali.
Setelah terjadi kesepakatan antara keduanya, Sumi pun digadaikan dan kenduri dapat dilaksanakan secara besar-besaran. Begitu para tamu undangan yang seluruhnya fakir miskin pulang, dari kuali bekas kenduri tiba-tiba muncul seberkas sinar berwarna keemasan. Ketika didekati ternyata di dalamnya penuh dengan batangan-batangan emas berkilauan. Batangan itu kemudian dikumpulkan dan dijual sehingga Pak dam Mbok Mendong langsung menjadi OKB alias orang kaya baru di kampungnya.
Sebagian dari uang hasil penjualan emas tadi digunakan untuk menebus Sumi. Sedangkan sisanya digunakan membangun rumah, membeli sawah dan ladang, serta disedekahkan bagi kaum fakir miskin. Atau dengan kata lain, harta “wangsit” dari nenek buyut Pak Mendong dimanfaatkan sebaik-baiknya dan bukan untuk berfoya-foya.
Penasaran akan kekayaan Pak Mendong yang datang secara tiba-tiba, orang terkikir dan terkaya di desa bertanya saat Pak Mendong menebus Sumi. Tanpa ditutup-tutupi Pak Mendong menceritakan segala kejadian yang dialami hingga mendapatkan banyak emas secara ajaib. Menurutnya, kenduri yang diperuntukkan bagi fakir miskin merupa.kan kunci dari keberkahannya.
Penjelasan Pak Mendong tadi tentu saja menggoda si kaya nan kikir. Tidak berapa lama setelahnya dia berencana ingin mengadakan kenduri juga agar mendapatkan berkah yang sama. Namun karena sangat kikir, setiap kali bernegosiasi dengan penjual kerbau selalu gagal karena tawarannya terlalu rendah jauh di bawah harga pasaran. Tidak putus asa gagal mendapat kerbau, dia lalu bersiasat mengganti dengan anjing. Pikirnya, apabila telah dimasak akan sama saja bentuknya. Apalagi orang yang diundang hanyalah fakir miskin yang jarang sekali makan daging.
Singkat cerita, dia mengadakan kenduri sederhana. Para tamu disuguhi masakan seadanya. Di tengah kenduri dia mengeluarkan daging anjing yang telah diolah sedemikian rupa sebagai hidangan besarnya. Namun, katika akan dimakan secara ajaib daging yang telah terpotong-potong itu menyatu dan si anjing hidup kembali seperti sedia kala. Dia langsung menyerang sang kaya nan kirir sehingga orang-orang yang berkumpul menjadi kaget dan lari tunggang langgang. Tinggallah tumpeng-tumpeng berserakan serta suara mengaduh-aduh dari si kaya nan kikir.
Diceritakan kembali oleh Gufron
Jeruk Emas
Sinen Urai Lingot dan Sinen Urai Luang
(Cerita Rakyat Daerah Kalimantan Timur)
Alkisah, ada dua orang janda bernama Sinen (ibu) Urai Lingot dan Sinen Urai Luang yang rumah dan ladangnya saling berdekatan. Masing-masing dikaruniai seorang putri yang namanya sama seperti mereka. Setiap hari mereka pergi dan pulang dari ladang bersama-sama. Terkadang, ketika sedang berada di ladang mereka juga menyelingi menangguk ikan.
Suatu hari Sinen Urai Luang menyuruh anaknya (Urai Luang) ke rumah Sinen Urai Lingot mengajak ke ladang sekaligus menangguk ikan. Ajakan ini diiyakan oleh Sinen Urai Lingot yang kemudian menyuruh Urai Lingot menyiapkan arit dan tangguk. Mereka lalu pergi ke rumah Sinen Urai Luang untuk selanjutnya bersama-sama menuju ladang.
Sampai di persimpangan jalan mereka berpisah menuju ladang masing-masing. Sinen Urai Lingot dan Urai Lingot sibuk mencabuti rerumputan yang tumbuh di sela-sela padi huma di ladang mereka. Rerumputan yang telah dicabut dibuang di sungai kecil agar air menjadi keruh sehingga ikan mudah ditangguk. Tengah hari setelah pekerjaan merumput sebagian besar telah selesai dilanjutkan dengan menangguk ikan.
