Quantcast
Channel: Budaya
Viewing all 829 articles
Browse latest View live

Tan-Pangantanan

$
0
0
Tan-Pangantananatau bisa juga disebut Dhe-nondhe Ne Nang adalah salah satu jenis permainan anak pada masyarakat Madura. Permainan ini erat kaitannya dengan bunga melati yang konon di masa lalu hampir ada setiap halaman rumah orang Madura. Pada musim kemarau bunga tersebut sangat melimpah. Melimpah-ruahnya bunga itulah yang kemudian melahirkan sebuah permainan anak-anak yang disebut “tan-pangantanan” Sesuai dengan namanya, yaitu tan-pangantan yang berarti pengantin-pengantinan (bukan pengantin sungguhan), pemain dihiasi layaknya pengantin. Kemudian, diarak mengelilingi kampung diiringi dengan tembang atau nyanyian yang berjudul atau disebut “Dhe-Nondhe” (bahasa Madura). Tembang tersebut sarat dengan nilai-nilai yang mesti diacu, baik dalam kehidupan bermasyarakat maupun berserah diri (bertaqwa) kepada Sang Pencipta (Allah). Nilai-nilai itu antara lain adalah: (1) keimanan dan ketaqwaan, (2) kepatuhan, (3) kerukunan, (4) tatakrama (sopan-santun), (5) kebersamaan (gotong-royong), dan (6) kebersyukuran.

Permainan ini biasanya dilakukan ketika pohon melati mulai berbunga (biasanya pada musim kemarau). Seiring dengan perkembangan zaman, terutama perkembangan permainan modern, ditambah dengan semakin langkanya pohon melati, pada gilirannya membuat permainan tan-pangantanan menjadi langka.

Sandhur Pantel

$
0
0

Sandhur Pantel adalah sebuah kesenian yang berbau magis berasal dari Desa Ambunten Barat, Kecamatan Ambunten, Kabupaten Sumenep. Tarian ini berfungsi sebagai media untuk menolak dan mengusir serta menjauhkan bencana yang direfleksikan dalam bentuk puji-pujian, rangkuman doa yang disertai dengan nyanyian dan ragam gerak dalam alunan musik pengiring.

 

Kesenian ini konon berasal dari kisah penggembala kambing bernama “Sandhur”. Walau hanya seorang penggembala dia adalah anak yang saleh (taat beragama Islam) hingga menjadi buah bibir warga masyarakat setempat. Ketenaran Sandhur rupanya membuat iri hati seseorang yang tidak mempercayai adanya Tuhan (kafir). Si Kafir berniat untuk mencelakakannya. Sahdan, ketika Sandhur sedang mengembalakan kambingnya di gunung, dia berencana membunuhnya. Akan tetapi, niatnya tidak terlaksana karena Shandur tiba-tiba hilang bagaikan ditelan bumi. Namun demikian, Si Kafir tidak putus asa. Melalui meditasi, dia mendengar suara gaib yang memberitahu persembunyian Sandhur, yaitu di dalam sebuah pohon besar. Dan, tanpa pikir panjang, Si Kafir langsung memotong pohon tersebut dengan gerjaji. Kisah tentang hilangnya Sandhur inilah yang kemudian menjadi “ruh” kesenian sandhur patel.

 

Sandhur Pantel dimainkan oleh laki-laki dan perempuan, terdiri atas: 13 penabuh, 5 penembang, seorang penebas, 14 penari. Pementasan awal berdurasi sekitar 3-4 jam. Setelah itu, dilanjutkan dengan pelantunan bait-bait pujian dan doa. Pada bagian kedua, penari melakukan gerak ragam yang sama. Dalam setiap pementasan selalu ada sesaji (sesajen) berupa: kelapa gading, jajan pasar, rengginang, nasi dan panggang ayam, serta ronceanjagung. Selain itu, disediakan pula berbagai pakaian anak-anak, remaja, dan dewasa berbeda warna (merah, kuning, hitam, dan hijau). Konon, pakaian tersebut diperuntukkan bagi makhluk lain (halus) agar tidak mengganggu kehidupan manusia.

Loddrok

$
0
0

Loddrok adalah sebuah jenis seni pertunjukkan yang sangat populer di daerah Sumenep, Madura. Kesenian ini sering disebut juga sebagai “ajhing”, salah satu genre drama Madura yang konon mendahului loddrok. Oleh karena itu, loddrok tidak lepas dari unsur dagelan ajhing lama, seperti: permainan kata, gerak badan, dan wajah yang dihiasi dengan warna hitam dan putih.

 

Loddrok memiliki kemiripan dengan ludruk dan ketoprak dari Jawa. Namun, dalam pertunjukkannya bahasa yang digunakan adalah bahasa Madura. Bagi sementara orang yang tidak mengetahui secara persis tentang loddrok, seringkali berpendapat bahwa ludruk Surabaya adalah loddrok asli Madura. Padahal, ludruk Surabaya genrenya berbeda dengan loddrok. Loddrok merupakan genre dari ajhing lama Madura yang ciri lawakannya memang diwarisi loddrok. Ada yang mengklasifikasikan bahwa loddrok Madura sepadan dengan ketoprak Jawa; keduanya berdasarkan cerita raja-raja, sandiwara Madura, atau drama yang sepadan dengan ludruk Jawa. Pada umumnya mereka menggunakan ungkapan ketoprak Madura atau kadang-kadang ludruk Madura. Meskipun demikian, ketika tampil, para pelawak selalu mengajak penonton untuk “nengguh loddrok” (nonton ludruk).

 

Rombongan loddrokberjumlah sekitar 50 orang yang terdiri atas: pemain musik, pemain teater, pelawak, teknisi, dan sutradara. Mereka semuanya laki-laki. Peran perempuan dilakukan oleh laki-laki muda. Para pemain sekaligus adalah penyanyi. Mereka bertutur dan bernyanyi secara berselang-seling. Loddrok dipergelarkan dalam berbagai kesempatan dan tempat. Jika dipergelarkan di tempat umum (gedung pertunjukkan), para penonton diwajibkan untuk membeli karcis. Di tempat tersebut biasanya pertunjukkan dimulai pukul 21.00 WIB dan berakhir pukul 01.00 atau 02.00 WIB. Jika dipergelarkan dalam suatu khajatan (upacara perkawinan) biasanya dimulai dari pukul 21.00 WIB dan berakhir pukul 03.00 atau 04.30 WIB. Pergelaran loddrok terdiri atas: pembukaan musikal, tarian oleh dua sampai 6 orang, dua sajian lawak, dan satu pelakonan (cerita). Adapun judul lakon yang biasanya dipentaskan adalah: Lutung Kasarung, Joko Kodok, Angling Sakti, Satria Gunung Kidul, dan Pinang Mas.

Sandhekala

$
0
0

(Cerita Rakyat Daerah Jawa Timur)

 

Alkisah, ada seorang randha (janda) yang tinggal bersama anak laki-lakinya bernama Sentot. Mereka tinggal di tepi sebuah hutan dengan mata pencaharian sebagai peternak kambing. Kambing-kambing yang mereka usahakan berjumlah banyak dan gemuk-gemuk. Setiap dua minggu sekali sebagian kambing mereka jual guna memenuhi kebutuhan hidup.

 

Oleh karena mereka tinggal di tepian hutan yang jauh dari pemukiman penduduk, hampir setiap sore Mbok Randa selalu mengingatkan Sentot agar masuk ke rumah menjelang sandhekala atau waktu senja hari tiba. Biasanya, sekali diingatkan Sentot akan langsung menurut dan masuk ke rumah mengikuti perintah Sang ibu.

 

Sekali waktu, karena terlalu asyik mencari belalang untuk makanan burungnya, Sentot enggan disuruh masuk. Mbok Randha kemudian memberitahu mengapa sebelum sandhekala orang harus berada di dalam rumah. Dia menjelaskan bahwa setiap senja tiba Den Bagus Sandhekala akan keluar dari sarangnya guna mencari makan. Dia gemar memakan kepala makhluk hidup, mulai dari harimau, manusia, dan bahkan anak kecil yang masih berada di luar rumah di waktu senja.

 

Mendengar penjelasan Sang ibu Sentoto menjadi takut setengah mati. Dia langsung berlari masuk rumah. Sampai di dalam dia mengintip melalui sela-sela dinding anyaman bambu melihat kalau-kalau Den Bagus Sandhekalau berada di sekitar rumahnya. Dia dan Mbok Randha sebenarnya tidak tahu kalau dari arah hutan ada dua makhluk yang tengah mengintai kandang kambing. Mereka adalah seekor harimau besar yang berada di sisi barat dan dua orang maling di bagian timur kandang.

 

Ketika anak-beranak itu telah tertidur lelap, barulah harimau keluar dari persembunyian mengendap-endap menuju kandang. Dia sebenarnya ragu karena tadi mendengar perkataan Mbok Randha tentang Den Bagus Sandhekala yang suka makan kepala harimau. Tetapi karena sudah beberapa hari tidak makan, dia tetap nekat masuk kandang kambing yang gelap tanpa penerangan. Pikirnya, setelah makan seekor dia akan lari secepatnya agar tidak bertemu Den Bagus.

 

Selagi harimau berada di dalam, giliran kedua pencuri yang sejak sore juga mengintai masuk kandang. Harimau yang bermata awas tentu saja terkejut setengah mati dikira yang datang adalah Den Bagus Sandhekala. Dia hanya terdiam kaku dan pasrah apabila Den Bagus Sandhekala memakan kepalanya.

 

Di lain pihak, dalam keadaan gelap gulita para pencuri mulai meraba-raba mencari kambing paling gemuk. Setelah beberapa saat mereka menemukan seekor yang tiga kali lipat dari ukuran kambing pada umumnya. Mereka tidak tahu kalau itu adalah harimau yang terdiam kaku ketakutan dan sudah pasrah bila kepalanya bakal dimakan. Harimau yang dikira kambing tadi lantas diikat lalu dimasukkan dalam karung.

 

Sampai di tengah jalan yang agak terang keduanya heran melihat kambing di dalam karung berbulu loreng. Selidik punya selidik ternyata yang dikarungi adalah seekor harimau. Mereka pun langsung membuang karung itu lalu lari tunggang langgang menyelamatkan diri. Oleh karena hari masih gelap, salah seorang maling terjerembab ke dalam sebuah kakus sedangkan temannya tercebur di kolam berlumpur.

 

Sementara sang harimau yang ditinggalkan sejenak tertegun dan tidak mengerti mengapa Den Bagus Sandhekala membuangnya begitu saja. Setelah sadar kalau yang mamasukkannya ke dalam karung adalah manusia, dia pun hanya bisa menggerutu sambil berjalan menuju hutan. Dia lupa niat semula kalau akan mencuri kambing milik Sentot.

 

Diceritakan kembali oleh Gufron

Ohjung

$
0
0

Ojhung atau biasa juga disebut pokoi adalah sebuah permainan tradisional masyarakat Madura, khususnya di Kabupaten Sumenep. Konon, dahulu permainan yang dilakukan pada musim hujan ini menjurus ke arah pertarungan yang kerapkali menggunakan kekuatan mantra magis. Bahkan, adakalanya dijadikan kesempatan seseorang untuk membalas dendam, sehingga bisa mengakibatkan kematian. Dalam perkembangannya, ohjung tidaklah mengerikan sebagaimana awalnya. Mantra-mantra memang masih ada, namun penggunaannya bukan ditujukan untuk mencelakai dan hanya sekedar untuk memenangkan permainan. Dewasa ini permainan ojhung justru dilakukan pada musim kemarau. Tujuannya adalah untuk mendatangkan hujan.

 

Peralatan yang digunakan dalam permainan yang sekaligus berfungsi sebagai senjata pukul adalah tongkat rotan. Alat tersebut oleh masyarakat setempat disebut lapalo atau kol-pokol. Selain itu, pemain menggunakan pelindung kepala (bhungkus atau bhuko) dan pembalut lengan kiri (bulen atau tangkes). Permainan diatur oleh seorang wasit yang oleh masyarakat setempat disebut (bhubhuto). Dalam suatu pergelaran, permainan ojhung diringi oleh orkes okol yang peralatan musiknya terdiri atas ghambhang dan dhuk-dhuk. Pemenangnya adalah pemaian yang dapat melukai lawan. Dan, luka yang sangat bernilai (indah) adalah luka yang terjadi di bagian pundak.

Bebecek

$
0
0

Bebecek adalah istilah orang Sunda bagi bagian tanah sawah yang digunakan sebagai tempat persemaian benih padi. Lahan bebecek umumnya berukuran sekitar 1/20 dari luas lahan yang akan ditanami. Adapun kriteria pemilihannya adalah tanah yang paling dianggap subur, tidak terlindung dari sinar matahari, dekat sumber pengairan, dan aman dari gangguan hewan (burung, ayam, dan hewan lainnya).

Giribig

$
0
0

Giribig adalah istilah orang Sunda bagi sebuah benda semacam tikar terbuat dari anyaman bambu dengan ukuran sekitar 2x3 meter. Giribig digunakan sebagai tempat menjemur padi sebelum disimpan di leuit atau gudang. Bila jenis padinya pare lautik, maka cara menjemurnya adalah dengan menebarkan di atas giribig. Agar kering merata padi perlu dibolak-balikkan dengan alat yang dinamakan sosorong. Sementara bila jenisnya pare gede, cara menjemurnya dengan dijebrakeun, yaitu ikatan padi berada di bawah dan tertutupi oleh untaian-untaian butir padi, sehingga hampir seluruh butir padi akan tersinari panas matahari. Setelah itu dijemur dengan posisi yang berlawanan dari arah sebelumnya sehingga ikatan padi berada di atas hingga padi kering secara merata.

Pahul

$
0
0

Pahul adalah alat berbentuk semacam tongkat atau bambu dengan panjang sekitar 2 jengkal dan berdiameter kurang lebih 2 centimeter. Alat ini digunakan untuk mangkek (mengikat padi) jenis pare gede sebelum dimasukkan ke dalam karung atau wadah untuk kemudian disimpan di lumbung atau leuit. Caranya dimulai dengan diguar (ikatan padi dibuka) lalu dibalikkan supaya bagian dalam menjadi di luar. Setelah itu nyabutan salakop atau mencabuti tangkai padi atau jerami yang terlepas supaya bersih dan rapi. Selanjutnya dipapakeun (tangkai padi diratakan dengan cara dipukul-pukul ujungnya), lalu diikat dengan tali bambu yang telah diolesi tanah liat agar lentur. Terakhir, ujung tali bambu diikatkan pada pahul, sementara ujung lainnya diikatkan pada batang-batang padi, kemudian pahul diputar sehingga ikatan menjadi kencang.


