Quantcast
Channel: Budaya
Viewing all 829 articles
Browse latest View live

Zulkarnain Zubairi

$
0
0
Zulkarnain Zubairi atau lebih dikenal dengan nama Udo Z Karzi adalah salah seorang jurnalis, sastrawan, dan sekaligus budayawan muda asal Lampung. Zubairi lahir pada tanggal 12 Juni 1970 di Desa Negarabatin, Magra Liwa, Kecamatan Balik Bukit, Kabupaten Lampung Barat. Ayahnya bernama Zubairi Hakim dan ibunya Tria Qoti. Zubairi adalah putera sulung dari lima bersaudara Riza Sofya, Yuzirwan, Silvia Diana, dan Lila Aftika (arahlautlepas.blogspot.co.id).

Zubairi menempuh pendidikan dasarnya di Sekolah Dasar Negeri 1 Liwa pada tahun 1977-1983. Kemudian ke SMP Negeri 1 Liwa pada tahun 1983-1986. Lulus dari SMPN 1 Liwa, tahun 1986 Udo hijrah ke Bandarlampung untuk melanjutkan pendidikannya di SMA Negeri 1 Tanjungkarang. Setelah menamatkan pendidikan menengah atasnya pada tahun 1989 Zubairi mengambil program D2 Akuntansi di Lembaga Pendidikan Fajar Agung. Usai mendapat ijazah D2 akuntasi, Zubairi mengambil jurusan Ilmu Pemerintahan di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Lampung dari tahun 1990 hingga memperoleh gelar kesarjanaannya pada tahun 1996 (Wardoyo, dkk: 2008).

Semasa kecil pria yang menikah dengan Reni Permatasari dan dikaruniai dua orang anak (Muhammad Aidil Affandy Liwa dan Raihan Gerza Muzakki Liwa) ini sudah gemar membaca. Dia selalu membaca apa saja (buku, surat kabar, majalah, dan lain sebagainya). Bahkan, buku-buku Inpres yang kerap dibawa oleh ayahnya yang seorang guru Bahasa Indonesia juga tidak luput dari perhatiannya. Dia juga banyak membaca buku-buku milik sahabatnya bernama ZA Mathika Dewa atau Zulkifli, anak seorang Kepala Kantor Pendidikan dan Kebudayaan (arahlautlepas.blogspot.co.id). Kegemaran membaca ini, khususnya buku-buku sastra dan biografi sastrawan-sastrawan ternama membentuk pola pikir Zubairi sehingga terbiasa menuangkan segala sesuatu dalam bentuk tulisan. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila dia menyenangi pelajaran mengarang dan bercita-cita menjadi penulis sastra atau sastrawan.

Ketika masih duduk di bangku SMA, seiring dengan hobi membacanya yang semakin meluas, Zubairi juga mengembangkan hobi baru yaitu mengkliping puisi, cerpen, esai, dan tulisan-tulisan yang berkaitan dengannya. Selain itu, Zubairi juga mencoba menulis untuk disebarluaskan melalui media massa. Pada sekitar tahun 1987 tulisannya yang pertama dimuat di media massa berbentuk sebuah puisi. Selanjutnya, sejumlah karya pun mulai mengalir, baik berupa puisi, cerita pendek, cerita anak, artikel, maupun esai.

Saat menjadi mahasiswa Zubairi berkiprah sebagai Pemimpin Redaksi Surat Kabar Mahasiswa Teknokra Unila hingga tahun 1994, 1994-1996 menjadi Pemimpin Umum Majalah Republica FISIP Unila, dan pemimpin Majalah Ijtihad hingga tahun 1998. Lulus dari perguruan tinggi Zubairi mengawali karirnya sebagai wartawan lepas harian umum Lampung Post (1995-1996). Kemudian tahun 1997 menjadi reporter majalah berita Mingguan Sinar di Jakarta. Tahun berikutnya Zubairi kembali ke kampung halamannya di Liwa dan beralih profesi menjadi guru ekonomi dan akuntansi pada SMAN 1 Liwa dan MAN Liwa. Tahun 1999-2000 dia kembali menggeluti bidang persuratkabaran dengan menjadi redaktur Sumatera Post. Selanjutnya, dari tahun 2000-2006 kembali bekerja sebagai jurnalis di Lampung Post. Dan terakhir, dari tahun 2006 menjadi redaktur Borneonews di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah dan sebagai anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Lampung.

Di sela-sela pekerjaannya sebagai jurnalis, Zubairi tetap menyempatkan diri menulis karya sastra. Walau bertolak belakang dengan dunia jurnalistik yang lebih mengedepankan fakta dalam bentuk tulisan yang sangat cair dan jelas, dia masih dapat membuat karya sastra yang mengandung nilai-nilai kejujuran, kearifan, kebenaran, keterbukaan, kebebasan, keadilan, dan demokrasi. Menurut arahlautlepas.blogspot.co.id, karya sastra Zubairi memiliki tiga esensi penting yaitu: memuat kisah/gagasan yang baru atau asli; keteraturan memakai kaidah tata bahasa, kosa kata, dan ejaan; dan pemaparan atau sistematika dalam penceritaan.