Namun, tidak demikian halnya dengan Sinen Urai Luang dan Urai Luang. Oleh karena rerumputan di ladang mereka sangatlah banyak, hingga tengah hari pencabutan belum selesai. Sementara dari arah hulu air sungai telah keruh yang menandakan Sinen Urai Lingot dan Urai Lingot sedang menangguk ikan. Melihat hal itu timbullah rasa iri pada Sinen Urai Luang dan berusaha agar dapat mengimbangi pekerjaan anak-beranak Urai Lingot. Dia lalu menyuruh anaknya yang sedang merumput mengambil tangguk. Mereka akan menangguk dari bagian hilir ke hulu sungai menuju ladang Sinen Urai Lingot.
Sampai di sana mereka melihat Sinen Urai Lingot dan Urai Lingot sedang asyik mencabuti rerumputan. Rupanya mereka telah selesai menangguk dan kembali merumput sambil menanti matahari terbenam. Merasa aneh, Sinen Urai Luang mendatangi Sinen Urai Lingot dan menanyakan mengapa dia masih merumput padahal air sungai keruh pertanda ada aktivias menangguk.
Sinen Urai Lingot yang tidak merasa kalau Sinen Urai Luang agak iri menjawab singkat bahwa sebelum tengah hari ladang mereka sudah hampir seluruhnya bersih dari rerumputan liar sehingga dia dan anaknya melanjutkan menangguk ikan. Dan, karena jumlah ikan dirasa sudah cukup untuk makan malam, mereka kembali merumput.
Sinen Urai Luang yang sudah diselimuti rasa iri pura-pura tidak melihat ladang Sinen Urai Lingot bersih dari rerumputan. Dia malah mengajak menangguk ikan lagi dengan asalan hasil tanggukannya masih sedikit. Sinen Urai Lingot pun menyangupi ajakan tersebut. Mereka berdua turun ke sungai sementara anak-anak dibiarkan bermain di sekitar ladang.
Ketika tengah asyik bermain, tiba-tiba jatuh sebuah ubai (sejenis rambutan tidak berbulu) di dekat Urai Lingot. Urai Luang yang juga melihat buah itu berusaha mendahului sehingga terjadilah perebutan di antara mereka. Masing-masing menjerit sehingga menimbulkan kegaduhan.
Tidak lama berselang, datanglah Sinen Urai Lingot. Dia menasihati Urai Lingot agar buah ubai tadi dimakan bersama Urai Luang. Alasannya, tidak baik apabila sesama kawan saling berebut benda yang tidak begitu berarti. Nanti apabila sudah musim, mereka dapat nikmati sampai puas karena dalam satu pohon saja jumlahnya tidak terhitung.
Urai Lingot turut nasihat Sang ibu. Dia menghisap buah ubai sebentar lalu diserahkan pada Urai Luang. Begitu seterusnya, silih berganti menghisap sampai tiba pada giliran Urai Lingot yang karena telalu bernafsu tertelanlah buah ubai itu. Urai Luang menjadi marah dan berteriak memanggil ibunya. Sambil mengumpat mengeluarkan kata-kata kotor dia mengadu pada Sang ibu bahwa Urai Lingot telah berbuat curang dan ingin menguasai buah ubai untuk dirinya sendiri.
Walau telah dijelaskan bahwa tertelannya biji ubai bukanlah kesengajaan, Sinen Urai Luang dan Urai Luang tetap saja menuduh yang bukan-bukan. Ketika Sinen Urai Lingot berusaha meredakan suasana, kedua anak-beranak itu tetap ngotot sehingga pertengkaran malah menjadi bertambah besar. Bahkan terus berlanjut sampai mereka beranjak pulang.