Mitemeuyan

$
0
0

Mitemeuyan adalah istilah orang Sunda bagi sebuah ritual sebelum tandur atau menanam padi. Ritual ini dilaksanakan ketika benih yang ditebar dalam persemaian berumur 20 hari atau telah tumbuh sekitar 20 centimeter. Adapun benihnya sendiri bila dibeli dari Dinas Pertanian, saat akan ditanam harus dijemur terlebih dahulu hingga kering. Apabila telah kering benih dimasukkan dalam karung untuk direndam air selama dua hari. Selanjutnya, benih diangkat dan ditutup dengan plastik selama dua hari agar menjadi “panas” dan tumbuh daunnya ketika ditebar di areal persemaian (pabinihan).

 

Sedangkan bila benih berasal dari padi pada musim panen sebelumnya prosesnya agak lebih panjang. Caranya, padi yang akan dijadikan benih dijemur dan disimpan di tempat terpisah dari padi-padi lainnya. Kemudian, benih ditaruh bergantungan di ruang dapur dengan tujuan di samping untuk menghindari tikus, juga agar padi betul-betul kering. Selanjutnya, dipilih yang cabang batangnya hanya berisi sebutir padi karena dianggap sebagai padi baik untuk dijadikan benih. Tentunya pemilihan itu tidak secara satu persatu (setiap batang padi). Akan tetapi, per-pocong (setiap ikatan padi). Selanjutnya, ikatan padi dilepaskan dari batangnya dengan cara diinjak-injak agar butir padi yang lepas dari batang tidak rusak (pecah). Seteleh itu, ditampi untuk menyisihkan butir padi yang tidak berisi. Kemudian, yang bernas-bernas (berisi) dimasukkan dalam karung dan direndam pada air mengalir selama dua hari dua malam. Selanjutnya, benih ditogekeun atau ditiriskan dan ditutup dengan plastik selama dua hari dua malam agar “panas” dan menjadi kecambah ketika ditebar di areal pabinihan (persemaian).

 

Ketika benih dalam persemaian berumur 20 hari, dicabuti secara hati-hati dan diikat sambil dibersihkan dengan air sebelum dipindahkan ke areal sawah yang siap untuk ditanami. Bagi yang masih melakukan upacara, pada tahapan ini dilakukan upacara mitemeuyan. Pelaksanaan upacara dipimpin oleh seorang wali puhun, diikuti pemilik sawah dan para perempuan yang akan tandur, baik sebagai buruh tani maupun sebagai pekerja yang hanya akan menyumbangkan tenaganya. Wali puhun adalah orang yang dianggap mengetahui segala seluk beluk upacara terutama pertanian (biasanya seseorang yang dianggap tua dan berpengalaman atau sesepuh). Perlengkapan upacara berupa purupuyan, tempat membakar kemenyan yang telah dilengkapi dengan bara api dan serbuk kemenyan. Pangradinan, wadah sesajen yang terdiri dari 7 macam makanan dalam jumlah sedikit. Daun hanjuang, taleus hideung, daun jawer kotok, cau manggala, anak pohon pisang batu dan tamiang pugur (sebatang buluh bambu panjangnya dua jengkal tangan). Kesemuanya diikat dan ditancapkan di hulu wotan, kecuali parupuyan dan pangradinan yang disimpan ditempat kering tidak jauh dari tempat itu.

 

Maksud ritual atau upacara ini adalah menitipkan kelangsungan hidup tanaman padi, agar selamat dan tidak terserang hama kepada Nyi Pohaci Sanghyang Sri atau Dewi Padi. Kemudian wali puhun mulai menancapkan beberapa batang bibit padi yang jumlahnya didasarkan pada jumlah nilai dan hari pasarannya agar tanaman tumbuh dengan subur dan terhindar dari berbagai macam hama. Misalnya, apabila tandur dilaksanakan pada hari Minggu yang diartikan sebagai mega (awan), maka jumlah bibit yang ditancapkan sebanyak 5 batang dalam satu ikatan, Senin (tangkal\kembang) sebanyak 4 batang, Selasa (seneu) sebanyak 3 batang, Rabu (daun) sebanyak 7 batang, Kamis (angin) sebanyak 8 batang, Jumat (cai) sebanyak 6 batang, dan Sabtu (bumi) sebanyak 9 batang.

 

Setelah Wali Puhun menancapkan padi, kemudian dilanjutkan oleh kaum perempuan. Mereka berdiri di antara dua buah garis yang telah terpola, supaya sudut-sudutnya tidak terinjak/terhapus. Dua atau tiga batang bibit padi ditanamkan pada setiap sudut tersebut. Kemudian mereka bergerak dengan arah mundur ke belakang. Tangan kiri menggenggam bibit padi, sementara tangan kanan menancapkan bibit padi pada sudut kiri dan kanan pola tegel itu. Bahkan sesampainya jangkauan tangan, mereka dapat menancapkan bibit pada 3-4 sudut bentuk pola tegel. Menanam padi dengan cara menggunakan pola tersebut, membuat rumpun-rumpun padi akan tumbuh secara teratur dan rapi. Selesai tandur, sawah mulai digenangi air kurang lebih setinggi sekitar 5-7 cm.

Kabupaten Bandung

$
0
0

Letak dan Keadaan Alam
Kabupaten Bandung merupakan satu dari delapan belas kabupaten yang ada di Provinsi Jawa Barat. Kabupaten yang merupakan daerah penyangga ibukota Provinsi Jawa Barat ini secara geografis sebelah utara berbatasan dengan Kota Bandung, Kabupaten Bandung Barat, dan Kota Cimahi; sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Garut; sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Bandung Barat; dan sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Garut. Wilayahnya tidak hanya berada di kaki tapi juga di lereng gunung, sehingga tidak hanya berupa dataran rendah semata, tetapi juga dataran tinggi atau berbukit-bukit. Sedangkan luasnya sekitar 1.762,4 km² dengan titik koordinat 6° 41’ – 7° 19’ Lintang Selatan dan 107° 22’ – 108° 50’ Bujur Timur.
 
Kabupaten Bandung terdiri atas 31 kecamatan yang mencakup 10 kelurahan serta 280 desa. Ke-31 kecamatan itu beserta luasnya adalah sebagai berikut: (1) Kecamatan Ciwidey beribukota di Lebakmuncang terdiri atas 7 desa seluas 48,47 km² (2,75%); (2) Kecamatan Rancabali beribukota di Patengan terdiri atas 5 desa seluas 148,37 km² (8,42%); (3) Kecamatan Pasirjambu beribukota di Pasirjambu terdiri atas 10 desa seluas 239,58 km² (13,59%); (4) Kecamatan Cimaung beribukota di Cipinang terdiri atas 10 desa seluas 55 km² (3,12%); (5) Kecamatan Pangalengan beribukota di Pangalengan terdiri atas 13 desa seluas 195,41 km² (11.09%); (6) Kecamatan Kertasari beribukota di Ciberureum terdiri atas 8 desa seluas 152,07 km² (8,63%); (7) Kecamatan Pacet beribukota di Cikitu terdiri atas 13 desa seluas 91,94 km² (5,22%); (8) Kecamatan Ibun beribukota di Ibun terdiri atas 12 desa seluas 54,57 km² (3,10%); (9) Kecamatan Paseh beribukota di Tangsimekar terdiri atas 12 desa seluas 51,03 km² (2,90%); (10) Kecamatan Cikancung beribukota di Cikancung terdiri atas 9 desa seluas 40,14 km² (2,28%); (11) Kecamatan Cicalengka beribukota di Cicalengka terdiri atas 12 desa seluas 35,99 km² (2,04%); (12) Kecamatan Nagreg beribukota di Ganjarsabar terdiri atas 8 desa seluas 49,30 km² (2,80%); (13) Kecamatan Rancaekek beribukota di Rancaekek Wetan terdiri atas 14 desa dan 1 kelurahan seluas 45,25 km² (2,57%); (14) Kecamatan Majalaya beribukota di Majasetra terdiri atas 11 desa seluas 25,36 km² (1,44%); (15) Kecamatan Solokanjeruk beribukota di Solokanjeruk terdiri atas 7 desa seluas 24,01 km² (1,35%); (16) Kecamatan Ciparay beribukota di Pakutandang terdiri atas 14 desa seluas 46,18 km² (2,62%); (17) Kecamatan Baleendah beribukota di Baleendah terdiri atas 8 desa dan 5 kelurahan seluas 41,56 km² (2,36%); (18) Kecamatan Arjasari beribukota di Patrolsari terdiri atas 11 desa seluas 64,98 km² (3,69%); (19) Kecamatan Banjaran beribukota di Banjaran terdiri atas 11 desa seluas 42,92 km² (2,44%), (20) Kecamatan Cangkuang beribukota di Ciluncat terdiri atas 7 desa seluas 24,61 km² (1,40%); (21) Kecamatan Pameungpeuk beribukota di Sukasari terdiri atas 6 desa seluas 14,62 km² (0,83%); (22) Kecamatan Ketapang beribukota di Sangkanhurip terdiri atas 7 desa seluas 15,72 km² (0,89%); (23) Kecamatan Soreang beribukota di Soreang terdiri atas 10 desa seluas 25,52 km² (1,45%); (24) Kecamatan Kutawaringin beribukota di Jatisari terdiri atas 11 desa 47,30 km² (2,68%); (25) Kecamatan Margaasih beribukota di Margaasih terdiri atas 6 desa seluas 18,35 km² (1,04%); (26) Kecamatan Margahayu beribukota di Sukamenak terdiri atas 5 desa dan 1 kelurahan seluas 10,54 km² (0,60%); (27) Kecamatan Dayeuhkolot beribukota di Citeureup terdiri atas 6 desa dan 1 kelurahan seluas 11,03 km² (0,63%); (28) Kecamatan Bojongsoang beribukota di Bojongsoang terdiri atas 6 desa seluas 27,81 km² (1,58%); (29) Kecamatan Cileunyi beribukota di  Cileunyi terdiri atas 6 desa seluas 31,58 km² (1,79%); (30) Kecamatan Cilengkrang beribukota di Jatiendah terdiri atas 6 desa seluas 30,13 km² (1,71%); dan Kecamatan Cimenyan beribukota di Cimenyan terdiri atas 9 desa serta 2 kelurahan dengan las 53,08 km persegi (3,01%) (BPS Kabupaten Bandung, 2020).
 
Topografi Kabupaten Bandung bervariasi mulai dari dataran sedang hingga tinggi (perbukitan dan pegunungan). Dataran sedang dengan ketinggian 500-900 meter dari permukaan air laut menempati hampir seluruh wilayah, di antaranya: Cimaung, Pacet, Ibun, Paseh, Cikancung, Cicalengka, Nagreg, Rancaekek, Majalaya, Solokanjeruk, Ciparay, Baleendah, Ariasari, Banjaran, Cangkuang, Pameungpeuk, Katapang, Soreang, Kutawaringin, Margaasih, Margahayu, Dayeuhkolot, Bojongsoang, Cileunyi, Cilengkrang, dan Cimenyan. Sedangkan dataran di atas 1.001 meter dari permukaan air laut di antaranya: Ciwidey, Rancabali,. Pasirjambu, Pangalengan, dan Kertasari.
 
Iklim yang menyelimutinya sama seperti daerah lain di Indonesia, yaitu tropis yang ditandai oleh adanya dua musim, penghujan dan kemarau. Musim penghujan biasanya dimulai pada bulan Oktober - Maret, sedangkan musim kemarau biasanya dimulai pada bulan April - September. Curah hujan rata-rata 179 milimeter per tahun. Sedangkan, temperaturnya rata-rata 20°-31° Celcius. Sesuai dengan iklimnya yang tropis maka flora yang ada di sana pada umumnya sama dengan daerah-daerah lain di Indonesia, seperti: jati, kelapa, bambu, tanaman buah (seperti rambutan, manggis, duku, kopi, dan durian), padi, dan tanaman palawija (jagung, kedelai, singkong, dan mentimun). Fauna yang ada di wilayah kabupaten ini seperti yang biasa diternakan oleh masyarakat di Indonesia pada umumnya.
 
Pemerintahan
Struktur organisasi pemerintahan tertinggi di Kabupaten Bandung dipegang oleh seorang Bupati yang bertanggung jawab langsung kepada Gubernur Jawa Barat. Bupati menjalankan pemerintahan dengan tugas-tugas meliputi bidang pemerintahan, ketentraan dan ketertiban, kesejahteraan masyarakat, sosial politik. Agama, tenaga kerja, pendidikan, kepemudaan dan olahraga, kependudukan, perekonomian, dan pembangunan fisik prasarana lingkungan, serta bidang-bidang lain yang ditetapkan oleh Gubernur Jawa Barat.
 
Dalam menjalankannya Bupati dibantu oleh Inspektorat Daerah (PPID) dan Sekretariat Daerah. Sekretariat Daerah terdiri atas: Bagian Pemberdayaan, Bagian Hukum dan HAM, Bagian Humas dan Protokol, Bagian Kerjasama dan Otonomi Daerah, Baian Kesejahteraan Rakyat, Bagian Organisasi, Bagian Pembangunan, Bagian Pengasaan Barang/Jasa, Bagian Perekonomian, Bagian Program dan Keuangan, Bagian Tata Pemerintahan, dan Bagian Tata Usaha dan Rumah Tangga. Selain itu ada pula dinas-dinas yang menjalankan peran tertentu dalam menunjang roda pemerintahan daerah, di antaranya: Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, Dinas Sosial, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Dinas Perdagangan dan Perindustrian, Dinas Ketenagakerjaan, Dinas Perhubungan, Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang, Dinas Pemuda dan Olah Raga, Dinas Perumahan Rakyat, Kawasan Permukiman dan Pertanahan, Dinas Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, Dinas Kebakaran, Dinas Pertanian, Dinas Ketahanan Pangan dan Perikanan, Dinas Penanaman Modal dan PTSP, Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Komunikasi, Informatika, dan Statistik, serta Dinas Arsip dan Perpustakaan.
 
Para aparatur bekerja dalam satu kerangka visi dan misi yang sama untuk kemajuan Kabupaten Bandung. Visi tersebut adalah “Memantapkan Kabupaten Bandung yang maju, mandiri, dan berdaya saing, melalui tata kelola pemerintahan yang baik dan sinergi pembangunan perdesaan, berlandaskan religius, kultural dan berwawasan lingkungan”. Visi itu dijadikan sebuah misi yang harus dilaksanakan atau diemban agar seluruh anggota organisasi dan pihak yang berwenang dapat mengetahui dan mengenal keberadaan serta peran Kabupaten Bandung dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah. Adapun misinya adalah: (a) peningkatan kualitas SDM; (b) menciptakan pembangunan ekonomi yang berdaya saing; (c) mewujudkan pembangunan infrastruktur dasar terpadu tata ruang wilayah; (d) meningkatkan kualitas lingkungan hidup; dan (e) mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih (bandungkab.go.id).
 

