Quantcast
Channel: Budaya
Viewing all 829 articles
Browse latest View live

Cara Manusia Berkembang Biak

$
0
0
Sekarang kita main tebak-tebakan dimana peserta yang ikut tebak-tebakan ini adalah orang-orang yang suka membaca tulisan disini.

Tebakan kali ini mengenai proses atau sistem berkembang biak manusia.

Tebakannya adalah cara berkembang biaknya manusia itu bagaimana ?

Pembaca I : "Proses pembuahan, dimana sperma bertemu dengan sel telur yang kemudian terjadi pembuahan"

Penanya : "Salah tuh!!!"

Pembaca II : "Pakai sistem membelah diri"

Penanya : "Salah!, kayak cacing saja membelah diri. Sepertinya nggak ada yang bisa yaah ?"

Pembaca III : "Ya sudah. Apa jawabannya ?"

Penanya : "Manusia berkembang biak dengan cara sistem STEK"

Pembaca III : "Kok bisa STEK sih ?"

Penanya : "Kalau manusia pengen berkembang biak, batangnya harus di tancapkan terlebih dahulu" (kpl/wim)

Sumber: http://www.kapanlagi.com/a/sistem-manusia-berkembang-biak.html

Permainan Jemamok

$
0
0
Jemamok adalah sebutan anak-anak di Desa Peraduan Waras, Lampung Utara, bagi sebuah permainan mencari tempat persembunyian pemain sambil menjaga "benteng" pertahanan agar tidak disentuh atau dipegang oleh pemain lain. Dalam konteks ini, "benteng" adalah sebuah batang pohon - disebut asinan - yang harus dijaga oleh seorang pemain dari "serangan" (sentuhan) pemain lain. Kapan dan dari mana permainan ini berasal sudah tidak diketahui lagi, namun menurut penuturan penduduk setempat, sejak zaman penjajahan Jepang jemamok sudah dimainkan oleh anak-anak Desa Peraduan Waras.

Permainan jemamok dapat dimainkan secara bersama-sama oleh 5-20 orang laki-laki dan perempuan berusia antara 7-13 tahun. Dari sekian banyak pemain tersebut, nantinya hanya satu orang yang menjadi penjaga asinan, sedangkan sisanya akan bersembunyi sambil menunggu waktu tepat untuk "menyerang" asinan yang dapat berada di halaman rumah, halaman rumah adat, halaman sekolah, atau di kebun.

Aturan permainan jemamok tergolong sederhana, yaitu seorang pemain yang kebetulan mendapat giliran menjaga asinan harus mencari pemain lain yang sedang bersembunyi. Apabila dia dapat menemukan seluruh pemain yang bersembunyi, maka pemain pertama yang diketahui pesembunyiannya akan menggantikannya menjaga asinan. Namun, apabila di tengah-tengah permainan asinan berhasil disentuh atau dipegang oleh pemain yang belum tertangkap, maka pemain yang telah tertangkap akan bebas kembali dan si penjaga asinan harus mengulangi lagi mencari seluruh pemain.

Adapun proses permainannya diawali dengan memilih satu orang pemain yang akan menjaga asinan dengan jalan gambreng dan suit. Gambreng dilakukan dengan menumpuk telapak tangan masng-masing peserta yang berdiri membentuk sebuah lingkaran. Kemudian, secara serentak tangan-tangan tersebut akan diangkat dan diturunkan. Pada saat diturunkan, posisi tangan akan berbeda-beda (ada yang membuka telapak tangannya dan ada pula yang menutupnya). Apabila yang terbanyak adalah posisi telapak terbuka, maka yang memperlihatkan punggung tangannya dinyatakan menang dan gambreng diulangi lagi hingga nantinya tinggal tersisa hanya dua orang peserta. Kedua orang tersebut akan melakukan suit untuk menentukan siapa yang menjaga asinan.

Setelah semua siap, penjaga asinan harus menghadap ke asinan sambil berhitung dengan mata tertutup sebelum pemain lainnya bersembunyi. Selesai hitungan, penjaga asinan baru diperbolehkan untuk mencari tempat persembunyian pemain lain. Selama pencarian tersebut, dia akan berlarian ke tempat-tempat yang dirasa ada pemain yang sedang bersembunyi. Apabila berhasil menemukannya, maka penjaga asinan dan pemain yang dikenai tadi akan berlari secepatnya menuju asinan. Jika penjaga berhasil menyentuh asinan terlebih dahulu, berarti pemain berhasil tertangkap. Begitu seterusnya hingga seluruh pemain yang bersembunyi tertangkap. Selanjutnya, pemain pertama yang tertangkap harus menggantikan pemain penjaga asinan. Namun, apabila asinan berhasil diserang, maka seluruh pemain yang telah tertangkap dapat "lepas" kembali dan menjaga harus mencarinya lagi. Permainan jemamok akan berakhir apabila para pemainnya telah merasa lelah atau puas bermain. (ali gufron)

Sumber:
Hindun (54 Tahun)
Desa Peraduan Waras, Kecamatan Abung Timur, Kabupaten Lampung Utara

Dugderan, Tradisi Warga Semarang Sambut Ramadhan

$
0
0
Asal Usul
Di daerah Semarang, Provinsi Jawa Tengah, ada suatu tradisi berupa upacara tradisional yang disebut sebagai Dugderan. Konon, asal usul nama upacara ini merupakan perpaduan dari bunyi "dug" saat bedug dipukul yang diikuti oleh suara "der" ketika meriam disulut sebagai penanda akan datangnya bulan Ramadhan1. Selain ditandai oleh pukulan bedug dan dentuman meriam, tradisi Dugderan juga dilengkapi dengan pasar malam dan arak-arakan atau kirab budaya yang melibatkan berbagai lapisan masyarakat2.

Kisah dibalik tradisi Dugderan berawal ketika adanya perbedaan pendapat antarulama dalam menentukan hari dimulainya bulan puasa. Untuk mengatasi perbedaan pendapat tersebut, pada sekitar tahun 1881 Bupati Semarang waktu itu, Adipati Kyai Raden Mas Tumenggung (KRMT) Purbaningrat, memutuskan untuk ikut menentukan awal bulan puasa. Adapun caranya adalah mengadakan upacara khusus bersama para ulama di kabupaten dan diakhiri dengan membunyikan bedug Masjid Besar Semarang di Kauman serta meletuskan meriam di halaman Kabupaten (alun-alun Kota Semarang), masing-masing sejumlah tiga kali sebagai pemberitahuan kepada khalayak ramai1.

Suara bedug serta dentuman meriam itu tentu saja menarik perhatian warga masyarakat sekitarnya. Mereka pun berbondong-bondong mendatangi asal suara untuk mengetahui kejadian apa yang sedang terjadi. Setelah masyarakat berkumpul, keluarlah Kanjeng Adipati dan Imam Masjid Besar (Kyai Tafsir Anom) memberikan sambutan dan pengumuman. Isi pengumuman diantaranya adalah informasi yang pasti tentang penentuan awal bulan puasa dan ajakan untuk selalu meningkatkan tali silaturrahim atau persatuan dan senantiasa meningkatkan kulitas ibadah3.

Lambat laun, mungkin setelah menjadi acara berulang, kerumunan orang di halaman kabupaten yang menyaksikan tanda awal bulan puasa juga dimanfaatkan oleh para pedagang "tiban" dari berbagai daerah untuk mencari keuntungan. Mereka menjual berbagai macam makanan, minuman, serta mainan anak-anak terbuat dari tanah liat, bambu, maupun kertas. Salah satu mainan yang mereka jajakan disebut sebagai Warak Ngendhog/Ngendok, berbentuk hewan berkaki empat dengan kepala mirip seekor naga4.

Dalam perkembangan selanjutnya, para pedagang tidak hanya berdagang pada saat masyarakat berkumpul mendengarkan pengumuman awal puasa. Mereka bahkan telah menggelar dagangannya jauh hari sebelum upacara dilaksanakan dalam bentuk pasar malam. Selain itu, juga ditambah dengan acara arak-arakan yang melibatkan berbagai macam kelompok. Dugderan tidak hanya sebagai sarana guna menginformasikan umat Islam mengenai waktu memulai ibadah puasa Ramadhannya, tetapi juga sebagai sarana hiburan dan ajang pentas budaya bagi warga masyarakat Kota Semarang.

Waktu, Tempat, Pemimpin dan Pihak-pihak yang Terlibat dalam Upacara
Sebagaimana upacara pada umumnya, Dugderan juga dilakukan secara bertahap. Tahap-tahap yang harus dilalui dalam upacara ini adalah sebagai berikut: (1) pengadaan pasar malam; (2) tahap upacara untuk menentukan awal puasa; (3) tahap pemukulan beduk dan penyulutan meriam, serta (4) tahap arak-arakan atau karnaval. Sebagai catatan, dahulu penyelenggaraan Dugderan dilakukan satu hari menjelang bulan puasa dan hanya berupa upacara untuk menentukan awa puasa lalu diakhiri dengan pemukulan bedug dan dentuman meriam sebagai pemberitahuan kepada masyarakat luas. Namun saat ini, setelah dikemas untuk kepentingan kepariwisataan, Dugderan diawali dengan pengadaan pasar malam satu minggu menjelang puasa demi untuk menarik minat wisatawan baik asing maupun domestik.

Tempat pelaksanaan Dugderan bergantung pada tahapan-tahapan yang harus dilalui. Untuk pergelaran pasar malam berlokasi di Pasar Johar yang konon dahulu merupakan pusat kota Semarang5. Untuk prosesi pengambilan keputusan mengenai waktu pelaksanaan puasa diadakan di Balaikota Semarang. Untuk prosesi pemukulan bedug dilakukan di Mesjid Besar Kauman6. Sedangkan untuk prosesi arak-arakan diawali dari halaman Balaikota Semarang menuju Mesjid Besar Kauman (Mesjid Agung Semarang), Mesjid Agung Jawa Tengah (MAJT) atau ke Lapangan Simpang Lima Semarang7.

Pemimpin Dugderan juga bergantung pada kegiatan atau tahap yang harus dilakukan. Pada tahap musyawarah menentukan waktu pelaksanaan puasa, yang bertindak sebagai pemimpin adalah imam Masjid Besar Kauman. Pada tahap pengumuman hasil keputusan pada ulama tentang waktu dimulainya puasa dipimpin atau dilakukan oleh Walikota Semarang. Sedangkan yang bertindak sebagai koordinator kegiatan pasar malam maupun arak-arakan atau karnaval budaya adalah pihak Pemerintah Kota Semarang, melalui beberapa dinas yang biasa menangani bidang-bidang tersebut.

Selain pemimpin, ada pula pihak-pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan Dugderan, yaitu: (1) para ulama penentu awal puasa; (2) petugas yang membunyikan bedug dan meriam; (3) pengrawit; (4) pembawa bendera; (5) beberapa kelompok kesenian yang ada di wilayah Semarang; dan (6) warga masyarakat lainnya yang membantu menyiapkan perlengkapan upacara maupun menyaksikan jalannya upacara.

Perlengkapan Upacara
Sebagai sebuah upacara yang dilaksanakan secara berurutan, tentu saja memerlukan peralatan dan perlengkapan untuk menunjang kelancaran prosesinya. Adapun peralatan dan perlengkapan tersebut, diantaranya: (1) Bendera; (2) seperangkat gamelan; (3) mesiu (obat Inggris) dan kertas koran sebagai "peluru" meriam; (4) untaian bunga untuk dikalungkan pada dua buah meriam8; (5) bom udara; dan (6) sirine.

Jalannya Upacara
Apabila Ramadhan hampir tiba, satu minggu sebelumnya diadakan pasar malam bertempat di Pasar Johar atau sekitar Masjid Besar Kauman. Di areal pasar malam yang bertujuan untuk menarik minat wisatawan ini dijual berbagai macam barang dagangan, berupa: makanan, minuman, sandang, sepatu, dan mainan anak-anak (seruling bambu, kembang api, gasing, peluit, kapal-kapalan, mainan dari gerabah, boneka plastik/karet, dan lain sebagainya termasuk sebuah mainan yang diberi nama warak ngendok).

Warak konon merupakan binatang rekaan kreasi Kyai Saleh Darat dan atau Bupati KRMT Purbaningrat. Tujuan pembuatannya adalah sebagai ikon yang dapat menarik perhatian masyarakat luas dengan fungsi setara dengan pengumuman awal puasa. Adapun bentuknya dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu: klasik, modifikasi, dan kontemporer4. Warak klasik bergigi tajam, mata melotot, telinga tegak dan berjanggut lebat. Pada bagian badan, leher, dan keempat kakinya ditutupi bulu dengan warna berselang seling (merah, kuning, putih, hijau, dan biru). Sedangkan ekornya melengkung kaku berbulu serupa dengan badan dan berujung surai. Warak modifikasi berbentuk mirip kepala naga dengan moncong mirip buaya bergigi tajam, lidah bercabangm nata melotot, berkumis, berjanggut, bertanduk cabang, kulit bersisik, berambut surai di belakang kepala, dan kepala memakai mahkota. Sedangkan warak kontemporer secara struktur mirip dengan warak klasik, namun detail kepala dan bulu tidak sesuai. Ketiga tipe ini, sama-sama bisa "ngendok" (bertelur) karena di bagian perutnya dimasukkan sebuah telur rebus.

Selain barang dagangan, pasar malam juga menyajikan permainan-permainan khusus bagi anak-anak maupun orang dewasa, seperti: komidi putar, ombak asmaran, bianglala, rollercoaster mini, rumah hantu, tong setan, pemancingan ikan plastik, dan lain sebagainya. Untuk dapat menikmatinya, pengunjung hanya dikenakan biaya sebesar lima ribu rupah untuk satu kali bermain.

Sehari menjelang Ramadhan, barulah dimulai prosesi dugderan. Dahulu dugderan diawali musyawarah antara Bupati dan para ulama di Masjid Besar Kauman pada malam hari dengan melihat bulan (metode hilal) untuk menentukan awal puasa1. Namun, saat ini dugderan diselenggarakan sore hari sekitar pukul 15.30 WIB ketika bulan belum begitu tampak. Penentuan awal bulan Ramadhan telah berpedoman pada Kebutusan Kementerian Agama RI melalui Sidang Isbat.

Dalam prosesi ini Walikota (selaku umara) yang memerankan tokoh Adipati beserta isteri dan rombongan berjalan dari Balaikota menuju Masjid Besar Kauman. Mereka dikawal oleh prajurit patang puluh dan arak-arakan Warang Ngendok melewati rute Jalan Pemuda. Sesampainya di Masjid, mereka disambut oleh para ulama dan habaib terkemuka di Semarang yang sebelumnya telah bermusyawarah menentukan awal puasa. Keputusan tersebut ditulis dalam secarik kertas (sukuf holakoh) untuk diberikan kepada walikota.

Selanjutnya, usai beramah-tamah sejenak, Walikota berdiri dan membacakan teks (dalam bahasa Jawa) surat keputusan ulama tentang dimulainya ibadah puasa di bulan Ramadhan. Usai pembacaan surat keputusan, dilanjutkan doa bersama dan diakhiri dengan pemukulan bedug Masjid Besar Kauman yang langsung diikuti oleh suara dentuman sebagai penanda dimulainya dugderan. Sebagai catatan, dahulu suara dentuman berasal dari meriam yang berada di kawasan Kanjengan. Namun seiring perkembangan zaman, dentuman meriam digantikan oleh bom udara, mercon, sirine, dan bahkan bleduran terbuat dari bongkahan batang pohon yang bagian tengahnya dilubangi kemudian diisi karbit.

Setelah meriam/mercon berhenti berdentum, acara dilanjutkan dengan pembagian ganjelril dan air khataman Al Quran kepada masyarakat. Prosesi dugderan kemudian ditutup dengan acara arak-arakan atau karnaval/kirab yang diikuti oleh pasukan Merah Putih, prajurit berkuda, kereta kencana, pasukan berpakaian adat Bhinneka Tunggal Ika, drumband dari akpol, barongsai, rombongan bendi yang dikendarai para camat dan pimpinan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), rombongan sepeda onthel mobil-mobil hias berbagai tema, dan kesenian tradisional yang ada di Kota Semarang. Dan, dengan berakhirnya tahap arak-arakan ini, berakhirlah seluruh rentetan dalam upacara dugderan sebagai penanda bahwa esok hari telah memasuki bulan Ramadhan.

Nilai Budaya
Upacara dugderan, jika dicermati secara mendalam, mengandung nilai-nilai yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai itu antara lain adalah kebersamaan, ketelitian, goto royong, dan religius. Nilai kebersamaan tercermn dari berkumpulnya sebagian anggota masyarakat dalam satu tempat untuk mengikuti prosesi dugderan sambil berdoa bersama demi keselamatan bersama pula. Ini adalah wujud kebersamaan dalam hidup bersama di dalam lingkungannya (dalam arti luas). Oleh karena itu, upacara ini mengandung pula nilai kebersamaan. Dalam hal ini, kebersamaan sebagai komunitas yang mempunyai wilayah, adat-istiadat dan budaya yang sama.

Nilai ketelitian tercermin dari proses upacara itu sendiri. Sebagai suatu proses, upacara memerlukan persiapan, baik sebelum upacara, pada saat prosesi, maupun sesudahnya. Persiapan-persiapan itu, tidak hanya menyangkut peralatan upacara, tetapi juga tempat, waktu, pemimpin, dan peserta. Semuanya itu harus dipersiapkan dengan baik dan seksama, sehingga upacara dapat berjalan dengan lancar. Untuk itu, dibutuhkan ketelitian.

Nilai kegotong-royongan tercermin dari keterlibatan berbagai pihak dalam penyelenggaraan upacara. Mereka saling bantu demi terlaksananya upacara. Dalam hal ini ada yang membantu menyiapkan makanan dan minuman, membuat rangkaian bunga, menjadi pemimpin upacara, dan lain sebagainya.

Nilai religius tercermin dalam doa bersama yang ditujukan kepada Tuhan agar mendapat perlindungan, keselataman dan kesejahteraan dalam menjalani kehidupan. (gufron)

Sumber:
1. Wibowo, Galih. "Kebijakan Penyelenggaraan Dugderan Tradisi Kota Semarang Menyambut Bulan Ramadhan", diakses dari http://www.academia.edu/11716792/ KEBIJAKAN_PENYELENGGARAAN_DUGDERAN, tanggal 26 Desember 2015.

2. "Sejarah Dugderan", diakses dari https://wisatasemarang.wordpress.com/2010/04/11/se jarah-dugderan/, tanggal 24 Desember 2015.

3. Mawahib,Muhamad Zainal. 2015. "Kebudayaan Masyarakat Kota Semarang: Warak Ngendok sebagai Simbol Akulturasi dalam Dugderan", dalam http://jurnal.elsaonline. com/?p=75, diakses 26 Desember 2016.

4. "Dugderan", diakses dari http://semarangkota.go.id/main/menu/26/seni-dan-budaya/du gderan, tanggal 25 Desember 2015.

5. "Dugderan", diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Dugderan, tanggal 26 Agustus 2015.

6. "Dugderan - Sebuah Potret Budaya Semarang", diakses dari http://seputarsemarang.com/ dugderan-sebuah-potret-budaya-semarang/Dugderan, tanggal 26 Desember 2015.

7. "Semarang Sambut Ramadhan dengan Dugderan", diakses dari http://www.antaranews. com/berita/383313/semarang-sambut-ramadhan-dengan-dugderan, tanggal 26 Desember 2015.

8. Nigitha Joszy. 2013. "Prosesi Acara Kirab Budaya "Dugderan"". Diakses dari http:// nigitha16joszy.blogspot.co.id/2013/07/makalah-budaya-dugderan.html, tanggal 25 Desember 2015.

Curug Beret

$
0
0
Curug Beret adalah sebuah obyek wisata alam berupa air terjun (curug) yang terletak di Kampung Lemah Neundeut, Desa Sukagalih, Kecamatan Megamendung, Bogor, Jawa Barat. Obyek wisata yang berada dekat dengan Bumi Perkemahan Baru Bolang di kawasan Taman Nasional Gede Pangrango ini berketinggian sekitar 20-30 meter dengan debit airnya yang tidak terlalu besar.

Untuk dapat mencapai lokasi Curug Beret dari pintu keluar tol Jagorawi hanya berjarak sekitar 11 kilometer. Apabila mengambil rute melewati tanjakan Gadog akan menemui jalan beraspal yang cukup baik, namun sekitar 4 kilometer menjelang lokasi curug jalan menjadi terjal dan berbatu di sekitar perkebunan teh. Setelah itu dilanjutkan lagi dengan berjalan kaki sekitar 20 menit menyusuri jalan setapak yang relatif curam.

Begitu pula bila mengambil rute Pasir Muncang menuju Megamendung, sebab setelah melewati desa terdekat (Desa Sukagalih), jalanan akan berubah menjadi terjal dan berbatu. Oleh karena itu, lebih baik menggunakan angkutan sepeda motor (ojeg) agar relatif mudah melewati jalanan tidak bersahabat. Adapun tarif sewanya hanya sebesar Rp.50.000,00 untuk waktu setengah hari.

Sesampai di lokasi curug, pengunjung dapat menikmati indahnya curahan air yang terjun dan membentuk sebuah kolam kecil pada bagian bawah. Selain itu, di sekitar kolam dapat juga dijadikan sebagai tempat berkemah, berpetualang, atau hanya sekadar menikmati keindahan alam. Namun, karena lokasi curug yang cukup terpencil dan relatif sulit diakses, fasilitas penunjangnya pun tidak terawat lagi. Jagi, apabila belum merasa puas, tidak jauh dari Curug Beret ada sebuah curug lagi bernama Jambe dengan ketinggian sekitar 100 meter serta Bumi Perkemahan Baru Bolang.

Foto: https://www.youtube.com/watch?v=vv86cllTGX8

Curug Cilengkrang

$
0
0
Di antara Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Bandung terdapat sebuah gunung yang puncaknya berketinggian sekitar 1.818 meter di atas permukaan air laut. Oleh masyarakat setempat gunung itu disebut sebagai Manglayang. Gunung Manglayang, walau berukuran relatif kecil di antara jejeran gunung di sekitarnya (Tangkuban Perahu, Burangrang, dan Bukit Tunggal), tetapi cukup menarik untuk dijadikan sebagai jalur pendakian, bumi perkemahan, maupun wisata alam.

Jalur pendakian di Gunung Manglayang dapat dibagi menjadi empat, yaitu: melalui Bumi Perkemahan atau Wanawisata Situs Batu Kuda di Kabupaten Bandung; Palintang di Ujungberung, Kota Bandung; Baru Beureum atau Manyeuh Beureum; dan Jatinangor di Kabupaten Sumedang. Sementara untuk wisata alam, salah satunya adalah Curug Cilengkrang yang terletak di Desa Cilengkrang, Kecamatan Cilengkrang, Kabupaten Bandung.

Untuk mencapai lokasi Curug Cilengkrang dari Kota Bandung relatif mudah karena berjarak hanya sekitar 10-15 kilometer hingga ke daerah Ujungberung, Cibiru maupun Cileunyi. Dari Ketiga daerah ini terdapat jalan-jalan kecil berukuran lebar 3-4 meter menuju curug dengan jarak antara 10 hingga 12 kilometer hingga ke lokasi curug, yaitu: Jalan Cilengkrang I, Jalan Desa Cipadung, Jalan Manisi, Jalan Sindangreret, Jalan Sadang, hingga Jalan Villa Bandung Indah. Jalan-jalan tersebut telah beraspal atau cor beton, sehingga walau tidak ada angkutan umum (kecuali ojeg) dapat dilalui relatif cepat. Namun apabila hendak ke lokasi, sebaiknya menggunakan kendaraan berkondisi prima karena medannya selalu menanjak.

Setelah sampai di pintu gerbang kawasan wisata Curug Cilengkrang, petugas setempat akan meminta bayaran sebesar Rp.5.000,00 per orang sebagai tiket masuk dan apabila membawa kendaraan ditambah biaya lagi sebesar Rp.2.000,00 per kendaraan. Selanjutnya, dari areal parkir diteruskan dengan berjalan kaki sekitar 100 meter hingga akhirnya sampai ke lokasi air terjun. Di sepanjang perjalanan menuju curug ini hanya ditemui sebuah warung yang menjual makanan dan minuman.

Kondisi Curug Cilengkrang dan Fasilitas yang Tersedia
Curug Cilengkrang berada dalam kawasan hutan lindung milik negara, sehingga sejak dibuka untuk umum tahun 2001 pengelolaannya dilakukan oleh Perhutani KPH Unit 3 Bandung Utara. Curug Cilengkrang sebenarnya merupakan rangkaian enam buah curug dalam rentang sekitar 2 kilometer pada aliran Sungai Cihampelas yang berhulu di puncak Gunung Manglayang. Curug-curug tersebut adalah: Batupeti, Papak, Panganten, Kacapi, Dampit, dan Leknan.