Di perjalanan timbul niat jahat dari Sinen Urai Luang. Dia berencana mengenyahkan Sinen Urai Lingot dari muka bumi. Rencana itu dijalankan ketika mereka memasuki hutan yang di kanan-kiri ditumbuhi pepohonan besar. Tiba-tiba tangan Sinen Urai Lingot ditarik dan kepalanya dipukul dengan kayu hingga tidak sadarkan diri.
Selanjutnya, tubuh Sinen Urai Lingot diseret menuju rerimbunan pohon lalu ditimbun bebatuan. Terakhir, badannya ditindih sebuah batu besar sebagai tanda pelampiasan kekesalan. Kemudian, dia menarik tangan Urai Lingot untuk diajak pulang tanpa menghiraukan tangisannya yang mengira Sang Ibu telah tewas.
Tiba di rumah Sinen Urai Lingot, Urai Lingot dibiarkan begitu saja. Mereka langsung pulang ke rumah sendiri tanpa menghiraukan Urai Lingot yang terus menangis tanpa henti. Sebelum meninggalkan Urai Lingot, Sinen Urai Luang dan anaknya malah sempat mengejek dengan mengatakan agar Urai Lingot tidak usah menangis sebab sang ibu tidak akan kembali lagi.
Pagi harinya Sinen Urai Lingot siuman. Tetapi dia tidak dapat menggerakkan tubuh yang ditindih oleh batu besar. Dia hanya dapat menggerakkan tangan guna mengusap wajah yang penuh tanah. Usai mengusap wajah, tiba-tiba datang burung murai. Burung yang oleh masyarakat Dayak Kenyah dianggap sakti itu dimintai tolong agar memindahkan batu besar yang ada di atas tubuhnya.
Setelah batu berhasil disingkirkan, Sinen Urai Lingot berterima kasih pada Sang Murai. Dia kemudian melanjutkan perjalanan pulang ke rumah. Di tengah perjalanan perut terasa lapar sehingga dia berhenti sejenak mencari sesuatu yang dapat dimakan. Kebetulan, tidak jauh dari tempatnya berdiri ada sebuah pohon cempedak berbuah lebat. Dipanjatnya pohon itu dan dimakan buahnya satu per satu hingga perut terasa kenyang.
Saat tengah asyik menyantap buah cempedak, muncul seekor babi hutan berjalan di bawah pohon mencari sisa-sisa cempedak yang jatuh di tanah. Tanpa pikir panjang, babi tadi dilempar dengan sebuah cempedak besar tepat mengenai bagian telinga (bagian vital) hingga mati seketika. Selanjutnya, kedua kaki babi diikat lalu dipanggul menuju rumah.
Sampai di depan rumah Sinen Urai Lingot disambut gembira oleh Urai Lingot. Dia tidak menyangka Sang Ibu ternyata masih hidup. Padahal, dia melihat dengan kepala sendiri kalau Sang ibu telah dipukul oleh Sinen Urai Luang dan tubuhnya ditimbun batu. Kegembiraannya juga bertambah ketika melihat Sinen Urai Lingot datang membawa seekor babi hutan besar.
Singkat cerita, setelah anak-beranak tadi bekumpul kembali, Sinen Urai Lingot melanjutkan dengan memotong daging babi hutan menjadi beberapa bagian. Oleh karena sifatnya yang baik hati, daging tidak dikonsumsi sendiri, melainkan dibagikan pada para tetangga, tanpa terkecuali Sinen Urai Luang. Sore hari Sinen Urai Luang dan Urai Luang datang dan meminta maaf atas perbuatannya serta berjanji tidak akan mengulangi lagi. Mereka pun akhirnya berdamai dan persahabatan kembali seperti sedia kala.
Diceritakan kembali oleh Gufron
Kisah Ayam Hutan
(Cerita Rakyat Daerah Jawa Timur)
Alkisah, di sebuah kampung ada seekor ayam betina yang bertelur banyak. Beberapa minggu setelah dierami telur-telur menetas menjadi belasan ekor anak ayam. Ajaibnya, seluruh telur yang menetas berjenis kelamin jantan. Hal ini membuat dia menjadi sedih. Mengapa komposisi jenis kelamin seluruhnya jantan. Tidak ada seekor pun betina yang menetas dari telurnya.