Dan, sama seperti daerah lain di Indonesia, Kabupaten Bandung juga memiliki logo sebagai bagian dari identitas wilayah. Adapun logo Kabupaten Bandung dapat dibagi menjadi empat bagian, yaitu: (a) Bagian pertama yang berada di kanan atas berlatar kuning emas dengan gambar Gunung Takuban Perahu berwarna hijau melambangkan Kabupaten Bandung termasyhur karena tanahnya yang subur di daerah bergunung-gunung; (b) Bagian melintang bergerigi berbentuk bendungan kokoh berwarna hitam melambangkan masyarakat Kabupaten Bandung memiliki pendirian yang kokoh dan kuat membendung hawa nafsu; (c) Pohon kina berwarna hijau berlatar belakang merah melambangkan di Kabupaten Bandung kaya akan air karena dilintasi oleh dua buah sungai besar (Citarum, Cikapundung) serta memiliki sejumlah danau/situ (Patengang, Cileunca, Lembang, Ciburuy); dan (d) Perisai bertulis “Repeh Rapih Kertaraharja” yang berarti Suasana kehidupan yang aman tentram (Repeh), Suasana kehidupan yang rukun tertib dalam lingkungan yang bersih, sehat, asri (Rapih), dan Tatanan kehidupan yang sejahtera lahir batin secara seimbang, serasi, adil, dan merata (Kertaraharja) (bandungkab.go.id).
 
Kependudukan
Berdasarkan data dari BPS Kabupaten Bandung (sensus tahun 2019) penduduk Kabupaten Bandung berjumlah 3.717.291 jiwa, dengan jumlah Kelapa Keluarga (KK) 819.413. Jika dilihat berdasarkan jenis kelaminnya, maka jumlah penduduk laki-laki mencapai 1.911.189 jiwa dan penduduk berjenis kelamin perempuan mencapai 1.864.090 jiwa. Para penduduk ini tersebar di 31 kecamatan, yaitu: Ciwidey dihuni oleh 82.552 jiwa; Rancabali dihuni oleh 53.753 jiwa; Pasirjambu 90.760 jiwa; Cimaung 83.800 jiwa; Pangalengan 157.660 jiwa; Kertasari 74.076 jiwa; Pacet 115.802 jiwa; Ibun 87.042 jiwa; Paseh 138.309 jiwa; Cikancung 96.897 jiwa; Cicalengka 126.305 jiwa; Nagreg 55.777 jiwa; Rancaekek 193.944 jiwa; Majalaya 174.114 jiwa; Solokanjeruk 89.036 jiwa; Ciparay 174.378 jiwa; Baleendah 274.744 jiwa; Arjasari 105.026 jiwa; Banjaran 132.830 jiwa; Cangkuang 79.231 jiwa; Pameungpeuk 81.316 jiwa; Katapang 134.187 jiwa; Soreang 122.941 jiwa; Kutawaringin 105.306 jiwa; Margaasih 161.684 jiwa; Margahayu 137.452 jiwa; Dayeuhkolot 127.772 jiwa; Bojongsoang 130.091 jiwa; Cileunyi 209.488 jiwa; Cilengkrang 55.816 jiwa; serta Kecamatan Cimenyan dihuni oleh 123.199 jiwa (BPS Kabupaten Bandung, 2020).
 
Jika dilihat berdasarkan golongan usia, penduduk yang berusia 0-4 tahun ada 388.537 jiwa (laki-laki 198.196 jiwa dan perempuan 190.341 jiwa), kemudian yang berusia 5-9 tahun ada 376.401 jiwa (laki-laki 191.971 jiwa dan perempuan 184.430 jiwa), berusia 10-14 tahun ada 352.613 jiwa (laki-laki 179.011 jiwa dan perempuan 173.602 jiwa), berusia 15-19 tahun ada 347.133 jiwa (laki-laki 175.943 jiwa dan perempuan 171.190 jiwa), berusia 20-24 tahun ada 322.390 jiwa (laki-laki 163.485 jiwa dan perempuan 158.905 jiwa), berusia 25-29 tahun ada 325.913 jiwa (laki-laki 164.671 jiwa dan perempuan 161.242 jiwa), berusia 30-34 tahun ada 330.863 jiwa (laki-laki 164.671 jiwa dan perempuan 161.242 jiwa), berusia 35-39 tahun ada 301.184 jiwa (laki-laki 152.028 jiwa dan perempuan 149.156 jiwa), berusia 40-44 tahun ada 259.594 jiwa (laki-laki 133.139 jiwa dan perempuan 126.455 jiwa), berusia 45-49 tahun ada 215.073 jiwa (laki-laki 110.193 jiwa dan perempuan 104.880 jiwa), berusia 50-54 tahun ada 170.654 jiwa (laki-laki 87.426 jiwa dan perempuan 83.228 jiwa), berusia 55-59 tahun ada 135.164 jiwa (laki-laki 69.501 jiwa dan perempuan 65.663 jiwa), berusia 60-64 tahun ada 88.377 jiwa (laki-laki 45.475 jiwa dan perempuan 42.902 jiwa), dan berusia 65 tahun ke atas ada 161.383 (laki-laki 74.780 jiwa dan perempuan 86.603 jiwa) dari jumlah total penduduk. Ini menunjukkan bahwa penduduk Kabupaten Bandung sebagian besar berusia produktif.
 
Mata Pencaharian
Jenis-jenis mata pencaharian yang digeluti oleh masyarakat Kabupaten Bandung sangat beragam, di antaranya: pegawai negeri di berbagai instansi pemerintah, seperti: kabupaten, kelurahan, kecamatan, pemerintah daerah, dan lain sebagainya (16.796 orang). Kemudian, ada juga yang berusaha sendiri/own account worker (329.813 orang), berusaha dibantu buruh tidak tetap/employer assisted by temporary worke (156.164 orang), berusaha dibantu buruh tetap/employer assisted permanent worker (46.096 orang), buruh/karyawan (909.107 orang), pekerja bebas di pertanian/agriculture free time worker (63.944 orang), pekerja bebas non pertanian/non agriculture free tima worker (92.919 orang), pekerja tak dibayar/unpaid worker (90.163 oranng), dan lain sebagainya.
 
Para pekerja yang mengandalkan sektor pertanian sebagai mata pencaharian, baik sebagai pemilik maupun pekerja bebas (agriculture free time worker), mengusahakan berbagai macam tanaman guna dipasarkan ke berbagai daerah. Tanaman tersebut diantaranya adalah: bawang merah seluas 5.288 ha dengan produksi sebanyak 621.001 ton; jagung seluas 18.774 ha; cabai seluas 2.168 ha (434.261 ton); kentang seluas 3.902 ha (816.543 ton); kubis seluas 4.286 ha (978.130 ton); petsai seluas 3.811 ha (789.006 ton); tomat seluas 1.432 ha (738.864 ton); wortel seluas 2.350 ha (485.646 ton); melon seluas 24 ha (ton); paprika seluas 4 ha (ton); semangka seluas 1 ha (ton), stroberi seluas 22h ha (ton); terung seluas 306 ha (ton); bawang daun seluas 3.772 ha (ton); bawang putih seluas 286 ha (ton); bayam seluas 128 ha (ton); blewah seluas 2 ha (ton); buncis seluas 477 ha (ton); cabai rawit seluas 1.220 ha (ton); kacang merah seluas 702 ha (ton); kacang panjang seluas 173 ha (ton); kangkung seluas 250 ha (ton); kembang kol seluas 370 ha (ton); mentimun seluas 589 ha (ton); labu siam seluas 408 ha (ton); lobak seluas 440 ha (ton); jahe seluas 220.028 m2 (535.469 kg), dan laos/lengkuas seluas 33..693 m2 dengan hasil produksi sejumlah 104.781 kg.
 
Pendidikan dan Kesehatan
Sebagai sebuah daerah yang dekat dengan ibu kota provinsi, Kabupaten Bandung tentu saja memiliki sarana pendidikan dan kesehatan yang memadai bagi masyarakatnya. Adapun sarana pendidikan yang terdapat di kabupaten ini adalah: 354 buah Taman Kanak-kanan (TK) dengan jumlah siswa sebanyak 22.408 orang dan 1.483 tenaga pengajar; 754 buah Raudatul Atfah (RA) dengan jumlah siswa sebanyak 32.359 orang dan  3.019 orang tenaga pengajar; 1.406 buah Sekolah Dasar (SD) dengan jumlah siswa sebanyak 366.582 orang dan 14.044 orang tenaga pengajar; 216 buah Madrasah Ibtidaiyah dengan jumlah siswa sebanyak 35.054 orang dan 2.052 orang tenaga pengajar; 322 buah Sekolah Menengah Pertama dengan jumlah siswa 135.700 orang dan 5.779 orang tenaga pengajar; 227 buah Madrasah Tsanawiyah dengan jumlah siswa sebanyak 41.587 orang dan 3.008 orang tenaga pengajar; 108 buah Sekolah Menangah Atas dengan jumlah siswa sebanyak 53.167 orang dan 2.305 orang tenaga pengajar; 139 buah Sekolah Menangah Kejuruan dengan jumlah siswa sebanyak 58.199 orang dan 2.532 orang tenaga pengajar; 121 buah Madrasah Aliah dengan jumlah siswa 19.196 orang dan 1.528 orang tenaga pengajar; dan 4 buah perguruan tinggi swasta.
 
Sementara untuk sarana kesehatan terdapat 11 buah rumah sakit, 13 buah rumah sakit bersalin, 140 buah poliklinik, 67 buah puskesmas, 110 buah puskesmas pembantu, 137 buah apotek, 4.190 buah Posyandu, dan 278 buah balai kesehatan (BPS Kabupaten Bandung, 2020).
 
Agama dan Kepercayaan
Agama yang dianut oleh warga masyarakat Kabupaten Bandung sangat beragam. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Bandung tahun 2020, Islam merupakan agama yang dianut oleh sebagian besar penduduknya (3.454.487 orang). Sedangkan sisanya adalah penganut Kristen Protestan (49.097 orang), Katolik (17.311 orang), Hindu (543 orang), Budha (3.151 orang), Konghucu 55 orang), dan aliran kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa sejumlah 390 orang. (gufron)
 
Sumber:
BPS Kabupaten Bandung. 2020. Kabupaten Bandung Dalam Angka 2020. Soreang, Badan Pusat Statistik Kabupaten Bandung.
 
“Visi Misi Kabupaten Bandung”, diakses dari http://www.bandungkab.go.id/arsip/visi-misi, tanggall 12 Agustus 2020.
 
“Lambang Arti” diakses dari http://www.bandungkab.go.id/arsip/lambang-arti, tanggal 12 Agustus 2020.

Petaruan

$
0
0

Petauran atau biasa disebut juga dengan kubuw adalah istilah orang Lampung bagi tempat berlindung dari panas dan hujan yang sifatnya sementara. Petauran umumnya terdapat di ladang-ladang namun ada juga yang memanfaatkan sebagai gardu jaga di jalan kampung. Bangunan berbentuk segi empat berukuran kira-kira 2x2 meter, bertiang kayu, berlantai pelupuh bambu, beratap rumbia atau alang-alang, tidak berdinding, dan diikat dengan tali rotan atau dipaku.

Kipo

$
0
0

Bila berbicara tentang kuliner khas Yogyakarta yang ada di benak sebagian kita adalah gudeg, bakpia, atau yangko. Padahal ada banyak sekali jenis kuliner baik yang ekstrim seperti belalang goreng hingga kuih-muih basah yang lembut dan nikmat. Salah satu kuih basah tersebut adalah Kipo yang berbentuk lonjong agak pipih, tekstur lembut, dan berwarna hijau. Penganan ini berpusat di Kotagede, sebuah daerah yang berada di sebelah Kota Yogyakarta.

Menurut tuguwisata.com, kipo telah ada sejak zaman Kerajaan Mataram Kuno hingga Mataram Islam. Nama kipo sendiri konon berasal dari kata “iki opo” yang diakronimkan menjadi “kipo”. Namun entah mengapa kipo pernah mengalami kelangkaan karena tidak dibuat orang lagi. Baru pada sekitar tahun 1946 ada seorang bernama Paijem Djito Suhardjo membuat dan kembali mengenalkannya pada masyarakat Jogja, khususnya yang ada di sekitar Pasar Kotagede (travel.kompas.com).

 

Makananringan atau camilan ini berbahan dasar tepung beras ketan, kelapa muda, dan gula jawa. Cara pembuatannya, pertama (untuk isi), gula merah dipanaskan dengan air yang diberi daun pandan. Setelah mendidih, diberi kelapa parut dan garam, lalu diaduk hingga rata lalu sedikit demi sedikit dicampur dengan tepung ketan dan santan panas, sehingga mudah dibentuk sesuai dengan keinginan. Agar warnanya menjadi kehijau-hijauan, maka adukan tersebut diberi air daun suji atau pewarna makanan (hijau). Lalu, ambil setengah sendok makan adonan kulit, memasukkan adonan isi ke dalamnya, dan dibentuk setengah lingkaran. Selanjutnya, memanaskan wajan yang dialasi dengan daun pisang, lalu adonan yang telah diisi ditaruh di atasnya dan ditekan-tekan sedemikian rupa hingga apa yang disebut sebagai kipo siap dicicipi (matang).

 

Sumber:
"Kipo, Makanan Khas Jogja yang Wajib Kamu Coba", diakses dari https://travel.kompas.com/re ad/2019/07/26/081000427/kipo-makanan-khas-jogja-yang-wajib-kamu-coba-?page=all, tanggal 1 Septem ber 2020.


“Kipo: Jajanan Khas Dari Kotagede Yogyakarta Yang Melegenda”, diakses dari https://www.tuguwisata.com/ kipo-khas-kotagede-yogyakarta/, tanggal 1 September 2020.

Seni Jibrut

$
0
0
Di Kabupaten Bandung, tepatnya di Kampung Kiaraeunyeuh, Kecamatan Pamengungpeuk Banjaran ada sebuah kesenian bernama Jibrut. Menurut disparbud.jabarprov.go.id, kesenian ini pertama kali dicetuskan oleh seorang bernama Mang Aji sekitar tahun 1930 dan mencapai puncaknya sekitar tahun 1945. Asal nama jibrut sendiri adalah akronim dari “Ji” yang diambil dari nama pencetusnya “Aji” dan “Brut” yaitu suara telapak tangan ketika dihimpitkan pada ketiak atau cecekolan (bagian lutut atau sikut bila dilipat).

Mengutip bonoquest.wordpress.com, konon seni Jibrut lahir ketika Mang Aji masih kecil dan menjadi penggembala kerbau, kambing, atau itik miliki tetangganya. Di kala hewan gembalaan sedang merumput dia iseng memasukkan telapak tangannya ke ketiak sambil menghentakkan bahu sehingga mengeluarkan bunyi “brut”. Bunyi itu dijadikan sebagai “beat” pengiring bunyi kendang atau siulan yang dikeluarkan oleh mulutnya. Dan, oleh teman-temannya “musik” Mang Aji tadi dipadukan dengan suara tepukan sehingga menimbulkan sebuah harmonisasi bunyi yang mengundang tawa.

Kepandaian membunyikan “brut” ini rupanya terus diasah hingga Mang Aji berumur sekitar 40 tahun. Bahkan, dia menjadikan bebunyian itu sebagai sebuah kesenian baru yang dinamakan “jibrut” dengan menambah beberapa unsur lain seperti hentakan kaki, gerakan pantomim, lawakan atau bebodoran, serta sajian lakon berupa cerita kehidupan sehari-hari.