Curug Batupeti berada hanya sekitar 100 meter dari gerbang masuk Curug Cilengkrang. Penamaan curug ini berasal dari bongkahan batu disamping curug yang bagian sisinya menyerupai sebuah peti tertutup. Konon, apabila disangkutkan dengan legenda Sangkuriang, batu berbentuk peti itu dahulu merupakan perkakas Sangkuriang kala membuat perahu pesanan Dayang Sumbi. Namun, lepas dari penamaan tersebut, yang jelas Batupeti merupakan curug yang paling mudah dijangkau dibandingkan dengan curug-curug lain yang menjadi bagian dari Curug Cilengkrang. Di sekitar areal curug ini pengunjung dapat dengan mudah memanfaatkan segala fasilitas yang disediakan oleh pihak pengelola, yaitu: mushola, toilet, camping ground, dan warung yang menjual makanan dan minuman.

Tidak jauh dari Curug Batupeti, menyusuri aliran sungai ada Curug Papak. Penamaannya berkaitan dengan salah satu batu di puncak curug yang permukaannya datar atau dalam bahasa Sunda disebut papak. Selanjutnya ada Curug Panganten dengan formasi batuan menyerupai kursi pelaminan (panganten) yang membentuk kolam berundak dan dapat digunakan untuk berendam hingga tiga orang. Kemudian, Curug Kacapi dengan ketinggian mencapai sekitar 10 meter. Adapun penamaannya konon berasal dari suara jatuhnya air yang khusus pada setiap malam Senin terdengar mirip seperti dentingan kecapi. Curug ini letaknya agak jauh dari gerbang masuk Curug Cilengkrang dan untuk mencapainya relatif sukar karena harus melewati beraneka ragam tumbuhan hutan, seperti: perdu, pinus, pisang hutan, cangkring, bambu, jati, talas, caruluk, dan lain sebagainya.

Curug selanjutnya adalah Curug Dampit. Sesuai dengan namanya, Curug Dampit terdiri dari dua buah air terjun yang saling berhimpitan (dampit) dan mengalir pada dinding batu setinggi beberapa puluh meter. Tidak jauh dari Curug Dampit ada sebuah curug lagi yang diberi nama Leknan. Penamaan curug ini berkaitan dengan kejadian pada sekitar tahun 1953. Waktu itu, ada sebuah pesawat terbang yang mengalami kecelakaan di sekitar legokan curug. Oleh karena sang pilot yang mengalami kecelakaan tersebut berpangkat letnan, lambat laut tempat itu diberi nama Curug Leknan, sesuai dengan pelafalan masyarakat setempat.

Sebagai catatan, keenam curug tadi masih bersifat alami dan belum dimodifikasi sedemikian rupa agar menarik wisatawan. Oleh karena itu, kecuali Curug Batupeti, untuk dapat menikmatinya diperlukan usaha yang relatif keras karena harus menyusuri jalan setapak menanjak yang diapit tebing dan jurang menuju puncak Gunung Manglayang. Selain itu, ada pula pantangan yang harus diindahkan, yaitu tidak boleh membunyikan alat musik pukul kecuali pada saat ada ritual Mapag Hujan yang diselenggarakan oleh masyarakat sekitar tatkala musim kemarau panjang melanda. Konon, apabila dilanggar akan menyebabkan hujan lebat secara tiba-tiba.
Foto: Ali Gufron

Nyai Anteh

$
0
0
(Cerita Rakyat Daerah Jawa Barat)

Alkisah, pada zaman dahulu kala di istana Kerajaan Pakuan ada dua orang gadis remaja bernama Endahwarni dan Anteh. Mereka sangat rukun walau memiliki status sosial berbeda. Endahwarni adalah calon pewaris tahta kerajaan, sedangkan Anteh hanyalah anak Nyai Dadap, seorang dayang kesayangan Ratu Pakuan. Anteh ikut dibesarkan di lingkungan istana bersama Endahwarni karena Nyai Dadap meninggal saat melahirkannya.

Dalam kehidupan sehari-hari, walau berbeda status sosial, Endahwarni tidak memperlakukan Anteh sebagaimana dayang lainnya. Hal ini disebabkan karena umur mereka tidaklah terpaut jauh. Endahwarni bahkan menganggap Anteh seperti adiknya sendiri. Oleh karena itu, jika mereka hanya berdua Endahwarni melarang Anteh memanggilnya gusti. Dia menghendaki agar Anteh memanggilnya dengan sebutan kakak.

Suatu hari Endahwarni dan Anteh diperintahkan menghadap Gusti Ratu. Setelah mereka datang, Gusti Ratu berkata bahwa Endahwarni harus memiliki pendamping hidup agar kelak dapat menjadi ratu dan menggantikan kedudukan ayahandanya memimpin rakyat Pakuan. Untuk itu, Gusti Ratu telah memilihkan seorang pemuda baik, gagah, tampan, dan dari keluarga bangsawan. Namanya adalah Anantakusuma, anak Adipati dari Kadipaten Wetan. Sementara Anteh yang bersimpuh dibelakang Endahwarni diperintahkan agar selalu menjaga dan menyediakan segala keperluan Endahwarni hingga dia menikah nanti.

Usai menghadap, mereka mengundurkan diri menuju kamar Endahwarni. Ketika telah berada di dalam kamar Endahwarni menyampaikan keluh kesahnya pada Anteh. Dia khawatir apabila calon suaminya tidak mencintainya karena mereka sama sekali belum pernah bertatap muka. Kekhawatiran Endahwarni segera ditepis oleh Anteh dengan menghibur bahwa Endahwarni merupakan puteri yang cantik jelita. Tidak ada seorang pemuda pun yang akan menolak bila bersanding dengannya. Selain itu, tidak mungkin bila Ibuda Ratu sembarangan dalam memilihkan jodoh untuk anak semata wayangnya.

Beberapa minggu kemudian, Anteh diperintah mengumpulkan bunga melati penghias sanggul Endahwarni. Oleh karena sifatnya yang selalu periang, saat memetik bunga Anteh bernyanyi sambil memperhatikan sekelompok kupu-kupu yang terbang mengelilingi bunga-bunga yang akan diambil sebagai penghias sanggul. Tanpa dinyana nyanyian Anteh terdengar oleh seorang pemuda tampan yang kebetulan lewat. Penasaran mendengar suara merdu itu, sang pemuda yang ternyata adalah Anantakusuma segera melompati tembok istana untuk mencari sumbernya.

Sambil mengendap-endap diantara tanaman bunga di taman istana, dia mencari sumber suara yang telah memikat hatinya. Dan, betapa terkejutnya dia ketika melihat suara merdu itu berasal dari seorang gadis cantik jelita yang sedang memetik bunga. Dalam hati, Anantakusuma mengira bahwa sang gadis pasti adalah calon isterinya, Endahwarni. Oleh karena itu, dia mendekati Anteh yang dikiranya Endahwarni untuk sekadar memberi salam sekaligus memperkenalkan diri.

Namun, ketika Anantakusuma memperkenalkan diri, Anteh yang belum sempat menjawab tiba-tiba saja dipanggil oleh salah seorang dayang istana karena Endahwarni membutuhkan bantuannya. Anantakusuma yang menyadari kalau gadis itu bukanlah Endahwarni segera berlalu meninggalkan taman istana. Sembari berjalan keluar dari lingkup istana, jantungnya berdebar-debar karena membayangkan suara serta paras Anteh nan cantik jelita. Pikirnya, gadis itu telah berhasil memikat hati. Alangkah bahagia bila dia dapat dijadikan sebagai pendamping hidup.

Kejadian tadi berlalu begitu saja hingga beberapa minggu kemudian datanglah Adipati Wetan bersama rombongan melamar Puteri Endahwarni. Anantakusuma yang berada di antara rombongan Sang Adipati segera menjadi pusat perhatian segenap penghuni istana. Ketampanan dan kegagahannya membuat para perempuan yang melihat menjadi terpana, tidak terkecuali Endahwarni. Sukmanya laksana terbang ke awan melihat penampilan fisik calon suaminya.

Tetapi kegembiraan Endahwarni hanya berlangsung sesaat saja. Sebab, Anantakusuma sama sekali tidak menampakkan keceriaan. Wajahnya murung dan terkesan tidak bersemangat. Dia baru kembali "bersinar" tatkala melihat Anteh datang membawakan hidangan dan mengaturnya di atas meja perjamuan. Matanya bahkan nyaris tak berkedip ketika menatap tingkah polah Anteh yang sedang mengatur tata letak segala jenis hidangan di atas meja.

Hal ini tentu saja membuat Endahwarni "panas hati" karena dibakar rasa cemburu. Ternyata Anantakusuma pernah bertemu dan jatuh hati pada Anteh. Jadi, tidaklah mengherankan apabila perhatiannya selalu tertuju pada Anteh yang sedang mengatur hidangan. Bahkan dia seakan tidak menghiraukan kalau hari itu akan menikah. Dalam pandangan Endahwarni, Anantakusuma sebenarnya ingin menikahi Anteh, tetapi karena sudah dijodohkan oleh kedua orang tua, maka mau tidak mau dia pun harus menurut.

Untuk mengatasi agar Anantakusuma tidak beralih ke lain hati, Endahwarni kemudian mengatur sebuah rencana licik guna menyingkirkan Anteh, yaitu dengan mengusirnya keluar dari istana. Rencana ini dilaksanakannya beberapa hari setelah dia menikah dengan Anantakusuma. Tanpa basa basi dia langsung mengusir Anteh tanpa alasan jelas. Endahwarni hanya mengatakan bahwa Anteh dapat merusak hubungan rumah tangganya apabila masih berada di istana.

Perkataan Endahwarni tadi tentu saja membuat Anteh terkejut luar biasa. Dia tidak mengerti kenapa Endahwarni tiba-tiba berkata demikian. Namun, karena Anteh hanyalah seorang dayang yang notabene termasuk dalam lapisan sosial bawah di istana, maka dia tidak dapat membantah atau meminta penjelasan yang lebih detail dari Endahwarni. Anteh hanya tertunduk lesu sambil berlalu menuju kamarnya untuk mengemasi barang. Selanjutnya, dia berpamitan pada para dayang lalu pergi meninggalkan istana menuju ke kampung halaman almarhumah ibunya.

Beberapa jam lamanya dia berjalan menyusuri lembah dan bukit hingga akhirnya sampai di sebuah pohon rindang dekat kampung ibunya. Ketika hendak melepas lelah di bawah pohon itu, tiba-tiba seorang lelaki paruh baya datang menyapa, "Siapakah namamu, Nak?"

"Namaku Anteh, Paman," jawab Anteh agak terkejut karena tiba-tiba ada ada orang di dekatnya.

"Anteh," kata orang itu, "Wajahmu mengingatkanmu pada almarhumah kakakku Dadap."

"Dadap, Paman? Apakah dia seorang dayang istana?" tanya Anteh.

"Iya," Jawab sang lelaki singkat sambil menerawang mengenang adiknya.

"Dia adalah ibuku," jawab Anteh Singkat pula.

Sang lelaki yang bernama Waru itu langsung menatap Anteh dengan mata berkaca-kaca. Dia tidak mengira kalau dapat bertemu dengan keturunan satu-satunya dari Nyai Dadap. Selama ini dia hanya mendengar kabar bahwa kakanya telah meninggal sewaktu melahirkan tetapi tidak pernah sekali pun melihat bayi yang dilahirkannya. Dan, sekarang akhirnya dia dapat bertemu dengan Anteh yang wajah dan perawakannya mirip sekali dengan Nyai Dadap.

Setelah mendengar penjelasan Anteh mengapa dia sampai di kampung ini, Waru lalu mengajaknya pulang untuk tinggal bersama keluarganya. Di rumah Anteh membantu Sang Paman menjahitkan baju-baju pesanan tetangga mereka. Dan, karena jahitan hasil karya Anteh tergolong indah, lama-kelamaan orang-orang yang berasal dari luar desa pun ikut menjahitkan baju kepadanya. Uang hasil jahitan sepenuhnya diberikan kepada Sang Paman untuk mencukupi keperluan hidup mereka sehari-hari.

Singkat cerita, belasan tahun kemudian Anteh menjadi seorang nyai. Dia telah berumah tangga dan memiliki dua orang anak. Suatu hari, ketika dia dan anak-anaknya sedang bersenda gurau di teras rumah datanglah sebuah kereta kencana dengan banyak sekali pengawal menunggang kuda di belakangnya. Begitu kereta berhenti, turunlah Putri Endahwarni dan langsung berlari menghampiri mereka. Sambil menangis, dia memeluk Nyai Anteh dan meminta maaf atas kekhilafannya. Dia pun kemudian membujuk Nyai Anteh agar kembali ke istana. Di sana, Nyai Anteh bersama keluarga akan dibuatkan rumah di sisi taman. Dan, karena Nyai Anteh sekarang telah berprofesi sebagai penjahit, maka dia akan diangkat menjadi penjahit istana.

Setelah berunding dengan Sang suami, Anteh akhirnya mau pindah ke istana. Tetapi kebahagiaan keluarga itu hanya berlangsung singkat. Sebab, Anantakusuma masih tetap menyimpan rasa cintanya pada Anteh. Hal itu "dibuktikannya" dengan selalu menyempatkan diri berkunjung ke taman istana secara sembunyi-sembunyi hanya untuk melihat paras cantik Nyai Anteh. Bahkan, karena sudah terlalu rindu, suatu malam saat bulan purnama Anantakusuma nekad mendatangi dan berusaha memeluknya.

Anteh yang kala itu sedang bermain dengan bermain dengan kucing kesayangannya, Candramawat, tentu saja terkejut, ketakutan, dan berusaha melarikan diri. Sambil berlari memeluk Candramawat Anteh berdoa pada para Dewa agar tidak diganggu lagi oleh Anantakusuma. Tanpa dinyana, doa Anteh dijawab oleh para Dewa. Tidak berapa lama kemudian tubuhnya diselimuti oleh sinar dan diangkat ke angkasan. Anantakusuma yang mengejarnya hanya terpana dan tidak dapat berbuat apa-apa ketika tubuh Anteh menghilang di antara awan menuju bulan.

Sesampainya di bulan, dia tidak dapat pulang lagi. Keinginannya ternyata berbuah simalakama. Di satu sisi dia dapat terbebas selamanya dari Anantakusuma, tetapi di sisi lain dia tidak dapat lagi bertemu dengan keluarganya. Hidupnya sekarang hanya ditemani oleh Candramawat. Usaha satu-satunya agar dapat kembali ke bumi dilakukan dengan cara menenun kain menjadi tangga. Namun, hasil tenunan itu tidak pernah selesai karena selalu dirusak oleh Candramawat. Konon, bayangan aktivitas Nyai Anteh ketika sedang menenun tadi akan terlihat dari bumi bila bulan purnama tiba.

Diceritakan kembali oleh Gufron

Togapuri

$
0
0
Sejarah
Kesehatan merupakan salah satu faktor penting pendukung kinerja manusia. Apabila kesehatan terganggu, kemungkinan besar sebagian aktivitas juga turut terganggu. Untuk mengatasinya, umumnya orang akan menggunakan obat-obatan konvensional yang diproduksi oleh pabrik. Namun seiring waktu, karena harga obat konvensional yang kian melambung dan efek negatif jangka panjang yang ditimbulkannya, sebagian orang mulai beralih pada obat-obat tradisional yang telah diwariskan oleh nenek moyang.

Salah seorang diantaranya adalah Toto Suhendro, pensiunan pegawai salah satu BUMN di Kota Bandung. Ketertarikan Toto berawal dari berbagai macam penyakit yang dideritanya pada sekitar tahun 1991, yaitu: jantung, vertigo, hipertensi, lambung, kolesterol tinggi, alergi terhadap debu, cuaca, dan makanan tertentu1. Alih-alih menggunakan obat konvensional, Toto malah mencoba terapi pengobatan tradisional serta olah pernafasan. Hasilnya, dua tahun kemudian dia sembuh seperti sedia kala.

"Khasiat" pengobatan tradisional yang dihasilkan dari tumbuhan rupanya tidak hanya berpengaruh pada kesehatan jasmani, tetapi juga pola pikir Toto Suhendro. Dia melihat ada suatu peluang usaha baru apabila tanaman obat dikelola dengan baik. Oleh karena itu, setelah pensiun sekitar tahun 2003, Toto mulai beralih profesi dengan mengembangkan tanaman obat di atas lahan miliknya seluas sekitar 7.000 meter persegi di kaki Gunung Kareumbi dengan ketinggian sekitar 900 meter dpl dan dikelilingi oleh Gunung Manglayang dan Gunung Geulis2. Adapun lokasinya berada di Dusun Lebakjawa, Desa Cilembu, Kecamatan Pamulihan, Kabupaten Sumedang3.

Lahan tanaman obat tersebut kemudian diberi nama Togapuri. Kata "Toga" merupakan akronim dari "Tanaman Obat keluarGA" atau dapat pula "Toto dan keluarGA". Sedangkan "Puri" berarti "istana", karena konon seluruh tanaman obat yang berada di sana diperlakukan secara istimewa bak raja di istananya4. Jadi, Togapuri dapat diartikan sebagai Istana Tanaman Obat yang dikelola oleh Toto dan keluarga.

Sebagai sebuah usaha di bidang agrowisata, Togapuri tentu memiliki visi dan misi sebagai pedoman operasionalnya. Visi Togapuri adalah menjadi pusat budidaya, bisnis, dan wisata agro berbasis tanaman obat serta lokasi terapi holistik yang terkemuka di wilayah bumi Priangan Timur. Sedangkan misinya: (1) memperkenalkan dan menggali kearifan tradisional dari nenek moyang berupa menyelenggarakan budidaya dan pengolahan hasil panen tanaman berkhasiat obat; (2) menggali berbagai jenis tanaman berkhasiat obat yang mempunyai nilai ekonomis sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan di dalam mengelola kebun dan menjalankan bisnis tanaman obat; (3) melestarikan pupuk dan pestisida alami serta memanfaatkannya sebagai upaya untuk menghasilkan produk yang alami; (4) melestarikan keindahan alam dan mengembangkan potensi wilayah sebagai anugerah Tuhan berupa pengembangan wisata agro berbasis tanaman berkhasiat; (5) memberdayakan sumber daya manusia di lingkungan sekitar agar dapat membantu program pemerintah menanggulangi pengangguran, kemiskinan, dan kebodohan; serta (6) memberikan layanan kesehatan masyarakat secara holistik dan terpadu dengan menggunakan bahan obat alami2.

Visi dan misi itu bertujuan memberikan manfaat di bidang kesehatan jasmani dan rohani serta meningkatkan wawasan di bidang tanaman obat sehingga kesejahteraan masyarakat dapat tercapai. Untuk mewujudkannya, Togapuri yang bermotto "Cinta Alam Sehat Alami"5 ini menyusun beberapa program kerja, yaitu: (1) menyelenggarakan kegiatan budidaya dan bisnis tanaman obat serta agrowisata; (2) menyelenggarakan diklat tentang budidaya toga; (3) menyelenggarakan bimbingan teknis budidata toga di halaman rumah penduduk sekitar kebun sebagai upaya untuk menjaga kesehatan keluarga; (4) menyelenggarakan bimbingan teknis cara memproduksi toga yang bernilai ekonomis; (5) memfasilitasi pembentukan kelompok petani toga; (6) memfasilitasi penelitian tentang tanaman obat bagi kalangan akademisi; (7) mengolah limbah alami menjadi pupuk; (8) menggalakkan penanaman tanaman hias dan bunga yang berkhasiat sebagai obat di lingkungan desa sekitar Togapuri; (9) mengolah dan memasarkan hasil kebuh berupa ekstrak tanaman obat dan minuman kesehatan; dan (10) menyelenggarakan kegiatan konsultasi dan terapi kesehatan secara holistik2.

Bidang Usaha dan Fasilitas Togapuri
Agrowisata Togapuri memiliki sejumlah bidang usaha yang berbasis tanaman obat, meliputi: (1) pembibitan dengan menanam ratusan jenis bibit tanaman yang diperoleh dari berbagai daerah. Pembibitan ini ada yang dijual sebagai tanaman hidup dan ada pula yang dibudidayakan kemudian hasilnya dikeringkan sebagai bahan baku obat, baik berupa daun, buah, biji, akar, bunga, maupun kulit pohon; (2) Usaha di bidang minuman yang dibagi menjadi dua bentuk. Bentuk pertama berupa ekstrak tanaman yang telah dikeringkan lalu diolah sedemikian rupa menjadi serbuk dan dikemas dalam plastik maupun kapsul. Sedangkan bentuk kedua disajikan bersama makanan yang diolah di kantin Togapuri dengan menu bergantung pada daftar paket wisata yang ditawarkan; (3) Klinik pengobatan holistik terpadu menggunakan metode iridologi, kinesiologi, dan phytobiophysic. Klinik ini berada di dua tempat yaitu Jalan Taman Margawangi, Margacinta, Bandung dengan jadwal praktek setiap hari Rabu dan di Togapuri sendiri yang baru beroperasi bila ada pengunjung yang datang melalui reservasi; dan (4) wisata argo kebun tanaman obat yang merupakan inti dari bidang usaha Togapuri.

Wisata argo yang ditawarkan oleh Togapuri terbagi dalam lima area, yaitu: area layanan publik, kebun produksi, layanan tamu, taman kahuripan, dan area sahabat alam2. Area layanan publik disediakan bagi seluruh pengunjung yang ingin menggunakannya. Di dalam area ini terdapat berbagai macam fasilitas, seperti: dua buah tempat parkir yang dapat menampung 30 unit mobil atau 6 buah bus berpenumpang 59 orang6, sebuah bale sehat tempat pengobatan holistik, tiga buah toilet umum, ruang tunggu, dan dilengkapi pula dengan taman bunga bertingkat. Area kebun produksi berfungsi sebagai kebun tanamam obat yang hasilnya akan dipasarkan. Di dalam area ini terdapat rumah pupuk dan tempat istirahat tamu berbentuk pendopo segi delapan yang mampu menampung hingga 50 orang. Selain dapat digunakan untuk istirahat, pendopo juga dapat digunakan sebagai tempat makan, ceramah, atau menggelar hiburan dengan iringan organ tinggal.

Selanjutnya, ada area layanan tamu yang berisi rumah tinggal (bale indung), rumah pembibitan, mushola (bale agung), rumah pertemuan, dapur umum, dan arena bermain. Bale indung dilengkapi dengan tujuh buah kamar tidur dan sebuah ruang spa berkapasitas dua tempat tidur6. Ruang pertemuan (aula) berukuran 120 meter persegi dan dilengkapi dengan sebuah toilet serta dua buah loudspeaker berukuran 15 inci. Bale agung dilengkapi dengan dua unit toilet, 5 buah kran air, 1 unit gentong wudlu7, dan dapat menampung hingga 20 orang.

Kemudian, area taman kahuripan merupakan tempat penanaman sekitar 300 jenis tanaman obat yang berasal dari tanaman liar, tanaman buah, tanaman hias, tanaman keras, tanaman sayur, dan tanaman rimpang. Di taman yang dibuat dalam lima tingkatan ini terdapat pula 8 jenis alat olahraga yang dapat digunakan sebagai terapi kesehatan. Dan terakhir, adalah area sahabat alam yang, sesuai dengan namanya, diciptakan agar pengunjung lebih dekat dan bersahabat dengan alam. Area sahabat alam dilengkapi dengan lapangan olahraga volley, basket, dan bulu tangkis yang dapat pula berfungsi sebagai arena senam massal dengan jumlah peserta hingga 250 orang.

Bagaimana? Anda berminat mengunjungi agrowisata tanaman obat yang berada di daerah Sumedang Selatan ini? Sebagai catatan, apabila berminat anda tidak dapat langsung menuju ke lokasi karena pihak pengelola Togapuri menerapkan aturan kunjung secara ekslusif, yaitu harus melakukan reservasi terlebih dahulu dengan minimal jumlah tamu sebanyak 20 orang (rombongan). Hal ini berkaitan dengan paket wisata yang ditawarkan agar pengunjung dapat mencapai tingkat kepuasan maksimal.

Foto: Pepeng
Sumber:
1. "Siapa Kami", diakses dari http://togapuri.com/new-page/, tanggal 15 Januari 2016.

2. Rachmawati, Elita. 2007. Segmentasi, targeting, dan positioning pada wisata agro tanaman obat togapuri dengan menggunakan model stv-triangle. Tesis/Proyek Akhir, Program Magister Administrasi Bisnis, Sekolah Bisnis dan Manajemen, Institut Teknologi Bandung.

3. "Togapuri yang Menarik", diakses dari http://p2tel.or.id/2014/04/togapuri-yang-menarik/, tanggal 15 Januari 2016.

4. "Latar Belakang dan Sejarah Tanaman Keluarga", diakses dari http://kesehatan173.blog spot.co.id/2011/01/latar-belakang-dan-sejarah-tanaman.html, tanggal 17 Januari 2016.

5. "Togapuri, Tempat Wisata Kesehatan Herbal di Cilembu, diakses dari http://firmanzurig. blogspot.com/2013/08/togapuri-tempat-wisata-kesehatan-herbal.html#ixzz3y9TIASTf, tanggal 17 Januari 2016.

6. "Fasilitas", diakses dari http://togapuri.com/fasilitas/, tanggal 14 Januari 2016.

7. "Togapuri, Sumedang", diakses dari http://na-2x.blogspot.co.id/2011/06/togapuri-sume dang.html, tanggal 19 Januari 2016.