Adapun karya-karya Zulkarnai Zubairi, diantaranya adalah: Momentum1 (kumpulan sajak dwibahasa Lampung-Indonesia, Dinas Pendidikan Lampung 2002); Etos Kita, Moralitas Kaum Intelektual (editor, 2002); Mak Dawah Mak Dibing (kumpulan sajak, BE Press 2007); Teknokra, Jejak Langkah Pers Mahasiswa (editor bersama Budisantoso Budiman, 2010); Mamak Kenut, Orang Lampung Punya Celoteh2 (Indepth Publishing, 2012); Feodalisme Modern, Wacana Kritis tentang Lampung dan Kelampungan (Indepth Publishing, 2013); Tumi Mit Kota3 (kumpulan cerpen berbahasa lampung bersama Elly Dharmawanti, Pustaka LaBRAK 2013); Menulis Asyik: Ocehan Tukang Tulis ihwal Literasi dan Proses Kreatif dengan Sedikit Tips (Sai Wawai Publishing, 2014) (udozkarzi.blogspot.co.id); puisi "Damba" dalam buku Daun-daun Jatuh, Tunas-tunas Tumbuh (Surat Kabar Teknokra 1999); puisi "Bebas" dalam buku Daun-daun Jatuh, Tunas-tunas Tumbuh (Surat Kabar Teknokra 1999); puisi "Jalan yang Terbentang" dalam buku Daun-daun Jatuh, Tunas-tunas Tumbuh (Surat Kabar Teknokra 1999); puisi "Di Masjid" dalam buku Daun-daun Jatuh, Tunas-tunas Tumbuh (Surat Kabar Teknokra 1999); puisi "Lampung Kenangan" dalam Krakatau Award 2002 (terbitan Dewan Kesenian Lampung, 2002); Konser Ujung Pulau (Dewan Kesenian Lampung, 2003); Pertemuan Dua Arus (Jung Foundation, 2004); Maha Duka Aceh (PDS H.B. Jassin, 2005); cerpen "harga diri" dalam surat kabar Teknokra (2000); cerpen "Tumi Pergi ke Kota" dalam Trans Sumatera (2000); esai "Begitulah Cinta" dalam, Etos Kita: Moralitas Kaum Intelektual (2003); esai "Tradisi Lisan Lampung yang Terlupakan" dalam Kebangkitan Sastra Lampung (2005); "Hujan Sastra (sastrawan) Lampung Memang Tidak Merata" dalam Kebangkitan Sastra Lampung (2005); "Sastra (Berbahasa) Lampung, dari Kelisanan ke Keberaksaraan" dalam Kebangkitan Sastra Lampung (2005); "Tradisi Dipuja, Tradisi Diguga" dalam Kebangkitan Sastra Lampung (2005); "Sastra Modern (Berbahasa) Lampung" dalam Kebangkitan Sastra Lampung (2005); "Suatu Senja Sebuah Pekon Sedendang Dadi" dalam Kebangkitan Sastra Lampung (2005); "Anak-anak Muda Semakin Jauh dari Tradisi" dalam Kebangkitan Sastra Lampung (2005); "Sastra Lisan Dadi" dalam Kebangkitan Sastra Lampung (2005); "Nggak Gaul Kalau Nggak bisa Nyara" dalam Kebangkitan Sastra Lampung (2005); "Kecintaan pada Seni Tradisi Terpupuk sejak Lama" dalam Kebangkitan Sastra Lampung (2005) (arahlautlepas.blogspot.co.id); Mengapa Kita Berkonflik (editor bersama HS Tisnanta, 2014); Dari Oedin ke Ridho, Kado 100 Hari Pemerintahan M. Ridho Ficardo-Bachtiar Basri (editor, 2014) (selasar.com); Ode Kampung (Rumah Dunia, 2006); dan Anthology Empathy (Pustaka Jamil, 2006) (horisononline.or.id).

Berkat karya-karyanya tersebut Zubairi mendapat sejumlah penghargaan, diantaranya: (1) Juara kedua Lomba Menulis Puisi Naratif Festival Krakatau IX tahun 1999 atas puisi yang berjudul Bagaimana Mungkin Aku Lupa; (2) Juara pertama lomba resensi buku The Secret of Biography: Rahasia Menulis Biografi ala Ramadhan K.H.; (3) Hadiah Sastra Rancage 2008 untuk kategori Sastra Lampung melalui Mak Dawah Mak Dibingi (2007); dan (4) Kamaroeddin Award 2014 yang diberikan oleh Aliansi Jurnalis Independen Bandarlampung.