Oleh Mang Aji, jibrut kemudian dijadikan sebagai mata pencaharian. Bersama teman-temannya, dia sering memainkan jibrut keliling kampung pada pagi (pukul 10.00-13.00), sore (pukul 16.00-18.00), dan malam hari antara pukul 19.00.21.00. Selain berkeliling kampung, mereka juga mengiringi arak-arakan pengantin sunat dan acara-acara khusus di alun-alun atau lapangan.

Sumber:
“Kesenian Jibrut” diakses dari https://bonoquest.wordpress.com/2010/11/ 06/kesenian-jibrut/, tanggal 1 Agustus 2020.

“Jibrut”, diakses dari http://www.disparbud.jabarprov.go.id/wisata/dest-det.php?id=515&lang=id#:~:text=Seni%20Jibrut%20ini%20pertama%20kali,Arak%C2%ACarakan%20Budak%20Sunat, tanggal 1 Agustus 2020.

Borondong

$
0
0

Borondong adalah salah satu jenis makanan (kudapan) tradisional khas daerah Jawa Barat, khususnya di Kecamatan Ibun, Kabupaten Bandung. Sejak kapan kudapan bercita rasa manis ini dibuat sudah tidak diketahui lagi. Yang jelas, borondong telah diproduksi secara turun-temurun oleh warga masyarakat Kampung Sangkan, Desa Laksana, Kecamatan Ibun (jabar.tribunnews.com). Konon, borondong dahulu hanya merupakan suguhan para penggarap kepada pemilik sawah ketika masa panen tiba.

 

Borondong baru mulai diproduksi secara massal, menurut news.detik.com, adalah berkat jasa seorang warga Desa Laksana bernama Ema Erah. Bahkan, pada sekitar tahun 2004 bersama 40 orang pembuat berondong, Ema Erah juga mencoba mempopulerkannya ke luar daerah Ibun dengan membuat sebuah borondong raksasa seberat 2 ton berdiameter 6x8 meter. Hasilnya, mereka berhasil menyabet rekor Muri dan berondongnya diresmikan di Istana Plaza oleh pejabat Gubernur waktu itu Dani Setiawan serta Menteri Pemberdayaan Perempuan Sri Rejeki.


Berondong raksasa tersebut merupakan satu dari dua jenis borondong yang dibuat di Ibun, yaitu borondong garing. Sedangkan jenis lainnya adalah berondong enten. Proses pembuatan keduanya relatif sama, hanya pada bagian pencetakan serta ukurannya saja yang berbeda. Adapun langkah pembuatannya diawali dengan penyangraian gabah beras ketan yang telah di unun atau dikeringkan di atas hawu. Penyangraian menggunakan wajan berbentuk menyerupai tempayan kecil terbuat dari tanah liat di atas hawu (tungku berbahan kayu bakar) hingga gabah berubah bentuk menjadi seperti popcorn.

 

Selanjutnya, sisa-sisa gabah dibersihkan dengan cara diayak. Tahap ini dilakukan sejumlah dua kali. Ayakan pertama berada dalam sebuah kamar khusus agar serbuk kulit gabah tidak beterbangan, sedangkan ayakan kedua dilakukan untuk membersihkan gabah yang tidak tersangrai secara sempurna. Setelah gabah “popcorn” bersih dari serbuk, langkah berikutnya adalah mencampurnya dengan larutan gula merah (kinca) yang telah diberi pewangi nenas atau mangga kweni.

 

Apabila yang akan dibuat berjenis enten atau wajit ketan, maka larutan kinca ditambah kelapa parut dikentalkan dan dibentuk bulat lalu dibungkus atau dibalut atau ditaburi dengan borondong. Sedangkan, apabila berjenis garing larutan kinca (tanpa kelapa parut) dicampur dengan borondong lalu dicetak padat dalam sebuah mangkuk kecil hingga berbentuk bulat atau pipih. Setelah terbentuk, sebelum dikonsumsi berondong akan dikeringkan terlebih dahulu dalam oven atau dijemur di bawah sinar matahari.

 

Sumber:

“Borondong, Makanan Tradisional Ibun Bandung yang Melegenda”, diakses dari https://news.detik.com/berita-jawa-barat/d-3708412/borondong-makanan-tradi sional-ibun-bandung-yang-melegenda, tanggal 10 September 2020.

 

“Borondong Majalaya, Kudapan Tradisional dari Ibun Bandung yang Masih Eksis Hingga Saat Ini”, diakses dari https://jabar.tribunnews.com/2019/01/02/borond ong-majalaya-kudapan-tradisional-dari-ibun-bandung-yang-masih-eksis-hingga-saat-ini?page=2, tanggal 10 September 2020.

Sebring Elod

$
0
0

Di daerah Ciparay, Kabupaten Bandung ada sebuah penganan ringan yang dinamakan Sebring elod. Dalam situs ayobandung.com, keberadaan penganan ini di Ciparay tidak lepas dari seorang pemuda bernama Muhammad Ridwan. Dia mulai merintis usaha sebring elod atau biasa juga disebut keripik kaca sejak sekitar tahun 2015 sebagai strategi bisnis untuk menyamai penjualan seblak dan basreng yang dijual dalam kemasan.

 

Elod sendiri terbuat dari cairan limbah singkong yang akan dibuat menjadi aci atau tepung tapioka. Ia berwarna hijau kecoklatan, berpostur padat namun lembek, dan bila dicicipi berasa asin-gurih. Agar dapat dibuat menjadi keripik, menurut cep-rahmat.blogspot.com ada beberapa tahap yang harus dilalui. Pertama, membersihkan elod dengan mencampur air lalu di aduk dan didiamkan selama beberapa jam hingga kotoran elod mengambang di bagian atas.

 

Selanjutnya, elod yang telah bersih diberi bumbu berupa irisan bawang merah, merica, garam, dan lain sebagainya. Kemudian, elod dimasukkan dalam wajan dan dipanaskan hingga mengental berwarna kekuningan lalu diiris sangat tipis menyerupai kaca transparan. Setelah itu dijemur di bawah sinar matahari. Dan, setelah kering dapat langsung digoreng untuk disajikan sebagai teman minum kopi atau teh.

 

Sumber:

“Muhammad Ridwan, Produksi Keripik Elod Khas Ciparay”, diakses dari https://ayobandung.com/read/2019/07/05/56878/muhammad-ridwan-produksi-ke ripik-elod-khas-ciparay, tanggal 15 September 2020.

 

“Proses Pembuatan Kerupuk Elod”, diakses dari http://cep-rahmat.blogspot.com /2015/08/proses-pembuatan-kerupuk-elod.html, tanggal 15 September 2020.

Moyang Sangkal

$
0
0
Moyang Sangkal adalah salah satu jenis tarian khas Keraton Sumenep yang bersifat sakral. Tarian ini mulanya hanya dimainkan di lingkungan kerabat keraton pada zaman pemerintahan Sultan Abdurrachman (1811—1854). Moyang Sangkal disuguhkan dalam rangka menyambut para tamu yang berkunjung di Kabupaten Sumenep. Maksudnya adalah agar para tamu tersebut selama di Sumenep hingga kembali ke rumah selalu dalam lindungan Tuhan Yang Maha Esa. Dewasa ini tarian tersebut sudah tidak menjadi “milik” keraton lagi, tetapi milik masyarakat Sumenep.

Tarian Moyang Sangkal dibawakan oleh para penari yang masih gadis. Dalam sebuah tarian jumlahnya ganjil (3,5,7, hingga 13 orang penari). Sebelum para gadis membawakannya, mereka harus berpuasa (satu hari). Dalam sebuah pertunjukkan mereka (para penari) mengenakan busana khas Keraton Sumenep. Busana tersebut mirip dengan busana Pengantin Kebesaran Keraton (Busana Pengantin Legha), tetapi lebih sederhana dan didominasi oleh warna merah, kuning, dan hitam. Gerakan-gerakan tariannya halus dan datar tetapi mempunyai tekanan-tekanan yang eksotik sebagai ciri khas Sumenep. Gerakan tarian sampai saat ini belum mengalami perubahan yang mendasar. Namun demikian, secara keseluruhan gerakan-gerakan yang dilatunkan oleh para penari melambangkan keagungan, kesakralan, serta kelemah-lembutan puteri Keraton Sumenep. Tarian diakhir dengan penaburan beras kuning ke seluruh penjuru Pendopo Agung Keraton Sumenep. Makna yang terkandung dalam penebaran beras kuning ke segala penjuru itu adalah membuang sesuatu yang tidak baik demi keselamatan bersama.

Kecapi Jenaka

$
0
0
Kesenian Kecapi atau Kacapi Jenaka atau Jenaka Sunda ini diprakarsai oleh Dayat Hidayat atau yang lebih dikenal dengan nama panggung Mang Dekok/Mang Ukok. Seniman yang lahir sekitar tahun 1931 di Ciwaru, Lebakwangi, Banjaran ini merupakan maestro kesenian kacapi. Kacapi jenaka lahir secara tidak sengaja dari pertemua Mang Dekok dengan seniman lain bernama Mang Utun atau Mang Udjo. Sekitar tahun 1960an mereka kemudian berkolaborasi membentuk sebuah kesenian baru yang dinamakan Kacapi Janaka. Adapun groupnya sendiri bernama Kacapi Jenaka Utun Ukok.

Sekitar tahun 1970an Kacapi Jenaka Utun Ukok menjadi pengiring Ros Rosita dalam acara Menglean (Kawih Istri). Lepas dari Ros Rosita mereka kemudian menelurkan dua buah album yaitu Jenjreng Jembret dan Tulung Balong. Album ketiga ini merupakan hasil kolaborasi dengan seorang seniman Sunda yang cukup berpengaruh yaitu Kang Ibing.

Setelah dua album tersebut beredar di pasaran, seni Kecapi Jenaka Sunda mulai dilirik masyarakat. Mang Ukok dan Mang Utun mulai kebanjiran “job” manggung pada ruang-ruang publik yang dihadiri banyak orang. Mereka menyajikan sebuah hiburan berupa lagu-lagu jenaka dan beluk sembari diiringi petikan waditra kacapi siter yang berirama bebas atau konstan. Di sela-sela lagu juga diisi banyolan-banyolan komunikatif yang mengundang tawa penonton.

Tradisi Lisan Hahiwang Pada Perempuan Di Pesisir Barat Lampung

$
0
0

 Oleh Ali Gufron

 

 

Abstrak

Artikel ini bertujuan menguraikan bagaimana tradisi hahiwangberkembang pada masyarakat 16 marga di Kabupaten Pesisir Barat, Lampung, yang dibagi menjadi empat bagian. Bagian pertama membahas hahiwang sebagai salah satu bentuk tradisi lisan. Bagian kedua membahas sistem kekerabatan yang bersifat patrilineal dan konsep patriarki pada masyarakat Pesisir Barat. Bagian ketiga membahas tentang bentuk dan struktur hahiwang. Dan, bagian terakhir membahas hahiwangdan dominasi laki-laki. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Adapun teknik untuk menjaring data dan informasi adalah wawancara dan observasi. Hasilnya, menunjukkan bahwa hahiwang lahir akibat dominasi patriarki yang mensubordinasikan perempuan Lampung Saibatin dalam bentuk aturan adat. Hahiwangmerupakan ungkapan pengalaman dan perasaan jiwa perempuan Lampung Saibatin atas ketidakberdayaannya dalam menghadapi dominasi laki-laki. Hahiwangtidak bertujuan untuk menggulingkan kekuasaan patriarki, melainkan hanya sebagai ungkapan atas ketertindasan perempuan dalam bentuk ratapan yang dilantunkan. Namun dalam perkembangan selanjutnya, hahiwangdieksploitasi kaum patriaki menjadi sarana siar agama, pelengkap begawiadat, dan bahkan penarik simpatisan dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah.

 

 

Kata kunci: hahiwang, perempuan, tradisi lisan, sistem kekerabatan, patriarki.

 

 Abstract

This article aims to describe how the hahiwang tradition which develops in a community of 16 clan in West Coast District, Lampung, which is divided into four parts. The first part discusses hahiwang as one form of oral tradition. The second section discusses the patrilineal kinship system and the patriarchal concept of the West Coast community. The third section deals with the shape and structure of hahiwang. And, last part discusses hahiwang and male domination. The research method used is descriptive qualitative. The techniques getting the data and information are used interviews and observation. The result shows that hahiwang were born due to patriarchal dominance that subordinating Lampung Saibatin women in the form of custom rules. Hahiwang is an expression of experience and feelings of the female soul of Lampung Saibatin for his powerlessness in the face of male domination. Hahiwang does not aim to overthrow patriarchal rule, but only as an expression of women's oppression in the form of laments sung. However, in later developments, hahiwang exploited the patriarchs to be a means of religious broadcasting, supplements of traditional begawi, and even the pullers of sympathizers in the General Election of Regional Head.

 

Keywords: Hahiwang, Womens, oral tradition, kinship system, patriarchy.


A.     PENDAHULUAN

Jauh sebelum manusia mengenal tulisan, proses pewarisan kebudayaan dilakukan dengan cara dituturkan dari satu generasi kepada generasi berikutnya. Cara penyampaiannya menurut Irwanto (2012:126), dapat melalui cerita rakyat (dongeng, legenda, mitologi), nyanyian-nyanyian, sistem kognitif, adat istiadat, sarana ekspresi, sistem religi dan kepercayaan, kearifan lokal atau bentuk lainnya. Proses penyampaian secara lisan inilah yang kemudian disebut sebagai tradisi lisan.

Tradisi lisan dapat diartikan sebagai segala wacana yang diucapkan meliputi yang lisan dan yang beraksara atau sistem wacana yang bukan beraksara (Pudentia, 1998:vii).  Kandungan wacana tersebut menurut Sedyawati (1996:5-6), sangat bervariasi serta mempunyai cakupan luas mulai dari uraian genealogis, sistem pengetahuan, ungkapan seremonial ritual, hingga seni tutur atau sastra lisan. Oleh Danandjaja (1998:54), sastra lisan atau sastra rakyat (folk literature) dianggap sinonim dengan folklor lisan karena merupakan bagian kebudayaan yang tersebar dan diwariskan turun-temurun baik yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat. Sebagai bagian dari kebudayaan, sastra lisan tidak lepas dari pengaruh nilai-nilai yang hidup dan berkembang di masyarakat. Ia memberikan ciri khas daerahnya sendiri yang menganut nilai-nilai tertentu yang mengikat masyarakat agar tetap utuh mempertahankan tradisinya.