Asal Mula Pulau Sangkar

$
0
0
(Cerita Rakyat Daerah Riau)

Alkisah, ada dua orang pendekar yang tinggal di wilayah Indragiri Hilir. Mereka bernama Katung dan Tuk Solop. Katung adalah seorang pendekar sakti mandraguna, tetapi memiliki sifat sombong. Hidupnya sangat mewah dan berkecukupan berkat usahanya menyabung ayam serta iuran dari murid-murid yang belajar bela diri padanya. Katung memiliki seorang adik angkat yang cantik jelita, bernama Suri. Dia anak dari lawan mainnya dalam menyabung ayam yang kalah dan terpaksa menitipkan anaknya pada Katung karena telah mempertaruhkan dirinya sendiri. Ayah Suri kemudian diasingkan ke tengah hutan.

Sementara pendekar yang satunya lagi, Tuk Solop, memiliki sifat yang bertolak belakang dengan Kutang. Dia seorang pendekar yang ramah dan tidak sombong sehingga disukai banyak orang. Tuk Solop pernah membuka sebuah perguruan beladiri di rumahnya di pinggir Pantai Solop. Namun karena semakin sedikit orang yang datang berguru dan sebagian muridnya bahkan ada yang beralih berguru ke Katung, dia pun memutuskan pergi mencari tempat yang baru. Dia merasa kalah bersaing dengan Katung dalam hal mencari murid.

Beberapa bulan setelah Tuk Solop pergi, datanglah seorang pengembara bernama Bujang Kelana ke rumah Tuk Solop. Tujuannya adalah hendak berguru pada pendekar itu. Namun, karena Tuk Solop sudah tidak bermukim lagi di situ, maka yang didapatinya hanyalah sebuah padepokan kosong dan terlantar. Kecewa dan sekaligus lelah karena usahanya sia-sia, Bujang Kelana hanya duduk termenung di teras rumah Tuk Solop sambil memikirkan rencana apa yang akan dibuat selanjutnya.

Tidak berapa lama dia beristirahat di teras rumah Tuk Solop, melintasah Suri hendak kembali ke rumahnya. Mereka pun lalu berkenalan dan berbincang-bincang seputar maksud dan tujuan Bujang Kelana serta keadaan padepokan milik Tuk Solop. Setelah mendapat penjelasan dari Bujang Kelana, tanpa basa-basi Suri menceritakan bahwa Tuk Solop telah pergi meninggalkan padepokan semenjak murid-muridnya beralih guru ke Pendekar Katung.

Penasaran akan penuturan Suri, Bujang Kelana lalu mendesaknya agar meceritakan siapakah gerangan Pendekar Katung. Suri tidak langsung menjawab, dan hanya terdiam sesaat sambil memandang ke sekeliling seolah-olah takut bila ada orang yang sedang mengawasinya. Kemudian dia berbisik lirih bahwa bila ingin mengetahui siapa Pendekar Katung, Bujang Kelana harus menemuinya lagi di tempat ini esok hari. Setelah itu, dia bergegas pergi meninggalkan Bujak Kelana.

Setelah Suri berlalu, muncullah seorang kakek buta yang dari tadi bersembunyi di balik semak belukar. Sang kakek datang menghampiri Bujang Kelana dan memperkenalkan diri sebagai Datuk Buta. Dan, sama seperti Suri, sambil memandang sekeliling dia berbisik pada Bujang Kelana bahwa Katung merupakan pendekar beraliran hitam. Namun, sebelum Datuk Buta lebih jauh menceritakan jatidiri Pendekar Katung, tiba-tiba dirinya mendengar suara yang mencurigakan. Datuk Buta pun segera pamit dan berlalu menuju semak belukar lagi.

Beberapa jam setelah Datuk Buta pergi, Suri datang lagi dengan berlari tergopoh-gopoh menemui Bujang Kelana. Dalam keadaan panik dia meminta Bujang Kelana membawanya pergi ke suatu tempat tersembunyi. Dia akan menjelaskan alasannya bila mereka telah berada di tempat aman. Mendengar permintaan itu, Bujang Kelana yang memang tertarik akan kemolekan Suri, tanpa membantah langsung membawanya ke tengah hutan.

Sesampainya di tengah hutan, mereka menuju ke sebuah goa untuk berteduh karena hari menjelang senja. Ketika mereka telah berada di dalam goa Suri lalu menjelaskan bahwa dirinya akan dikawin oleh Pendekar Katung. Selama ini dia telah dirawat dan dianggap adik oleh Pendekar Katung karena ayahnya telah di buang di hutan sebab kalah dalam pertaruhan sabung ayam. Oleh karena dia berparas cantik, lama-kelamaan Pendekar Katung tertarik dan akhirnya hendak mengawininya.

Usai bercerita panjang lebar, dari mulut goa datanglah Datuk Buta. Sambil berjalan perlahan dia menghampiri Bujang Kelana dan Suri. Di hadapan mereka Datuk Buta menyatakan bahwa orang yang dibuang karena kalah bersabung ayam adalah dirinya. Dia tidak dapat kembali lagi ke Pantai Solop untuk menemui Suri karena telah menyerahkan "nyawanya" ketika dikalahkan oleh Katung dalam arena sabung ayam. Selama di hutan dia bertemu dengan Tuk Solop dan diajari cara mengalahkan Katung. Namun sebagai syaratnya, dia harus menjadi buta agar dapat mengetahui kelemahan Katung.

Mendengar penuturan itu, dengan berlinang air mata Suri bersujud di kaki Datuk Buta. Setelah keduanya melepas rindu, bersama Bujang Kelana mereka menyusun rencana menyingkirkan Pendekar Katung. Adapun caranya adalah dengan menantangnya mengadu ayam. Tetapi sebelum pertarungan dilaksanakan, malam harinya Bujang Kelana pergi ke kandang milik Katung untuk menukar ayam jagonya dengan ayam milik Datu Buta yang bentuk dan ukurannya sama persis. Walhasil, dalam pertarungan ayam Pendekar Katung yang telah ditukar kalah dan akhirnya mati melawan ayam milik Bujang Kelana.

Tidak terima ayam jagonya dikalahkan hanya dalam sekali serangan, Pendekar Katung segera memerintahkan para pengawalnya menangkap Bujang Kelana. Pada saat Bujang Kelana ditangkap dan dipukuli oleh para pengawal, Pendekar Katung yang sedang mengawasinya langsung disergap dari arah belakang oleh Datuk Buta. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Bujang Kelana. Dengan gesit dia berkelit dari para pengawal dan menyerang Pendekar Katung hingga tewas terkapar.

Sayangnya, kematian Katung tidak sempat menghentikan seluruh aksi dari para pengawalnya. Sebagian dari mereka berhasil menangkap dan melukai Suri hingga kondisinya parah dan akhirnya meninggal dunia. Kejadian ini membuat Bujang Kelana sangat kecewa. Sang Bujang yang sejak awal sebenarnya telah menaruh hati pada kecantikan dan kemolekan tubuh Suri terpaksa harus merelakannya pergi tanpa kembali lagi.

Singkat cerita, setelah kematian Suri, Bujang Kelana pun pamit pada Datuk Buta. Namun sebelum pergi, entah mengapa, dia meminta sebuah sangkar ayam milik Datu Buta untuk dilemparkan sesampainya di tengah laut. Dan konon, beberapa tahun setelah kepergian Bujang Kelana, sangkar ayam yang dilemparkan ke laut tadi muncul ke permukaan dan lambat laut menjadi sebuah pulau. Pulau itu oleh masyarakat setempat kemudian disebut sebagai Pulau Sangkar Ayam.

Diceritakan kembali oleh gufron

Terbang

$
0
0
Terbang merupakan waditra (alat musik) yang digunakan dalam kesenian terbang kencer di Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah. Alat musik ini sebenarnya ada di berbagai daerah dengan bentuk, ukuran, dan istilah yang berbeda-beda. Dalam kesenian terbang kencer, terbang yang digunakan disertai dengan kecrek yang terbuat dari besi putih. Bagian atasnya berbentuk lubang bundar dengan garis tengah sekitar 40 centimeter sedangkan bagian bawahnya bergaris tengah sekitar 35 centimeter (semakin menyempit). Bagian lubang atas ditutup dengan kulit kambing menggunakan perekat (lem), kemudian dipaku dengan paku jamur (Paku yang salah satu ujungnya menyerupai bintang).

Badan terbang terbuat dari kayu sawo yang dianggap keras, kuat, tidak mudah retak, serta dapat menimbulkan gaung (efek suara) yang bagus. Pada badan terbang yang semakin ke bawah semakin kecil itu ada tiga lubang berjarak sama berukuran tinggi 1 centimeter dan panjang 11 centimeter dengan posisi mendatar. Di setiap lubang terdapat dua buah logam berbentuk bundar dan pipih menyerupai piringan compact disc (CD) yang terbuat dari nekel (besi putih). Alat ini disebut kecrek atau kencer. Jika terbang ditabuh maka alat ini akan menimbulkan suara gemerincing. Bunyi inilah yang kemudian membuat terbang tersebut disebut sebagai "terbang kencer".

Selain kencer, terbang juga dilengkapi dengan rotan yang melingkar di dalamnya (di bawah kulit terbang) yang disebut sentek. Garis tengahnya kurang lebih sama dengan garis tengah terbang. Alat ini dimasukkan atau diselipkan pada celah antara kulit dan bagian permukaan bawah terbang. Fungsinya untuk mengencangkan kulit terbang, sehingga suaranya sesuai dengan yang diinginkan.

Sebuah terbang kencer beratnya kurang lebih 2 kilogram. Ketika digunakan terbang tersebut diletakkan di atas tangan kiri dengan posisi tangan membentuk sudut 30--40. Jika pementasan dilakukan dalam sebuah ruangan (biasanya ruang tamu), maka posisi duduknya seperti duduknya sinden (bersimpuh). Akan tetapi, jika dalam arak-arakan (dalam lapangan) posisinya berdiri karena harus berjalan menyusuri route yang telah ditetapkan.

Dan, jika terbang tidak digunakan (disimpan), sentek dicopot dan dibiarkan ada dalam terbang. Selanjutnya, agar terbang tidak cepat rusak atau berdebu, maka sebelum disimpan dimasukkan dalam sebuah kantong yang terbuat dari kain belacu (gufron).

Waduk Jatigede

$
0
0
Pada masa lalu, sekitar tahun 1963, pemerintah pusat merencanakan sebuah megaproyek, yaitu pembangunan waduk atau bendungan di Kabupaten Sumedang dengan memanfaatkan aliran Sungai Cimanuk-Cisanggaru. Proyek tersebut meliputi wilayah Kabupaten Garut, Sumedang, Cirebon, Indramayu, Kuningan Provinsi Jawa Barat, serta Kabupaten Brebes Provinsi Jawa Tengah yang secara keseluruhan luasnya mencapai 7.711 kilometer persegi. Luas waduknya sendiri diperkirakan sekitar 4.891,13 hektar. Adapun lokasi dam/bendungannya berada di Kampung Jatigede, Desa Cigeunjing, Kecamatan Jatigede, sehingga dinamakan bendungan Jatigede (http://sumedangkab.go.id).

Tujuan utama pembangunan Waduk Jatigede adalah untuk meningkatkan produksi padi seluas 90.000 ha dengan memanfaatkan semaksimal mungkin jaringan irigasi yang telah ada (sistem jaringan irigasi rentang). Tujuan lainnya adalah sebagai penyedia air bersih di Kabupaten Sumedang, Cirebon, Indramayu, Majalengka dan kawasan Balongan dengan kapasitas 3.500 liter/detik, serta pembangkit tenaga listrik di PLTA Parakan Kondang yang berkapasitas 7,5 mw dan PLTA Jatigede yang berkapasitas 110 mw.

Untuk mewujudkan waduk dan pembangkit listrik, waktu itu pemerintah menyediakan dana sebesar Rp4.035 milyar dengan rincian: pembangunan Waduk Jatigede sebesar Rp2.040 milyar, pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Jatigede sebesar Rp1.530 milyar, dan pembebasan lahan sebesar Rp465 milyar. Pembebasan diawali dengan pendataan langsung berkenaan dengan data kepemilikan lahan. Selanjutnya, adalah tahap musyawarah untuk menentukan besarnya ganti rugi. Setelah terjadi kesepakatan, barulah diberikan ganti rugi dengan besaran yang telah ditentukan oleh Panitia Pengadaan Tanah (P2T). Proses ganti rugi pada tahun 1982 ini diberikan kepada warga masyarakat Desa Jemah, Sukakersa, Ciranggem, Mekarasih yang termasuk dalam Kecamatan Jatigede; Desa Padajaya dan Cisurat yang termasuk dalam Kecamatan Wado; Desa Jatibungur, Cikeusi, Tarunajaya, Karangpakuan, Cipaku, Pakualam yang termasuk dalam Kecamatan Darmaraja; dan Desa Cisitu, Pajagan, Cigintung yang termasuk dalam Kecamatan Cisitu.

Pembebasan lahan berikutnya terjadi antara tahun 1994-1998. Pembebasan tersebut meliputi areal Desa Leuwihideung, Sukamenak, Neglasari yang berada di Kecamatan Darmaraja dan Desa Sirnasari yang berada di Kecamatan Jatinunggal. Jadi, secara keseluruhan penduduk yang mendapat ganti rugi sejak tahun 1982 mencapai 4.240 KK atau sekitar 74,6% dari 5.686 KK atau 28430 jiwa yang terkena proyek pembangunan Waduk Jatigede (PPSDAL, 2000).

Pembebasan lahan yang terakhir dilaksanakan pada tahun 2004 hingga sekarang. Desa-desa yang dibebaskan lahannya adalah Desa Cibogo dan Desa Sukaratu yang berada di Kecamatan Darmaraja; Desa Wado yang berada di Kecamatan Wado; dan Desa Pawenang yang berada di Kecamatan Jatinunggal. Adapun dasar hukum yang dijadikan acuan adalah Perpres No.36/65 tahun 2005. Perpres ini mengatur tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum; inventarisasi atas tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang ada kaitannya dengan tanah yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan; pemberian ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan haknya; susunan keanggotaan panitia pengadaan tanah; dan bentuk ganti rugi (uang, tanah pengganti, pemukiman kembali, atau penyertaan modal).

Seiring dengan pembebasan lahan, pemerintah juga mengupayakan untuk memindahkan penduduk yang terkena dampaknya melalui program transmigrasi lokal di wilayah Jawa Barat maupun ke luar Pulau Jawa. Pola perpindahannya ada yang dilakukan atas kehendak sendiri dengan memilih pindah di sekitar genangan, dan atau diatur oleh pemerintah secara berkelompok (bedol desa) maupun terpisah dengan kerabat, saudara atau para tetangganya. Mereka yang memilih pindah di sekitar genangan mayoritas adalah golongan menengah-atas yang masih mempunyai lahan di daerah tidak tergenang. Sedangkan, penduduk yang mengikuti program pemerintah bertransmigrasi di wilayah Jawa Barat maupun di luar Pulau Jawa adalah mereka yang memiliki lahan rata-rata hanya 0,3/KK dengan harapan dapat memperoleh lahan seluas 2,5 ha/KK untuk mengembangkan usaha pertaniannya (Suwartapradja, 2005).

Wilayah Terdampak Pembangunan Waduk Jatigede
Seperti telah dikatakan di atas pembangunan Waduk Jatigede diperkirakan memerlukan lahan sekitar 4.891,13 hektar di 26 desa yang berada di 5 kecamatan yaitu: Jatigede, Darmaraja, Wado, Jatinunggal, dan Cisitu. Berikut profil kelima kecamatan tersebut beserta desa-desa yang terkena proyek penggenangan waduk, terutama desa-desa yang wilayahnya akan tergenang penuh.

Kecamatan Jatigede
Kecamatan Jatigede merupakan peruwujudan dari Peraturan Daerah Kabupaten Sumedang No. 51 tahun 2000, tertanggal 29 Desember 2000. Sebelumnya nama kecamatan ini adalah Cadasngampar. Nama Jatigede sendiri diambil dari nama sebuah dusun di Desa Cijeunjing, yaitu Dusun Jatigede. Secara geografis batas-batas Kecamatan Jatigede: sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Tomo, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Jatinunggal dan Kecamatan Wado, sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Darmaraja dan Kecamatan Situraja, dan sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Jatinunggal dan Kabupaten Majalengka.

Luas wilayah Kecamatan Jatigede sekitar 9.366 ha atau 93.633 kilometer persegi, terdiri atas: hutan negara (6.250,7 ha), pengangonan (667 ha), perumahan/pekarangan (173,10 ha), ladang, kebun dan huma (415,5 ha), sawah irigasi sederhana (90 ha), sawah ½ teknis (259 ha), sawah tadah hujan (1.086 ha), dan lain-lain (425 ha) yang tersebar dalam 12 desa, yaitu: Cijeunjing, Kadujaya, Lebaksiuh, Cintajaya, Cipicung, Mekarasih, Sukakersa, Ciranggem, Sicampih, Jemah, Kadu, Karedok (dahulu wilayah Kecamatan Tomo).

Pada tahun 1984/1985 luas kecamatan ini berkurang sekitar 1.766,06 ha karena ada 6 desa yang terkena perencanaan pembangunan Waduk Jatigede oleh pemerintah pusat. Keenam desa tersebut adalah: Desa Cijeunjing, Desa Jemah, Desa Sukakersa, Desa Mekarasih, Desa Ciranggem, dan Desa Kadujaya. Adapun rincian penggunaannya adalah sebagai daerah genangan seluas 1.711,11 ha, acces road (13,17 ha), home road (2,43 ha), base camp (8,73 ha), borrow area (21,80 ha), dan power station (8,82 ha) (id.wikipedia.org).

Kecamatan Cisitu
Secara keseluruhan luas Kecamatan Cisitu sekitar 5.331 ha. Berdasarkan penggunaannya luas tersebut terdiri atas: sawah ½ teknis (331 ha), sawah irigasi sederhana (676 ha), sawah tadah hujan (25 ha), pekarangan (37 ha), tegalan (1.478 ha), balong (17 ha), hutan rakyat (1220 ha), hutan negara (1495 ha), dan padang penggembalaan seluas 52 ha yang tersebar di 10 desa, yaitu: Cisitu, Situmekar, Pajagan, Cigitung, Sundamekar, Linggajaya, Ranjeng, Cilopang, Cimarga, dan Cinangsi. Sebagian wilayah kecamatan ini (73,45 ha) akan menjadi bagian dari kawasan genangan Waduk Jatigede yang letaknya di Desa Pejagan, Desa Cigintung, dan Desa Cisitu.

Kecamatan Darmaraja
Kecamatan Darmaraja terletak sekitar 25 kilometer arah timur Kota Sumedang. Secara geografis kecamatan yang bertitik koordinat 6°53'21"S-108°4'40"E ini berbatasan dengan Kecamatan Tomo dan Kecamatan Jatigede di sebelah utara, Kecamatan Cibugel di sebelah selatan, Kecamatan Cisitu dan Kecamatan Situraja di sebalah barat, serta Kecamatan Wado di sebelah timur. Secara admnistratif dan teritorial Kecamatan Darmaraja terdiri dari 16 desa, 38 dusun, 83 Rukun Warga, dan 310 Rukun Tetangga. Ke-16 desa tersebut adalah: Cibogo, Cieunteung, Cikeusi, Cipaku, Cipeteuy, Darmajaya, Darmaraja, Jatibungur, Karang Pakuan, Leuwihideung, Neglasari, Paku Alam, Sukamenak, Sukaratu, Ranggon, dan Tarunajaya.

Luas wilayahnya mencapai 5.494 ha, dengan rincian: sawah ½ teknis (491 ha), sawah irigasi sederhana (1.222 ha), sawah tadah hujan (41 ha), pekarangan (37 ha), tegalan (1.754 ha), balong/kolam (45 ha), hutan rakyat (653 ha), hutan negara (787 ha), dan padang penggembalaan (464 ha). Dari luas keseluruhan ini sebanyak 1.606,35 ha akan menjadi bagian dari kawasan genangan Waduk Jatigede. Lahan tersebut berada di Desa Leuwihideung, Jatibungur, Cibogo, Cipaku, Paku Alam, Karang Pakuan, Sukaratu, Cikeusi, Tarunajaya, Darmajaya, dan Neglasari.

Kecamatan Wado
Kecamatan Wado yang secara administratif dan teritorial terdiri atas 11 buah desa, 51 buah dusun, 67 buah Rukun Warga, dan 265 buah Rukun Tetangga. Ke-11 desa tersebut adalah: Cimungkal, Ganjarresik, Cilengkrang, Cikareo Selatan, Cikareo utara, Wado, Mulyajaya, Padajaya, Sukajadi, Cisurat, dan Sukapura. Kecamatan ini luas wilayahnya mencapai sekitar 7.642 ha, dengan rincian: sawah ½ teknis (447 ha), sawah irigasi sederhana (584 ha), sawah tadah hujan (180 ha), pekarangan (10 ha), tegalan (1987 ha), ladang/huma (622 ha), balong (37 ha), hutan rakyat (492 ha), dan hutan negara (3.253 ha). Tetapi, sekitar 461,22 ha dari luas keseluruhannya (di Desa Padajaya, Cisurat, dan Wado) diperkirakan akan tergenang jika Waduk Jatigede mulai dioperasikan.

Kecamatan Jatinunggal
Kecamatan Jatinunggal terdiri atas 9 desa, 56 dusun, 59 Rukun Warga (RW), dan 160 Rukun Tetangga (RT). Ke-9 desa tersebut adalah: Sirnasari, Tarikolot, Pawenang, Sarimekar, Banjarsari, Kirisik, Sukamanah, Cipeundeuy, dan Cimanintin. Luas wilayahnya sekitar 6.149 ha, dengan rincian: sawah setengah teknis (688 ha), sawah irigasi sederhana (515 ha), sawah tadah hujan (758 ha), pekarangan (29 ha), tegalan (914 ha), ladang/huma (497 ha), balong (47 ha), hutan rakyat (1062 ha), dan hutan negara (1.639 ha). Adapun wilayah kecamatan yang akan tergenang adalah di Desa Pawenang dan Desa Sirnasari seluas 229,25 ha. (Gufron)
Foto: Pepeng
Sumber:
“Pembangunan Bendungan Jatigede”. http://sumedangkab.go.id/index.php?option=com_ content&view=article&id=104&Itemid=6. Diakses 20 Agustus 2013.

Perpres, No 36 tahun 2005, tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

PPSDAL, LP, UNPAD, 2000, Studi Potensi Minat masyarakat dan Pilihan Lokasi kepindahan Penduduk Jatigede secara berkelompok, DPU.

Suwartapradja, Opan S., “Konflik Sosial (Kasus pada Pembangunan Bendungan Waduk Jatigede di Kabupaten Sumedang Jawa Barat)”, Makalah dalam SKIM IX UNPAD-UKM, Bandung, 10-12 Mei 2005.

“Jatigede, Sumedang”. http://id.wikipedia.org/wiki/Jatigede,_Sumedang. Diakses 26 Agustus 2013.

Taman Lalu Lintas Ade Irma Suryani Nasution

$
0
0
Sejarah dan Perkembangan
Taman Lalu Lintas Ade Irma Suryani Nasution (TLL-AISN) terletak di Jalan Belitung No. 1, Bandung, Jawa Barat1. Sesuai dengan namanya (taman lalu-lintas), taman yang berada di jantung Kota Bandung ini dibangun sebagai sarana bermain sekaligus tempat menanamkan etika dalam berlalu-lintas yang baik dan benar bagi anak-anak usia sekolah2. Di sini mereka dapat berkendara pada sebuah jalur buatan yang telah dilengkapi dengan rambu-rambu lalu lintas, sehingga dapat langsung mempraktekkannya dalam suasana yang menyenangkan.

Apabila ditilik dari sejarahnya TLL-AISN dahulu hanyalah sebuah lahan terbuka bagian dari pusat komando pertahanan Hindia-Belanda di Nusantara. Gunanya adalah sebagai tempat latihan baris-berbaris para serdadu Belanda2 yang bermarkas di gedung Paleis Legercommandat (sekarang Markas Komando Daerah Militer III/Siliwangi) dan gedung Departement van Oorlog (Departeman Peperangan) yang oleh warga masyarakat setempat dinamakan gedung Sabahu karena luas lahannya sebahu (0,7 hektar)3.

Tempat latihan baris-berbaris itu baru beralih fungsi menjadi taman setelah dibuatnya lapangan yang sekarang menjadi Stadion Siliwangi. Semenjak menjadi taman, namanya kemudian diganti menjadi Insulindepark karena jalan-jalan yang berada di sekelilingnya diberi nama daerah-daerah di Nusantara (Aceh, Kalimantan, Belitung, dan Sumatera). Selanjutnya, setelah bangsa Indonesia merdeka, Insulindepark dialihfungsikan menjadi taman lalu lintas atas prakarsa H. Nazaruddin SH yang saat itu menjabat sebagai Kepala Polisi Lalu Lintas Bandung dan Ketua Badan Keamanan Lalu Lintas (BKLL) cabang Bandung4.