Pada lomba resensi buku The Secret of Biography yang diadakan oleh Lembaga Studi Biografi Ramadhan K.H. Institute, Zubairi membuat resensi yang diterbitkan di Lampung Post dengan judul Kiat Heboh Bikin Biografi Gaya Ramadhan K.H. Dia berhasil mengalahkan peresensi lainnya yaitu Wahyu Awaludin yang membuat resensi berjudul Ramadhan K.H. Hidup Kembali yang dimuat di wartakotalive.com (posisi kedua) dan Putri Nurbaiti dengan judul resensi Menyibak Kesuksesan Sang Biografi dalam Menulis Biograsi yang dimuat di pelitaonline.com (posisi ketiga) (Lampung Post 2012).

Sementara Kamaroeddin Award diberikan kepada Zubairi atas sumbangsihnya dalam mengangkat budaya Lampung, khususnya bahasa dan sastra Lampung yang terancam punah, agar tetap lestari, berkembang, dikenal publik, dan eksis sampai saat ini (antaranews.com). Melalui karya tulisnya, baik dalam bentuk puisi, cerita buntak (cerita pendek), dan esai di berbagai media massa lokal dan nasional sejak 1987 tim juri Aliansi Jurnalis Independen Bandarlampung yang terdiri Fadilasari, Budisantoso Budiman, dan Tisnanta, menilai Zibairi telah berkontribusi besar dalam perkembangan pers dan jurnalistik maupun HAM dan demokratisasi di Lampung. Dia berhasil mengalahkan empat nominator peraih Kamaroeddin Award yang dinilai berperan aktif dan memberikan kontribusi terhadap kemerdekaan dan profesionalisme pers, penegakan hukum dan hak asasi manusia, serta demokrasi di Lampung, yaitu Siti Noor Laila (Komisioner Komnas HAM asal Lampung), Iswandi Pratama (seniman teater asal Lampung yang mendunia), Uki M. Kurdi (mantan Pemred Harian Umum Tribun Lampung), dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandarlampung.

Sedangkan Sastra Rancage 2008 diberikan kepada Zubairi karena dianggap sebagai pelopor lahirnya sastra berbahasa Lampung modern. Walau selama ini sudah cukup banyak sastrawan modern asal Lampung. Tetapi mereka umumnya menuliskan karya sastranya dalam bahasa Indonesia dan belum ada yang menggunakan bahasa Lampung sebagai wahananya. Melalui buku kumpulan 50 sajak yang diberi judul Mak Dawah Mak Dibingi (Tak Siang Tak Malam) Zubairi membuat terobosan besar yang mendobrak kebekuan dunia sastra berbahasa Lampung (Anshory, 2008).

Dalam Mak Dawah Mak Dibingi Zubairi dapat membebaskan diri dari struktur sastra tradisional lampung yang sangat terkait dengan aturan bait dan rima yang ketat. Selain itu, setiap sajaknya juga menceritakan hal-hal yang bersifat kontemporer, seperti: kehidupan rakyat kecil yang terpuruk, demonstrasi mahasiswa, pencemaran lingkungan, sempitnya lapangan kerja, penegakan hukum yang belum memuaskan, korupsi yang merajalela, dan para politisi yang tidak memikirkan rakyat (Anshory, 2008). (Gufron)
______________________________________________
1 Momentum dianggap sebagai pembawa pembaruan dalam tradisi perpuisian berbahasa lampung (putika.net). Dalam antologi ini terdapat 25 buah puisi setebal 50 halaman yang ditulis dalam bahasa Lampung dialek Pesisir (Api) disertai dengan terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Adapun isi puisinya sebagian merupakan refleksi dari perjalanan kehidupan Zubairi dan sebagian lainnya merupakan kejadian atau hal yang menyentuh emosi dan perasaannya.

Menurut Kuswinarto (2003), ada beberapa alasan mengapa kehadiran antologi Momentum layak dicatat dalam khazanah sastra Lampung. Pertama, hadirnya Momentum membuktikan bahwa sastrawan Lampung masih ada. Kedua, kehadiran Momentum memperlihatkan kerja sama yang baik dari berbagai pihak di Provinsi Lampung untuk memajukan sastra daerah. Dan ketiga, antologi Momentum ini sangat penting dalam kerangka perjalanan sastra berbahasa Lampung yang hidup segan mati tak mau.

2 Mamak Kenut: Orang Lampung Punya Celoteh berisi 101 buah kumpulan karangan berupa kolom (column) yang ditulis Udo Z. Karzi selama kurun waktu tiga tahun (2002-2004), dengan rincian 24 judul (2002), 33 judul (2003), dan 34 judul (2004). Seluruh tulisan tersebut diterbitkan dalam rubrik "Nuansa" di harian Lampung Post. Adapun isinya menurut Iwan Nudaya-Djafar (2012), berupa celotehan Udo yang kritis dan analitis terhadap berbagai fenomena sosial, budaya, ekonomi, dan politik yang terjadi di sekeliling tokoh Mamak Kenut, Minan Tunja, Pithagiras, Radin Mak Iwoh, Paman Takur, Udien, dan nama-nama lain dari negeri ini yang sering menghiasi pemberitaan media massa atau orang biasa yang melintas dalam kehidupan senyatanya.