Di daerah Lampung, tempatnya di Kabupaten Pesisir Barat terdapat sejenis seni tutur yang disebut sebagai hahiwang. Hahiwang merupakan satu dari beberapa ragam karya sastra orang Lampung. Sanusi (2001:7) membagi karya sastra lisan etnis Lampung menjadi 5 (lima) macam, yaitu: Peribahasa (sesikun/sekiman); (2) teka-teki (seganing/teteduhan); (3) mantera (memmang, asihan, pebukkem/pebukkom, pengheppek/pengheppok, balung, jappei/ jappi); (4) cerita rakyat (warahan); dan (5) puisi (paradinei/paghadini, papaccur/ papaccogh/wawancan, pattun/adi-adi, bebandung, ringget/pisaan/highing-highing/wayak/ngehahaddo, hahiwang).

Sebagai bagian dari sastra lisan Lampung, hahiwang berupa ungkapan pengalaman dan perasaan jiwa atau tanggapan perempuan Lampung atas lingkungannya (dalam arti luas) yang diwujudkan dalam dunia fiksi melalui media bahasanya (bahasa Lampung) dalam bentuk tuturan. Hahiwang sendiri berasal dari kata dasar hiwang yang berarti menangis, mengisak, meratap atau penyesalan. Awalan /ha/ di depan kata /hiwang/ menunjukkan arti sangat yang memiliki makna “hiperbolisme”; yakni sedih yang amat sangat, kesedihan mendalam. Arti tersebut tergambarkan pada seni tutur hahiwangyang menyuarakan isi hati dengan lantunan suara yang menyayat.

Hahiwang berkembang pada masyarakat adat Saibatin/Peminggir, khususnya 16 Marga Pesisir Krui, Kabupaten Pesisir Barat. Bahasa yang digunakan dalam ber-hahiwang adalah bahasa Lampung subdialek Belalau atau lebih dikenal dengan dialek Api/"A" (Hadikusuma, 1996). Subdialek ini juga dipertuturkan oleh ulun Lampung Saibatin/Peminggir yang berdomisili di Melinting-Meranggai, Pesisir Rajabasa, Pesisir Teluk, Pesisir Semaka, Kedondong, Belalau, Way Tenong, Sumber Jaya, Ranau, Komering, Kayu Agung serta ulun Lampung Pepadun yang berdomisili di Way Kanan, Sungkay Utara, Natar dan Pubian (khufronimi9.wordpress.com).

Sejak kapan hahiwang muncul sudah tidak diketahui lagi. Sebab, apabila mengacu pada definisi folklor lisan seperti yang dikemukakan Danandjaja di atas, maka seni tutur diwariskan secara oral untuk dijadikan sebagai milik komunal. Jadi, sudah tidak mungkin lagi untuk menelusuri kapan serta siapa yang pertama kali menciptakannya. Satu hal yang menarik, tradisi ini masih tetap dilantunkan oleh sebagian orang, khususnya kaum perempuan Pesisir Krui. Oleh karena itu, penelitian tentang hahiwang perlu dilakukan dengan masalah: Bagaimana bentuk dan struktur hahiwang serta apa fungsi bagi masyarakat pendukungnya. Adapun tujuannya adalah untuk menggambarkan bentuk atau strukur hahiwang serta mengetahui fungsi bagi masyarakat khususnya kaum perempuan di 16 marga Pesisir Krui. Materi yang akan dibahas meliputi: struktur sosial masyarakat Pesisir Krui, bentuk dan struktur hahiwang, sistem kekerabatan masyarakat Pesisir Krui, dan aturan-aturan dalam sistem kekerabatan yang mengikat kaum perempuan berdasarkan prinsip patriarki.

Penelitian tentang hahiwang yang ada di Kebupaten Pesisir Barat masih belum banyak dilakukan orang. Dari penelusuran literatur hanya ada beberapa tulisan yang relatif lengkap membahas tentang  hahiwang. Salah satunya adalah tulisan Fauzi Fattah pada harian Lampung Post terbitan 20 Juli 2013 dengan judul "Menyingkap Makna Filosofis Hahiwang". Dalam tulisannya Fattah membahas tentang makna filosofis hahiwang berjudul JanjiSebudi yang berkisah tentang kekecewaan seorang bujang karena sang kekasih menikah dengan orang lain. Menurut Fattah, walau berisi penderitaan seseorang "Janji Sebudi" juga mengandung makna filosofis yang dapat menggambarkan kehidupan orang Lampung, yaitu: agamis, patuh pada pimpinan adat, rendah hati, sabar, saling menghormati, dan kesederhanaan.

Selain Fattah, ada pula penelitian dari Kurnia (2010) yang berjudul "Fungsi Hahiwang pada Ulun Saibatin Krui Kecamatan Pesisir Tengah Lampung Barat". Dalam penelitiannya Kurnia mendefinisikan hahiwangyang diperoleh dari sastrawan Mamak Lawok sebagai puisi berbentuk cerita yang dibagi menjadi dua bagian, yaitu hahiwangagama dan adat. Hahiwang agama berisi syariat dan ajaran-ajaran Islam yang umumnya disenandungkan saat memperingati hari-hari besar agama Islam, sedangkan hahiwangadat berisi ketentuan adat tentang silsilah, perkawinan, dan lain sebagainya yang disenandungkan pada acara begawiadat. Berdasarkan kedua bentuk tersebut Kurnia menyimpulkan bahwa fungsi hahiwang adalah sebagai saran dakwah keagamaan serta pengingat orang Lampung akan adat istiadatnya. Seiring perkembangan zaman, fungsi ini telah bergeser menjadi alat bagi sebagian orang untuk mendapatkan perhatian publik.

Penelitian-penelitian tersebut menunjukkan bahwa aspek sistem kekerabatan yang bersifat patrilineal tidak menjadi sesuatu yang ditekankan oleh para peneliti. Fauziah Fattah lebih menekankan pada makna filosofis hahiwangyang bersumber dari jati diri orang Lampung. Penekanan Kurnia lebih pada fungsi hahiwang sebagai sarana berdakwah dan pengingat orang Lampung akan adat istiadatnya. Sedangkan penelitian ini lebih menekankan pada hubungan hahiwangdengan dominasi laki-laki yang mensubrodinasikan perempuan Lampung Saibatin.

 

B.  METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Teknik pengumpulan data dan informasi menggunakan wawancara dan observasi. Wawancara ditujukan kepada para pelantun hahiwangdan tokoh informal yang menguasai adat istiadat Lampung Saibatin di Pesisir Krui. Melalui wawancara dengan para informan yang dilakukan pada pertengahan bulan Juni 2016 dan awal bulan April 2017, diperoleh data dan informasi berupa: (1) definisi hahiwang; (2) struktur hahiwang; (3) pelantunan hahiwang, dan (4) struktur serta sistem kekerabatan masyarakat Pesisir Krui. Sementara, melalui observasi diperoleh data tentang lingkungan alam, pola pemukiman, dan perilaku masyarakat Pesisir Barat dalam kehidupan sehari-hari.

Selain metode beserta teknik di atas, studi literatur (kepustakaan dan atau dokumentasi) juga dilakukan dalam kegiatan ini. Studi literatur dilakukan dalam rangka memeroleh pengertian atau konsep-konsep yang berkenaan dengan hahiwang, sistem kekerabatan,patriarki, dan gender. Adapun data-data yang berkenaan dengan Kabupaten Pesisir Barat, seperti posisi geografis,kependudukan, pola pemukiman, dan mata pencaharian diperoleh dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Pesisir Barat.

 

C. HASIL DAN BAHASAN

1. Sekilas tentang Kabupaten Pesisir Barat

Kabupaten Pesisir Barat secara administratif termasuk dalam wilayah Provinsi Lampung dengan batas geografis sebelah utara dengan Kabupaten Lampung Barat dan Kabupaten Ogan Komering Ulu (Provinsi Sumatera Selatan); sebelah timur dengan Kecamatan Pematang Sawah dan Kecamatan Semaka; sebelah selatan dengan Samudera Hindia; dan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Kaur (Provinsi Bengkulu). Kabupaten yang dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2012 (Lembaran Negara Nomor 231, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5364) yang diundangkan tanggal 17 November 2012 ini memiliki luas wilayah sekitar 2.907,23 km² atau 495.04 ha dengan titik koordinat 4° 40’ 0” – 6° 0’ 0” Lintang Selatan dan 103° 30’ 0” – 104° 50’ 0” Bujur Timur (uun-halimah. blogspot.co.id).

Penduduk Kabupaten Pesisir Barat berjumlah 144.763 jiwa, dengan jumlah Kepala Keluarga (KK) 33.292. Jika dilihat berdasarkan jenis kelaminnya, maka jumlah penduduk laki-lakinya mencapai 76.240 jiwa dan penduduk berjenis kelamin perempuan mencapai 68.523 jiwa. Para penduduk ini tersebar di 11 kecamatan, yaitu Pesisir Selatan dihuni oleh 21.762 jiwa (5,09%), Bengkunat dihuni oleh 7.620 jiwa (5,61%), Bengkunat Belimbing 24.009 jiwa (5,61%), Ngambur 17.953 jiwa 4,20%, Pesisir Tengah 18.358 jiwa (4,29%), Karya Penggawa 14.292 jiwa (3,34%), Way Krui 8.328 jiwa 1,95%, Krui Selatan 8.531 jiwa 1,99%, Pesisir Utara 8.202 jiwa 1,92%, Lemong 14.365 jiwa 3,36%, dan Pulau Pisang dihuni oleh 1.343 jiwa (0,31%). Sementara jika dilihat berdasarkan golongan usia, maka penduduk yang berusia 0-14 tahun ada 54.825 jiwa (34,44%), kemudian yang berusia 15—54 tahun ada 76.632 jiwa (50,83%), dan yang berusia 55 tahun ke atas 12.559 jiwa (14,73%). Golongan umur tersebut secara rinci dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

 

Tabel 1. Penduduk Pesisir Barat Berdasarkan Golongan Umur

 

No

Gol Umur

Jumlah

Prosentase

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

11.

12.

13.

14.

15.

0-4

5-9

10-14

15-19

20-24

25-29

30-34

35-39

40-44

45-49

50-54

55-59

60-64

65-69

70-ke atas

18.784

19.830

16.211

12.190

10.234

10.883

10.874

9.742

8.558

7.788

6.363

4.596

3.213

2.267

2.183

12,98

13,70

11,20

8,42

7,07

7,52

7,51

6,73

5,91

5,38

4,40

3,17

2,22

1,57

1,51

 

 

144.763

100,00

Sumber: (BPS Kabupaten Lampung Barat)

 

Pola pemukiman penduduk Pesisir Barat umumnya perumahan berada di sekitar jalan, baik itu jalan kabupaten, kecamatan, maupun desa, berjajar, dengan arah menghadap ke jalan (pola pita/ribbon). Arah rumah yang berada bukan di pinggir jalan pun arahnya mengikuti yang ada di pinggir jalan. Sebagian besar rumah tersebut masih berbentuk tradisional yang mengelompok dan tersebar secara sporadis. Adapun cirinya berupa bangunan semi permanen berbentuk panggung, menggunakan sumur (air tanah) sebagai sumber air minum, dan kurang atau belum mendapat pasokan listrik. Khusus untuk pasokan listrik, kabupaten baru ini relatif masih kurang. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila sering terjadi pemadaman listrik secara bergilir. Bahkan, pemadaman hampir terjadi setiap hari dengan jangka waktu antara beberapa jam hingga beberapa hari. Untuk mensiasatinya hampir di setiap rumah memasang genset berbahan bakar solar agar tetap menikmati listrik.

Letak Kabupaten Pesisir Barat yang relatif jauh dari ibukota provinsi (Bandarlampung) membuat perekonomian mayoritas penduduknya masih mengandalkan sektor pertanian untuk memenuhi kebutuhan hidup. Menurut data dari BPS Lampung Barat (Kabupaten Induk) tahun 2013, aktivitas perekonomian mencapai 2,9 triliun yang dibagi menjadi beberapa kategori lapangan usaha, yaitu: pertanian, kehutanan dan perikanan 52,90%; pertambangan dan penggalian 5,15%; industri pengolahan 5,37%; pengadaan air, pengelolaan sampah, limbah dan daur ulang 0,06%; konstruksi 5,09%; perdagangan besar/eceran, reparasi mobil, dan sepeda motor 11,23%; transportasi dan pergudangan 0,9%; penyedia akomodasi dan makan minum 1,55%; informasi dan komunikasi 1,56%; jasa keuangan dan asuransi 1,64%; real estate 3,55%; jasa perumahan 0.14%; dan administrasi pemerintahan, pertanahan dan jaminan sosial 5,17%.

 

2.  Struktur Masyarakat Pesisir Barat

Masyarakat Pesisir Barat merupakan pendukung adat Saibatin (Peminggir) yang umumnya bertempat tinggal di sekitar pantai, mulai dari Krui hingga Kayu Agung (Harsono, 2013:246). Sebagai sebuah kesatuan sosial, mereka mempunyai struktur tersendiri yang tercermin dalam kelas-kelas sosial yang ditentukan berdasarkan asal usul serta hubungan kekerabatan. Struktur tersebut dipertahankan dari satu generasi ke generasi berikutnya dalam bentuk mitos-mitos sebagai perwujudan keyakinan yang berkembang menjadi identitas kelompok (Rudito, 2013:3). Menurut mitos tentang asal usul, orang Pesisir Barat berkeyakinan bahwa mereka berasal dari keturunan Kepaksian Skala Brak/Sekala Beghak yang lokasinya berada di kawasan lereng Gunung Pesagi (sekarang di sekitar Kabupaten Lampung Barat). Sebelum menjadi kepaksian, menurut Masduki (2006: 23-25), pada abad 15 datang empat kelompok masyarakat yang menduduki sekitar Danau Ranau. Di sebelah barat danau dihuni orang-orang yang datang dari Pagaruyung Sumatera Barat pimpinan Dipati Alam Padang. Di sisi timur danau, kelompok orang-orang Sekala Beghak yang dipimpin Pangeran Liang Batu dan Pahlawan Sawangan (berasal dari Kepaksian Nyekhupa) serta kelompok yang dipimpin Raja Singa Jukhu (dari Kepaksian Bejalan Di Way). Sementara kelompok terakhir menempati sisi utara danau yang dipimpin Umpu Sijadi Helau yang juga dari Sekala Beghak.

Mereka kemudian berbaur dan membentuk sebuah persekutuan buway (keturunan) bernama Kepaksian Sekala Baghak dan membaginya menjadi empat marga atau kebuayan, yaitu: (1) Umpu Bejalan Di Way memerintah daerah Kembahang dan Balik Bukit dengan Ibu Negeri Puncak, daerah ini disebut dengan Paksi Bejalan Di Way; (2) Umpu Belunguh memerintah daerah Belalau dengan Ibu Negerinya Kenali, daerah ini disebut dengan Paksi Buay Belunguh; (3) Umpu Nyerupa memerintah daerah Sukau dengan Ibu Negeri Tapak Siring, daerah ini disebut dengan Paksi Buay Nyerupa; dan (4) Umpu Pernong memerintah daerah Batu Brak dengan Ibu Negeri Hanibung, daerah ini disebut dengan Paksi Buay Pernong.