Satu tahun sebelum dibukan secara resmi, taman lalu lintas mendapat sumbangan dari Kantor Pos dan Telekomunikasi berupa Kantor Pos Mini dan sebuah kapal terbang sumbangan Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI). Dan, baru pada tanggal 1 Maret 1958 taman lalu lintas dibuka secara resmi oleh isteri Gubernur Jawa Barat, Ny. Ipik Gandamana. Acara peresmian itu didahului dengan sambutan pembukaan oleh R. Enoech Danubrata, Nazaruddin SH dan Ny. AH. Nasution4. Setelah beberapa tahun beroperasi, di belakang nama taman lalu lintas ditambah dengan Ade Irma Suryani Nasution (TLL-AISN). Tujuannya adalah untuk mengenang puteri Jenderal (Purn) Abdul Haris Nasution yang gugur tertembak dalam peristiwa G30S/PKI pada tahun 1965.

Kondisi dan Fasilitas TLL-AISN
Taman Lalu Lintas Ade Irma Suryani Nasution memiliki luas sekitar 3,5 hektar. Oleh pihak pengelolanya, yaitu Yayasan Taman Lalu Lintas Ade Irma Suryani Nasution Bandung, taman ini difungsikan sebagai taman kota, arena rekreasi, serta pendidikan bagi anak-anak usia sekolah. Fungsi taman kota ditandai dengan adanya lebih dari 1000 buah pohon yang tersebar di seluruh penjuru taman5 sebagai paru-paru kecil penyejuk Kota Bandung.

Fungsi pendidikan ditandai dengan adanya tempat bagi penyelenggaraan kegiatan penyuluhan dan Pendidikan Keamanan Lalu Lintas (PPKLL) dengan materi unggulan yang disebut sebagai CAMEJASA (Cara Menyeberang Jalan supaya Aman) serta sebuah Taman Kanak-Kanak yang didirikan pada tahun 19926. Adapun fasilitas pendukungnya berupa taman kelompok bermain/playgroup, pondok baca, serta jalan-jalan mini dilengkapi dengan beragam rambu lalu lintas.

Sedangkan fungsi rekreasinya ditandai dengan dapat digunakannya taman lalu lintas sebagai sarana hiburan dan bersantai bagi keluarga. Sebagai tempat rekreasi, TLL-AISN dilengkapi dengan berbagai fasilitas, diantaranya: kereta api mini, arena sepeda mini, panggung hiburan, kerosel, kolam renang, kolam pancing anak-anak, mobil baterai, kereta fun game, kereta motor anak, flying fox, permainan stasioner, gedung serbaguna, sport kids, playground, kursi taman, tank baja, ayunan, jungkitan, dan lain sebagainya.

Bagaimana? Anda berminat membawa keluarga berekreasi ke TLL-AISN yang asri dan rindang sembari mengajari sang buah hati mempraktikkan etika berlalu lintas dalam suasana yang nyaman dan menyenangkan? Apabila berminat, TLL-AISN dibuka untuk umum dari hari Senin-Minggu (kecuali hari Jumat) dengan perincian: Senin-Kamis dan Sabtu pukul 08.00-15.00 WIB serta Minggu pukul 08.00-16.00 WIB. Adapun tiket masuknya, untuk hari Senin-Sabtu sebesar Rp.6.000,00, sedangkan hari Minggu atau libur nasional sebesar Rp.7.000,00 per orang. (gufron)
Foto: Pepeng
Sumber:
1. "Taman Ade Irma Suryani (Taman Lalu Lintas)", diakses dari http://www.bandungtourism.com /tododet.php?q=Taman%20Ade%20Irma%20Suryani%20(Taman%20Lalu%20Lintas), tanggal 25 Februari 2016.
2. "Serunya Bermain dan Belajar di Taman Lalu Lintas Bandung, diakses dari http://tempatwisata dibandung. info/taman-lalu-lintas-bandung/, tanggal 20 Februari 2016.
3. "Taman Lalu lintas Ade Irma Suryani Nasution", diakses dari https://id.wiki pedia.org/wiki/Taman_Lalu-lintas_Ade_Irma_Suryani_Nasution, tanggal 21 Februari 2016.
4. "Sejarah Taman Lalu Lintas", diakses dari http://tamanlalulintasbandung.com/sejarah-taman-lalu-lintas/, tanggal 21 Februari 2016.
5. "Fungsi Taman Kota", diakses dari http://tamanlalulintasbandung.com/fungsi-taman-kota/, tanggal 21 Februari 2016.
6. "Fungsi Pendidikan", diakses dari http://tamanlalulintasbandung.com/fungsi-pendidikan/, tanggal 21 Februari 2016.

Sulaiman Rasyid

$
0
0
Riwayat Singkat
Sulaiman Rasyid atau lengkapnya H Sulaiman Rasyid bin Lasa adalah orang pertama yang berhasil penyusun buku Fiqh Islam di Indonesia1. Pria yang lahir di Pekon Tengah, Liwa, Kabupaten Lampung Barat pada tahun 1898 ini mulai memperoleh pendidikan agama dari Buya Kyai H. Abbas dan Perguruan Tawalib di Padang Panjang, Sumatera Barat2. Kemudian memperdalamnya lagi pada sekitar tahun 1926 dengan belajar ke sekolah Mualim (sekolah guru) di negeri Mesir dan meneruskan ke Perguruan Tinggi Al-Azhar, Jurusan Takhashus Fiqh (Ilmu Hukum Islam) hingga lulus pada tahun 19353.

Sekembalinya dari jazirah Arab, Rasyid ditunjuk oleh pemerintah Belanda di Indonesia sebagai Penyidik Hukum Agama di Lampung pada tahun 1936. Satu tahun kemudian atau tepatnya tahun 1937 Rasyid menjadi pegawai tinggi agama hingga tahun 1942. Tetapi kedudukan sebagai pegawai tinggi itu tidak lantas membuatnya hanya berdiam diri saat terjadi pendudukan oleh bangsa Jepang. Satu tahun menjelang kemerdekaan Indonesia, bersama H. Ali, Rasyid ikut berjuang mengangkat senjata mengusir tentara Jepang di Kalianda, Lampung Selatan4.

Setelah Indonesia merdeka, Rasyid bekerja pada Departeman Agama RI Jakarta sebagai Kepala Jawatan Agama dari tahun 1947-1955, lalu menjadi Kepala Perjalanan Haji, staf ahli Kementerian Agama, dan sekaligus menjadi asisten dosen Perguruan Tinggi Agama Islam (PTIAN) Jakarta serta dosen dalam bidang ilmu fikih di PTIAN Yogyakarta. Kepakaran dalam ilmu fikih inilah yang membuat Sulaiman Rayid diangkat menjadi gelar guru besar pada sekitar tahun 1960.

Selain sebagai pengajar, Rasyid juga pernah menjadi Rektor mata kuliah Ilmu Fiqh di IAIN Jakarta dan pendiri sekaligus Rektor Radin Intan Lampung pada tahun 1964. Dan, setelah mendedikasikan ilmunya bagi kemajuan bangsa, khususnya dalam bidang fiqh, pada tanggal 26 Januari 1976 H. Sulaiman Rasyid bin Lasa wafat dalam usia 80 tahun. Ayah dari delapan orang anak dan 20 orang cucu ini dimakamkan di TPU Pakiskawat Enggal, Bandar Lampung.

Sumber:
1. "Siswa Lambar Bisa Suburkan Tradisi Literasi", diakses dari http://lampost.co/berita/ siswa-lambar-bisa-suburkan-tradisi-literasi, tanggal 22 April 2016.
2. "Fiqh Islam, H. Sulaiman Rasyid", diakses dari http://dutailmu.co.id/product13797-fiqh-islam-h-sulaiman-rasyid.html#.Vr96sfl97iw, tanggal 21 April 2016.
3. Heri Wardoyo, dkk. 2008. 100 Tokoh Terkemuka Lampung, 100 Tahun Kebangkitan Nasional. Bandar Lampung: Lampung Post. Hlm. 3-4.
4. "Sulaiman Rasyid (1898-1976): Penyusun Fikih Pertama", diakses dari http://parato kohlampung.blogspot.co.id/2008/11/sulaiman-rasyid-1898-1976-penyusun.html, tanggal 21 April 2016.

Rais Latief

$
0
0
Riwayat Singkat
Rais Latif adalah salah seorang pelopor tradisi literasi di wilayah Lampung Barat. Pria yang pernah menyusun terjemahan hadist sahih Muslim1 ini lahir pada awal abad ke-20 (sekitar tahun 1900) di Desa Sebarus, Gedung Asin, sekitar 1 kilometer dari Pasar Liwa, Kabupaten Lampung Barat.

Semasa kecil Rais Latief didik dalam suasana keagamaan yang kuat. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bila setelah menyelesaikan pendidikan Sekolah Rakyat di Liwa dia kemudian hijrah ke daerah Pandang Panjang untuk melanjutkan pendidikan di sekolah agama Thawalib. Namun karena keterbatasan biaya, Latief terpaksa pulang ke kampung halaman. Sekembalinya di Liwa Latief bekerja membantu ayahandanya berdagang kopi dan hasil bumi dari kebun mereka2.

Setelah usaha perdagangan keluarga maju, Latief berminat melanjutkan sekolah lagi. Kali ini institusi pendidikan yang dipilihnya bukanlah di Indonesia, melainkan ke Kairo di jazirah Arab. Di Kairo dia bermukim selama tujuh tahun lalu hijrah ke Mekkah dan bermukim di sana selama empat tahun sebelum akhirnya kembali ke tanah air3. Tetapi Latief tidak langsung menuju Liwa. Dalam perjalanan pulang dia singgah di Singapura dan sempat mengajar di Madrasah Sultan (sekarang komplek Masjid Sultan di Arab Street Singapore).

Beberapa waktu tinggal di Singapura, Latief kemudian memutuskan hijrah ke Jakarta. Di Jakarta Latief dan beberapa koleganya yang sama-sama alumnus Kairo dan berasal dari Lampung mendirikan sebuah sekolah Mualim di Gang Sentiong. Konon, sekolah ini sangat terkenal pada masanya dan mampu bersaing dengan sekolah-sekolah yang dipimpin oleh para pastor dari Belanda.

Sukses mendirikan sekolah Mualim di Gang Sentiong, menjelang Perang Dunia II Rais Latief kembali ke kampung halamannya (Liwa). Di tanah kelahirannya tersebut dia mendirikan sekolah di daerah Talangparis, dekat Bukit Kemuning. Selain itu dia juga menjadi pengajar di Wustho Mualim Muhammadiyah Liwa yang waktu itu mulai memperkenalkan sistem pendidikan modern dengan proses belajar-mengajar yang sangat progresif.

Dalam proses beajar-mungajar Wustho Mualim menerapkan aturan main yang cukup ketat. Misalnya, sebelum pelajaran dimulai para siswa diharuskan bersenam dengan menggunakan aba-aba dalam bahasa Arab. Para siswa pun diwajibkan mengenakan celana panjang dan bersepatu. Apabila terjadi sesuatu hal hingga kedua benda itu tidak dapat dikenakan, maka siswa diperbolehkan mengenakan kain dan bersandal.

Saat menjadi pengajar di Wustho Mualim inilah Rais Latief dijodohkan dengan salah seorang mantan muridnya yang kebetulah berasal dari desa yang sama. Usai menikah Latief berkeinginan kembali berkarya di Jakarta karena bangsa Indonesia telah merdeka. Kebetulan pada tahun itu (sekitar tahun 1949), pemerintah Republik Indonesia sedang membutuhkan banyak tenaga kerja terdidik untuk mengisi kekosongan formasi di berbagai jawatan. Setelah mengirim lamaran, tidak berapa lama kemudian datanglah surat panggilan dari Jakarta untuk mengisi mengisi formasi pada Jawatan Penerangan Agama (Departemen Agama).

Jawatan Penerangan Agama bertugas membenahi pendidikan agama di seluruh tingkatan sekolah. Salah satunya adalah mengadakan ujian persamaan bagi para guru agama pada tingkatan sekolah dasar hingga sekolah menengah atas serta mendirikan sekolah-sekolah bagi calon guru agama. Sementara pada bidang penyediaan materi ajar dibentuk tim yang ditugaskan membuat berbagai macam buku agama berbahasa Indonesia. Rais Latief dan H. Abdul Razak ditunjuk sebagai penterjemah hadist sahih Muslim dan menyusunnya menjadi buku.

Rais Latief mengabdi pada Departemen Agama hingga pensiun pada sekitar tahun 1962. Selanjutnya, dia memilih pulang untuk memajukan kampung halamannya (Liwa) ketimbang menjadi pengajar di Sekolah Tinggi Agama Islam Jakarta. Di Liwa Latief memimpin dan mengajar di Sekolah Tsanawiyah Muhammadiyah Pekon Tengah Sabarus hingga usianya mencapai 70 tahun. Tujuh tahun kemudian beliau wafat dan dikebumikan di Desa Sebarus, Liwa.

Foto: http://paratokohlampung.blogspot.co.id/2008/11/rais-latief-1900-1977-pendidikan-par.html
Sumber:
1. "Siswa Lambar Bisa Suburkan Tradisi Literasi", diakses dari http://lampost.co/berita/siswa -lambar-bisa-suburkan-tradisi-literasi, tanggal 27 Maret 2016.
2. Heri Wardoyo, dkk. 2008. 100 Tokoh Terkemuka Lampung, 100 Tahun Kebangkitan Nasional. Bandar Lampung: Lampung Post.Hlm. 9-11.
3. "Rais Latief (1900-1977): Pendidikan 'Par Excellence' Prakemerdekaan, diakses dari http://parato kohlampung.blogspot.co.id/2008/11/rais-latief-1900-1977-pendidikan-par.html, tang gal 26 Maret 2016.

Desa Cijagang

$
0
0
Letak dan Keadaan Alam
Cijagang1 adalah salah satu desa yang ada di Kecamatan Cikalongkulon2, Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat. Secara geografis desa ini berada di kawasan Gunung Gede, dengan batas-batas: sebelah utara berbatasan dengan Desa Mekarjaya dan Desa Mekarsari; sebelah selatan berbatasan dengan Desa Majalaya; sebelah barat berbatasan dengan Desa Mekarjaya dan Kecamatan Sukaresmi; dan sebelah timur berbatasan dengan Desa Sukamulya. Desa ini tidak hanya berada di kaki tapi juga di lereng gunung, sehingga wilayahnya tidak hanya berupa dataran rendah semata, tetapi juga dataran tinggi atau berbukit-bukit.

Jarak Desa Cijagang dengan pusat pemerintahan Republik Indonesia (Jakarta) kurang lebih 140 km. Sedangkan, dengan pusat pemerintahan Provinsi Jawa Barat (Gedung Sate) kurang lebih 70 Km, pusat pemerintahan Kabupaten Cianjur kurang lebih 21 Km dan dengan pusat pemerintahan Kecamatan Cikalongkulon kurang lebih 5 Km ke arah selatan. Meskipun desa ini berada agak jauh dengan pusat pemerintahan Kabupaten Cianjur, bukan berarti bahwa desa tersebut terisolir, karena di salah satu wilayahnya dilalui jalan raya yang menghubungkan Cianjur dengan Bandung dan dahulu pernah pula menjadi tempat berdirinya Cianjur dengan bupati pertamanya bernama Dalem Cikundul.

Secara keseluruhan, luas Desa Cijagang mencapai 830,0 Ha, dengan rincian: perumahan penduduk (20,5 Ha atau 2,46%), sawah irigasi teknis dan setengah teknis (116,1 Ha atau 13,99%), tegalan/ladang (198,2 Ha atau 23,88%), hutan rakyat3 (168,2 Ha atau 20,27%), hutan milik Perhutani (195,5 Ha atau 23,55%), kas desa (tanah gege) (19,3 Ha atau 2,33%), perkantoran pemerintah (2 Ha atau 0,24%), pemakaman (13 ha atau 1,57%) dan lain-lain4 (97,2 Ha atau 11,71%) (Potensi Desa Cijagang, Tahun 2010/2012). Ini bermakna bahwa luas wilayah Desa Cijagang sebagian besar berupa hutan (43,82%) milik rakyat maupun perhutani yang terbentang di sekitar puncak Pasir (gunung) Saga dan berbatasan langsung dengan Desa Sukamulya dan Mekarjaya.

Di luar hutan terdapat lahan yang digunakan sebagai tegalan atau ladang (23,88%) dengan ketersediaan air terbatas dan tanahnya berbuit-bukit, bahkan banyak dijumpai yang tingkat kemiringannya tinggi. Setelah ladang, peruntukan lahan selanjutnya adalah sawah, baik sawah irigasi teknis maupun setengah teknis (13,99%) yang terletak di kaki gunung dengan tanah relatif landai dan memiliki tersediaan air yang melimpah. Selebihnya, telah menjadi perumahan penduduk (2,46%), tanah kas desa (2,33%), pemakaman (1,57%), perkantoran pemerintah (0,24%) dan lain sebagainya (Potensi Desa Cijagang Tahun 2010/2012).

Kependudukan
Penduduk Desa Cijagang berjumlah 4.840 jiwa, dengan jumlah Kepala Keluarga (KK) 915. Jika dilihat berdasarkan jenis kelaminnya, maka jumlah perempuannya mencapai 2.427 jiwa (50,14%) dan penduduk berjenis kelamin laki-laki 2.413 jiwa (49,86%). Para penduduk ini tersebar di 5 dusun/kampung yang ada di Desa Cijagang, yaitu Dusun Majalaya, Dusun Cilalay, Dusun Parasu, Dusun Cipurut, dan Dusun Jamisata. Dusun Majalaya dihuni oleh 2.333 orang dengan jumlah laki-laki 1162 jiwa dan perempuan 1.171 jiwa, Dusun Cilalay dihuni oleh 1.135 jiwa dengan jumlah laki-laki 545 jiwa dan perempuan 590 jiwa, dan Dusun Parasu dihuni oleh 1.372 jiwa dengan rincian jumlah laki-laki sebanyak 706 jiwa dan perempuannya 666 jiwa.

Tiap dusun dibagi lagi menjadi beberapa Rukun Warga (RW) dan Rukun Tetangga (RT). Di Dusun Majalaya terdapat 2 buah Rukun Warga (RW) dan 7 buah Rukun Tetangga (RT) dengan rincian: RW 01/RT 01 dihuni 278 jiwa (laki-laki 128 jiwa dan perempuan 150 jiwa), RW 01/RT 02 dihuni oleh 502 jiwa (laki-laki 249 jiwa dan perempuan 253 jiwa), RW 01/RT 03 dihuni 263 jiwa (laki-laki 135 jiwa dan perempuan 128 jiwa), RW 02/ RT 01 dihuni 346 jiwa (laki-laki 172 jiwa dan perempuan 174 jiwa), RW 02/RT 02 dihuni 446 jiwa (laki-laki 272 jiwa dan perempuan 214 jiwa), RW 02/RT 03 dihuni 372 jiwa (laki-laki 190 jiwa dan perempuan 182 jiwa), dan RW 02/RT 04 dihuni 133 jiwa (laki-laki 63 jiwa dan perempuan 70 jiwa).

Untuk Dusun Cilalay hanya terdiri dari sebuah Rukun Warga dan 3 buah Rukun Tetangga dengan rincian: RW 03/RT 01 dihuni 390 jiwa (laki-laki 192 jiwa dan perempuan 198 jiwa), RW 03/RT 02 dihuni 373 jiwa (laki-laki 192 jiwa dan perempuan 181 jiwa), dan RW 03/RT 035 dihuni oleh 404 jiwa (laki-laki 219 jiwa dan perempuan 185 jiwa).

Sedangkan dusun terakhir, yaitu Dusun Parasu terdiri dari 2 buah Rukun Warga dan 4 buah Rukun Tetangga dengan rincian: RW 04/RT 01 dihuni 280 jiwa (laki-laki 142 jiwa dan perempuan 138 jiwa), RW 04/RT 02 dihuni 297 jiwa (laki-laki 161 jiwa dan perempuan 136 jiwa), RW 05/RT 01 dihuni 409 jiwa (laki-laki 205 jiwa dan perempuan 204 jiwa), dan RW 05/RT 02 dihuni oleh 420 jiwa (laki-laki 220 jiwa dan perempuan 200 jiwa). (Potensi Desa Cijagang Tahun 2010/2012).

Untuk ukuran sebuah desa, jumlah penduduk Desa Cijagang tergolong besar. Faktor-faktor penyebabnya adalah karena desa tersebut relatif dekat dengan pusat Kota Cianjur dan juga sebagai salah satu kawasan wisata religi di Kabupaten Cianjur. Keberadaan desa yang relatif tidak jauh dari pusat kota ini pada gilirannya membuat jumlah penduduknya berkembang pesat, khususnya di sekitar jalan menuju ke kawasan wisata ziarah Makam Dalem Cikundul, sehingga penduduk yang bermukim di wilayah tersebut lebih padat ketimbang wilayah-wilayah lainnya. Wilayah desa yang tidak begitu padat umumnya digunakan sebagai lahan pertanian dan perladangan.

Pola Pemukiman
Dari segi luas, pemukiman menempati urutan yang ketika setelah setelah hutan dan ladang, yaitu 20,5 Ha (2,46%). Pemukiman yang tentunya berada di luar hutan, perladangan dan persawahan ini semakin mendekati jalan semakin padat. Umumnya perumahan berada di sekitar jalan, baik itu jalan kabupaten, kecamatan, maupun desa, berjajar, dengan arah menghadap ke jalan. Arah rumah yang berada bukan di pinggir jalan pun arahnya mengikuti yang ada di pinggir jalan.

Berdasarkan Potensi Desa Cijagang Tahun 2010/2012, jumlah rumah yang ada di desa tersebut ada 850 buah. Dari ke 850 buah rumah tersebut, 575 buah diantaranya berbentuk rumah permanen (berdinding tembok, berlantai semen dan atau keramik). Sisanya, ada yang hanya sebagian berdinding tembok (95 rumah), berdinding kayu/papan (70 rumah), berdinding bambu (150 buah), dan ada pula rumah panggung berdinding kayu atau bambu dengan jumlah 50 buah. Rumah seperti ini (panggung) umumnya berada di sekitar areal perladangan dan perbatasan hutan milik Perhutani. Jarak antarrumah bergantung daerah pemukimannya, pada daerah “bawah” umumnya jarak antarrumah berdekatan, malahan, banyak yang berhimpitan. Namun, semakin ke arah ladang dan hutan jarak itu semakin renggang atau jauh.

Dari seluruh rumah tersebut hanya sebanyak 250 KK yang memanfaatkan air bersih dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kabupaten Cianjur. Sedangkan warga lainnya masih memanfaatkan sumur gali, sumur pompa, mata air dan air sungai untuk keperluan mandi, cuci, dan minum. Berdasarkan data dari Potensi Desa Cijagang Tahun 2010/2012, terdapat 469 unit sumur gali yang dimanfaatkan oleh 469 KK, 66 unit sumur pompa yang dimanfaatkan oleh 66 KK, 1 buah mata air6 yang dimanfaatkan oleh 305 KK, dan 4 buah sungai yang dimanfaatkan oleh 431 KK. Ini artinya, kebutuhan air bersih pada warga masyarakat Desa Cijagang diperoleh melalui berbagai cara, bergantung letak geografisnya. Para warga yang berada di daerah kaki Pasir Saga misalnya, mereka dapat memanfaatkan aliran air sungai, membuat sumur gali atau pompa karena kedalaman air tanah hanya sekitar 5—20 meter. Akan tetapi, bagi para warga yang berada di daerah “tengah”, lebih-lebih bagian “atas” (kawasan lereng Pasir Saga dan hutan), hal itu sulit dilakukan karena kedalaman air tanahnya bisa mencapai ratusan meter. Untuk itu, mereka menggantungkan sepenuhnya kepada kemurahan alam, yaitu sumber mata air yang berada di kawasan puncak Pasir Saga. Caranya adalah dengan membuat bak tampungan, kemudian dialirkan ke rumah-rumah penduduk dan ladang melalui pipa/selang plastik yang diameternya sekitar 2 centimeter.

Mata Pencaharian
Jenis-jenis mata pencaharian yang digeluti oleh warga masyarakat Desa Cijagang sangat beragam, terdiri atas: buruh tani (47,31%) dan petani pemilik sawah/ladang (27,33%), pedagang (8,41%), tukang ojeg (7,57%), karyawan swasta (3,15%), buruh swasta (2,10%), peternak (1,35%) dan pagawai negeri sipil (1,26%). Selebihnya, adalah: TNI/Polri, perajin, montir, tukang kayu, dan tukang batu (Potensi Cijagang Tahun 2010/2012). Bervariasinya jenis mata pencaharian yang digeluti oleh warga masyarakat Cijagang sangat erat kaitannya dengan letak desa yang berbatasan dengan wilayah kota, yaitu Kota Cianjur yang tidak hanya sebagai pusat pemerintahan, tetapi juga pusat-pusat yang lain, termasuk ekonomi/perdagangan. Selain itu, di dalam desa sendiri terdapat sebuah obyek wisata religi berupa makam keramat Dalem Cikundul yang sering dikunjungi wisatawan untuk berziarah.

Pendidikan dan Kesehatan
Sarana pendidikan yang terdapat di Desa Cijagang meliputi: Taman Kanak-kanak (TK) sejumlah 1 buah, Sekolah Dasar (SD) sejumlah 3 buah, dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) sejumlah 1 buah. Sementara untuk sarana pendidikan keagamaan terdapat 2 buah Diniyah, 1 buah Madrasah Ibtidaiyah, 1 buah Madrasah Tsanawiyah, dan 2 buah Pondok Pesantren.