Selang beberapa minggu kemudian seekor anaknya bertanya mengapa Sang ibu selalu murung. Bukankah seharusnya dia senang karena anak-anak akan menjadi jago semua. Apabila mereka besar dapat menjadi pelindung Sang ibu bila ada manusia atau binatang lain yang datang mengganggu.
Pertanyaan tadi dijawab Sang induk ayam dengan berkata sebaliknya. Oleh karena seluruh anak terlahir jantan, dia khawatir apabila nanti sudah besar akan dijadikan sebagai ayam jago aduan oleh pemiliknya. Kaki mereka akan dipasangi pisau sebagai senjata untuk bertarung, baik itu dengan ayam milik orang lain ataupun dengan saudara-saudaranya sendiri. Dan, apabila sudah dipertarungkan, umumnya akan ada salah satu ayam yang harus mati.
Mendengar penjelasan Sang ibu, anak ayam yang lain pun bertanya apakah semua ayam jantan akan menjadi jago aduan. Sebab, ada ayam jantan yang tidak bisa berkelahi. Selain itu, ada pula yang penampilannya tidak sempurna dan tidak layak dijadikan sebagai jago aduan. Bagi kategori ayam yang seperti itu kemungkinan akan dibiarkan saja berkeliaran hingga mati dengan sendirinya.
Sang ibu tertawa kecut (ayam bisa ketawa gitu?) mendengar pertanyaan sekaligus terawangan anaknya. Dia pun menjelaskan bahwa apabila ada ayam jantan yang takut berkelahi atau bentuk fisiknya tidak mencerminkan sebagai jago aduan, maka tidak akan dibiarkan bebas berkeliaran begitu saja. Nasibnya bahkan bisa lebih menyedihkan ketimbang diadu dengan jago lain, yaitu dijadikan hidangan oleh pemiliknya.
Anak-anak ayam yang semula ribut menjadi terdiam mendengar penjelasan Sang ibu. Mereka merasa seperti makan buah simalakama. Apabila tumbuh dewasa dan menunjukkan kejantanan sebagai ayam jago, sudah pasti nantinya akan diadukan dalam pertarungan hidup-mati dengan jago lain. Sementara bila menjadi ayam jago lemah, maka perjalanan hidup akan berakhir di penggorengan.
Di tengah keheningan suasana, tiba-tiba ada seekor anak menyeletuk keluarkan sebuah ide. Dia berusul agar tidak menjadi hidangan atau benda aduan, alangkah baiknya bila menyingkir dari kehidupan manusia. Hidup mandiri tanpa bergantung pada manusia mungkin lebih bahagia walau makanan tidak selalu tersedia. Hutan merupakan tempat paling sesuai karena relatif bebas jangkauan manusia.
Walau terkesan sembarangan, usulan anak ayam ternyata masuk akal bagi Sang ibu dan saudara-saudaranya. Mereka juga berpikiran lebih baik hidup merdeka ketimbang bergantung pada manusia. Oleh karena itu, mereka kemudian bermusyawarah menentukan waktu yang cocok guna meloloskan diri dari kandang tanpa diketahui pemiliknya.
Setelah terjadi kesepakatan, tepat tengah malam ketika Sang pemilik dan sebagian besar warga kampung tertidur lelap, anak-beranak ayam itu menyelinap keluar kandang menuju hutan. Sampai di tengah hutan lalu berpencar mencari makan sendiri-sendiri. Dan, hingga sekarang keturunan mereka tetap hidup di hutan yang oleh masyarakat disebut “ayam hutan”.
Diceritakan kembali oleh Gufron
Ajian Warisan Orang Tua
(Cerita Rakyat Daerah Jawa Timur)
Alkisah, ada seorang dua laki-laki tua. Istrinya telah lama meninggal dunia. Dia hidup berdua dengan anak semata wayangnya yang masih kecil. Mereka tinggal dalam sebuah gubuk reot yang terkesan akan runtuh. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, laki-laki itu hanya menngandalkan orang yang membutuhkan tenaganya. Apabila tidak ada yang datang, dia hanya berdiam diri di rumah tanpa berbuat apa-apa.