3 Tumi Mit Kota merupakan kumpulan 13 buah cerpen berbahasa Lampung karya Udo Z Karzi dan Elly Dharmawanti yang diterbitkan oleh Pustaka Labrak, Bandarlampung. Menurut Udo yang dilansir antaralampung.com, ada beberapa alasan mengapa ia memilih judul Tumi Mit Kota yang juga merupakan salah satu judul dari 13 cerpen yang ada di dalamnya. Pertama, adalah sebagai penggambaran kondisi kontemporer masyarakat Lampung terkait dengan orientasi hidup, pergeseran tatanan sosiobudaya, dan kecenderungan urbanisasi di antara warga Lampung. Kedua, adanya proses inkulturasi dalam diri Tumi (Tuminingsih) yang beretnis Jawa tetapi sudah menjadi gadis Lampung. Ketiga, kata Tumi bukan hanya panggilan bagi Tuminingsih, tetapi juga Buay Tumi, nenek moyang orang Lampung. Dan keempat, kisah-kisah di dalamnya membaurkan suasana laut dan pegunungan di daerah Lampung Barat dan Pesisir Barat, sesekali kondisi kehidupan urban, dan ketegangan antara masa lalu dan kekinian.

Foto: http://detik-world.blogspot.co.id/2013/06/biografi-udo-z-karzi.html
Sumber:
"Zulkarnain Zubairi", diakses dari 1. http://arahlautlepas.blogspot.co.id/2008/11/zulkarnain-zubairi.html, tanggal 2 Juni 2016.

"Udo Z Karzi", diakses dari http://udozkarzi.blogspot.co.id/, tanggal 2 Juni 2016

"Udo Z Karsi Memuliakan Bahasa Lampung dengan Puisi", diakses dari http://horison online.or.id/rampai-rampai/udo-z-karsi-memuliakan-bahasa-lampung-dengan-puisi, tanggal 2 Juni 2016.

Kuswinarto. 2003. "Udo Z. Karzi dalam Peta Puisis (Berbahasa) Lampung", diakses dari http://kotakalianda.blogspot.co.id/2014/11/udo-z-karzi-dalam-peta-puisi-berbahasa.html, tanggal 2 Juni 2016

Irfan Anshory. 2008. "Hadiah Rancage untuk Sastra Lampung", diakses dari http://irfan anshory.blogspot.co.id/2008/02/hadiah-rancage-untuk-sastra-lampung.html, tanggal 7 Juni 2016.

"Buku Cerpen Berbahasa Lampung Diluncurkan", diakses dari http://www.antaralampung. com/berita/271040/buku-cerpen-berbahasa-lampung-diluncurkan, tanggal 7 Juni 2016.

"Udo Z. Karzi", diakses dari https://www.selasar.com/profile/UdozKarzi, tanggal 7 Juni 2016.

Iwan Nurdaya-Djafar. 2012. "Sisindiran ala Udo Z Karzi, diakses dari http://lampung.antara news.com/berita/263611/sisindiran-ala-udo-z-karzi, tanggal 4 Juni 2016.

"Udo Z Karzi", diakses dari http://puitika.net/udo-z-karzi-2/, tanggal 7 Juni 2016.

Wardoyo, Heri, dkk. 2008. 100 Tokoh Terkemuka Lampung, 100 Tahun Kebangkitan Nasional. Bandar Lampung: Lampung Post. Hlm. 392-394

"Udo Z. Karzi Juara I Resensi Nasional", Lampung Post, Kamis 22 November 2012.

"Zulkarnain Zubairi raih Kamaroeddin Award 2014", diakses dari http://www.antaranews. com/berita/452304/zulkarnain-zubairi-raih-kamaroeddin-award-2014, tanggal 8 Juni 2016.

Multikulturalisme di Australia

$
0
0
Oleh Gufron

Australia adalah sebuah benua yang berada di atas lempeng Indo-Australia dengan luas sekitar 7.617.930 kilometer persegi (termasuk daratan utama, Pulau Tasmania, dan beberapa pulau kecil di Samudera Hindia dan Pasifik). Secara geografis, daerah yang terletak antara 9°-44° Lintang Selatan dan 112° BT, dan 154° BT ini dikelilingi oleh Samudera Hindia dan Samudera Pasifik serta dipisahkan dari Benua Asia oleh Laut Arafura dan Laut Timor (dfat.gov.au).