Taman Kanak-kanak berkedudukan di Kampung Majalaya dengan jumlah pengajar sebanyak 2 orang dan siswa 24 orang. Kemudian, ketiga SD yang ada dapat menampung siswa sebanyak 795 orang dengan jumlah pengajar 30 orang, sebuah SLTP Terbuka yang ada di desa tersebut memiliki guru sejumlah 7 orang dan dapat menampung 60 siswa, 2 buah diniyah yang ada dapat menampung 68 siswa dengan jumlah pengajar sebanyak 6 orang, Madrasah Ibtidaiyah menampung 150 orang murid dengan jumlah pengajar 6 orang, Madrasah Tsanawiyah menampung 50 orang siswa dengan 3 orang pengajar, dan 2 buah Pondok Pesantren7 yang ada dapat menampung 110 santri dengan jumlah pengajar sebanyak 21 orang.

Gambaran di atas menujukkan bahwa sarana pendidikan yang dimiliki oleh Desa Cijagang hanya sampai SLTP. Ini artinya, jika seseorang ingin melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi, maka mesti keluar dari desanya. Meskipun demikian, sesungguhnya tidak perlu keluar dari Kecamatan Cikalong Kulon, karena tidak jauh dari desa tersebut terdapat beberapa buah Sekolah Menengah Atas atau SMA. Namun, apabila ingin melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi harus pergi ke ibukota provinsi (Bandung) yang banyak terdapat perguruan tinggi, baik swasta maupun negeri.

Adapun tingkat pendidikan yang dicapai oleh penduduk Cijagang sebagian besar adalah SD/sederajat (30,06%). Sebagian lainnya yang jumlahnya cukup besar adalah tamatan SLTP/sederajat (25,91%) dan tamatan SLTA/sederajat (17,36%). Sedangkan, yang menamatkan Akademi/Perguruan Tinggi hanya 3,67%.

Sementara itu, sarana kesehatan yang ada di Desa Cijagang adalah sebuah Puskesmas Pembantu yang berada di Kampung Majalaya RT.01/RW02 dan 5 unit Posyandu dengan tenaga medis 5 orang yang terdiri atas: seorang dokter umum, seorang tenaga farmasi, dan 3 orang bidan. Mengingat bahwa tidak semua warga memanfaatkan fasilitas kesehatan yang ada di desa, terutama yang berkenaan dengan kelahiran, maka di sana ada dua orang dukun bayi yang telah dibekali pengetahuan medis. Dukun tersebut oleh masyarakat setempat disebut sebagai paraji.

Agama dan Kepercayaan
Agama yang dianut oleh warga masyarakat Desa Cijagang hanyalah Islam dan Kristen. Berdasarkan data yang tertera dalam Potensi Desa Cijagang Tahun 2010/2012, Islam merupakan agama yang dianut oleh sebagian besar penduduknya (4.838 orang atau 99.96%). Sedangkan sisanya sebanyak 2 orang atau 0,04% adalah penganut Kristen Protestan. Para penganut agama Kristen Protestan ini bukanlah penduduk asli Cijagang, melainkan pendatang dari Jawa yang menetap dan bermatapencaharian sebagai pedagang kelontong.

Ada korelasi yang positif antara jumlah pemeluk suatu agama dengan jumlah sarana peribadatan. Hal itu tercermin dari banyaknya sarana peribadatan yang berkaitan dengan agama Islam (mesjid dan musholla atau langgar). Berdasarkan data yang tertera dalam Potensi Desa Cijagang, jumlah mesjid yang ada di sana mencapai 5 buah, sedangkan, langgar yang ada mencapai 28 buah. Sarana peribadatan yang berkenaan dengan penganut agama Kristen Protestan belum terdapat di desa ini. Oleh karena itu, jika mereka (penganut nasrani) ingin melakukan kebaktian, maka harus pergi ke gereja yang ada di Kota Cianjur. Sedangkan, bagi para muslim yang akan melaksanakan salah satu kewajibannya (sholat) cukup dengan mendatangi mesjid atau langgar yang terdekat (tidak perlu harus keluar desa).

Mesjid-mesjid yang ada di Desa Cijagang diantaranya adalah: (1) Mesjid Jami Al-Illiyin di Kampung Majalaya RT.01/RW.02 dengan susunan pengurus DKM (Dewan Keluarga Mesjid) Entah Wijaya (ketua), Asep Zulkarnaern (sekretaris) dan Tohani (bendahara); (2) Mesjid Jami Al-Ikhlas di Kampung Cilalay RT.02/RW.03 dengan susunan pengurus DKM AA Dudi (ketua), Aep Saepudin (sekretaris), dan Duding (bendahara); (3) Mesjid Jami Al-Jamatus Sulaeman di Kampung Cipurut RT.03/RW.03 dengan susunan pengurus DKM Suhaemidin (ketua), Sobirin (sekretaris), dan Kunun (bendahara); (4) Mesjid Jami Al-Barokah di Kampung Parasu RT.01/RW.04 dengan susunan pengurus DKM KH. Saepul Milah (ketua), Yusup Tajhiri (sekretaris), dan Oyok K (bendahara); dan (5) Mesjid Jami Al-Ikhlas di Kampunga Jamisata RT.02/RW.05 dengan susunan pengurus DKM H. Sidik (ketua), Asep Lukman (sekretaris), dan Agus Sujana sebagai Bendahara.

Organisasi Pemerintahan dan Kemasyarakatan
Desa adalah jajaran sistem pemerintahan nasional di tingkat yang paling bawah. Walaupun demikian, desa memiliki kekhasan tersendiri dibandingkan sistem pemerintahan yang ada di atasnya, khususnya kecamatan, karena jauh sebelum otonomi daerah diberlakukan, desa sudah merupakan daerah yang otonom. Oleh karena itu, sangatlah tepat apa yang dikemukakan oleh Palmer, yaitu bahwa desa, termasuk Desa Cijagang, merupakan kesatuan administratif, teritorial, dan kesatuan hukum menurut batas-batas wilayah tertentu (Palmer, 1984: 326), yang penyelenggaraan pemerintahannya adalah otonom (oleh, untuk, dan dari sekelompok orang yang menempati wilayah tersebut). Selain itu, desa juga merupakan kesatuan sosial, yaitu sebagai tempat menyelenggarakan hubungan-hubungan sosial antarwarga masyarakat, yang di dalamnya seringkali terdapat nilai-nilai kekerabatan yang cukup kuat serta melandasi hubungan-hubungan tersebut (Palmer, 1984: 324).

Secara administratif dan teritorial, Desa Cijagang terbagi ke dalam 5 kampung atau dusun dan 69 Rukun Tetangga (RT). Ke-5 kampung itu adalah: Majalaya, Cilalay, Parasu, Cipurut dan Jamisata. Wilayah kampung sekaligus merupakan wilayah Rukun Warga (RW). Oleh karena itu, jumlah kampung dan RW sama (5 buah). Setiap kampung diketuai oleh seorang yang disebut sebagai Ketua Kampung.

Struktur organisasi pemerintahan Desa Cijagang dipegang oleh seorang kepala desa (Kades) yang oleh masyarakat setempat disebut sebagai “kuwu”. Pengangkatannya dipilih oleh masyarakat untuk periode delapan tahun. Dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh seorang sekretaris desa yang lebih dikenal sebagai “juru tulis” dan sering disingkat menjadi “ulis”. Ia bertugas mengkoordinir pemerintahan, kesejahteraan rakyat, perekonomian dan pembangunan, Keuangan, kemasyarakatan (umum), dan trantib. Untuk melaksanakan tugas itu ia dibantu oleh seorang: Kaur (kepala Urusan) Pemerintahan, Kesejahteraan Rakyat, Perekonomian dan Pembangunan, kemasyarakatan, dan trantib. Setiap kepala urusan mempunyai seorang staf. Dengan demikian, perangkat Desa Cijagang, termasuk dengan kepala desanya, berjumlah 15 orang.

Selain perangkat desa yang oleh masyarakat setempat sering disebut sebagai “pamong desa”, ada juga yang disebut sebagai Badan Perwakilan Desa (BPD). Lembaga ini berfungsi sebagai badan legislatif dalam organisasi pemerintahan desa. Anggotanya diambil dari para tokoh masyarakat desa yang bersangkutan. Jumlahnya ada 13 orang, dengan rincian: 1 orang ketua, 1 orang sekretaris, dan 11 orang anggota. Tugasnya adalah mengadakan musyawarah tingkat desa untuk mengevaluasi dan atau menetapkan suatu keputusan pemerintah desa, serta membantu kepala desa dalam merencanakan dan menggerakkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan di wilayahnya. Selain itu, melalui lembaga-lembaga tersebut diharapkan akan berlangsung komunikasi antara masyarakat dan perangkat pemerintahan serta antarwarga masyarakat desa itu sendiri. Sementara itu, organisasi kemasyarakatan yang terdapat di Desa Cijagang adalah organisasi kepemudaan yang bernama “Karang Taruna” dan organisasi para ibu rumah tangga yang bernama “Pendidikan Kesejahteraan Keluarga” (PKK) (Potensi Desa Cijagang Tahun 2010/2012). (gufron)
_____________________________
1. Asal mula nama desa ini sangat erat kaitannya dengan sesuatu yang terjadi pada masa lalu. Konon, waktu itu pendiri desa bernama Dalem Cikundul beserta rombongannya hendak mendirikan pendopo di seberang Sungai Cikundul, tepatnya di pertigaan tanjakan Joglo Balong arah ke Legok Jengkol (Majalaya Kidul). Namun, karena sungai sedang ca’ah dengdeng (banjir), maka rombongan tidak dapat menyeberanginya. Sebagai jalan keluarnya, Sang Dalem lalu ngajegangkeun (meregangkan) kedua kakinya melewati sungai yang lebarnya sekitar 150 meter agar rombongannya dapat menyeberang dengan selamat. Kejadian luar biasa tersebut (ngajegangkeun) akhirnya dijadikan sebagai nama kampung tempat tinggal mereka, yaitu Cijagang.
2. Kecamatan Cikalong Kulon memiliki 18 buah desa, yaitu: Cijagang, Sukagalih, Gudang, Cinangsi, Majalaya, Kamurang, Warudoyong, Ciramagirang, Mekarjaya, Sukamulya, Padajaya, Cigunungherang, Neglasari, Mekargalih, Mentengsari, Mekarsari, Mekarmulya, dan Lembahsari.
3. Ada beberapa definisi yang berkaitan dengan istilah hutan rakyat. Menurut UU No.41/1999, hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik. Definisi tersebut diberikan untuk membedakannya dari hutan negara (hutan yang tumbuh di atas tanah yang tidak dibebani hak milik atau tanah negara). Sementara, menurut Suharjito (2007), hutan rakyat adalah hutan yang dimiliki oleh masyarakat yang fungsinya sebagai perlindungan tata air pada lahan-lahan masyarakat dan sumber penghasil kayu, buah-buhanan, daun, kulit kayu, biji dan lain sebagainya. Sedangkan Awang (2004), mendefinisikan hutan rakyat atau farm forestry sebagai hutan yang mempunyai ciri kegiatan penanaman pohon atau tanamannya dilaksanakan di atas lahan milik rakyat yang bersifat swadaya atau bertujuan komersial.

Definisi lainnya berasal dari Rachmatullah (2004) yang menyatakan bahwa hutan rakyat merupakan hutan buatan di atas lahan milik perseorangan maupun kelompok dengan pengelolaan cenderung masih tradisional dan kurang memperhatikan kelestarian hasil (kontinuitas produksi) karena hanya bersifat sampingan dan dianggap sebagai tabungan untuk keperluan mendesak. Dan terakhir berasal dari Purwanto, dkk (2004) yang mendifinisikan hutan rakyat dengan beberapa karakteristik, yaitu: luas lahan rata-rata yang dikuasai sempit; lahan umumnya ditanamai kayu-kayuan dengan pola tumpangsari, campuran agroforestri, dan sistem monokultural bagi petani berlahan luas; tenaga kerja berasal dari dalam keluarga; skala usaha kecil; kontonuitas dan mutu kayu kurang terjamin; beragamnya jenis tanaman dengan daun yang tidak menentu; kayu dalam hutan rakyat tidak diposisikan sebagai andalan pendapatan rumah tangga petani tetapi dilihat sebagai “tabungan” yang segera dapat dijual pada saat dibutuhkan; masih menggunakan siftikultur sederhana dan memungkinkan pengembangan dengan biaya rendah, meskipun hasilnya kurang optimal; keputusan pemanfaatan lahan untuk hutan rakyat seringkali merupakan pilihan terakhir apabila pilihan lainnya tidak memungkinkan; dan usaha hutan rakyat merupakan usaha yang tidak pernah besar tetapi tidak pernah mati.
4. Termasuk dalam lain-lain adalah tanah wakaf, lapangan olahraga, sarana pendidikan (Taman Kanak-kanak, Taman Pendidikan Al Quran, Sekolah Dasar, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, sarana kesehatan (puskesmas, poliklinik/balai pengobatan, dan posyandu), dan sarana peribadatan (mesjid dan mushola)
5. RW 03/RT 03 sebenarnya adalah sebuah dusun yang bernama Cipurut. Namun karena jumlah penduduknya relatif sedikit, maka Rukun Tetangga dan Rukun Warga di dusun ini digabungkan dengan Dusun Cilalay.
6.Nama mata air di Desa Cijagang adalah keramat Cikahuripan atau Leuwi Batok karena berbentuk cekung menyerupai tempurung (batok). Konon, pemberian nama ini berawal ketika Kanjeng Dalem Cikundul hendak melaksanakan sholat berjamaah beserta rombongannya. Oleh karena waktu itu tidak dijumpai adanya air, maka Eyang Dalem Cikundul lalu menotokkan jari telunjuknya ke tanah dan dengan seizin Allah SWT keluarlah air bersih yang dapat digunakan untuk minum dan berwudlu.
7. Desa Cijagang memiliki 2 buah pondok pesantren, yaitu: Pondok Pesantren Al Barokah dan Pondok Pesantren Al Hikmah. Pondok Pesantren Al Hikmah didirikan pada tahun 1930 oleh K.H. Najmudin. Awalnya pondok pesantren dengan luas lahan sekitar 6.650 meter persegi ini hanya memiliki 1 buah lokal, kemudian pada tahun 1963 bertambah menjadi 5 lokal dan pada tahun 1990 dibangun lagi menjadi 11 lokal, terdiri dari: 3 ruang belajar, 1 ruang pimpinan pondok pesantrem, 1 ruang pengasuh/ustadz/guru, 1 ruang tata usaha, 1 ruang perpustakaan, 1 ruang keterampilan. Selain itu terdapat pula sebuah mesjid dan lapangan olah raga seluas 500 meter persegi.

Sumber:
Awang, San Afri. 2004. Dekonstruksi Sosial Forestri: Reposisi Masyarakat dan Keadilan Lingkungan. Yogyakarta: Bayu Indra Grafika.

Palmer, Andrea Wilcox. 1984. “Desa Situradja: Sebuah Desa di Priangan” dalam Koentjaraningrat (ed). Masyarakat Desa di Indonesia. Jakarta: Lembaga Penerbit FE UI

Purwanto, S, dkk. 2004. Kelembagaan untuk Mendukung Pengembangan Hutan Rakyat Produktivitas Tinggi. Prosiding Ekspose Terpadu Hasil Penelitian, Yogyakarta 11-12 Oktober 2004. Hal 53-65. Puslitbang Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Yogyakarta.

Rachmatullah, Muhammad. 2004. Sistem Pengelolaan Dan Pemanfaatan Ekonomi Hutan Rakyat Di Cianjur Selatan (Studi Kasus Di Kecamatan Cibinong dan Sindangbarang). [Skripsi]. Fakultas Kehutanan IPB.

Suharjito, Didik. 2007. Hutan Rakyat di Jawa: Perannya dalam Perekonomian Desa. Bogor: Program Penelitian dan Pengembangan Masyarakat (P3KM).

Jengglong

$
0
0
Jengglong adalah instrumen musik dari daerah Jawa Barat yang berfungsi sebagai kerangka lagu dan pembuat nada dasar. Cara memainkan alat ini dipukul dengan alat pukul empuk. Jengglong berbentuk bilah-bilah yang berderet di atas ruang suara atau resonator. Bilah-bilah terbagi pada dua buah ancak yang masing-masing berjumlah 3 bilah dan permukaannya berpencong dengan diameter 30-40 cm. Selain berbentuk bilahan, alat ini terkadang berbentuk bulat dan permukaannya berpencong. Seperti halnya bonang dan sarong, jengglong dibuat dari bahan dasar perunggu, kuningan atau besi, sedangkan pemukulnya dari kayu yang berbentuk lurus pada ujungnya dibalut dengan rajutan benang wol.

Kemidi Rudat

$
0
0
Kemidi Rudat merupakan salah satu seni pertunjukan tradisional yang ada di daerah Nusa Tenggara Barat (NTB). Ada beberapa versi mengenai asal usul nama kesenian ini. Ada yang mengatakan bahwa rudat berasal dari kata “raudah” yang berarti “baris-berbaris”. Selain itu, ada pula yang mengatakan bahwa kata “rudat” berasal dari kata “soldat” (bahasa Belanda) yang berarti “serdadu” atau “tentara”.

Sebagai seni pertunjukkan, pementasan kemidi rudat dilakukan dalam bentuk tarian, nyanyian, dan dialog (pelakonan). Dialog sering berupa syair dan atau pantun. Dari cerita-cerita yang disajikan menunjukkan bahwa kesenian ini bernafaskan Islam. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika musik, nyanyian, dan tarian dalam kemidi rudat berbeda kesenian tradisi masyarakat NTB pada umumnya. Dalam konteks ini, jika pada umumnya kesenian tradisional masyarakat NTB dipengaruhi oleh unsur budaya Bali yang Hindu, maka untuk kesenian kemidi rudat dipengaruhi oleh budaya Timur Tengah dan Melayu yang Islam.

Peralatan
Peralatan musik yang digunakan dalam seni pertujukkan kemidi rudat meliputi: seperangkat gamelan dalam format kecil, rebana, tambur (jidur) dan biola. Sedangkan, irama musik yang dikumandangkan berbentuk “stambulan” dan “Melayuan”.

Pemain dan Busana yang Dikenakan
Pemain kemidi rudat terdiri atas 11 orang dengan rincian: seorang yang berperan sebagai raja, seorang yang berperan sebagai putera raja, seorang yang berperan sebagai puteri (sering disebut “nyonya”), dua orang yang berperan sebagai wazir, dua orang yang berperan sebagai khadam (pelawak), seorang yang berperan sebagai raja jin, dan seorang yang berperan sebagai kepala perampok. Jadi, sama dengan Teater Bangsawan (Kepulauan Riau), Teater Mamanda (Kalimantan Selatan), dan Dul Muluk (Sumatera Selatan). Sebagai catatan, pemain kemidi rudat semuanya laki-laki. Jadi, yang berperan sebagai nyonya pun juga laki-laki.

Adapun busana (pakaian) yang dikenakan oleh peran utama dan komandan adalah tarbus (tutup kepala), epolet berjumbai, baju dengan lengan panjang, celana yang kiri-kanannya bergaris, dan berpedang. Sementara, pemain pembantu lainnya: pakaian seragam, baju lengan panjang, bercelana panjang, berselempang, dan ber-tarbus. Sedangkan, peran khadam, nyonya dan Raja Jin/perampok berpakaian khas/tersendiri.

Tempat Pementasan
Sebagaimana seni pertunjukkan pada umumnya, kemidi rudat dapat dipentaskan di mana saja yang memiliki area cukup luas. Pengaruh Teater Bangsawan, pada gilirannya membuat pementasan kemidi rudat menggunakan panggung lengkap, disertai dengan dekor. Panggung tersebut dapat menggunakan atap atau terbuka. Dekor merupakan layar yang menggambarkan “lokasi” kejadian. Jadi, bisa lukisan istana, taman, hutan belantara, gua dan sebagainya.

Jalannya Pementasan
Pementasan kemidi rudat biasanya diawali dengan nyanyian-nyanyian kemudian dilanjutkan dengan cerita yang diselingi dengan banyolan-banyolan. Cerita-cerita yang dihidangkan bersumber dari cerita sastra Melayu lama atau cerita Seribu Satu Malam; biasanya menggunakan bahasa Melayu Lama. Cerita yang dibawakan bersifat “roman kehidupan” dan cerita-cerita kerajaan Melayu, dengan judul antara lain: “Siti Jubaedah”, Jula Juli Bintang Tujuh”, “Indera Bangsawan”, dan “Rohaya Rohani”. (Pepeng)

Sumber:
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1992. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara III. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
http://64.203.71.11/kompas-cetak/0411/26/tanahair/1371672.htm
http://www.suarantb.com
http://www.cybertokoh.com

Upacara Mongkariang pada Orang Pamona

$
0
0
Pamona merupakan salah satu etnik yang berdiam di Provinsi Sulawesi Tengah. Di kalangan mereka ada sebuah tradisi berupa upacara tradisional yang sangat erat kaitannya dengan daur hidup (lingkaran hidup individu), khususnya upacara masa peralihan bagi seseorang dari kehidupan di dunia menuju ke alam yang lain. Upacara ini disebut sebagai “Mongkariang” yang dalam bahasa Indonesianya adalah “menjaga mayat”. Maksud diadakannya upacara mongkariang adalah sebagai penghormatan terakhir kepada si mati sebelum dilakukan upacara penguburan. Selain itu, juga untuk memberi dukungan moril kepada keluarga yang ditinggalkannya agar tabah dalam menjalani kehidupan selanjutnya.

Waktu, Pemimpin dan Pihak-pihak yang Terlibat dalam Upacara
Sebagaimana upacara pada umumnya, upacara mongkariang juga dilakukan secara bertahap. Tahap-tahap yang harus dilalui dalam upacara ini adalah sebagai berikut: (1) tahap penempatan jenazah ke dalam bilik; (2) tahap mongkariang atau menjaga mayat sekaligus menghibur keluarganya yang ditinggalkan; dan (3) tahap montambe (membuat peti jenazah). Sebagai catatan, tahap penempatan jenazah ke dalam bilik dilakukan sesaat setelah meninggal. Tahap mongkariang dilakukan pada hari ketiga, ketujuh, atau 40 malam secara berturut-turut. Dalam konteks ini bergantung dari kesanggupan pihak keluarga dan status sosial si mati. Sedangkan, tahap pembuatan peti jenazah dilakukan berbarengan dengan tahap mongkariang, namun waktunya siang hari.

Seluruh rentetan upacara ini dipimpin oleh vurake, yaitu seorang dukun perempuan yang mempunyai keahlian khusus dalam berhubungan dengan makhluk gaib. Keahlian dalam berhubungan dengan makhluk gaib yang dimiliki oleh seorang vurake biasanya diperoleh secara turun-temurun. Adapun pihak-pihak yang terlibat dalam upacara mongkariang adalah para tetua adat, anggota kerabat dari orang yang diupacarakan (si mati), dan para tetangga terdekat.

Peralatan
Peralatan yang perlu dipersiapkan dalam upacara mongkariang ini adalah: (1) seperangkat peralatan makan dan minum seperti: tabopangkoni (mangkuk), tabo (piring adat), dan tabopangi-nung (gelas); (2) peralatan perang seperti: penai (pedang) dan tawala (tombak). Peralatan perang ini berfungsi sebagai pengusir roh-roh jahat yang dapat mengganggu si mati dalam perjalanannya ke alam yang lain; (3) peralatan menginang yang terdiri dari: laumbe (sirih), mamongo (pinang), tembakau, kapur, gambir, dan pombajumamango (tempat menumbuk sirih); (4) renko (pakaian adat); (5) binatang ternak seperti babi, baula (kerbau), dan manu (ayam), yang jumlahnya antara puluhan hingga ratusan ekor, tergantung dari kesanggupan keluarga si mati; dan (6) bingka (bakul yang terbuat dari bambu), boru (tikar yang terbuat dari daun pandan), dan puya (kain yang terbuat dari kulit kayu); dan (7) peti jenazah yang berbentuk perahu. Peti ini dilambangkan sebagai alat atau kendaraan yang nantinya akan dipakai oleh si mati ketika mengarungi alam lain yang sama sekali belum dikenalnya.

Jalannya Upacara
Ketika vurake dan para tetua adat telah menganggap bahwa seseorang yang sedang sakit telah meninggal, maka anggota keluarganya mengadakan rapat dengan para kerabat terdekat untuk menentukan penyelenggaraan upacara mongkariang. Jika telah ada kesepakatan, mereka lalu mengundang para tetangga untuk menghadiri sekaligus membantu pelaksanaan upacara. Para tetangga yang diundang tersebut umumnya akan datang sambil membawa makanan, minuman dan atau binatang ternak yang akan diberikan kepada pihak keluarga yang sedang mengalami kemalangan. Setelah itu, jenazah akan dibawa ke suatu bilik lalu diletakkan di atas tikar dan di tutup dengan puya. Di sekitar jenazah itu kemudian diletakkan beberapa peralatan upacara, seperti: renko (pakaian adat), tabopangkoni (mangkuk), tabo (piring adat), tabopangi-nung (gelas), penai (pedang), tawala (tombak), laumbe (sirih), mamongo (pinang), tembakau, kapur, gambir, dan pombajumamango (tempat menumbuk sirih). Pengaturan peralatan-peralatan upacara tersebut tidak boleh dilakukan oleh sembarang orang, melainkan oleh vurake yang dianggap sakti dan dapat menjadi penghubung antara dunia nyata dengan dunia gaib.