Suatu hari, mungkin telah mendapat firasat, dia memanggil anak semata wayangnya yang tengah bermain di depan rumah. Setelah sang anak datang, dia bercerita bahwa hidupnya tidak akan lama lagi. Alam telah memberikan tanda agar dia bersiap bila sewaktu-waktu harus menghadap Sang Pencipta.
Mendengar penjelasan tadi, Sang anak mulai menangis. Dia tidak tahu harus bagaimana bila Sang ayah pergi menyusul Sang ibu. Dia belum bisa bekerja layaknya orang lain sebab masih terlalu kecil. Nanti, apabila lapar bagaimana dia mendapatkan makanan. Apakah harus mengemis, meminta sanak saudara yang keberadaannya entah dimana karena tidak pernah diberitahukan, atau makan apa saja yang ditemui dan sekiranya dapat dimakan.
Melihat kegundahan anaknya, Sang Ayah lalu berkata bahwa tidak perlu sedih karena akan diberi ajian khusus berupa mantra sakti yang apabila diucapkan dapat mendatangkan rezeki serta kemuliaan. Tetapi, pengucapannya tidak boleh sembarangan dan hanya dalam keadaan sangat mendesak saja boleh dikeluarkan. Mantra itu berbunyi ‘hai…hai..aku tahu’.
Selang beberapa hari kemudian, laki-laki tua itu meninggal dunia. Sang anak menjadi sebatang kara. Dia tidak punya apa-apa lagi selain gubuk reot dan makanan persediaan yang cukup untuk satu atau dua minggu saja. Setelah persediaan makanan habis dia menjadi bingung. Tidak ada satu orang sanak saudara pun yang dikenalnya. Sementara para tetangga hanya datang memberi bantuan selama beberapa hari selama masa berkabung. Setelah itu mereka seakan melupakannya.
Pikir punya pikir, kenapa tidak pergi saja ke ibu kota kerajaan. Di sana mungkin akan banyak pekerjaan sehingga kanak-kanak pun dapat bekerja mencari uang. Apabila dia telah bekerja tentu hidup tidak akan sulit lagi. Dia dapat membeli apa saja yang dimaui dengan hasil jerih payah sendiri.
Namun, bayangan itu tidak sesuai dengan kenyataan. Setelah berada di ibu kota kerajaan ternyata tidak ada orang yang mau mempekerjakan. Dia terpaksa menggelandang serta makan dari sisa-sisa makanan sebab tidak ada yang mau memberi makan. Setiap hari kerjanya hanya duduk di emperan kedai sambil menanti “jatah” dari orang-orang yang tidak menghabiskan makanannya.
Suatu hari, entah mengapa, dia duduk di sebuah pohon rindang. Tidak jauh dari tempatnya duduk (di balik pohon) ada tukang cukur yang kebetulan tengah mencukur Baginda Raja. Ketika asyik merasakan hembusan angin sepoi-sepoi, dia teringat akan ajian sakti yang diberikan oleh Sang ayah. Dia pun lantas berkata “hai…hai…aku tahu” berulang kali dengan suara agak keras sambil membayangkan rezeki yang datang tiba-tiba.
Begitu mendengar kata-kata itu, si tukang cukur yang berada di balik pohon terperanjat. Dia sangat kaget karena disangka ada orang tahu tentang misi yang tengah diembannya yaitu membunuh Raja. Dengan muka pucat pasi dia membuang pisau cukurnya dan langsung bersimpun meminta ampun. Di hadapan Raja dia mengaku diberi perintah oleh salah seorang patih untuk membunuhnya ketika sedang bercukur.
Singkat cerita, Raja menjadi marah mendengar pengakuan si tukang cukur. Bersama patih yang telah memberikan perintah, Si tukang cukur dihukum mati dengan tuduhan makar. Sementara Si anak pembaca mantra dihadiahi emas dan permata atas jasanya menyelamatkan Raja. Dan, sejak saat itu dia hidup sejahtera.