Sebagai kontinen terkecil Australia mula-mula dihuni oleh orang-orang yang berasal dari kawasan Asia pada zaman es akhir (glacial) sekitar 50-60 ribu tahun yang lalu (australia.com). Mereka disebut sebagai orang Aborigin (berasal dari kata Latin "Aborigines"; ab = dari dan origo = awal mula) dengan ciri-ciri fisik: kulit berwarna cokelat, rambut ikal atau bergelombang, muka dan tubuh berbulu lebat, ukuran dahi sempit, rongga mata menjorok ke dalam, alis mata menonjol, rahang menonjol, mulut lebar, tulang tengkorak tebal, dan memiliki tinggi rata 152 centimeter (aboriginalart.com.au).

Orang Aborigin terbagi menjadi 300 klan dan berbicara dalam 250 bahasa serta 700 dialek. Mereka hidup nomaden (berpindah-pindah) di sekitar daerah lembah, sungai atau pantai sambil mengikuti musim atau migrasi binatang buruan (dfat.gov.au). Namun, walau selalu berpindah tempat, mereka memiliki suatu hubungan spritual khusus dengan tanah tertentu. Hal ini berkaitan dengan kepercayaan yang mereka anut yaitu Tjukurpa, Aldjerinya, nguthuna atau yang dalam bahasa Inggris kira-kira diterjemahkan sebagai dreamtime atau dreaming (tidak ada kata yang tepat untuk menggambarkan konsep ini) (aboriginalart.com.au).

Bagi masyarakat Aborigin dreamtime merupakan semua hal yang diketahui atau dimengerti yang datangnya melalui wahyu atau petunjuk di dalam mimpi. Dreamtime adalah pusat kehidupan orang Aborigin. Melalui dreamtime atau dreaming mereka merekonstruksi seluruh kehidupannya dengan semua ciri-ciri dunia yang berlangsung terus-menerus dan membentuk sebuah siklus (dilahirkan, dibarukan, dan dikembalikan). Dreamtime diaktualisasikan melalui tarian, nyanyian, musik, dan lukisan sehingga membentuk suatu putaran (siklus) kehidupan di alam secara terus menerus (aboriginalart.com.au).

Masyarakat Majemuk
Kehidupan harmonis orang Aborigin dengan dreamtime-nya di Australia berlangsung selama puluhan ribu tahun sehingga menempatkan mereka sebagai penduduk pribumi. Pola kehidupan mereka mulai menjadi "berwarna" ketika para penjelajah bangsa Eropa "menemukan" Australia. Orang Eropa pertama yang menjejakkan kakinya di Australia adalah seorang mualim Belanda bernama Willem Janszoon pada 26 Februari 1606. Kemudian disusul oleh orang-orang Eropa lainnya seperti Luis Vas de Torres (1906), Dirk Hartog (1616), Frederick de Haoutman (1619), Abel Tasman (1644), Willem de Vlamingh (1696), William Dampier (1699), James Cook (1770), George Bass (1797), dan Matteh Flinders (1801) (Aziz, 2005).

Namun, dari sekian banyak penjelajah Eropa tersebut hanya bangsa Inggrislah yang mengupayakan Australia sebagai daerah pendudukan. Hal ini dilakukan oleh Kapten James Cook ketika dia menyusuri pantai timur Australia dan singgah di daerah Botany Bay pada sekitar tahun 1770. James Cook lalu memberi nama tempat itu sebagai New South Wales dan mengklaimnya menjadi milik Kerajaan Inggris. Sembilan tahun kemudian, temuan Cook ditindaklanjuti oleh Joseph Banks (salah seorang anggota dalam armada Cook) dengan mengusulkan agar memindahkan para narapidana ke New South Wales sebagai solusi atas padatnya populasi narapidana di penjara-penjara Inggris (Dhoni, 2012).

Usulan Joseph Banks tadi disetujui oleh Raja Inggris George III, sehingga pada tahun 1787 diberangkatkanlah armada yang dipimpin oleh Kapten Arthur Phillip. Armada ini terdiri dari 11 buah kapal dengan 1036 penumpang (736 narapidana dan 300 sipir) yang tiba di Botany Bay pada tanggal 26 Januari 1788 (Aziz, 2005). Namun, karena Botany Bay/New South Wales dianggap sebagai tempat gersang, panas, buruk, dan keras, maka mereka lalu pindah ke bagian utara yaitu ke Sydney Cove yang dianggap memiliki tanah serta air yang lebih baik ketimbang Botany Bay.

Menurut Iswalono (2013), gelombang pertama migrasi yang dipimpin oleh Kapten Arthur Phillip ini sudah mulai memberi "warna" pada kehidupan penduduk asli (Aborigin). Para narapidana tidak hanya membawa kebudayaan baru, tetapi mereka yang umumnya adalah kaum lelaki juga membawa penyakit Tubercoulosis (TBC) dan gonorrhea yang mematikan. Salah satu "warna" yang diberikan oleh para narapidana adalah banyaknya tindak perkosaan terhadap perempuan Aborigin. Dalam sejarah Australia, anak-anak hasil tindak perkosaan ini kemudian disebut sebagai half-caste yang hidup dan dibesarkan dalam lingkungan budaya Aborigin.