Keempat paksi tersebut mengutus lima orang penggawanya (Raja Penyukang Alam, Raja Panglima, Raja Nurakdim, Raja Belang, dan Nungkah Nungkeh Dego Pemasok Rulah)untuk membantu Lumia Ralang Pantang dari Pantau Kota Besi yang masih keturunan Pangeran Tanah Jaya dari daerah Banten (Imron, 2014). Bersama-sama mereka menumpas sukubangsa Tumi yang tinggal di sekitar wilayah Pesisir Barat. Setelah berhasil ditaklukkan kelima penggawa bersepakat mendirikan kerajaan yang diberi nama Penggawa Lima di bekas wilayah orang Tumi. Masing-masing menempati wilayah yang telah disepakai bersama. Raja Penyukang Alam bersama marga-marga yang dinaunginya menempati wilayah Cukuh Mersa (Bandar), Raja Panglima menempati wilayah Pekon Teba (Perpasan), Raja Nurakdim menempati wilayah Pematang Gedung (Pekon Balak - Laay), Raja Belang menempat wilayah Pematang Gedung (Pekon Laay), dan Raja Nungkah Nungkeh Dego Pemasok Rulah menempati wilayah Pagar Dewa (Imron, 2014).

Pada masa kekuasaan Inggris, wilayah pesisir barat Lampung menjadi salah satu Onderafdellingdalam wilayah administrasi Regenschap(Karesidenan) Bengkulu. Sebagai konsekuansinya, struktur kekuasaan lokal berada di bawah Onderafdelingmelalui Inlandsche Gemeent Ordonantie Buitengewestan (peraturan dasar mengenai pemerintahan desa)(Imron, 2014). Menurut Masduki (2006: 27) pada masa ini kekuasaan marga-marga Penggawa Lima dan kebuayan Sekala Bekhak dipecah menjadi: (1) Bukti-bukti terdiri atas Marga Sukau, Marga Liwa, Marga Kembahang, Marga Batu Brak, Marga Kenali, Marga Suoh, Marga Way Tenong; (2) Krui Utara terdiri atas Marga Pulau Pisang, Marga Pugung Tampak, Marga Pugung Penengahan, Marga Pugung Malaya; (3) Krui Tengah terdiri atas Marga Way Sindi, Marga Laay, Marga Bandar, Marga Pedada, Marga Ulu Krui, Marga Pasar Krui, Marga Way Napal; dan (4) Krui Selatan terdiri atas Marga Tenumbang, Marga Ngambur, Marga Ngaras, Marga Bengkunat, Marga Belimbing.

Perkembangan selanjutnya, kebuayan Paksi Sekala Beghak menjadi enam, yaitu: Belunguh (Kenali), Pernong (Batu Brak), Bejalan Di Way (Kembahang), Nyerupa (Sukau), Bulan/Nerima (Lenggiring), dan Buay Menyata/Anak Mentuha (Luas). Namun, dari enam kebuayan tersebut hanya empat yang menjadi Raja. Dua buay yang tidak memerintah adalah Buay Menyata/Anak Mentuha dan Buay Bulan/Nerima. Buay Menyata yang merupakan penghuni pertama Kerajaan Skala Brak diangkat sebagai Anak Mentuha atau yang dihormati, sedangkan Buay Nerima merupakan Nakbar/Mirul (anak perempuan yang diambil orang).

Saat ini, berdasarkan SK Gubernur Lampung No. G/362/B.II/HK/1996, wilayah adat marga-marga di wilayah Pesisir memiliki batas yang cukup jelas. Masing-masing marga dipimpin oleh seorang kepala marga dan memiliki tujuh tingkatan Gelar yaitu: Suntan, Raja, Batin, Radin, Minak, Kimas dan Mas. Adapun nama-nama Marga di Wilayah Pesisir di Kabupaten Pesisir Barat Lampung yakni: Belimbing Bandar Dalam Bengkunat, Bengkunat Sukamarga Bengkunat, Ngaras Negeri Ratu Ngaras Bengkunat, Ngambur Negeri Ratu Ngambur Pesisir Selatan, Tenumbang Negeri Ratu Tenumbang Pesisir Selatan, Way Napal Way Napal Pesisir Tengah, Pasar Krui Krui Pesisir Tengah, Ulu Krui Gunung Kemala Pesisir Tengah, Pedada (Penggawa V Ilir) Pedada Pesisir Tengah, Bandar (Penggawa V Tengah) Bandar Pesisir Tengah, Laay (Penggawa V Ulu) Laay Karya Penggawa, Way Sindi Karya Penggawa, Pulau Pisang Pesisir Utara, Pugung Tampak Pesisir Utara, Pugung Penengahan Lemong, dan Pugung Malaya Lemong.

 

3. Sistem Kekerabatan dan Ideologi Patriarki

Sistem kekerabatan memiliki peranan penting untuk menggambarkan struktur sosial masyarakat. Menurut Lowie, sebagaimana yang dikutip oleh Hermaliza (2011:124), kekerabatan adalah hubungan-hubungan sosial melalui jalur genealogis dan atau perkawinan yang terjadi antara seseorang dengan saudara-saudaranya atau keluarganya (baik keluarga inti maupun luas). Lebih lanjut, interaksi antarkerabat berdasarkan peran dan statusnya masing-masing membentuk sebuah sistem yang meliputi istilah kekerabatan, keluarga inti, peran dan fungsi anggota keluarga, keluarga luas, dan peran dalam tatanan adat.

Sistem kekerabatan dalam suatu masyarakat dapat berbentuk unilineal, bilateral, dan sistem keturunan ganda. Menurut Koentjaraningrat (1985: 129-130) sistem kekerabatan matrilineal bersama dengan patrilineal termasuk ke dalam sistem kekerabatan yang menetapkan garis keturunan berdasarkan satu garis atau unilineal. Dalam sistem kekerabatan matrilineal menghitung hubungan kekerabatan melalui garis perempuan sementara sistem kekerabatan patrilineal menetapkan garis keturunan menurut ayah atau laki-laki. Sistem kekerabatan lainnya adalah sistem kekerabatan nonunilinealyaitu bilinealdan bilateral. Sistem kekerabatan bilineal menghitung hubungan kekerabatan melalui laki-laki saja untuk sejumlah hak dan kewajiban tertentu dan melalui perempuan saja untuk sejumlah hak dan kewajiban tertentu pula. Sedangkan sistem kekerabatan bilateral menghitung hubungan kekerabatan melalui laki-laki maupun perempuan.

Pada masyarakat adat Saibatin di Pesisir Barat sistem kekerabatannya ditarik secara patrilineal mulai dari asal usul mereka. Adapun penerapannya bersifat primogenitur, yaitu bahwa harta pusaka berupa rumah, pekarangan, sawah dan atau ladang serta seluruh harta kekayaan sebuah keluarga hanya akan diwariskan pada anak laki-laki tertua (sulung). Dengan demikian harta pusaka tidak pecah terbagi-bagi. Anak laki-laki lainnya tidak mendapat warisan dan apabila tetap tinggal di desa sebagai petani, hanya sebagai penggarap tanah pusaka yang dikuasai oleh kakak laki-laki tertua (Imron, 2014).

Aturan kekerabatan yang bersifat patrilineal-primogenitur dianut seluruh marga yang membangun buay dan kepaksian di Pesisir Barat. Oleh karena itu, dalam setiap marga kedudukan adat tertinggi berada pada anak laki-laki tertua dari keturunan tertua yang disebut Penyimbang. Seseorang yang memperoleh gelar dan status sebagai penyimbangmarga akan sangat dihormati dalam masyarakatnya karena menjadi penentu dalam setiap proses pengambilan keputusan adat. Sementara kesatuan hidup masyarakatnya tercermin dalam ikatan kekerabatan yang menganut sistem keluarga luas (extended family). Ikatan kekerabatan didasarkan pada hubungan keturunan (ikatan darah), ikatan perkawinan, ikatan mewarei(pengangkatan saudara), dan ikatan berdasarkan pengangkatan anak.

Kontruksi sosial berdasar hubungan patrilineal ini mengarah pada dominasi kekuasaan laki-laki atau Patriarki. Menurut Wably sebagaimana yang dikutip oleh Wiyatmi (2015:7), patriarki adalah sebuah sistem dari struktur sosial yang menempatkan laki-laki dalam posisi dominan, menindas, dan mengeksploitasi perempuan. Patriarki muncul sebagai bentuk kepercayaan atau ideologi yang menempatkan kedudukan laki-laki lebih tinggi dibanding perempuan melalui lembaga-lembaga sosial, politik, dan ekonomi.

Kultur patriarki di Kepaksian Sekala Beghak mempengaruhi struktur sosial masyarakatnya, mulai dari level paling tinggi (Kepaksian) hingga ke level terendah yaitu keluarga. Dalam kehidupan rumah tangga misalnya, laki-laki ditempatkan sebagai pusat kekuasaan. Bila berasal dari kalangan bangsawan, maka dialah yang berhak mewarisi gelar kebangsawanan ayahnya. Bila dia berasal dari kalangan kebanyakan, dia berhak meneruskan garis keturunannya kepada anak-anaknya. Sebagai pusat kekuasaan, laki-laki  memiliki kuasa untuk mengambil keputusan dalam kerumahtanggaan. Ia digambarkan sebagai orang yang kuat, jantan, berani, bersifat pelindung, pantang menyerah dan rasional. Sementara perempuan dicitrakan sebagai lemah lembut, emosional, dan selalu mengandalkan insting sehingga ditempatkan pada posisi subordinasi yang hanya berkiprah di sektor domestik.

Berdasarkan konstruksi sosial di atas, Herwanto (2012), menyatakan bahwa orang tua cenderung memberi kebebasan pada anak laki-lakinya untuk melakukan aktivitas di luar rumah, baik siang maupun malam hari serta kegiatan yang cenderung mengukuhkan sifat kelaki-lakiannya sehingga memungkinkan anak laki-laki secara fisiologi, sosiologis maupun psikologis tumbuh sebagai pribadi yang kuat dan mandiri. Sedangkan terhadap anak perempuan cenderung mendiskriminasikan dengan memberi pembelajaran yang berkenaan dengan peran domestiknya untuk menyelesaikan pekerjaan di lingkungan rumah tangga saja.

Pembedaan kewajiban dan hak antara kedua gender itu melahirkan ketidakadilan terhadap kaum perempuan dalam melakukan kegiatan sosial, ekonomi, politik, maupun budaya. Manifestasinya tercermin dalam berbagai bentuk ketidakadilan, marginalisasi, dan subrodinasi peran yang merugikan perempuan. Namun karena telah berlangsung sejak lama, maka dianggap sebagai suatu kebiasaan turun-temurun dan tidak dipersoalkan lagi sebagai tindakan ketidakadilan dan subordinasi gender. Posisi subordiasi ini diterima sebagai ketentuan adat yang harus ditaati, tetapi di dalam diri sebagian perempuan timbul suatu "perlawanan". Salah satu bentuknya adalah muncul tradisi tutur hahiwang.

 

4. Hahiwang

a.  Struktur Hahiwang

Sebagaimana disebutkan di atas, hahiwang merupakan satu dari beberapa ragam karya sastra tutur masyarakat Lampung, khususnya masyarakat 16 Marga Pesisir Krui. Hahiwang umumnya dilantunkan oleh kaum perempuan sebagai ungkapan perasaan jiwa atas situasi yang dihadapinya dalam lantunan khas yang menyayat hati. Adapun struktur hahiwang yang dilantunan itu sama seperti setiap puisi tradisional lainnya yang terikat oleh bentuk dan isi. Dalam hahiwang bentuknya terdiri atas bait-bait yang bersajak. Sebuah bait secara tradisional dibangun oleh sejumlah baris dan pola-pola sajak pada setiap akhir larik. Banyaknya jumlah baris pada setiap bait sangat bergantung pada kemampuan seorang dalam mengungkapkan ekspresi jiwanya.

Penelaahan pada sejumlah hahiwangdiperoleh petunjuk(1)pola sajak akhir tidak harus sama; bisa saja bait pertama mempunyai pola sajak akhir a-b-a-b-a-b, sedangkan bait kedua berpola c-d-c-d-c-d; dan (2) Jumlah baris pada setiap bait tidak selalu sama. Ada yang berjumlah enam baris setiap baitnya, ada pula yang delapan baris atau empat baris. Berikut contoh hahiwang yang berjumlah 4 baris dengan pola sajak a-b-a-b.

 

Sakik sikam ji nimbang

Kak kapan ago segai

Hiwang ni sanak malang

Sikal kilu mahap pai

 

Hgatong mangedok sai di usung

Ya gila sanak aghuk

Apak ni saka lijung

Sisi di tinggal induk

 

Mangedok daya lagi

Sikam ghatong jak bungkuk

Nyeghahko jama kuti 

Tabikpun di puskam kaunyinna,

kalau ya keteghima

 

Lain mak ngaku gila

Kindang payu juga mu

Ajo ku kak dia

Mak santor pengandanmu

 

Mula kunduh katinuh

Seno sai nyak mak nyakak

Mak nambak ku kintu luh

Kak niku mak ku liak

 

Lain ki basi bacakh

Wat aga ti rancaka

Nyak ku jak nengiis kabakh

Daleh ti tengan diya

 

 

Way ni uma dunggak ni atakh

Sanak pungaji cawa

Kintu ya mak muhellakh

Masa do niku muba

 

Sumber:Mardiah, (61 tahun), Sandaran Agung Penggawa 5 Krui, Lampung Pesisir.

 

Baris atau larik pada hahiwang tidak memiliki sampiran. Semua baris mengandung isi. Tidak ada larik yang mengandung kata atau kalimat samar-samar. Oleh karena itu, mudah dipahami apabila isi hahiwangdapat berbentuk cerita yang terdiri atas puluhun bait/tidak terbatas. Penulis memiliki kebebasan untuk mencurahkan ide, ekspresi jiwa dan pandangannya sesuai dengan keperluannya. Hal ini pula menjadi petunjuk bahwa hahiwang merupakan “tuturan bercerita”, tuturan yang memiliki cerita tertentu.

Pemakaian sebuah bait dalam 2 (dua) baris sebagaimana ditunjukkan data di atas  dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama, tidak semua bentuk hahiwang memakainya. Kedua, peletakan bait 2 baris terpola pada bagian awal dan akhir atau pada pergantian bahasan. Pemakaian pada bagian awal digunakan sebagai salam pembukaan dan pada akhir digunakan sebagai penutup cerita. Adapun di tengah  berfungsi sebagai jeda atau pengalihan bahasan. Ketiga, berfungsi penyingkat cerita semacam pantun kilat dalam sastra Melayu.

Untuk lebih jelasnya, berikut adalah beberapa contoh hahiwang.