Selanjutnya, vurake akan mempersilahkan keluarga untuk duduk di sisi kiri dan kanan si mati. Posisi duduk para keluarga maupun kaum kerabat si mati ini bergantung dari status seseorang di dalam keluarga itu. Untuk isteri atau suami akan duduk di dekat kepala si mati, sementara anak-anaknya dan kerabat lainnya akan duduk sisi kiri dan kanan dari badan dan kaki si mati. Sebagai catatan, posisi duduk dari keluarga dan sanak kerabat si mati ini telah diatur sedemikian rupa oleh vurake agar seluruhnya mendapat giliran untuk duduk dan menjaga jenazah.

Penjagaan di sekitar jenazah ini dilakukan secara terus-menerus antara tiga, tujuh, hingga 40 hari, bergantung dari kesanggupan pihak keluarga maupun status sosialnya di dalam masyarakatnya. Tujuan dari penjagaan jenazah secara bergiliran adalah agar selama masa mongkariang jasadnya tidak diganggu oleh binatang seperti babi dan anjing. Selain itu, penjagaan juga dilakukan agar tanoana (roh orang yang mati tersebut) menjadi tenteram dan tidak diganggu oleh roh-roh jahat yang ada di sekitarnya.

Malam harinya diadakan acara untuk menghibur keluarga yang ditinggalkan. Acara yang dipimpin oleh vurake ini diadakan di dalam rumah yang mempunyai ruangan cukup luas sehingga dapat diikuti oleh seluruh anggota keluarga dari si mati, para tetua adat, dan juga para tetangga. Di dalam ruangan itu mereka membentuk sebuah lingkaran mengelilingi vurake yang akan menceritakan riwayat hidup si mati dan memberikan nasihat kepada orang-orang yang ditinggalkannya. Nasihat yang diberikan adalah berupa pantun yang dinyanyikan yang disebut mondobi dan monjoava. Oleh karena nasihat yang diberikan berupa pantun, maka para peserta yang hadir akan membalas pantun tersebut dan atau menambahkan pantun-pantun lainnya yang berisi petuah atau nasihat kepada keluarga yang ditinggalkan. Sebagai catatan, selama acara mongkariang yang berlangsung hingga menjelang pagi, seluruh peserta upacara dilarang tidur dengan maksud selain untuk menghormati pihak keluarga si mati, juga agar jenazah tidak diganggu oleh binatang dan roh-roh jahat yang berkeliaran di sekitar rumah.

Siang harinya pihak keluarga bersama para tetangga mulai mempersiapkan bahan-bahan yang akan digunakan untuk membuat peti jenazah, tandu, ruangan tempat menyimpan peti jenazah, memperluas halaman rumah, dan memotong hewan ternak. Sebagai catatan, pemotongan hewan dilakukan pada hari pertama upacara mongkariang. Pada kesempatan itu darah hewan dioleskan pada dahi atau muka si mati sebagai simbol bahwa segala dosanya telah dilepasakan atau dihapuskan. Upacara mongkariang ini berlangsung terus-menerus selama 3, 7 atau 40 hari hingga tiba masanya dilakukan upacara penguburan.

Nilai Budaya
Upacara mongkariang, jika dicermati secara mendalam, mengandung nilai-nilai yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai itu antara lain adalah: kebersamaan, ketelitian, gotong royong, dan keselamatan. Nilai kebersamaan tercermin dari berkumpulnya sebagian besar anggota masyarakat dalam suatu tempat, makan bersama dan doa bersama demi keselamatan bersama pula. Ini adalah wujud kebersamaan dalam hidup bersama di dalam lingkungannya (dalam arti luas). Oleh karena itu, upacara ini mengandung pula nilai kebersamaan. Dalam hal ini, kebersamaan sebagai komunitas yang mempunyai wilayah, adat-istiadat dan budaya yang sama.

Nilai ketelitian tercermin dari proses upacara itu sendiri. Sebagai suatu proses, upacara memerlukan persiapan, baik sebelum upacara, pada saat prosesi, maupun sesudahnya. Persiapan-persiapan itu, tidak hanya menyangkut peralatan upacara, tetapi juga tempat, waktu, pemimpin, dan peserta. Semuanya itu harus dipersiapkan dengan baik dan seksama, sehingga upacara dapat berjalan dengan lancar. Untuk itu, dibutuhkan ketelitian.

Nilai kegotong-royongan tercermin dari keterlibatan berbagai pihak dalam penyelenggaraan upacara. Mereka saling bantu demi terlaksananya upacara. Dalam hal ini ada yang membantu menyiapkan makanan dan minuman, menjadi pemimpin upacara, membantu pemimpin upacara, dan lain sebagainya.

Nilai keselamatan tercermin dalam adanya kepercayaan bahwa peralihan kehidupan seorang individu dari satu masa ke masa yang lain penuh dengan ancaman (bahaya) dan tantangan. Untuk mengatasi krisis dalam daur kehidupan seorang manusia itu, maka perlu diadakan suatu upacara. mongkariang merupakan salah satu upacara yang bertujuan untuk mencari keselamatan pada tahap peralihan dari masa kehidupan di dunia menuju ke kehidupan di alam yang lain. (ali gufron)

Sumber:
http://www.infokom-sulteng.go.id
http://www.disnakerpalu.com
http://www.beritapalu.com

Sus Jagung

$
0
0
Bahan
3 buah jagung muda
15 gram terigu
1 butir telur ayam
1 sendok makan mentega
½ sendok teh garam
¼ gelas air

Bahan untuk Isi Sus
50 gram daging ayam dipotong
1 buah wortel potong kecil
1 sendok makan minyak sayur
2 siung bawang merah
1 siung bawang putih
1 sendok teh merica
(semua bumbu digiling dan ditumis kemudian tambahkan daging ayam lalu diaduk rata)

Cara membuat
Rebus air sampai mendidih di tambah mentega, setelah cair masukkan jagung parut. Tambahkan terigu dan kecilkan api aduk terus sampai tidak lengket di panci. Setelah dingin kocok telur dalam adonan, letakkan adonan dalam loyang yang sudah dilumur mentega. Kemudian panggang sampai masak setelah masak gunting tengahnya, masukkan ragut tadi dan siap untuk dihidangkan.

Traktor

$
0
0
Traktor adalah kendaraan yang dijalankan dengan bensin atau motor diesel, dipakai untuk menarik benda yang berat atau membajak (meratakan) tanah (kbbi.web.id). Istilah tractor sendiri berasal dari bahasa Latin “trahere” atau “menarik/menghela” yang awalnya dipakai untuk mendefinisikan suatu mesin atau kendaraan beroda empat (roda belakang lebih besar ketimbang roda depan) yang dilengkapi sebuah sambungan khusus sebagai penarik atau pendorong gerbong. Oleh karena itu, jenis mesinnya pun umumnya didesain secara spesifik untuk keperluan traksi tinggi pada kecepatan rendah dengan rasio kecepatan antara 3 hingga 6 persneling. Apabila mesin dirancang berkecepatan tinggi, maka traktor disebut dengan istilah unit-tractor, semi-trailer atau truk tractor1 dan penggunaannya khusus untuk jalan beraspal.

Traktor pertama kali digunakan di Benua Eropa (Inggris, Irlandia, Spanyol, Jerman) dan Amerika (Argentina) sebagai mesin pembajak tanah pada sekitar tahun 1800-an dengan teknologi masih menggunakan mesin uap. Sedangkan di Amerika Serikat dan Kanada traktor digunakan sebagai kendaraan penarik trailer sehingga dinamai juga sebagai “truk semi-trailer”. Adapun tujuan penggunaanya adalah untuk menggantikan tenaga hewan yang biasa menghela atau menarik beban. Traktor dinilai jauh lebih kuat dalam menarik beban dibandingkan dengan tenaga puluhan hewan atau bahkan ratusan manusia.

Satu setengah abad kemudian (awal abad ke-20) pengunaan teknologi baru mulai diterapkan dengan penggantian bahan bakar batu bara menjadi bensin sebagai bahan bakar utama dan minyak tanah serta etanol sebagai alternatifnya. Dan, puncak pembaruan mesin traktor terjadi sekitar tahun 1960-an dengan menggunakan mesin diesel berbahan bakar solar dan penggunaan sistem hidrolik2 pada stir, rem serta persneling. Pembaruan juga terjadi pada komponen-komponen traktor lain yang oleh Zulfahrizal dan Purwana Satriyo (2007) dibedakan menjadi 5 bagian, yaitu: (1) penggerak (engine) berupa motor diesel; (2) rangka (chasis) terbuat dari bahan yang kuat dan tahan korosi; (3) penutup (canopy) sebagai pelindung operator; (4) roda penggerak yang dapat berupa karet, rantai, dan besi; dan (5) instrumen-isntrumen yang berfungsi sebagai kendali dalam pengoperasian (stir, pedal gas, rem, lampu, dll) serta alat ukur untuk mengetahui kondisi kerja traktor (penduga tekanan oli, penduga jumlah bahan bakar, speedometer, dll).

Selain pembaruan mesin, fungsi traktor dalam bidang pertanian juga mengalami perkembangan. Saat ini, traktor tidak hanya digunakan untuk membajak sawah, melainkan juga menanam, memelihara tanaman, memutar pompa irigasi, memanen (menggunakan pisau reaper), perontok padi, serta untuk mengangkut (bibit, pupuk, peralatan hingga hasil panen) dengan mesin yang umumnya didominasi oleh diesel dan memiliki output power antara 18 hingga 575 tenaga kuda (15-480 kW).

Oleh karena fungsi atau kegunaannya sudah bermacam-macam, maka traktor pun akhirnya dibedakan menjadi lima macam, yaitu: (1) general purpose tractor yang memiliki poros roda relatif rendah dan dirancang untuk melaksanakan pekerjaan yang bersifat umum; (2) special purpose tractor yang dirancang khusus dalam bidang pertanian dengan karakteristik poros roda (ground clearance) tinggi, jarak roda kiri dan kanan (wheelbase) dapat diatur dan dapat dirangkaikan dengan alat-alat untuk pengolah tanah, pemeliharaan tanaman, dan pemanenan; (3) industrial tractor, dirancang khusus untuk keperluan industri dan pembangunan dengan karakteristik roda depan dan belakang hampir sama dan bergardan ganda sehingga memiliki tenaga besar; (4) plantation tractor, dirancang dengan konstruksi pusat titik berat rendah, berdaya besar dan dilengkapi dengan pelindung agar mudah dan aman digunakan pada lahan yang banyak tanamannya dan lahan yang mempunyai kemiringan tinggi; dan (5) garden tractor, dirancang khusus untuk pekerjaan-pekerjaan yang bersifat ringan. (Putri: 2011)

Sementara menurut Sutantra sebagaimana dikutip Putri (2011), berdasarkan bentuk dan ukurannya secara garis besar traktor dibagi menjadi tiga macam, yaitu: traktor besar, traktor mini, dan traktor tangan. Traktor besar adalah traktor yang mempunyai minimal dua poros roda (beroda empat atau lebih) dengan panjang berkisar antara 2.650-3.910 mm, lebar 1.740-2.010 mm dan daya 20-120 hp (tenaga kuda).

Traktor mini adalah traktor yang mempunyai dua poros roda (beroda empat) dengan panjang berkisar antara 1.790-2.070 mm, lebar 995-1.020 mm, daya 12,5-20 hp (tenaga kuda), dan dilengkapi dengan sumbu PTO (power take off)3 serta three point hitch (tiga titik penggandengan/mounted system). Mesinnya bermotor diesel dua silinder atau lebih dengan transmisi (versneling) 6 kecepatan maju dan 2 mundur (4 kecepatan rendah dan 4 kecepatan tinggi). Traktor yang hanya berbeda pada kekuatan daya dengan traktor besar ini dapat bekerja pada kisaran 0.94-4,79 km/jam dengan kecepatan transport antara 7,54-13,31 km/jam.

Jenis traktor terakhir adalah traktor tangan yang hanya mempunyai sebuah poros roda (beroda dua) dengan panjang berkisar 1.740-2.290 mm, lebar 710-880 mm, dan daya 6-10 hp (tenaga kuda). Berdasarkan jenis bahan bakar yang digunakannya, traktor tangan dapat dibagi menjadi tiga, yaitu: traktor berbahan bakar solar, bensin, dan minyak tanah atau kerosin. Sedangkan apabila dilihat berdasarkan besarnya daya motor, traktor tangan dapat dibagi lagi menjadi tiga juga, yaitu: traktor tangan berukuran kecil dengan tenaga penggerak kurang dari 5 hp, traktor tangan berukuran sedang dengan tenaga penggerak antara 5-7 hp, dan traktor tangan berukuran besar dengan tenaga antara 7 hingga 12 hp (horse power/tenaga kuda).

Baik traktor tangan berukuran kecil, sedang, dan besar yang berbahan bakar solar, bensin atau kerosin memiliki komponen-komponen utama yang sama, yaitu: tenaga penggerak (mesin), kerangka dan transmisi (penerus tenaga), tuas kendali, roda, dan peralatan pengolah tanah (implements) (Hardjosentono, dkk: 2002). Jenis tenaga penggerak traktor tangan didominasi oleh mesin diesel satu silinder berbahan bakar solar, berdaya antara 5 hingga 12 tenaga kuda dengan pengoperasian engkol. Mesin tersebut terdiri dari komponen-komponen yang saling berhubungan satu sama lain, yaitu: free wheel (roda angin) untuk menstabilkan putaran mesin, radiator sebagai pendingin mesin, saringan udara untuk menyaring udara sebelum masuk ke ruang bakar mesin, tangki tempat pengisian bahan bakar, gardan sebagai penyalur putaran dari perseling ke as roda, pully sebagai motor penggerak, persneling yang berhubungan dengan tuas transmisi, kipas pendingin radiator, sabuk v-belt, knalpot sebagai saluran pembuangan hasil pembakaran, pull persneling, dan lain sebagainya. Motor atau mesin penggerak ini dipasang pada kerangka (sasis) dengan empat buah baut pengencang yang lubangnya (drat) dibuat memanjang agar posisi motor dapat digerakkan maju mundur dan memperoleh keseimbangan dengan ukuran v-belt yang digunakan. Sementara jenis yang lainnya adalah motor bermesin minyak tanah dan bensin dengan pengoperasian menggunakan tali starter.

Komponen selanjutnya adalah kerangka (sasis) dan transmisi (penerus tenaga). Kerangka traktor tangan berfungsi sebagai tempat kedudukan motor penggerak, transmisi, dan bagian-bagian traktor lainnya yang dikaitkan dengan beberapa buah baut pengencang. Sedangkan transmisi (berbagai macam bentuk4) adalah penerus atau penyalur tenaga dari motor penggerak menuju ke kopling utama untuk menggerakkan serta mengatur kecepatan putaran poros roda dan poros PTO. Selanjutnya, dari PTO tenaga disalurkan lagi melalui gigi dan rantai ke mesin rotari sehingga traktor dapat bergerak maju, mundur atau berbelok. Transmisi pada traktor tangan umumnya berjumlah 8 kecepatan (6 maju dan 2 mundur) untuk digunakan sesuai dengan jenis pekerjaan yang sedang dilaksanakan, seperti: kecepatan satu untuk membajak tanah dengan mesin rotary, kecepatan dua untuk membajak tanah dengan bajak singkal/piringan, kecepatan tiga untuk membajak sawah yang tergenang, kecepatan empat untuk berjalan di jalan biasa, kecepatan lima dan enam untuk menarik trailer atau gerobak, kecematan mundur satu digunakan pada saat operator berjalan, dan kecepatan mundur dua digunakan saat operator naik di trailer atau gerobak.

Setelah kerangka dan transmisi ada pula komponen tuas kendali untuk mempermudah operasionalisasi traktor. Sebuah traktor umumnya dilengkapi beberapa macam tuas kendali untuk mengendalikan pergerakannya, yaitu: (1) tuas persnileng utama, berfungsi untuk memindahkan susunan gigi pada persnileng sehingga perbandingan kecepatan putar poros motor penggerak dan poros roda dapat diatur; (2) tuas persnileng cepat-lambat, berfungsi untuk memisahkan antara pekerjaan mengolah tanah dengan menarik trailer atau gerobak; (3) tuas kopling utama, berfungsi untuk mengoperasikan kopling utama yang bila dilepas pada posisi pasang/on akan menyambungkan gigi persnileng ke tenaga motor dan apabila ditarik ke posisi netral/off maka tenaga tidak akan disalurkan dan langsung tersambung dengan rem yang berada pada rumah kopling utama; (4) tuas persnileng mesin rotary, berfungsi sebagai pengatur kecepatan putar poros POT; (5) tuas kemudi, berfungsi untuk mengoperasikan kopling kemudi kiri dan kanan sebagai pengendali roda. Ada dua buah tuas kemudi pada setiap traktor tangan yang letaknya di bawah persnileng. Apabila tuas kemudi kanan ditekan, maka putaran gigi persnileng tidak tersambung dengan poros roda bagian kanan sehingga roda kanan berhenti dan traktor akan berbelok ke kiri. Demikian pula sebaliknya, apabila kopling kemudi kanan ditekan, maka putaran gigi persnileng tidak tersambung dengan poros roda bagian kiri sehingga roda kiri berhenti dan traktor akan berbelok ke kanan; (6) stang kemudi dan kemudi pembantu, berfungsi membantu tuas kopling saat traktor berbelok, mengangkat implemen saat pengoperasian, dan tempat bertumpu bahu operator agar menambah beban bagian belakang traktor, sehingga hasil pengolahan tanah bisa lebih dalam; (7) tuas gas, berfungsi untuk mengubah kecepatan putaran poros motor penggerak yang sesuai dengan tenaga yang dibutuhkan. Selain itu, tugas gas juga berfungsi untuk mematikan mesin apabila ditempatkan pada posisi “stop”; dan (8) tuas penyangga depan yang apabila didorong akan menjadi penyangga traktor yang hanya memiliki dua roda.

Agar traktor dapat berjalan, tentu saja harus ada komponen lain yaitu roda, baik berupa roda pneumatik (ban karet), roda besi (besar atau kecil), dan roda apung atau roda sangkar (cage wheel). Roda pneumatik biasanya digunakan pada lahan kering atau sebagai sarana pengangkutan. Menurut Frans Jusuf Daywin, dkk (2008), bentuk permukaan roda pneumatik beralur (sirip silang) agak dalam untuk mencegah slip dan dapat meredam getaran sehingga tidak merusak jalan. Jenis selanjutnya adalah roda besi ukuran besar digunakan pada lahan basah atau berlumpur dan roda besi ukuran kecil pada lahan lembab atau areal perkebunan. Roda besi ini mempunyai alur berbentuk sirip melintang yang akan menancap di tanah sehingga akan mengurangi terjadinya slip pada saat menarik beban berat. Sedangkan jenis roda terakhir disebut roda apung atau roda sangkar untuk digunakan pada lahan basah agar traktor tidak tenggelam dalam lumur.

Komponen terakhir adalah unit implemen atau alat yang dapat dipasang dan dilepaskan untuk pekerjaan tertentu. Kegunaan implemen dapat bermacam-macam, seperti: mempercepat waktu penanganan pra-panen, menjamin kenaikan kualitas dan kuantitas serta kapasitas produksi, mengurangi tenaga masusia, dan dapat melakukan perluasan areal pertanian. Implemen-implemen tersebut diantaranya adalah: gelebeg (alat pengolah tanah yang dipasang pada penggandeng/hitch traktor), transplanter (alat untuk menanam bibit padi), ridger (alat untuk membuat guludan di lahan kering yang telah diolah), seed drill (alat untuk membuat alur agar benih padi yang ditebar menjadi teratur), trailer (gerbong atau gerobak yang berkapasitas sekitar 500 kilogram) dan bajak/plow.

Khusus untuk bajak dapat dibagi lagi menjadi 5 macam atau jenis, menurut bentuk dan kegunaannya. Jenis pertama disebut bajak singkal (moldboard plow), merupakan jenis bajak tertua yang digunakan untuk membuat alur (furrow) dengan memotong dan membalik berbagai macam jenis tanah secara satu arah (biasanya arah kanan) atau dua arah (reversible plow). Bagian-bagian dari sebuah bajak singkal terdiri dari singkal (mold board) untuk melempar tanah, pisau (share) untuk memotong tanah, dan penahan samping (landside) sebagai penyeimbang serta penahan bajak.

Jenis kedua disebut pajak piringan (disc plow) yang fungsinya sama dengan bajak singkal, hanya singkalnya saja yang bentuknya menyerupai piringan bulat seperti parabola. Kelebihan dari bajak piringan ini dapat bekerja di tanah yang keras dan kering, lengket, berbatu dan berakar. Sementara kekurangannya, tidak dapat menutup sisa tanaman/rumput yang telah terpotong, bekas pembajakan tidak dapat benar-benar rata, dan hasil pengolahan tanahnya masih berupa bongkahan-bongkahan besar.

Jenis ketiga disebut bajak rotari/pisau berputar (rotary plow), berfungsi hanya untuk memotong tanah saja menggunakan pisau-pisau yang terpasang pada poros yang berputar karena digerakkan oleh motor. Selanjutnya, bajak pahat (chisel plow), berbentuk tajak yang disusun pada suatu rangka dan digunakan untuk memecah tanah keras dan kering hingga kedalaman sekitar 18 inci, mengolah tanah berjerami dan memotong sisa-sisa akar padi dalam tanah, serta memperbaiki inflitrasi air pada tanah. Dan, jenis terakhir adalah bajak tanah (subsoil plow) dengan kegunaan hampir sama dengan bajak pahat, namun dapat mencacah tanah hingga kedalaman antara 50-90 centimeter.

Selain komponen-komponen utama tersebut, terdapat komponen lain yang menunjang bekerjanya sebuah traktor tangan. Komponen-komponen tersebut adalah: tombol lampu dan bel, kumparan arus listrik untuk menghidupkan lampu dan bel, standar depan dan samping (khusus untuk pemasangan roda), instrumen kendali dan instrumen alat ukur, pengunci diferensial (gardan) untuk merubah sudut putaran mesin menjadi 90º agar traktor tidak slip, dan pemberat (ballast) agar roda depan tidak terangkat apabila menarik beban berat. (ali gufron)

Sumber:
Daywin, Frans Jusuf, dkk. 2008. Mesin-mesin Budidaya Pertanian di Lahan Kering. Jakarta: Graha Ilmu.

Hardjosentono, dkk. 2002. Mesin-mesin Pertanian. Jakarta: Bumi Aksara

Putri, Amalia Rochimah. 2011. “Mengenal Traktor Mini dan Hand Traktor Beserta Komponennya”. http://manumeng.blogspot.com/. Diakses 10 Juli 2012

Smith H. P dan Lambert H. W, 1990. Mesin dan Peralatan Usaha Tani. Gajah Mada Unversity Press, Yogyakarta.

Zulfahrizal dan Purwana Satriyo. 2007. Daya di Bidang Pertanian. Banda Aceh: Universitas Syiah Kuala.

"Traktor", diakses dari http://kbbi.web.id/traktor, tanggal 16 Mei 2016.
Foto: http://www.spiegel.de/fotostrecke/hightech-traktor-new-holland-t7-automatisch-pfluegen-saeen-ernten-fotostrecke-91099.html
____________________________
1. Pada tipe truk tractor umumnya dipasang lengan penggaruk, dozer blade, backhoe, dan lain sebagainya dengan penggerak mirip konveyor.
2. Sistem hidrolik adalah suatu sistem penerusan daya dengan menggunakan aliran fluida tak mampat (minyak peluas/oli). Minyak pelumas tersebut dipompakan dari bak penampung (reservoir) untuk selanjutnya disalurkan ke silinder penekan hidrolik pada power steering, pengereman, pengunci diferensial, sistem pengangkatan dan penggandengan (Putri: 2011).
3. PTO atau Power Take Off adalah daya dari mesin yang berupa putaran untuk menggerakkan peralatan lain. Menurut Smith H.P dan Lambert H.W (1990) standar mengenai bentuk, posisi dan putaran sumbut PTO bergantung pada implement yang digerakkannya. Misalnya, PTO buatan Japan Industrial Standards mempunyai standar kecepatan pada putaran rendah sekitar 540 +10 rpm, sedangkan pada kecepatan yang lebih tinggi adalah 1000 +25 rpm.
4. Jenis transmisi dapat bermacam-macam, seperti: pully, belt, kopling, gigi persneling, rantai dan lain sebagainya.

Desa Kanekes

$
0
0
Letak dan Keadaan Alam
Kanekes adalah salah satu desa yang secara administratif berada dalam wilayah Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Tatar Kanekes merupakan tanah ulayat milik warga masyarakat Baduy yang pengukuhannya diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 32 tahun 2001. Oleh karena itu, di dalam wilayah Kanekes memuat aturan adat sekaligus aturan administrasi pemerintahan desa pada umumnya (Pasal 2 ayat 1 dan 2 Peraturan Desa Kanekes Nomor 1 tahun 2007). Peraturan Daerah tersebut kemudian diperkuat lagi oleh Surat Keputusan Bupati Lebak Nomor 590/Kep.233/Huk/2002 tanggal 16 Juli 2002 tentang Penetapan Batas-batas Hal Ulayat di Desa Kanekes yaitu seluas 5.136,58 hektar yang terdiri atas 3.000 hektar hutan lindung dan 2.136,58 hektar berupa tanah garapan dan pemukiman.