Satu abad berikutnya datanglah gelombang besar imigran bebas (bukan narapidana) dari Eropa dan Asia karena ditemukannya tambang emas di daerah New South Wales pada tahun 1851. Masa demam emas atau gold rush berawal ketika seorang imigran Inggris bernama E.H. Hargraves menemukan emas di daerah Bathrust, New South Wales. Selanjutnya emas dalam jumlah lebih besar kembali ditemukan di daerah Victoria (Ballarat, Buninyong, dan Bendigo) (Saputra, 2009). Dampak dari adanya gold rush adalah adanya perubahan dalam bidang ekonomi (peningkatan kesejahteraan), politik, transportasi, dan bahkan sosial di wilayah koloni. Gold rush juga menyedot lebih dari setengah juta imigran memasuki wilayah Australia, sehingga jumlah penduduk meningkat menjadi lebih dari satu juta jiwa (Siboro, 1989).

Setelah masa gold rush berakhir, mereka lalu menyebar ke seluruh daerah koloni. Akibatnya, pemerintah perwakilan Inggris menjadi kewalahan dan akhirnya mengeluarkan Australian Colonies Government Act dengan memisahkan Australia menjadi 6 koloni yang berhak menyusun sistem pemerintahan sesuai dengan kepentingan dan aspirasinya masing-masing (Tabak, dkk, 2014). Keenam koloni tersebut adalah: New South Wales, Victoris, Tasmania, Australia Selatan, Queensland, dan Australia Barat. Pada 1 Januari 1901 keenam koloni ini kemudian menggabungkan diri dalam bentuk federasi menjadi Persemakmuran Australia.

Gesekan-gesekan Antarras
Banyaknya imigran yang membanjiri Australia di satu sisi memang dapat meningkatkan perekenomian, tetapi di sisi lain timbul pergesekan-pergesekan antara penduduk pribumi dengan orang-orang pendatang dari Eropa. Salah satu sebabnya adalah para pendatang menggap mereka adalah bangsa yang lebih pantas menguasai tanah/wilayah Australia sehingga menimbulkan tindak diskriminasi pada orang-orang Aborigin. Bagi pendatang (orang Inggris), tanah merupakan simbol status sosial dan sumber ekonomi yang dapat dimiliki atau dijual. Sesuai dengan "etika Protestan" yang sangat menghargai kerja keras, tanah harus dieksploitasi agar dapat mendatangkan kemakmuran. Sementara bagi orang Aborigin tanah bersifat totemis yang tidak dapat dimiliki, dijual, atau dieksploitasi secara sembarangan. Tanah dan manusia memiliki hubungan emosional dan spiritual sehingga harus selalu dijaga agar terjadi keseimbangan alam.

Bentuk diskriminasi para pendatang terhadap orang Aborigin diantaranya adalah: (1) mulai tahun 1791 pemerintah memberi memberi hak berupa kepemilikan tanah kepada pendatang dari Inggris yang menjadi titik awal penggusuran kaum Aborigin. Kebijakan ini mengakibatkan terjadinya konflik yang menyebabkan puluhan ribu orang Aborigin tewas; (2) pada saat Australia menjadi negara persemakmuran tahun 1901 kaum Aborigin tidak memiliki hak hukum karena dianggap sebagai bagian dari fauna; (3) tahun 1910 pemerintah di berbagai negara bagian mengeluarkan kebijakan untuk memisahkan keturunan Aborigin berdarah campuran agar lebih baik tingkat kehidupannya; (4) anak-anak Aborigin dipisahkan dari keluarganya untuk diasuh oleh orang kulit putih dan dijadikan sebagai pekerja/pembantu atau ditempatkan di panti asuhan untuk "diputihkan" (dididik membaca dan menulis bahasa Inggris, diajari “cara hidup bersih”: mandi tepat waktu, merapikan dan menyisisr rambut, berpakaian rapi, mencuci dan menyetrika pakaian, dan bahkan mereka dikristenkan karena dianggap orang biadab yang tidak mengenal agama); (5) orang Aborigin tidak boleh menduduki kursi parlemen tingkat nasional; (6) asimilasi lewat perkawinan campuran yang kadang dilakukan dengan paksaan; (7) penyediaan penampungan-penampungan khusus bagi orang Aborigin yang masih hidup secara tradisional; (8) pemberlakuan masyarakat Aborigin sebagai warga negara kelas dua atau lebih dikenal dengan istilah Outcast in White Australia; (9) persyaratan yang relatif tinggi bagi orang Aborigin dalam bidang pendidikan; (10) pengucilan bagi anak-anak Aborigin yang berbicara dalam bahasa ibu mereka; dan (11) pemberian hukuman penjara walau atas dasar tuduhan yang sangat ringan (hidahidan, 2012; Iswalono, 2013)