 

Badan Siji sai ghayang

Lain nyak kurang mengan

Ngegham semanjang-manjang

Guwai neghasa badan

 

Nengah bingi nyak miweng

Ngipi gham setunggaan

Ati ngelaruh mulang

Kakak di perantauan

 

Ya Allah tulung babang

Ngadapi garis tangan

Jarak pulau nyeberang

Jejama seandanan

Kira kak dapat mulang

Kapan gham setunggaan

Ngesaikan pilih tunang

Wa ati sai tujuwan

 

Diri ku ngambang-kambang

Debingi ngegabah bulan

Kakak ku bayang-bayang

Kunah di lam lamunan

 

Hahiwang di atas bercerita tentang ratapan hati para perempuan. Hahiwang pertama berkisah tentang perempuan yang ditinggal pergi oleh suaminya. Sang suami pergi merantau mencari kerja hingga ke Pulau Jawa dan berjanji setelah berhasil akan segera pulang ke kampung halaman. Namun, janji hanya tinggal janji. Setelah ditunggu sekian lama suami tidak kunjung pulang. Dia hanya dapat meratapi nasib dan tidak dapat berbuat apa-apa selain menunggu Sang suami pulang.

 

Sumber:Mardiah, (61 tahun), Sandaran Agung Penggawa 5 Krui, Lampung Pesisir.

 

Minyak khum ni minyak khum

Tebeli di Pulau Pisang

Asalamualaikum

Skinda nyembuka

 

Ajo ngebuka kisah

Kisah ni Bebai Ganding

Lamon sai bugindah

Tilaju muneh pusing

 

Ngegetas ditekhatas

Siwok campokh sajekhu

Lamon muli sai ngusung tas

Mikhat ti ucak gukhu

 

Ngedekhing kuol mangking

Halipu sakik tengah

Anjak di khok angging

Mikudo sai kupenah

 

Apisai nyining sining

Mendikha ampai mesak

Khadu saka nyak gekhing

Kidang mak kuawa ngucak

 

Bukhung nyalai di hatok

Makdacok nginong kayu

Sabah jawoh makmirok

Pekhulang nyak ulihmu

 

Tekhuk mid suoh

Kidang cakak pekharu

Tekhoknya munggak medoh

Duaan jama niku

 

Bejukung patoh dayung

Belabuh di kuala

Mulang nyaku mik Lampung

Merantau mak dok kerja

 

Nutuk tian mik pugung

Nebukak pulan rimba

Nanom kupi rek tiyung

Tiselang muneh lada

 

Kupi muakni ngagung

Bang dialau ko papi'a

Tisuah muneh anjung

Delom ni kupi rek lada

 

Jak miwang tumpak lalang

Kelitah jak sekeli

Najin kuti masenang

Dang lupa dipuari

Kipak kham tungga ralang

Dang lupa jak lom hati

Kipak pokon kham sumang

Dang putus siratu rohmi

 

Ibarat ramji tandang

Pagun mak munsa huwi

Biluk ram laju mulang

Tikekoh dibi khani

 

Najin gumah tisandang

Nekham huhik dibumi

Dang sedih daleh miwang

Tiwewah kon hati

 

Banjer muneh way kunjer

Iwani mak ngedok lagi

Hahap ni Lampung pesisir

Haga wat do majuni

 

Taru pai antak ija

Karangngani mak lagi

Kitubang salah cawa

Ampun beribu kali

 

Pelepai betik sapai

Di dwakha tambulek

Wayak ji antak ija pai

Nanti tisambung muneh

 

Hahiwangdi atas berkisah tentang perempuan yang akan menikah. Sebagai bagian dari masyarakat Saibatin yang patrilineal dan beradat menetap patrilokal, setelah menikah dia akan tinggal di lingkungan kerabat suaminya. Selain itu, dia juga harus melepas status sebagai bagian dari marga orang tua karena akan mengikuti marga suami. Oleh karenanya, sebelum menikah dia berhahiwang mengungkapkan kesedihan hati sekaligus salam perpisahan kepada para perempuan di rumahnya (nenek, ibu, bibi, dan kaum kerabat lain) secara satu persatu mulai tengah malam hingga adzan subuh berkumandang.

 

Sumber:Lakma Dewi, (54 tahun), Sandaran Agung Penggawa 5 Krui, Lampung Pesisir

 

4. Hahiwang dan Dominasi Patriarki

a.  Hahiwang sebagai Ungkapan Ketidakberdayaan Perempuan

Beberapa hahiwang di atas merupakan ungkapan perempuan atas problematika ketimpangan yang mengarah pada ketidakadilan gender. Gender yang oleh Mansour Fakih (1997:7) didefinisikan sebagai suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural,

 dalam masyarakat 16 marga Pesisir Krui digunakan untuk membedakan hak dan kewajiban dalam melakukan kegiatan sosial, ekonomi, politik, maupun budaya. Perbedaan peran berdasar gender ini terjadi melalui proses sosialisasi norma-norma kultural dan keagamaan yang lama dan sangat panjang sehingga seolah-olah telah menjadi kodrat Ilahi.

Bagi perempuan Saibatin Krui, mulai dari masa kanak-kanak telah disosialisasikan berbagai macam nilai dan norma yang dibentuk oleh budaya patriarki, baik oleh keluarganya sendiri (terutama pihak ibu) maupun lingkungan di sekitarnya (kerabat dan para tetangganya) dengan tujuan agar dapat berinteraksi dengan lingkungan komunitasnya. Bentuk sosialisasi yang dilakukan adalah pembelajaran yang berkenaan dengan peran perempuan dalam menyelesaikan urusan domestik saja. Selain itu, anak perempuan juga dibentuk sedemikian rupa dengan tidak diberi ruang atau keleluasaan berada di sektor publik, sesuai dengan kehendak budaya masyarakat maupun ajaran agamanya.

Hasil sosialisasi konstruksi sosial tentang gender ini mempengaruhi perkembangan kondisi fisik dan psikis kaum perempuan. Mereka menjadi pribadi yang kurang berani, penurut, rajin, lemah, emosional, dan selalu meminta dilindungi. Akibatnya kehidupan perempuan menjadi sangat dependen pada laki-laki yang dianggap mempunyai posisi lebih tinggi. Laki-laki memanfaatkan kebergantungan ini untuk mengekalkan kekuasaannya dalam bidang politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Akibatnya timbul berbagai bentuk ketidakadilan, marginalisasi, dan subrodinasi peran yang merugikan perempuan.

Salah satu bentuk ketidakadilan gender tersebut berkaitan dengan pranata perkawinan. Masyarakat Saibatin di Pesisir Barat menganut sistem perkawinan yang mengutamakan jalur lineage atau keturunan yang saling berkaitan dari nenek moyang yang sama (Masduki, 2006:65). Selain itu, perkawinan juga bersifat patrilineal dengan adat menetap patrilokal. Setelah menikah seorang perempuan harus masuk dalam marga dan tinggal di lingkungan keluarga suaminya (mengiyan). Melalui mas kawin atau yang lebih dikenal dengan sistem dowry yang nominalnya antara puluhan hingga ratusan juta rupiah, perempuan "diambil" oleh kerabat suami untuk dijadikan sebagai aset tenaga kerja. Konsekuensinya, perempuan harus keluar dari keluarganya sendiri dan memaksanya menjadi "pelayan" laki-laki. Dia menjadi tidak berdaya dan teralineasi karena seluruh aktivitas hidupnya hanya merupakan kelengkapan bagi orang lain.

Ketidakberdayaan perempuan untuk mengkaunter dominasi laki-laki disiasati dengan membangun aktivitas-aktivitas tertentu sebagai pengibur diri. Hahiwangmerupakan salah satu bentuknya. Apabila dihayati lantunannya dipenuhi rasa kesedihan yang mencerminkan kenestapaan hati. Hal itu mengindikasikan penderitaan seseorang terhadap satu hal. Seorang informan menceritakan pengalaman hidupnya saat menikah dahulu. Ia demikian galau, sedih yang teramat mendalam. Terbayang dalam benak pikirannya akan berpisah dengan sanak keluarganya. Malam hari sebelum pernikahan, ia mendatangi sanak keluarga terdekatnya untuk menyampaikan salam perpisahan. Semalaman menangis, bercucur air mata menyalami satu persatu kerabatnya sambil berhahiwang.

Seiring waktu hahiwang tidak hanya digunakan saat masa peralihan saja, melainkan juga ke segala aspek yang membentuk pencitraan inferioritas pada diri perempuan. Misalnya, ketika seorang perempuan kawin dengan "Bang Toyib" yang jarang pulang, atau ketika sang suami jarang menafkahi (lahir-batin), ia akan berhahiwang juga. Oleh karena sifatnya yang sangat personal, hahiwang biasanya disenandungkan seorang diri tatkala sedang mengerjakan sesuatu hal di dalam rumah atau di kebun. Adapun tujuannya hanya sebagai ratapan yang diperuntukkan bagi diri sendiri. Sebab, perempuan yang telah tersubordinasi oleh konstruksi adat patriarkis cenderung memilih bungkam dan tidak akan melalukan perlawanan. Dia tetap akan berperan sebagai fixerdan pleaser untuk menjaga hubungannya tetap stabil, harmonis, dan menyenangkan. Selain itu, dia juga akan tetap mencoba sebagai martyr untuk memenuhi harapan pasangannya walau harus mengorbankan diri.

 

b. Hahiwang sebagai Sebuah Kesenian

Dalam perkembangannya saat ini, hahiwang telah mengalami pergeseran fungsi. Ia tidak lagi sebatas "kepentingan pribadi" dalam upaya melepas kegundahan hati. Hahiwangjuga difungsikan sebagai kesenian pelengkap acara muda-mudi (nyambai, miyahdamagh, kedayek), hiburan pengisi waktu luang, media dakwah, penyampai nasihat kepada masyarakat, peningkat apresiasi masyarakat terhadap kesenian daerah (Sanusi, 2001:109), senandung pada saat menidurkan anak, hingga penarik simpatisan dalam Pemilukada.

Perkembangan fungsi tersebut tidak terlepas dari kungkungan budaya patriarki. Para lelaki yang merasa tertarik mendengar lantunan hahiwang, bukan menjadikannya sebagai ajang introspeksi diri agar lebih baik dalam memposisikan kaum perempuan. Mereka malah "memaksa" para perempuan pelantun membuat hahiwang sesuai dengan maksud dan tujuannya masing-masing. Apabila difungsikan sebagai pelengkap dalam upacara adat, pelantun akan membuat teks hahiwangyang sesuai dengan maksud dan tujuan upacara. Apabila digunakan sebagai media dakwah, pelantun diharuskan membuat teks hahiwangyang berkaitan dengan keagamaan, seperti: ketauhidan, imbauan beribadah atau kisah-kisah para nabi. Sedangkan bila dijadikan sebagai penarik simpatisan dalam Pemilukada, pelantun membuat teks hahiwangyang berkenaan dengan kondisi daerah serta calon wakil rakyat yang memesan hahiwang.

Struktur dan bahasan hahiwang pun tidak lagi sesuka hati, melainkan memiliki pola umum seperti pada penulisan bentuk sastra tradisional. Pola umum tersebut diawali dengan pembukaan (salam penghormatan pada para pendengar, maksud dan tujuan pelantunan), kemudian isi atau kandungan yang bergantung pada pesanan atau acara yang sedang diikuti, dan diakhiri dengan penutup berupa harapan pelantun, permintaan maaf, serta salam.

Dalam konteks ini, teks hahiwang telah bergeser fungsi dari ratapan diri menjadi sebuah kesenian. Isinya pun tidak lagi sebatas "kepentingan pribadi" dalam upaya melepas kegundahan hati, melainkan telah berkembang ke arah lingkungan sosial yang lebih luas, bergantung dari situasi dan kondisi ketika dilantunkan. Berdasarkan fungsinya tersebut Kurnia (2010) mengkategorikan hahiwangmenjadi tiga, yaitu: hahiwangkesedihan, hahiwang agama, dan hahiwang adat. Hahiwang kesedihan tidak hanya berupa ekspresi kesedihan dalam hidup berumah tangga, tetapi juga tanggapan terhadap kerusakan lingkungan. Hahiwang agama menceritakan hal-hal seputar syariat (hukum-hukum Islam), rukun iman, rukun Islam, peristiwa Isra Miraj, aturan membaca dalam Al Quran, perjuangan para nabi, dan lain sebagainya yang berhubungan dengan agama Islam. Sedangkan hahiwang adat berisi tentang silsilah keturunan suatu keluarga atau pesan-pesan khusus bagi pasangan yang menikah. Hahiwang adat umumnya dikumandangkan pada acara-acara adat (perkawinan, pemberian gelar adat, nyambai, dan lain sebagainya).

Dominasi laki-laki tidak hanya dalam bentuk "perintah" membuat lirik yang tidak lagi bersifat personal. Bahkan ada beberapa di antara mereka yang ikut terjun menjadi pelantun hahiwang. Namun tidak semua orang sanggup melantunkannya karena hahiwangmemiliki gaya dan irama atau cengkok khas yang relatif sukar dipelajari. Hanya para seniman yang telah terbiasa bergelut dengan seni tradisi yang dapat membuat teks sekaligus melantunkannya.

Salah seorang di antaranya adalah Mursi M atau lebih dikenal dengan nama panggung Mamak Lawok. Dia adalah seniman tradisi yang biasa membawakan segata, bebandung, ringget, wayak/muayak dan hahaddo yang berirama mirip seperti hahiwang. Mamak Lawoklah yang mengembangkan hahiwangagama dan adat dengan cara menampilkan di setiap acara begawi yang dihadirinya. Hahiwangnyatidak berupa ekspresi kesedihan mengenai pengalaman hidup, melainkan menembus ranah adat istiadat dan keagamaan.

Penghilangan unsur ratapan ini berkaitan dengan konstruksi budaya patriarki yang mencitrakan bahwa laki-laki haruslah memiliki sifat pemberani, kuat, agresif, mandiri, cekatan, pantang menyerah yang menjadikannya terlatih dan termotivasi mempertahankan sifat tersebut. Hahiwang yang berarti ratapan hati hanya ada dalam konstruksi gender perempuan Saibatin yang dicitrakan sebagai lemah lembut, emosional, penakut, penurut, serta keibuan. Oleh karena itu, teks hahiwang yang dibuat oleh Mamak Lawok atau seniman laki-laki di Pesisir Barat umumnya berisi tentang petuah-petuah adat dan aturan-aturan yang berlaku dalam agama Islam. Yang penting adalah nada, irama, dan suara pekau yang khas hahiwang sehingga membuat pendengar tersentuh hati bila mendengarnya.

 

c. Pewarisan Hahiwang dalam Budaya Patriarki

Dalam hal pewarisan hahiwang pun budaya patriarki tetap berperan. Seorang informan menyatakan bahwa dia sulit mengajarkan hahiwang kepada anak-anak yang berada di sekitar tempat tinggalnya. Adapun penyebabnya tidak hanya karena relatif sulit mempelajari seni tradisi hahiwang, tetapi juga oleh stratifikasi sosial masyarakat adat Saibatin Krui. Dalam proses regenerasi seseorang yang ingin belajar hahiwang harus mampu menciptakan bait-bait terdiri dari 3-6 baris yang membentuk rangkaian cerita atau kisah. Selain itu, juga mampu melantunkannya menjadi sebuah tembang yang memiliki cengkok-cengkok tertentu sehingga terdengar memilukan dan menyayat hari. Oleh karena itu, untuk mempelajarinya tentu membutuhkan waktu yang relatif lama.