Adapun batas-batas geografisnya adalah: sebelah utara berbatasan dengan Desa Bojongmenteng, Desa Cisimeut, Desa Nyagati di Kecamatan Leuwidamar dan Sungai Ciujung; sebelah barat berbatasan dengan Desa Parakan Beusi, Desa Keboncau, Desa Karang Nunggal di Kecamatan Bojongmanik dan Sungai Cibarani; Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Cikate di Kecamatan Cijaku dan Sungai Cidikit; dan sebelah timur berbatasan dengan Desa Karang Combong dan Desa Cilebang di Kecamatan Muncang serta Sungai Cisimeut (Pasal 4 dan 5 Peraturan Desa Kanekes Nomor 1 Tahun 2007).

Desa yang wilayahnya berada di kawasan pegunungan Kendeng dengan titik koordinat 6°27'27"-6°30' Lintang Utara (LU) dan 108°3'9"-106°4'55" Bujur Timur (BT) (Permana, 2006) ini terdiri atas 59 Kampung (tiga kampung Baduy dalam, 55 kampung Baduy Luar, dan sebuah kampung luar Baduy) (Fathurokhman, 2010). Kampung Baduy dalam terdiri atas Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. Kampung Baduy luar terdiri atas Kaduketug 1, Kaduketug 2, Cipondok, Kadukaso, Cihulu, Marengo, Balingbing, Gajeboh, Cigula, Kadujangkung, Karahkal, Kadugede, Kaduketer 1, Kaduketer 2, Cicatang 1, Cicatang 2, Cikopeng, Cibongkok, Corokokod, Ciwaringin, Cibitung, Batara, Panyerangan, Cisaban 1, Cisaban 2, Leuwihandam, Kadukohak, Cirancakondang, Kaneungai, Cicakalmuara, Cicakal Tarikolot, Cipaler 1, Cipaler 2, Cicakal Girang 1, Babakan Cicakal Girang, Cicakal Girang 2, Ciipit Lebak, Ciipit Tonggoh, Cikasi Cinangsi, Cikadu 1, Cijangkar, Cijengkol, Cilingsuh, Cisagu 1, Cisagu 02, Babakan Eurih, Cijanar, Ciranji, Cikulingseng, Cicangkudu, Cibagelut, Cisadane, Batubeuah, Cibogo, dan Pamoean. Sedangkan satu kampung yang berada di luar Baduy adalah Cicakal Girang. Kampung ini tidak dikategorikan sebagai "Baduy" mayoritas warga masyarakatnya telah beragama Islam dan bukan Sunda Wiwitan (Fathurokhman, 2010).

Topografi Desa Kanekes bervariasi, namun sebagian besar berada pada dataran bergelombang dengan kemiringan antara 0-45% dan ketinggian antara 250-600 meter di atas permukaan air laut. Adapun iklim yang menyelimutinya sama seperti daerah lainnya di Indonesia, yaitu tropis yang ditandai oleh adanya dua musim, penghujan dan kemarau. Musim penghujan biasanya dimulai pada bulan Oktober-Maret, sedangkan musim kemarau biasanya dimulai pada bulan April-September. Curah hujannya rata-rata 66 milimeter perbulan. Sedangkan, temperaturnya rata-rata berkisar 20-30 Celcius. Sesuai dengan iklimnya yang tropis maka flora yang ada di sana pada umumnya sama dengan daerah-daerah lain di Indonesia, seperti: kelapa, bambu, singkong, tanaman buah (rambutan, nangka, durian, cokelat, dan lain sebagainya), padi, dan tanaman palawija (jagung, kacang panjang, dan lain sebagainya). Fauna yang ada di sana juga pada umumnya sama dengan daerah lain di Indonesia, yaitu: kambing, kijang, ayam, anjing, dan berbagai binatang melata.

Orang Kanekes
Warga masyarakat yang tinggal di Desa Kanekes menyebut diri mereka sebagai orang Kanekes, namun oleh masyarakat umum sering disebut sebagai orang Baduy. Sebutan "Baduy" ini ada yang berpendapat berasal dari para peneliti Belanda yang menyamakan mereka dengan suku bangsa Badawi di jazirah Arab yang masih nomaden dan ada pula yang berpendapat bahwa kata "Baduy" berkaitan erat dengan wilayah yang mereka diami, yaitu di sekitar Sungai Baduy dan Gunung Baduy di bagian utara.

Selain penamaan, asal usul orang Baduy pun juga memiliki banyak versi. Menurut buku berjudul "Membuka Tabir Kehidupan Tradisi Budaya Masyarakat Baduy dan Cisungsang serta Peninggalan Sejarah Situs Lebak Sibedug" yang diterbitkan oleh Dinas Informasi, Komunikasi, Seni Budaya dan Pariwisata Kabupaten Lebak (2004), menyatakan bahwa bila merujuk pada naskah kuno Koropak 630 Sanghyang Siksakandang Karesian, orang Baduy berasal pada pendeta (wiku) yang mengamalkan Jatisunda. Sisa dari kabuyutan Jatisunda adalah Sasaka Domas yang berada di wilayah Baduy dalam dan menjadi pusat "dunia"-nya orang Baduy. Sementara bila merujuk pada ungkapan tradisional orang Baduy yang berbunyi "Jauh teu puguh nu dijujug, leumpang teu puguh nu di teang, mending keneh lara jeung wirang tibatan kudu ngayonan perang jeung paduluran atawa jeung baraya nu masih keneh sawarga tua", maka orang Baduy diperkirakan berasal dari keturunan Kerajaan Pajajaran yang melarikan diri ke Gunung Kendeng akibat diserang oleh kerajaan Islam dari Banten dan Cirebon.

Pendapat tentang orang Baduy yang merupakan pelarian dari Kerajaan Pajajaran juga dikemukakan oleh Adimihardja (2000). Menurutnya, dahulu Sungai Ciujung merupakan salah satu urat nadi penting bagi pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman Kerajaan Pajajaran. Oleh karena itu, Pangeran Pucuk Ulum (penguasa setempat) kemudian menempatkan sejumlah pasukan kerajaan untuk mengamankannya. Keberadaan pasukan inilah yang diyakini sebagai cikal bakal orang Baduy.

Padahal, pendapat tentang orang-orang pelarian dari Kerajaan Pajajaran ini sebelumnya pernah disangkal oleh Garna (1993) yang menyatakan bahwa ada seorang dokter berkebangsaan Belanda bernama van Tricht yang pernah melalukan riset kesehatan di tengan masyarakat Baduy pada tahun 1928. Dalam risetnya Van Tricht menyimpulkan bahwa orang Baduy adalah penduduk asli daerah tersebut yang mempunyai daya tolak kuat terhadap pengaruh dari luar.

Jauh sebelum Garna, ada pula Danasasmita dan Djatisunda (1986) yang menyatakan hal serupa. Menurut keduanya, apabila berbicara mengenai asal usul masyarakat Kanekes hendaklah bertitik tolak dari kedudukan mereka dalam konteks masyarakat Sunda lama. Masyarakat Kanekes mempunyai tugas khusus dalam hubungan dengan masyarakat Sunda secara keseluruhan. Dalam hal ini, mereka berkedudukan sebagai mandala (kawasan suci) yang mengemban tugas melakukan tapa di mandala. Sedangkan masyarakat Sunda lainnya - di luar mandala - berkedudukan sebagai nagara dan mengemban tugas melakukan tapa di nagara. Mandala adalah satu konsep dalam kerajaan Sunda lama yang berarti tempat suci sebagai pusat keagamaan. Orang-orang yang hidup di dalamnya terdiri atas pendeta, murid-murid atau bahkan pengikut yang membaktikan dirinya bagi kepentingan kehidupan agama.

Menurut Moeis (2010), berdasarkan prasasti Banten dan naskah Sunda kuno, diketahui bahwa dalam masyarakat Sunda lama mandala disebut pula dengan istilah kabuyutan, yang terdiri atas Lemah Dewasasana dan Lemah Parahiyangan. Lemah Dewasasana adalah mandala sebagai tempat memuja dewa bagi penganut Hindu dan Budha, sedangkan Lemah Parahiyangan atau kabuyutan jatisunda adalah mandala sebagai tempat memija hiyang bagi penganut animisme yang memuja roh leluhur sejak jaman prasejarah. Kabuyutan jatisunda atau 'Sunda asli' merupakan cikal bakal Sunda Wiwitan, agama yang dianut oleh orang Kanekes.

Pendapat Garna, Danasasmita, dan Djatisunda juga diamini oleh Ekajati (1995) yang menyatakan bahwa berdasarkan pengakuan masyarakat Kanekes sendiri, sejak semula leluhur mereka hidup di daerah yang mereka diami sekarang, yaitu Desa Kanekes. Leluhur mereka bukan berasal dari mana-mana dan bukan pula berasal sebagai pelarian. Dan, bila dihubungkan dengan asal usul mereka dengan kaum pelarian dari Pakuan Pajajaran, bahkan mereka bersikukuh bahwa sejak zaman Nabi Adam AS pun leluhur mereka telah bermukim di daerah Kanekes.

Lepas dari berbagai versi mengenai asal usul tersebut, yang jelas orang Kanekes adalah sebuah komunitas adat dengan seperangkat aturan dan norma yang telah dijalankan secara turun-temurun. Mereka membagi diri atas tiga kelompok, yaitu Tangtu Tilu, Panamping, dan Dangka (Moeis, 2010). Tangtu Tilu adalah kelompok yang paling ketat mengikuti adat. Mereka disebut sebagai Baduy dalam dan tinggal di tiga kampung di Desa Kanekes, yaitu Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. Kelompok Panamping adalah mereka yang tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi Baduy Dalam, seperti Cikadu, Kadukolot, Cisagu, dan lain sebagainya yang masih termasuk wilayah Desa Kanekes. Sedangkan dangka adalah orang-orang Baduy yang tinggal di dua kampung di luar wilayah Kanekes, yaitu Kampung Padawaras (Cibengkung) dan Kampung Sirahdayeuh (Cihandam) (Permana, 2001) atau dengan kata lain dangka adalah areal yang secara administratif berada di luar wilayah Desa Kanekes yang pada umumnya penduduknya masih memiliki keterikatan kekerabatan dan ksomik dengan warga serta tata aturan dan sistem yang berlaku di Tatar Kanekes (Pasal 1 ayat 9 Peraturan Desa Kanekes Nomor 1 Tahun 2007).

Menurut Fathurokhman (2010), pembedaan kelompok tersebut didasarkan pada ketaatan dalam menjalankan aturan-aturan dan norma adat. Kelompok Baduy dalam sangat memegang teguh aturan-aturan adat yang telah ditetapkan oleh para karuhun, sementara kelompok Baduy luar lebih longgar dalam menjalankannya. Pembedaan ini juga disebabkan karena warga Baduy dalam memiliki kewajiban bertapa dalam pengertian meneguhkan atau melestarikan adat Baduy dan agama Sunda Wiwitan, sementara warga Baduy luar bertugas sebagai panamping untuk menjaga masyarakat Baduy dalam yang sedang bertapa, sehingga turut juga membantu meneguhkan adat.

Adapun aturan-aturan adat yang ada dalam masyarakat Baduy diantaranya adalah: dilarang membuat kolam, membendung aliran air sungai atau membuat sumur dengan sanksi adat berupa denda atau diasingkan hingga keadaan kembali seperti semula; dilarang menggunakan bahan kimia sebagai pupuk dengan sanksi berupa penyitaan; dilarang memelihara hewan berkaki empat dengan sanksi adat berupa penyitaan atau penghancuran; dilarang berburu dengan senapan dengan sanksi adat berupa penyitaan dan penghancuran; dilarang menggunakan peralatan pertanian modern (cangkul, traktor) dengan sanksi adat berupa penyitaan dan penghancuran; dilarang menggunakan gergaji besi untuk menebang pohon dengan sanksi adat berupa penyitaan dan penghancuran; dilarang menggunakan minyak bumi (minyak tanah, bensi, solar) dengan sanksi adat berupa penyitaan; dilarang memasuki kawasan Sasakan Domas dengan sanksi adat berupa denda dan atau pengasingan; dilarang merusak kawasan leuweung kolot atau leuweung larangan; dilarang meracun ikan; dilarang mandi menggunakan sabun dan pasta gigi; dilarang menggunakan alas kaki; kaum perempuan dilarang menggunakan perhiasan emas; dilarang bersekolah; dilarang menggunakan kendaraan bila bepergian; dilarang menggunakan peralatan elektronik; dilarang membuka warung atau berdagang; dilarang menggunakan perabot rumah tangga mewah; dilarang berpoligami; dan lain sebagainya.

Selain dibedakan oleh ukuran ketat atau tidaknya melaksanakan aturan adat, warga Baduy luar dan dalam juga dibedakan oleh busana yang mereka kenakan sehari-hari. Dalam berpakaian misalnya, laki-laki Baduy dalam atau urang Girang atau urang Kejeroan diharuskan mengenakan jamang sangsang atau baju berlengan panjang yang cara memakainya hanya disangsangkan/dilekatkan pada tubuh. Jamang sangsang didesain sedemikian rupa sehingga tidak memakai kerah, kancing dan kantung. Bahan dasar pembuatan jamang sangsang adalah tenunan benang kapas asli yang dibentuk menggunakan tangan tanpa bantuan mesin jahit. Untuk menutup bagian pinggang ke bawah digunakan kain serupa sarung berwarna kehitaman. Agar tidak melorot, sarung yang dililitkan pada bagian pinggang tersebut diikat dengan selembar kain. Dan sebagai pelengkapnya, pada bagian kepala menggunakan iket berwarna putih yang kadang dipadukan dengan selendang yang melingkar di leher.

Adapun busana yang dikenakan oleh kaum lelaki Baduy luar adalah baju kampret berwarna hitam dan ikat kepala berwarna biru tua dengan corak batik. Desain baju orang Baduy luar sudah seperti desain baju atau kemeja yang biasa dikenakan oleh orang kebanyakan. Jadi, terdapat kancing, kantong, dan bahannya bisa dari benang sintetis. Bahkan untuk bagian bawahan pun mereka sudah tidak mengenaikan kain serupa sarung, melainkan celana berbahan apa saja asalkan sebatas lutut. Dan, sebagai pelengkapnya (baik Baduy luar maupun dalam), akan menyarungkan sebilah golok di pinggang serta membawa koja (tas).

Sedangkan busana yang dikenakan oleh kalangan perempuan Baduy, baik dalam maupun luar tidak menunjukkan perbedaan yang mencolok. Pakaian sehari-hari yang biasa mereka kenakan adalah semacam sarung berwarna donker (biru kehitam-hitaman) mulai dari tumit hingga ke dada. Dahulu, bagi perempuan yang telah menikah, kain hanya dikenakan sebatas pinggang sehingga akan menampakkan buah dadanya. Tetapi apabila ingin bepergian, mereka akan memakai semacam kebaya, kain tenunan sarung berwarna kehitam-hitaman, karembong, kain ikat pinggang, dan selendang.

Kependudukan
Penduduk Desa Kanekes berjumlah 11.667 jiwa, dengan Jumlah Kepala Keluarga (KK) 3.402. Jika dilihat berdasarkan jenis kelaminnya, maka jumlah perempuannya mencapai 5.773 jiwa (49,5%) dan penduduk berjenis kelamin laki-laki 5.887 jiwa (50,5%). Para penduduk ini tersebar di 59 kampung yang dibagi menjadi 13 Rukun Warga (RW) dengan rincian: RW 01 dihuni oleh 1.31 jiwa (laki-laki 525 jiwa dan perempuan 506 jiwa), RW 02 dihuni 859 jiwa (laki-laki 432 jiwa dan perempuan 427 jiwa), RW 03 dihuni 791 jiwa (laki-laki 379 jiwa dan perempuan 412 jiwa), RW 04 dihuni 817 jiwa (laki-laki 427 jiwa dan perempuan 390 jiwa), RW 05 dihuni 1.398 jiwa (laki-laki 713 jiwa dan perempuan 685 jiwa), RW 06 dihuni 1.252 jiwa (laki-laki 615 jiwa dan perempuan 637 jiwa), RW 07 dihuni 820 jowa (laki-laki405 jiwa dan perempuan 415 jiwa), RW 08 dihuni 650 jiwa (laki-laki 344 jiwa dan perempuan 306 jiwa), RW 09 dihuni 617 jiwa (laki-laki 297 jiwa dan perempuan 320 jiwa), RW 10 dihuni 666 jiwa (laki-laki 314 jiwa dan perempuan 325 jiwa), RW 11 dihuni 1.210 jiwa (laki-laki 626 jiwa dan perempuan 583 jiwa), RW 12 dihuni 619 jiwa (laki-laki 328 jiwa dan perempuan 291 jiwa), dan terakhir RW 13 dihuni oleh 924 jiwa (laki-laki 454 jiwa dan perempuan 470 jiwa) (Potensi Desa Kanekes, 2016).

Konsep Ruang dan Pola Pemukiman
Wilayah pemukiman warga masyarakat Kanekes berada di sekitar di lembah, perbukitan, hutan skunder, dan bahkan lereng-lereng terjal di pegunungan Kendeng. Oleh karena letaknya yang relatif sulit dijangkau, untuk mencapai pusat pemerintahan adat Baduy di Cibeo hanya dapat ditempuh melalui tiga jalur. Jalur pertama dari Ciboleger ke arah utara melalui jalan (pintu utama) Desa Bojongmeteng lalu ke kampung Kaduketug, Kadujangkung, Sorokokod, Batara, Cisaban, dan Cibeo. Jalur kedua dari Ciboleger ke ke arah timur melalui Desa Bojongmenje, kampung Kaduketug, Balingbing, Matengo, Gajeboh, Cihulu, Cipaler, Ciguha, Cobongkok, dan Cibeo sejauh sekitar 12 kilometer. Sedangkan jalur terakhir dari Pasar Kroya di Kebon Cau, Kecamatan Bojongmanik, melewati Kampung Cijahe, Cisadane, Batubeulah, Cikadu, Cipiit, Ciranji, Cikeusik, Cikertawana, dan Cibeo sejauh 22 kilometer. Sebagai catatan, untuk dapat mencapai Kampung Cibeo yang jaraknya belasan kilometer tersebut haruslah ditempuh dengan berjalan kaki. Ada suatu ketentuan adat yang melarang wilayah ulayat Baduy dibangun secara modern, termasuk dilalui oleh kendaraan bermotor. Selain itu, bagi orang Baduy sendiri ada aturan adat yang melarang menggunakan kendaraan bermotor dalam mobilitasnya sehari-hari.

Keteguhan masyarakat Baduy dalam menjaga tradisi serta kecenderungan untuk menolak perubahan menurut Moeis (2010) terkait dengan konsep ruang yang merupakan fenomena penting dalam kepercayaan dan falsafah hidup mereka. Hal ini terwujud dalam dimensi makro dan mikro kosmos mereka yang membagi dunia menjadi tiga bagian. Bagian atas disebut sebagai Buana Nyungcung yang merupakan tempat persemayaman Sang Hiyang Keresa. Bagian tengah disebut Buana Panca Tengah, tempat berdiamnya mahluk hidup. Sedangkan bagian bawah disebut sebagai Buana Larang atau neraka.

Sebagai tempat berdiamnya manusia dan mahluk hidup lainnya, Buana Panca Tengah dibedakan lagi berdasarkan tingkat kesuciannya. Tempat paling suci disebut Sasaka Pusaka Buana atau disebut juga Pada Ageung dan Arca Domas yang tidak boleh didatangi oleh sembarang orang, terutama orang luar Baduy. Tempat ini dianggap sebagai titik awal terbentuknya dunia dan tempat ke-7 batara diturunkan. Sasaka Pusaka Buana terletak di hulu Sungai Ciujung atau di sebelah ujung barat pegunungan Kendeng yang lokasinya hanya diketahui oleh Puun Cikeusik dan beberapa orang kepercayaannya, sehingga hanya Puun Cikeusiklah yang bertanggung jawab memelihara dan mengadakan ritual di tempat itu.

Tempat suci berikutnya adalah Sasaka Domas atau Mandala Parahiyangan yang lokasinya di hulu Sungai Ciparahiyangan di dalam komplek hutan larangan. Adapun yang bertanggung jawab dalam pemeliharaan Sasaka Domas dilimpahkan kepada Puun Cibeo. Selanjutnya, yang berurutan menurun tingkat kesuciannya adalah kampung dalam, kampung luar (panamping), Banten, tanah Sunda, dan di luar Sunda.

Berdasarkan konsep ruang kesucian tersebut masyarakat Baduy mengkelompokkan anggotanya ke dalam beberapa tingkatan stratifikasi sosial. Merujuk pada konsep Telu Tangtu, wilayah tangtu (Baduy dalam) yang berada dekat Sasaka Pusaka Buana terbagi menjadi tiga kelompok sosial berdasarkan kampung tempat tinggal mereka. Warga masyarakat yang bertempat tinggal di Cibeo disebut Tangtu Parahiyangan dan bertugas sebagai "Sang Prabu", warga masyarakat yang berdiam di Cikartawana disebut Tangtu Kadu Kujang dan bertugas sebagai "Sang Resi", dan warga masyarakat yang berdiam di Kampung Cikeusik disebut Tangtu Pada Ageung dan bertugas sebagai "Sang Rama". Sang Raja, Sang Rama, dan Sang Resi merupakan bagian dari konsep Telu Tangtu sebagai satu kesatuan peneguh dunia. Sang Rama dilambangkan sebagai sumber wibawa dan pengatur dunia bimbingan, Sang Resi dilambangkan sebagai sumber ucap (yang benar) dan pengatur dunia kesejahteraan, sedangkan Sang Raja melambangkan sumber wibawa dan pengatur dunia pemerintahan.

Ketiga kelompok pengatur dunia orang Baduy tadi tentu memiliki pola tata ruang tertentu dalam memanfaatkan wilayahnya. Dalam hal ini mereka membagi wilayah tangtu ke dalam tiga zona. Zona pertama (bawah), berada sekitar daerah lembah yang dekat dengan sumber-sumber air digunakan sebagai areal pemukiman, bale kapuunan (balai pertemuan), saung lisung (tempat penumbukan padi), lapangan, leuit (tempat penyimpanan padi), MCK, dan pekuburan (Garna, 1980). Penempatan saung lisung umumnya di dukuh lembur atau leuweung lembur yaitu area kampung yang masih berbentuk vegetasi hutan alam. Area ini tidak boleh dirusak atau ditebangi karena dianggap sebagai pelindung kampung dan sekaligus penghasil aneka ragam buah-buahan untuk kepentingan sosial ekonomi penduduk (Iskandar, 2010).

Zona kedua (tengah) berada diluar pemukiman penduduk yang berupa hutan skunder atau hutan produksi yang digunakan sebagai area bercocok tanam tadah hujan berpola ladang berpindah. Dan, zona terakhir (atas) merupakan hutan primer yang diperuntukkan sebagai tempat praktek pemujaan. Hutan primer ini disebut sebagai leuweung titipan atau leuweung kolot yang dianggap suci dan tidak boleh diberdayakan karena terdapat Sasaka Pusana Buana atau Pada Ageung (sebelah selatan Kampung Cikeusik) dan Sasaka Domas (sebelah selatan Kampung Cibeo).

Pada zona pertama, khususnya bagian pemukiman, komunitas tangtu mewujudkannya dalam bentuk yang sederhana. Mereka membuat tempat tinggal sederhana dalam bentuk arsitektur yang serupa. Setiap rumah dirancang untuk tidak langsung berhubungan dengan tanah tetapi berbentuk panggung dengan penyangga dari batu setinggi kurang lebih 75 centimeter. Material bangunan rumah dibuat dari beragam kayu ringan, bambu (utuh, dibelah/palupuh, atau dianyam), serat pohon enau, semacam daun pandan, daun kelapa, atau alang-alang kering. Pada bagian dalam rumah terdapat dua hingga tiga ruangan, yaitu satu ruangan agak besar yang dipergunakan sebagai tempat berkumpul keluarga, tidur anak laki-laki, menerima tamu, menyimpan berbagai perkakas rumah tangga, hingga tempat memasak/perapian yang merangkap juga tempat untuk makan. Selebihnya adalah ruangan untuk orang tua dan satu ruangan lagi untuk anak perempuan (Moeis, 2010).

Pada bagian depan dan belakang rumah terdapat pekarangan sebagai tempat menanam tanaman buah atau sayur. Sedangkan pada bagian samping hanya disisakan sedikit tempat selebar satu meter karena bersebelahan dengan rumah yang lainnya. Jarak antarrumah yang relatif dekat ini sangat berguna bagi aktivitas perempuan Baduy. Mereka dapat menjalin hubungan yang lebih erat dengan saling berkunjung, saling meminjam keperluan dapur, atau beraktivitas bersama-sama ke sungai atau pancuran, menumbuk padi di saung lisung, dan lain sebagainya.