Dampak dari diskriminasi orang kulit putih tersebut sangat berpengaruh terhadap kehidupan orang Aborigin. Dalam bidang kesehatan misalnya, banyak sekali orang Aborigin yang tewas terjangkit tubercoulosis atau gonorrhea. Selain itu, ada juga penyakit yang disebabkan oleh perubahan pola makan. Mereka banyak yang mengalami gangguan kesehatan akibat sulit beradaptasi dengan makanan baru yang diperkenalkan oleh orang kulit putih yaitu gandum dan gula. Menurut hidaan (2012), akibat dari penyakit yang berasal dari bakteri maupun perubahan pola makan tersebut populasi orang-orang Aborigin merosot tajam dari 750.000 menjadi sekitar 60.000-70.000 jiwa.

Dalam bidang sosial, masyarakat Aborigin dipaksa meninggalkan budaya mereka dan berperilaku layaknya orang kulit putih. Pemerintah memberi mereka makanan, pakaian, dan dipaksa untuk tinggal di daerah suaka yang terpencil. Dalam bidang kebudayaan, mereka kehilangan jati diri karena tidak dapat mengekspresikan diri. Ada hegemoni dari budaya orang kulit putih yang menyebabkan budaya Aborigin terkungkung dan sengaja ditinggalkan. Sedangkan dampak dalam bidang lapangan pekerjaan banyak yang menjadi penganggur. Dan, kalaupun bekerja hanya menempati sektor-sektor bawah yang tidak dilakukan oleh orang kulit putih.

Selain dengan penduduk pribumi, pergesekan juga terjadi antarpendatang. Semenjak demam emas di New South Wales dan Victoris tahun 1851, banyak imigran datang dari seluruh penjuru dunia. Salah satu diantaranya adalah orang-orang Cina yang datang mencari penghidupan sebagai pekerja kasar (australia.com). Menurut Shamad (2009), dampak dari imigrasi besar-besaran ini tidak hanya pada pertambahan jumlah penduduk, tetapi juga semakin beragamnya ras dan budaya di Australia. Akibatnya, timbul perpecahan dikalangan masyarakat, terutama antarras yang berujung pada konflik berdarah di beberapa pertambangan.

Untuk mengatasinya, pemerintah persemakmuran yang baru terbentuk kemudian membuat suatu undang-undang pembatasan imigran, terutama terhadap orang-orang kulit berwarna. Undang-undang ini kemudian disebut "Immigration Restrict Act" atau yang dikenal sebagai White Australia Policy (Kebijakan Australia Putih) (Poetrie, 2013). Menurut Poetrie (2013), White Australia Policy adalah sebuah kebijakan pemerintah dalam menyikapi besarnya imigran yang masuk ke wilayah Australia. Pada awalnya kebijakan ini hanya ditujukan bagi imigran dari Cina yang jumlahnya sangat besar. Namun, seiring waktu White Australia Policy juga diterapkan bagi seluruh warga kulit berwarna.

Sementara menurut Saputra (2009) yang mengutip Barnard Majorie, White Australia Policy berawal dari Immigration Act yang disahkan oleh Victorian Legislature pada bulan Juni 1855. Kebijakan yang bersifat rasis ini timbul karena adanya ideologi yang menganggap bahwa negara harus dikuasai oleh masyarakat kulit putih yang superior serta adanya kecemburuan sosial, ekonomi, dan ketakutan orang-orang kulit putih terhadap orang-orang Cina yang semakin hari jumlahnya terus meningkat. Para buruh Cina yang rela dibayar rendah dikhawatirkan akan berdampak pada tingkat kesejahteraan buruh asal Eropa yang upah bayarannya relatif lebih tinggi. Apabila persaingan upah terus dibiarkan, maka tingkat pengangguran orang kulit putih akan bertambah tinggi karena berkurangnya lapangan pekerjaan.

White Australia Policy berisi penseleksian secara ketat bagi imigran yang ingin menetap di Australia. Guna lebih mengerucutkan proses penseleksian, pemerintah menggunakan sebuah instrumen yang dinamakan "Dictation test", yaitu tes tertulis dan wawancara menggunakan salah satu bahasa di Eropa (biasanya Inggris) (Poetrie, 2013). Sebagai tambahan, undang-undang juga melarang orang yang dianggap bila, orang yang cenderung menjadi beban publik/lembaga publik/lembaga amal, orang yang menderita penyakit menular, dan para penjahat, pelacur, atau siapapun juga yang terlibat kontrak atau perjanjian melakukan kerja manual masuk ke Australia (Azis, 2015).