Perempuan pelantun hahiwang yang sudah mahir dan ingin menularkan ilmunya kepada orang lain tidak dapat begitu saja melaksanakan niatnya. Dia harus melihat statusnya dalam masyarakat yang mempunyai struktur tersendiri yang tercermin dalam kelas-kelas sosial yang ditentukan berdasarkan asal usul serta hubungan kekerabatan. Masyarakat adat Saibatin di Pesisir Barat membagi diri menjadi 16 marga. Masing-masing marga dipimpin oleh seorang Saibatin (Kepala Marga) dan memiliki tujuh tingkatan Gelar yaitu: Suntan, Raja, Batin, Radin, Minak, Kimas dan Mas.

Struktur sosial berdasarkan tingkatan gelar adat tersebut mempengaruhi ruang gerak masyarakat, mulai dari level paling tinggi (Kepaksian) hingga ke level terendah yaitu keluarga. Atau dengan kata lain, terdapat rambu-rambu tertentu yang mengatur hubungan antarstatus dalam kehidupan sehari-hari. Seseorang tidak dapat sesuka hati berhubungan tanpa mengindahkan statusnya karena akan mendapat sanksi-sanksi tertentu (adat maupun sosial) apabila melanggarnya.

Apabila pelantun hahiwang berada dalam keluarga berstatus atau bergelar Minak misalnya, dia akan relatif mudah menggerakkan anak-anak dari keluarga yang berstatus di bawahnya (Kimas dan Mas) untuk belajar hahiwang. Namun, sulit "memaksa" anak-anak dari keluarga berstatus Radin, Batin, Raja, apalagi Suntan tanpa persetujuan orang tua mereka. Apabila orang tua menyetujui, dalam menentukan jadwal latih pun tidak dapat begitu saja menyuruh anak-anak mereka datang. Dia harus membujuk atau merayu sedemikian rupa pada anak yang akan diajari agar orang tuanya tidak tersinggung.

Dominasi patriarki membuat perempuan pelantun hanya mampu mengajarkan hahiwang pada orang-orang terdekat saja (keluarga atau tetangga). Konstruksi sosial demikian menghendaki perempuan agar "taat aturan" atau tidak boleh berlaku sembarangan terhadap orang-orang yang lebih tinggi statusnya. Disadari atau tidak, Agen-agen sosial (mulai dari keluarga, sekolah, hingga masyarakat), memelihara praktik tersebut yang justru mempertahankan ketimpangan gender.

Hasilnya, saat ini tradisi hahiwang hampir ditinggalkan oleh masyarakat Pesisir Barat. Pelantunnya hanya didominasi oleh orang tua-tua penikmat hahiwang serta para seniman saja. Sementara generasi muda hampir melupakannya. Hanya beberapa gelintir saja yang mau menggeluti hahiwang. Sisanya cenderung memilih seni tradisi lain yang lebih mudah dipelajari.

Untuk lebih jelasnya mengenaitahap perkembangan beserta fungsi hahiwangdapat dilihat pada tabel 1 di bawah ini.

 

Tabel 2. Tahap Perkembangan Hahiwang

No

Tahap

Fungsi

1.

Ungkapan Ketidarberdayaan Perempuan

Sarana penghibur diri dari kungkungan Dominasi laki-laki yang memarginalkan dan mensubrodinasi peran perempuan sehingga hanya berkutat di sektor domestik. Konstruksi sosial tentang gender memposisikan perempuan lebih rendah serta dibuat bergantung secara sosial dan ekonomi pada laki-laki. Hahiwang digunakan sebagai sarana penghibur diri atas ketidakberdayaan mengkaunter dominasi laki-laki.

2.

Sebagai Kesenian

Hahiwang difungsikan sebagai kesenian atau media hiburan. Laki-laki mengeksploitasi perempuan pelantun membuat teks hahiwang sesuai dengan maksud dan tujuan tertentu, seperti pelengkap acara adat, media dakwah, dan penyampai nasihat. Laki-laki dapat melantunkan hahiwang dengan menghilangkan unsur ratapan menjadi nasihat atau petuah adat. Struktur hahiwang menjadi berpola seperti sastra tradisional pada umumnya.

3.

Perkembangan Terakhir

Budaya patriarki membatasi pewarisan hahiwang. Stratifikasi masyarakat yang dibentuk oleh budaya ini membatasi ruang gerak perempuan dalam menularkan ilmu pada generasi muda. Ada aturan main tertentu yang mengatur hubungan antarstatus dalam masyarakat.

Sumber: Hasil Wawancara dengan Informan, 2016 dan 2017

 

Tabel di atas menunjukkan bahwa ada perubahan fungsi hahiwang mulai dari tahap awal muncul hingga perkembangannya saat ini yang tidak terlepas dari dominasi patriarki. Pada tahap awal, hahiwang digunakan sebagai sarana pengibur diri dari kungkungan adat yang mendiskriminasi dan mensubrodinasi perempuan. Pada tahap berikutnya, hahiwang dieksploitasi oleh laki-laki menjadi sarana hiburan. Dan, tahap terakhir merupakan tahap berkurangnya eksistensi hahiwang pada masyarakat Lampung Pesisir karena aturan adat yang membatasi ruang gerak perempuan.

 

D. PENUTUP

Hahiwang sebagai khasanah tradisi masyarakat Lampung, khususnya Kabupaten Pesisir Barat, tidak lepas dari latar belakang budayanya. Perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan yang membedakan peran di antara keduanya menjadi dasar munculnya kesenian ini. Laki-laki dikonstruksi dan disosialisasikan dalam hubungan-hubungan sosial yang lebih dominan sehingga mengungkung posisi perempuan hanya dalam sektor domestik. Konsekuensinya, perempuan menjadi tersubordinasi dan selalu bergantung pada laki-laki. Hahiwang hadir hanya sebatas penyalur kepedihan hati sekaligus "protes sosial" perempuan Saibatin Krui. Hahiwang besifat sangat personal (untuk diri sendiri) dan tidak bertujuan untuk menggulingkan dominasi laki-laki.

Dalam perkembangan selanjutnya, hahiwang malah dieksploitasi kaum patriakh menjadi sarana siar agama, pelengkap begawi adat, hingga penarik simpatisan dalam Pemilukada. Hegemoni patriarki membuat hahiwang tidak lagi bersifat personal, melainkan telah ditarik ke ranah publik dengan aturan main atau pakem seperti seni tradisi pada umumnya. Pelantun hahiwang dapat dilakukan oleh laki-laki dengan mengeliminasi unsur "ratapan" yang dikonstruksi hanya sebagai milik perempuan.

 

DAFTAR SUMBER

1.  Jurnal, Makalah, Laporan Penelitian, Skripsi, dan Tesis

Danandjaja, James. 1998. “Folklor dan Pembangunan Kalimantan Tengah: Merekonstruksi Nilai Budaya Orang Dayak Ngaju dan Ot Danum Melalui Cerita Rakyat Mereka”. Dalam Metodologi Kajian Tradisi Lisan. Editor Pudentia MPSS. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Yayasan Asosiasi Tradisi Lisan.

 

Harsono, Dibyo. 2013. "Upacara Lingkaran Hidup Orang Lampung", dalam Bunga Rampai Ekspresi Budaya sebagai Strategi Adaptasi. Hal. 245-268. Bandung: CV. Izda Prima.

 

Hermaliza, Essi. 2011. "Sistem Kekerabatan Suku Bangsa Kluet di Aceh Selatan", dalam Jurnal Widyariset, Vol. 14 No.1, 2011. Hlm. 124.

 

Irwanto, Dedi. 2012. "Kendala dan Alternatif Penggunaan Tradisi Lisan dalam Penulisan Sejarah Lokal di Sumatera Selatan", dalam Jurnal Forum Sosial, Volume V No. 2, September 2012. hlm. 123-126.

 

Kurnia. 2010. Fungsi Hahiwang pada Ulun Saibatin Krui Kecamatan Pesisir Tengah Lampung Barat. Skripsi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Lampung, Bandarlampung.

 

Masduki, Aam. 2006. Upacara Pineng Ngerabung Sanggagh pada Masyarakat Lampung. Bandung: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional.

 

Rudito, Bambang. 2013. "Etnografi", Makalah pada Bimbingan Teknis Penelitian 2013, Balai Pelestarian Nilai Budaya Bandung.

 

Sedyawati, Edi. 1996. "Kedudukan Tradisi Lisan dalam Ilmu-ilmu Sosial dan Ilmu-ilmu Budaya", dalam Warta Atl. Jurnal Pengetahuan dan Komunikasi Peneliti dan Pemerhati Tradisi Lisan. Edisi II Maret. Jakarta: ATL.

 

Wiyatmi. 2015. "Menggugat Kuasa Patriarki melalui Sastra Feminis", makalah pada Seminar Nasional Bahasa, Sastra, dan Kekuasaan di Universitas Negeri Yogyakarta, 26 November 2015.

 

2. Buku

Fakih, Mansour. 1997.

Analisis Gender dan Transformasi Sosial, cet.2. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

 

Hadikusuma, Hilman. 1996.

Adat Istiadat Daerah Lampung. Bandarlampung: Bagian Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya Daerah Lampung.

 

Koentjaraningrat. 1985.

Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru. Hlm 129-130.

 

Lampung Barat Dalam Angka 2013. 2013.

Liwa: Badan Pusat Statistik Kabupaten Lampung Barat.

 

Pudentia MPSS (ed). 1998.

Metodologi Kajian Tradisi Lisan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Yayasan Asosiasi Tradisi Lisan.

 

Sanusi, A. Effendi. 2001.

Sastra Lisan Lampung. Bandar Lampung: Universitas Lampung.

 

3Surat Kabar dan Majalah

Fattah, Fauzi.

"Menyingkap Makna Filosofis Hahiwang", Lampung Post, Sabtu, 20 Juli 2013, hlm. 12.

 

4. Internet

"Bahasa Lampung", diakses dari https://khufronimi9.wordpress.com/bahasa-lampung/, tanggal 15 Januari 2017, pukul 00.10 WIB

 

Herwanto, AM. 2012. "Diskriminasi Gender dan Hegemoni Patriarkhi", diakses dari http://herwanto-a-d-fisip.web.unair.ac.id/artikel_detail-68475-UmumDiskriminasi%20Gender%20dan%20Hegemoni%20Patriarkhi.html, tanggal 15 Desember 2016, pukul 10.34 WIB.

 

Imron, Ali. 2014. "Selayang Pandang Kabupaten Pesisir Barat Propinsi Lampung", diakses dari http://karyaaliimron.blogspot.co.id/2014/01/selayang-pandang-kabupaten-pesisir-barat.html, tanggal 20 Juli 2017, pukul 13.20 WIB.

 

"Kabupaten Pesisir Barat", diakses dari http://uun-halimah.blogspot.co.id/2017/02/kabupaten-pesisir-barat.html, tanggal 20 Februari 2017, pukul 20.55 WIB.

 

Tulisan diambil dari

Gufron, Ali. 2017.Tradisi Lisan Hahiwang pada Perempuan Di Pesisir Barat Lampung, dalam Jurnal Patanjala Vol. 9 No. 3 September 2017. Hlm. 391 – 406

Saronen

$
0
0

Saronen adalah sebutan orang Madura bagi sebuah alat musik tiup. Oleh karena alat musik ini bunyinya demikian khas, maka organisasi kesenian (orkes) yang memainkannya disebut sebagai “saronen”. Saronen, konon berasal dari Timur Tengah dengan berbagai sebutan (nama), seperti: sirnai, sarune, dan shanai. Di Madura sendiri juga tidak hanya dikenal dengan nama saronen, tetapi juga selompret, serompet, dan serunen. Alat ini terbuat dari kayu jati, dengan bentuk kerucut dan ada 6 lobang yang berderet (di depan) ditambah dengan sebuah lubang yang ada di bagian belakang. Apabila berada dalam sebuah orkes, Saronen “ditemani” oleh seperangkat musik yangterdiri atas: (1) tabbhuwan raja (gong besar), (2) tabbhuwan kene (gong kecil), (3) pendong (gong kecil) beserta kennong pemanga, (4) kolkol yang ditaruh di lantai, (5) ghendang raja, yaitu gendang besar, (6) gendhang kene(gendang kecil), (7) saronen, dan (8) kerca-kerca (sepasang simbal kecil).

 

Sebagai sebuah seni pertunjukan, saronen dapat dipergelarkan pada acara kerapan sapi, dan juga acara-acara yang berkaitan dengan ritual keluarga. Apabila dipergelarkan dalam kerapan sapi, para pemain berjalan mengikuti iring-iringan sapi (menyerupai arak-arakan). Akan tetapi, dalam ritual kekuarga, musiknya tidak lagi berfungsi sebagai pengiring arak-arakan. Peningkatan tempo dilakukan secara bertahap. Mula-mula untuk semua alat musik. Lalu, jika diperlukan, penutup dilakukan dalam tempo yang tinggi (cepat). Gung, kempul, dan kennong raja juga temponya dipercepat.

Mamaca

$
0
0

Mamaca adalah sebuah kesenian khas orang Madura yang termasuk dalan seni suara berupa puisi yang dinyanyikan lalu dituturkan. Dalam konteks ini suatu cerita dinyanyikan oleh seorang pembaca (laki-laki), kemudian diterjemahkan, dijelaskan, dan dikembangkan oleh orang kedua (laki-laki) dengan gaya deklamasi. Pada umumnya kedua mitra dalam acara mamaca saling bersahutan.

 

Mamaca biasanya diselenggarakan para acara arisan. Acara ini biasanya dimulai pada pukul 21.00-23.00 WIB. Selain pada acara arisan, mamaca juga dipentaskan dalam berbagai kesempatan, seperti pada upacara rokat bhuju (makam keramat) atau di rumah pribadi dalam rangka upacara di lingkaran hidup individu (sunat, perkawinan, dan nazar). Mengingat teks yang harus dibaca biasanya utuh (seluruhnya), maka waktu yang dibutuhkan relatif lama ketimbang pementasan mamaca dalam acara arisan (pukul 22.00-04.00 WIB).

 

Mamaca menggunakan buku berbahasa Madura dan Jawa. Sedangkan, huruf yang digunakan adalah huruf Jawa dan atau Arab. Teksnya sendiri menggunakan bahasa Jawa-Kawi dengan aksara Arab. Beberapa tembang di tulis dalam bahasa Madura yang berasal dari abad ke-20. Namun, tembang-tembang yang populer diambil dari kesusasteraan Jawa. Tembang-tembang berbahasa Jawa tidak hanya terdapat di kalangan luar keraton (di pedasaan), tetapi juga di kalangan bangsawan. Dalam pementasan sebuah mamaca ada dua atau tiga repertoar, yaitu naratif (cerita), prosodis (tembang), dan musikal (gendhing).
Viewing all 829 articles
Browse latest View live