Sebagai catatan, pola rumah dan pekarangan orang Kanekes luar dan dalam hampir serupa. Namun orang Kanekes luar memiliki kelonggaran dalam cara pembuatannya. Mereka diperbolehkan menggunakan alat-alat bantu, seperti gergaji, palu, tang dan lain sebagainya. Mereka juga boleh menggunakan bahan-bahan yang berasal dari pabrik seperti paku, kawat, mur, dan baut sebagai pengencang sambungan kayu pada bagian-bagian tertentu dari rumah.

Selain itu, baik orang Kanekes luar dan dalam juga memiliki rumah kedua yang mereka sebut saung huma. Saung huma merupakan rumah sementara bagi orang-orang yang sedang mengusahakan ladangnya atau sedang berhuma. Saung huma berbentuk lebih sederhana karena hanya ditempati sepanjang musim tanam dan saat-saat menjelang panen. Dan, sesuai dengan sifatnya yang hanya sementara, bila telah panen saung huma akan ditinggalkan karena akan berhuma di lokasi lain yang belum digunakan orang untuk berhuma.

Mata Pencaharian
Jenis mata pencaharian yang dilakukan oleh warga masyarakat Desa Kanekes seluruhnya bertumpu pada sektor pertanian, sebagaimana lazimnya sebuah desa. Adapun pertanian yang mereka usahakan termasuk dalam kategori pertanian tanah kering atau perladangan. Perladangan merupakan salah satu bentuk pertanian dalam arti luas karena mempunyai syarat-syarat: (1) dalam proses produksi hanya terbentuk bahan-bahan organis yang berasalkan dari zat-zat anorganis dengan bantuan tumbuh-tumbuhan atau hewan seperti: ternak, ikan, ulat sutera, laba-laba, dan sebagainya; (2) adanya usaha untuk memperbaharui proses produksi yang bersifat “reproduktif” dan atau “usaha pelestarian” (Tohir; 1991: 2).

Dalam konsepsi orang Kanekes ladang atau huma bukanlah milik perorangan, melainkan milik komunal. Tanah sepenuhnya merupakan hal ulayat yang penggunaannya dapat dilakukan bersama-sama secara bergiliran menurut ketentuan yang telah diatur oleh adat. Oleh karena itu ladang atau huma serang yang ada di Desa Kanekes pada umumnya bukan ladang yang baru (ladang lanjutan). Artinya, para peladang di sana hanya meneruskan ladang yang sudah ada yang ditinggalkan oleh peladang atau pehuma sebelumnya. Jadi, mereka akan berpindah tempat bila telah panen karena tanah sudah tidak subur lagi. Selanjutnya, tanah yang tidak subur itu dibiarkan begitu saja untuk beberapa musim (antara 3 hingga 10 tahun). Setelah itu, digarap kembali dengan cara membersihkan semak-semaknya (ngareuma). Namun demikian, jika mereka ingin membuka ladang yang baru, maka mesti menebang pohon-pohon yang besar. Penebangan pohon-pohon ini disebut sebagai nyacar.

Secara umum proses bercocok tanam di ladang pada prinsipnya ada empat tahap, yaitu: pengolahan tanah, penanaman, pemeliharaan, dan penuaian (pemungutan hasil). Tahap pengolahan tanah terdiri atas: nebas/nuaran kakayon atau pembersihan tanah dari pepohonan kecil dan rerumputan, ngaduruk atau pembakaran pepohonan kecil atau rerumputan yang telah ditebang dan dicabut dalam proses nuaran kakayon, ngalobang atau membuat lubang untuk memasukkan pupuk, dan ngaseuk atau membuat lubang untuk memasukkan benih. Tahap berikutnya adalah tahap penanaman yang biasanya dilakukan bersamaan dengan ngaseuk. Menurut Iskandar (2010), tahap penamaman orang Kanekes didasarkan atas kalender tani khusus yang berpedoman pada rasi bintang orion (bentang kidang). Apabila bentang kidang telah muncul maka masa tanam harus segera dimulai, sebab bila sang kidang mulai merem dan pehuma tetap memaksakan tanam, tanaman bakal diserang hama kungkang (Leptocorisa acuta), ganjur (Oseolia orizae), gaang (Grylottalpa africana), atau ongrek/kuuk.

Tahap ketiga adalah pemeliharaan tanaman meliputi ngored yaitu pembersihan rerumputan liar di sekitar tanaman dan ngarabas yang sebenarnya sama dengan ngored namun cara pengerjaannya yang berbeda. Ngored dimulai dari bagian lebar ke arah panjang ladang, sedangkan ngarabas dimulai dari bagian panjang ke arah lebar ladang. Pemeliharaan tanaman tidak hanya berkaitan dengan kegiatan membersihakan rerumputan liar saja, tetapi juga menjaga kesuburan tanaman dan menjaga tanaman dari hama dan serangan binatang lain yang merusak tanaman. Adapun pemeliharaannya, bila terserang hama, adalah menggunakan bahan-bahan alami atau biopestisida berupa campuran buah cangkudu (Morinda citrofolia), rimpang laja (Languas galanga), kulit jeruk besar (Citrus grandis), air kelapa (Cocos nucifera), tuak aren (Arenga pinnata), bingbin (Pinanga sp), panglay (Zingiber cassumunar), keusik (pasir sungai), dan abu tungku.

Tahap terakhir adalah pemungutan dan pengolahan hasil. Tanaman ladang yang berupa padi-ladang, setelah dipungut kemudian dijemur dan disimpan di leuit. Dahulu, padi yang dihasilkan oleh para peladang di Desa Kanekes bukan ditujukan untuk pasar (dijual ke pasaran), tetapi untuk kebutuhan rumah tangga. Namun saat ini sebagian padi hasil panenan tersebut telah dijual melalui tengkulak yang oleh mereka disebut sebagai bandar. Bandar dapat dikategorikan berdasarkan apa yang diperjualbelikan. Dengan demikian, ada bandar: sayur-mayur, buah-buahan, dan lain sebagainya. Mereka keluar-masuk kampung sehingga tahu persis masa-masa panen.

Mata pencaharian lain yang biasanya dilakukan pada masa setelah tanam padi huma hingga menjelang panen bagi kaum laki-laki Baduy adalah berburu (kancil, menjangan, tupai), mencari madu hutan, nyadap kawung (nira) guna diolah menjadi gula kawung, mencari buah-buahan (durian, ranji, asam keranji, lada baduy, coklat), atau membuat kerajinan anyaman (koja, jarong, tas pinggang, topi, tempat minum dari kulit pohon teureup). Hasil hutan, terutama madu, biasanya mereka pasarkan ke kota-kota terdekat dengan berjalan kaki dalam rombongan kecil yang terdiri dari 3 hingga 5 orang. Sementara kaum perempuan bekerja di rumah menenun baju, celana, selendang, sarung, ikat kepala, dan lain sebagainya. Hasil kerajinan rumah tangga ini dijual sebagai cinderamata pada para wisatawan yang datang ke Kanekes.

Kepercayaan
Dasar kepercayaan orang Baduy ialah penghormatan ruh nenek moyang dan kepercayaan kepada satu kuasa, Batara Tunggal. Keyakinan mereka itu disebut Sunda Wiwitan atau agama Sunda Wiwitan. Orientasi, konsep-konsep dan kegiatan-kegiatan keagamaan ditujukan kepada pikukuh agar orang hidup menurut alur itu dalam mensejahterakan kehidupan Baduy dan dunia ramai (orang Baduy dari hirarki tua dan dunia ramai keturunan yang lebih muda). Mereka bertugas mensejahterakan dunia melalui tapa (perbuatan, bekerja) dan pikukuh. Apabila Kanekes sebagai inti jagat selalu terpelihara baik, maka seluruh kehidupan akan aman sejahtera. Gangguan terhadap inti bumi ini berakibat fatal bagi seluruh kehidupan manusia di dunia. Konsep keagamaan dan adat terpenting yang menjadi inti pikukuh Baduy tanpa perubahan apa pun, seperti dikemukakan oleh peribahasa “lojor teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambung” (panjang tak boleh dipotong, pendek tak boleh disambung). Konsep-konsep itu tidak berada dalam diri orang Baduy sendiri yang kekuatannya tergantung dari tindakan atau perbuatan seseorang. Konsep pikukuh merupakan pengejawantahan dari adat dan keagamaan yang ditentukan oleh intensitas konsep mengenai karya dan keagamaan. Dengan melaksanakan semuanya itu orang akan dilindungi oleh kuasa tertinggi, Batara Tunggal, melalui para guriang yang dikirim oleh karuhun dan Batara Tunggal karena orang tidak patuh kepada pikukuh, hakikat agama Sunda Wiwitan.

Nenek moyang orang Baduy dikategorikan dalam dua kelompok, yaitu nenek moyang yang berasal dari masa para Batara dan masa para puun. Batara Tunggal digambarkan dalam dua dimensi, sebagai suatu kuasa dan kekuatan yang tak tampak tetapi berada di mana-mana, dan sebagai manusia biasa yang sakti. Dalam dimensi sebagai manusia sakti, Batara Tunggal mempunyai keturunan tujuh orang batara yang dikirimkan ke dunia di kabuyutan (tempat nenek-moyang), yaitu titik awal bumi Sasaka Pusaka Buana. Mereka itu ialah Batara Cikal, yang diberitakan tidak ada keturunannya, Batara Patanjala yang menurunkan tujuh tingkat batara ketiga, yaitu (dari yang paling senior) Daleum Janggala, Daleum Lagondi, Daleum Putih Seda Hurip, Dalam Cinangka, Daleum Sorana, Nini Hujung Galuh, dan Batara Bungsu. Mereka itu yang menurunkan Bangsawan Sawidak Lima atau tujuh batara asal, nenek moyang orang Baduy. Daleum Janggala adalah batara yang tertua, dan yang menurunkan kerabat tangtu Cikeusing; Daleum Putih Seda Hurip menurunkan kerabat kampung Cibeo. Para batara tingkat ketiga lain masing-masing menurunkan jenis kerabat pemimpin lainnya.

Lima batara tingkat kedua, saudara-saudara muda Batara Pantajala, yaitu Batara Wisawara, Batara Wishnu, Batara Brahmana, Batara Hyang Niskala, dan Batara Mahadewa, menurunkan kelompok kerabat besar di luar Baduy yang disebut salawe nagara (dua puluh lima negara), yang menunjukkan jumlah kerabat yang besar, dan menurut pengetahuan orang Baduy adalah wilayah yang sangat luas di sebelah Sungai Cihaliwung (Garna 1988). Kelompok kerabat itulah yang dianggap orang Baduy keturunan yang lebih muda. Dari ketujuh orang batara tingkat ketiga nenek-moyang orang Baduy itu tampak bahwa hanya kerabat jaro dangka yang berasal dari garis keturunan perempuan. Lainnya diturunkan melalui garis keturunan patrilineal.

Kosmologi orang Baduy yang menghubungkan asal mula dunia, karuhun dan posisi tangtu, merupakan konsep penting pula dalam religi mereka. Karena itu wilayah yang paling sakral ada di Kanekes, terutama wilayah taneuh larangan (tanah suci, tanah terlarang) tempat kampung tangtu dan kabuyutan. Bumi dianggap bermula dari masa yang kental dan bening, yang lama-kelamaan mengeras dan melebar. Titik awal terletak di pusat bumi, yaitu Sasaka Pusaka Buana tempat tujuh batara diturunkan untuk menyebarkan manusia. Tempat itu juga merupakan tempat nenek moyang. Kampung tangtu kemudian dianggap sebagai inti kehidupan manusia, yang diungkapkan dengan sebutan Cikeusik, Pada Ageung Cikartawana disebut Kadukujang, dan Cikeusik disebut Parahyang, semua itu disebut Sanghyang Daleum. Secara khusus posisi tempat nenek moyang (kabuyutan) dan alur tangut dalam memperlihatkan kaitan karuhun, yaitu Pada Agueng ---- Sasaka Pusaka Buana ---- dangkanya disebut Padawaras; Kadukujang ---- Kabuyutan ikut pada Cibeo dan Cikeusik ---- dengan dangka-dangkanya yang disebut Sirah Dayeuh. Konsep buana (buana, dunia) bagi orang Baduy berkaitan dengan titik mula, perjalanan, dan tempat akhir kehidupan. Ada tiga buana, yaitu Buan Luhur atau Buana Nyungcung (angkasa, buana atas) yang luas tak terbatas, Buana Tengah atau Buana Panca Tengah, tempat manusia melakukan sebagian besar pengembaraannya dan tempat ia akan memperoleh segala suka-dukanya. Buana Handap (buana bawah) ialah bagian dalam tanah yang tak terbatas pada luasnya. Keadaan di tiga benua itu adalah seperti halnya dunia ini, ada siang dan ada malam, dan keadaannya sebaliknya dengan di dunia.

Konsep lain dalam religi orang Baduy ialah kaambuan atau ambu (ibu, wanita, ibu suci). Menurut orang Baduy ada tiga ambu yang penting (peling tidak yang ditakuti dan disegani) yaitu Ambu Luhur di Buana Luhur, Ambu Tengah di Buana Panca Tengah, dan Ambu Rarang di Buana Handap. Ambu Tengah ialah pemelihara kehidupan yang harus dihormati dengan kesungguhan melakukan pikukuh. Ambu luhur tidak hanya mengurus tempat orang Baduy setelah mati, tetapi juga dengan segala kekuatan dan kesaktiannya, Ambu Rarang dapat menyelesaikan setiap masalah kehidupan dengan menyebut namanya atau membaca mantera-mantera. Sedang Ambu Rarang adalah ambu yang menerima jasad dan ruh orang Baduy yang mati untuk diurus selama tujuh hari dan melepaskannya setelah 40 hari ke tempat akhir tetapi juga bentuk nyata dari Buana luhur (Koentjaraningrat, dkk. 1993).

Struktur Sosial dan Organisasi Pemerintahan
Desa adalah jajaran sistem pemerintahan nasional di tingkat yang paling bawah. Walaupun demikian, desa memiliki kekhasan tersendiri dibandingkan sistem pemerintahan yang ada di atasnya, khususnya kecamatan, karena jauh sebelum otonomi daerah diberlakukan, desa sudah merupakan daerah yang otonom. Oleh karena itu, sangatlah tepat apa yang dikemukakan oleh Palmer (1984: 326), yaitu bahwa desa, termasuk Desa Kanekes, merupakan kesatuan administratif, teritorial, dan kesatuan hukum menurut batas-batas wilayah tertentu yang penyelenggaraan pemerintahannya adalah otonom (oleh, untuk, dan dari sekelompok orang yang menempati wilayah tersebut). Selain itu, desa juga merupakan kesatuan sosial, yaitu sebagai tempat menyelenggarakan hubungan-hubungan sosial antarwarga masyarakat, yang di dalamnya seringkali terdapat nilai-nilai kekerabatan yang cukup kuat serta melandasi hubungan-hubungan tersebut (Palmer, 1984: 324).

Secara administratif Desa Kanekes memiliki dua sistem pemerintahan, yaitu sistem nasional dan sistem kepemimpinan adat yang diakulturasikan sedemikian rupa. Dalam sistem nasional, Desa Kanekes dipimpin oleh seorang jaro pamarentah yang berada di bawah camat, sedangkan dalam sistem kepemimpinan adat dipegang oleh puun (Puun Cikeusik, Puun Cibeo, dan Puun Cikartawana). Sebagai pemimpin tertinggi Puun memiliki tugas sebagai pengambil keputusan dan menetapkan hukum adat atas dasar hasil musyawarah lembaga adat. Puun dipilih oleh masyarakat Baduy berdasarkan musyawarah para kokolot (tokoh adat). Adapun prosesnya diawali dengan penseleksian calon Puun atas dasar lahiriah seperti: sehat rohani, berpenampilan baik, jernih pikiran dan hati, bekerja runtut (sistematis), bertindak penuh kewaspadaan, bertindak sesuai aturan, terampil, cekatan, jujur, toleran dan lain sebagainya. Kemudian diakhiri dengan penseleksian secara batiniah oleh kokolotan melalui proses tertentu dalam musyawarah lembaga adat Tangtu Tilu Jaro Tujuh. Masa jabatan seorang Puun tidak ditentukan karena hanya berdasarkan kesanggupannya untuk mengemban jabatan tersebut. Apabila sudah tidak sanggup lagi dia dapat menyerahkan jabatannya pada anak atau kerabatnya, tentu dengan terlebih melalui musyawarah kokolotan.

Dalam menjalankan tugasnya Puun dibantu oleh Jaro Tangtu dan Girang Seurat. Jaro Tangtu memiliki mandat melaksanakan roda pemerintahan yang berhubungan dengan kemasyarakatan, seperti: pelaksanaan dan penerapan hukum adat, penentuan dan pengaturan waktu kegiatan upacara adat, sosialisasi seputar tatanan hukum adat, hingga penataan keamaan dan ketertiban. Sedangkan Girang Seurat memiliki tugas khusus yaitu sebagai penentu waktu pelaksanaan ngaseuk huma serang, sebuah kegiatan gotong royong dalam sistem perladangan, mulai dari nyacar, nuaran, ngaduruk, ngaseuk, ngored, ngubaran huma hingga panen.

Jaro Tangtu dibantu oleh Baresan IX, Tangkesan, Jaro 12, dan Jaro Pamarentah (kepala desa). Baresan IX bertugas membantu kebutuhan adat atau kepuunan, termasuk memimpin doa bersama untuk kepentingan adat dan umum. Tangkesan adalah pemangku adat dari Baduy Luar yang dianggap memiliki kharisma dan wibawa sehingga disegani oleh seluruh warga. Selain disegani karena kharismanya, tangkesan juga dianggap memiliki kemampuan supernatural yang dapat memperlacar semua masalah, termasuk masalah yang dihadapi Puun. Oleh karena itu, tangkesan memiliki pengaruh yang cukup besar dalam proses pemilihan, pelantikan atau pemberhentian petugas adat yang berada di Baduy luar.

Adapun Jaro 12 adalah gabungan dari sembilan orang Jaro Dangka dan tiga orang Jaro Tangtu. Jaro 12 dipimpin oleh seorang Jaro Tanggungan. Para jaro ini bertugas menjaga, mengurus, serta memelihara tanah titipan karuhun yang ada di tatar Kanekes. Dalam melaksanakan tugasnya Jaro 12 dibantu lagi oleh Jaro tujuh. Jaro tujuh adalah petugas adat yang berasal dari Baduy Luar dengan tugas utamanya lebih menitikberatkan pada pelaksanaan kebijakan/keputusan hukum adat sekaligus mengawasi pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh warga masyarakat Baduy sendiri maupun orang dari luar Baduy.

Sedangkan jaro pamarentah bertugas sebagai penghubung antara masyarakat adat Kanekes dengan pemerintah daerah setempat. Dari jaro pamarentah ini barulah pemerintahan menggunakan sistem nasional. Dalam menjalankan tugasnya jaro pamarentah yang oleh masyarakat setempat disebut sebagai kepala desa (Kades) dibantu oleh seorang sekretaris desa yang lebih dikenal sebagai “juru tulis” dan sering disingkat menjadi “ulis”. Ia bertugas mengkoordinir pemerintahan dan trantib, perekonomian dan pembangunan, kesejahteraan rakyat, keuangan dan umum. Untuk melaksanakan tugas itu ia dibantu oleh seorang: Kasi Pemerintahan dan Trantib, Kasi Perekonomian dan Pembangunan, Kasi Kesejahteraan Rakyat, Kaur Keuangan, dan Kaur Umum. Setiap kepala urusan mempunyai seorang staf. Dengan demikian, perangkat Desa Kaneses, termasuk dengan kepala adatnya, berjumlah 23 orang.

Selain perangkat desa, ada juga yang disebut sebagai Badan Perwakilan Desa (BPD). Lembaga ini berfungsi sebagai badan legislatif dalam organisasi pemerintahan desa. Anggotanya diambil dari para tokoh masyarakat desa yang bersangkutan. Tugasnya adalah mengadakan musyawarah tingkat desa untuk mengevaluasi dan atau menetapkan suatu keputusan pemerintah desa, serta membantu kepala desa dalam merencanakan dan menggerakkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan di wilayahnya. Melalui lembaga-lembaga tersebut diharapkan akan berlangsung komunikasi antara masyarakat dan perangkat pemerintahan serta antarwarga masyarakat desa itu sendiri.

Sementara itu, aspirasi politik masyarakat Kanekes dapat dikategorikan dalam tipe parokial, baik parokial-partisipan maupun subjek-parokial. Dalam tipe politik parokial masyarakat tidak menyadari atau bahkan mengabaikan adanya pemerintahan dan politik (Mas'Oed dan Colin Mac Andrews, 1990: 42). Masyarakat Baduy Luar yang agak lebih "modern" ketimbang Baduy Dalam menganut tipe politik parokial partisipan. Gejalanya tampak pada saat pemilihan umum misalnya, mereka telah menggunakan haknya sebagai warga negara, namun tidak begitu peduli dengan apa yang mereka pilih. Hal ini disebabkan karena orang Baduy luar hanya menaruh minat pada lingkup politik terbatas (di Kanekes saja) yang para pelaku politiknya sering melakukan peranan serempak dalam bidang ekonomi, keagamaan, dan lain sebagainya.

Berbeda dengan Baduy luar, masyarakat Baduy dalam memiliki tipe politik subjek-parokial. Dalam hal ini mereka telah memiliki pemahaman yang sama sebagai warga negara tetapi lebih memilih berlaku pasif dalam mengikuti perkembangan politik pada skala nasional. Di kalangan mereka ada suatu anggapan bahwa apabila ikut berpartisipasi dalam perpolitikan nasional maka dikhawatirkan akan mengganggu keharmonisan, kebersamaan, persatuan serta kesatuan dalam masyarakat Baduy. Oleh karena itu, sikap politik yang mereka ambil adalah lunang atau milu kanu meunang, yaitu tidak berpihak kepada partai mana pun tetapi akan mendukung partai mana saja dan siapa saja yang berhasil menjadi pemenang dan menjadi pemimpinnya. (gufron)

Foto: Pepeng
Sumber:
Adimihardja, K. 2000. "Orang Baduy di Banten Selatan: Manusia Air Pemelihara Sungai", dalam Jurnal Antropologi Indonesia, Th. XXIV, No. 61, Jan-Apr 2000. Hal 47-59.

Danasasmita, Saleh dan Anis Djatisunda. 1986. Kehidupan Masyarakat Kanekes. Bandung; Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Dinas Informasi Komunikasi Seni budaya Dan Pariwisata Kabupaten Lebak. 2004. Membuka Tabir Kehidupan Tradisi Budaya Masyarakat Baduy Dan Cisungsang Serta Peninggalan Sejarah Situs Lebak Sibedug. Rangkasbitung: Dinas Inkosbudpar.

Ekajati, Edi S. 1995. Kebudayaan Sunda, Suatu Pendekatan Sejarah. Jakarta : Pustaka Jaya.

Fathurokhman, Ferry. 2010. "Hukum Pidana Adat Baduy dan Relevansinya dalam Pembaharuan Hukum Pidana", dalam Jurnal Law Reform, Volume 5 No. 1, April 2010. Hlm. 1-38.

Garna, Yudistira. 1980. "Pola Kampung dan Desa, Bentuk Serta Organisasi Rumah Masyarakat Sunda"; dalam Edi S. Ekajati: Masyarakat Sunda dan Kebudayaannya. Jakarta : PT Giri Mukti.

----------------. 1988. "Perubahan Sosial Budaya Baduy" dalam Nurhadi Rangkuti (Peny.): Orang Baduy dari Inti Jagat. Yogyakarta: Etnodata Prosindo.

----------------. 1993. "Masyarakat Baduy di Banten", dalam Masyarakat Terasing di Indonesia. Editor Koentjaraningrat & Simorangkir. Jakarta Departemen Sosial dan Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial dengan Gramedia Pustaka Utama.

Iskandar, Johan. 2010. "Penanggulangan Hama Padi (pada Masyarakat Baduy), diakses dari http://regional.kompas.com/read/2010/09/27/14293683, tanggal 20 Mei 2016.

Koentjaraningrat, dkk. 1993. Masyarakat Terasing di Indonesia. Jakarta: Gramedia.

Mas’Oed, Mohtar dan Colin Mac Andrews. 1990. Perbandingan Sistem Politik. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Moeis, Syarif. 2010. "Konsep Ruang dalam Kehidupan Orang Kanekes (Studi tentang Penggunaan Ruang dalam Kehidupan Komunitas Baduy Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak Banten)" (Makalah dalam Diskusi Jurusan Pendidikan Sejarah), Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Universitas Pendidikan Indonesia.

Peraturan Desa Kanekes Nomor 01 Tahun 2007 tentang Saba Budaya dan Perlindungan Masyarakat Adat Tatar Kanekes (Baduy).

Permana, R . Cecep Eka. 2006. Tata Ruang Masyarakat Baduy. Jakarta: Wedatama Widya Sastra. Hlm.17.

----------------. 2001. Kesetaraan Gender dalam Adat Inti Jagat Baduy. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.

Palmer, Andrea Wilcox. 1984. “Desa Situradja: Sebuah Desa di Priangan” dalam Koentjaraningrat (ed). Masyarakat Desa di Indonesia. Jakarta: Lembaga Penerbit FE UI

Tohir, A. Kaslan. 1991. Seuntai Pengetahuan Usaha Tani Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta.
Viewing all 829 articles
Browse latest View live