Diceritakan kembali oleh Gufron
Jauwiru dan Suri Lemlai
(Cerita Rakyat Daerah Kalimantan Timur)
Alkisah, ada seorang bernama Kuwanyi. Dia adalah kepala suku Dayak Kayan yang tinggal di Sungai Long Payang, anak Sungai Kayan bagian hulu. Sebagai seorang kepala suku dia sangat berkharisma sehingga dihormati sekaligus ditakuti kaumnya. Untuk memenuhi kebutuhan hidup tidak perlu repot membanting tulang karena ada orang-orang yang rela mengerjakan ladangnya secara bergotong-royong tanpa imbalan.
Tetapi kenikmatan hidup tadi tidak lantas membuat bahagia. Kuwanyi selalu dilanda perasaan gundah gulana karena telah sekian lama belum juga memiliki anak. Sang istri dapat dikatakan sudah tidak muda lagi dan kecil kemungkinannya bisa hamil. Padahal, berbagai macam cara telah mereka tempuh agar memperoleh momongan.
Untuk menghilangkan keresahan hati, walau hanya sesaat, Kuwanyi sering pergi berburu binatang hutan seperti rusa, babi, pelanduk, dan lain sebagainya. Dia selalu ditemani oleh seekor anjing buru yang telah terlatih. Si anjing inilah biasanya akan memberi petunjuk keberadaan rusa, babi hutan, atau pelanduk yang akan disumpit. Apabila berhasil disumpit, daging hewan buruan akan dibawa pulang untuk selanjutnya dibagi rata dengan sesama sukunya.
Namun, tidak setiap perburuan mendapat hasil. Suatu hari si anjing hanya menyalak ke berbagai arah tanpa ada seekor binatang pun yang terlihat. Begitu juga yang terjadi pada perburuan berikutnya. Si anjing menyalak sambil berlari kesana kemari hingga akhirnya datang lagi pada Kuwanyi dengan membawa sebilah bambu kuning di mulutnya. Padahal, biasanya dia akan membawa binatang kecil atau menunjukkan arah apabila binatang yang dilihat lebih besar darinya.
Melihat bambu yang dibawa si anjing sangat unik dan berwarna kuning cerah Kuwanyi tidak lantas membuangnya begitu saja. Diambilnya bambu itu lalu dipotong menjadi beberapa ruas dan ruas paling besar dibawa pulang. Pikirnya, akan lebih baik apabila dijadikan sebagai wadah menyimpan anak sumpit. Dia sudah tidak lagi bernafsu melanjutkan perburuan karena bambu kuning tadi begitu menyita perhatiannya.
Sampai di rumah bambu kuning diletakkan dekat tempayan. Setelah itu, dia mandi, makan, dan meneruskan aktivitas seperti biasa. Hari demi hari pun berlalu tanpa terasa hingga tiba bulan purnama. Kesibukan sebagai kepala suku membuat dia lupa akan membuat bambu kuning itu menjadi wadah sumpit.
Tepat tengah malam purnama ketika seluruh penghuni lamin (tempat dia tinggal bersama kerabat besarnya) tertidur lelap, tiba-tiba angin bertiup kencang disertai dengan suara guntur menggelegar. Tidak lama kemudian datanglah hujan sangat lebat yang membuat atap lamin menjadi bocor di sana-sini. Suasana menjadi lebih mencekam ketika datang angin topan yang memporak-porandakan pepohonan di sekitar lamin.
Sekitar setengah jam kemudian angin dan hujan mereda. Orang-orang yang tadinya panik kembali tenang dan hening. Sebagian ada yang tidur lagi karena tidak mungkin memperbaiki lamin dalam keadaan gelap gulita. Sedangkan sisanya, ada yang masih terjaga untuk memperbaiki tata letak berbagai barang di dalam lamin dan ada pula yang merenung mengapa datang angin topan bukan di musim penghujan.
Di tengah suasana tadi terdengarlah suara tangis bayi dekat tempayan tempat Kuwanyi manaruh ruas bambu kuning. Bersama Sang istri dia mendatangi sumber suara dan ternyata ada seorang bayi laki-laki sedang menangis di dekat bambu kuning yang telah pecah berantakan. Sang bayi lalu diambil dan dibawa masuk untuk ditunjukkan pada penguni lamin lainnya. Mereka pun senang Sang kepala suku akhirnya memiliki anak walau bukan darah dagingnya sendiri. Dan, oleh karena lahir bertepatan dengan datangnya angin topan, maka dia dinamakan Jauwiru atau Si Guntur Besar.
Kehadiran Jaiwaru rupanya tidak menyurutkan niat Kuwanyi untuk kembali berburu. Selang beberapa minggu setelah Jauwiru lahir dia pergi lagi bersama aningnya menuju hutan mencari binatang buruan. Namun, bukan rusa atau babi hutan didapat, melainkan hanya sebutir telur yang dia dapat di atas tunggul kayu jemelai.
Ketika dibawa pulang, oleh Sang istri telur ditaruh dalam bakul dan diletakkan di para. Tengah malam, dari arah para terdengar ada benda pecah disusul suara tangisan. Setelah didatangi ternyata ada bayi di dalam bakul. Telur telah pecah dan menjelma menjadi seorang bayi perempuan. Alangkah gembiranya hati pasangan tua ini karena dikaruniai anak lagi sehingga Jaiwaru memiliki teman bermain. Dia diberi nama Suri Lemlai.
Seiring berjalannya waktu, mereka tumbuh menjadi pemuda tampan-gagah dan pemudi nan cantik jelita. Keduanya hidup rukun bersama kerabat Kuwanyi dalam sebuah lamin panjang. Sebelum Kuwanyi meninggal dunia, atas kesepakatan penghuni lamin mereka kemudian dinikahkan. Dan, dari keturunan merekalah yang nantinya akan menurunkan raja-raja Bulungan hingga sekarang.
Diceritakan kembali oleh Gufron
Gelatik dan Betet
(Cerita Rakyat Daerah Jawa Timur)
Alkisah, ada seekor burung Betet berjalan ke arah pasar sambil memikul karung berisi beras. Padahal waktu itu sedang musim paceklik. Banyak tanaman padi yang rusak akibat kekeringan dan atau diserang hama.
Di tengah perjalanan dia bertemu dengan seekor burung gelatik. Sang Gelatik bertanya, “Hei, Betet. Benda apa yang ada di dalam karungmu?”
“Beras,” jawab Betet singkat.
“Akan engkau apakan beras itu?” tanya Gelatik.
“Aku akan menjualnya di pasar,” jawa Betet.
“Lah, bukannya banyak padi yang terserang penyakit? Jangan-jangan beras yang akan engkau jual itu berpenyakit?” selidik Sang Gelatik.
“Enak aja, ini beras terbaik yang terpaksa aku jual untuk menutupi biaya khitanan serta membeli sarung dan kopiah anakku”, Betet menjelaskan.
Penjelasan tadi bukan membuat Gelatik tergerak untuk membantu, tetapi malah berusaha memanfaatkannya. Dia yang sudah beberapa hari ini belum makan meminta Betet membuka karung berasnya. Dengan alasan ingin memeriksa kondisinya, dia berlagak membolak-balik beras. Padahal, sambil membolak-balik dia memakan sebagian biji beras itu hingga kenyang.
Melihat kelakuan Gelatik yang “mencicipi” beras tanpa membeli, Sang Betet menjadi marah. Leher Gelatik dicengkram lalu diputarnya sekuat tenaga hingga mengerang kesakitan. Cengkraman tadi membuat leher Gelatik menjadi berteleh (berkantung).
Merasa lehernya berteleh, giliran Gelatik yang marah dan memukul Sang Betet dengan pikulan beras pada bagian paruh hingga bengkok. Akibat perkelahian tadi, bentuk leher Gelatik menjadi berteleh dan paruh Betet bengkok secara permanan yang kemudian diturunkan pada anak cucu mereka hingga sekarang.
Diceritakan kembali oleh Gufron