Dampak White Australia Policy dan timbulnya Multikulturalisme
Walau agak memperlambat laju pertambahan imigran kulit berwarna, kebijakan White Australia ternyata memiliki dampak sangat buruk terhadap perekonomian negara persemakmuran itu. Dampak tersebut mulai terasa setelah Perang Dunia II saat Australia mengalami krisis tenaga kerja produktif yang memaksa Partai Buruh membuka mata dan menganggap Kebijakan White Australia sudah tidak relevan lagi. Namun, partai ini belum membuka diri sepenuhnya ketika pemerintahan Chifley mulai membuka keran imigrasi dari berbagai negara. Mereka baru dapat berkompromi dengan kebijakan imigrasi yang mengedepankan multikulturalisme pada tahun 1967 ketika pemerintahan Australia dipimpin oleh Arthur Calwell.

Purbasari (1999) menyatakan perjalanan menuju pada sebuah pengakuan bahwa masyarakat Australia terdiri dari beraneka ragam budaya, etnik, agama, dan bahasa mulai terjadi pada periode 1945-1975 melalui penerapan tiga tahap kebijakan, yaitu: asimilasi, integrasi, dan kebijakan multikulturalisme. Kebijakan asimilasi dimulai ketika berakhirnya Perang Dunia II sampai dengan tahun 1964. Kebijakan integrasi sebagai fase kedua dilaksanakan pada tahun 1964 sampai dengan tahun 1972. Sedangkan kebijakan multikulturalisme dikeluarkan pada masa pemerintahan Perdana Menteri Whitlam (1972-1975).

Kebijakan asimilasi dan integrasi adalah tangapan pemerintah Australia atas maraknya pergerakan-pergerakan yang dilakukan oleh masyarakat Aborigin, seperti: pembentukan The Australian Aboriginal Progressive Association di New Sout Wales pada 1922; The Australian Aborigines League di Melbourne tahun 1932, dan pemogokan kerja buruh di Cummeragunja (1930an), Palm Island (1940an), Pilbara (1946) serta Darwin (1950 dan 1951). Kebijakan asimilasi ditujukan untuk membentuk sebuah identitas baru yaitu "New Australian". Dalam hal ini Australia akan dibentuk sebagai sebuah negara yang monokulturalisme dengan bahasa Inggris menjadi alat pemersatunya.

Hasil dari kebijakan asimilasi membuat imigran yang bukan berasal dari Inggris harus melupakan kebudayaannya dan mengadopsi cara hidup orang-orang Australia. Bagi imigran yang tidak dapat berkompromi dengan kebijakan ini umumnya akan bermigrasi ke tempat lain atau kembali lagi ke negaranya. Sementara bagi masyarakat Aborigin yang tidak memiliki latar belakang bahasa Inggris terpaksa harus berasimilasi dengan budaya masyarakat kulit putih. Hal ini kemudian menimbulkan penurunan yang sangat drastis terhadap kondisi ekonomi masyarakat yang akhirnya berdampak pula pada kondisi ekonomi Australia secara keseluruhan. Kebijakan Asimilasi tidak banyak memberikan manfaat bagi kemajuan Australia (Shamad, 2009). Padahal, sejak tahun 1949 pemerintah telah mengambil langkah non-diskriminatif resmi pertama dengan mengizinkan sejumlah 800 imigran non-Eropa untuk menetap di australia. Selain itu, pemerintah juga mengeluarkan kebijakan pada tahun 1957 yang membolehkan imigran non-Eropa yang telah tinggal selama 15 tahun untuk menjadi warga negara Australia. Dan, tahun 1958 melakukan revisi Undang-undang Migrasi dengan memperkenalkan sistem perizinan sederhana tanpa melakukan tes dikte.

Oleh karena itu, pada saat pemerintahan Perdana Menteri Gough Whitlam dikeluarkanlah kebijakan baru yang diharapkan lebih relevan yaitu multikulturalisme. Adapun konsepnya berdasarkan sebuah kesatuan di dalam perbedaan. Kebijakan ini memberikan kebebasan bagi masyarakat untuk mempertahankan kebudayaannya masing-masing, tetapi tetap mempunyai rasa kebangsaan sebagai bangsa Australia yang majemuk. Kebijakan multikulturalisme mencakup konstitusi, demokrasi parlementer, kebebasan berbicara, aturan hukum, penerimaan dan kesetaraan, serta kebebasan individu dalam memeluk agama (Azis, 2015).

Paham multikulturalisme pertama kali marak di Kanada pada tahun 1960, kemudian berlanjut di Amerika Serikat, Inggris, dan baru ke Australia pada kurun waktu 70-an. Menurut Abdullah (2006), maraknya paham multikulturalisme seiring dengan munculnya sejumlah fenomena. Pertama, munculnya gerakan warga negara yang ingin menegaskan identitas asli mereka. Warga negara ini mengalami titik kulminasi kejenuhan terhadap pembangunan yang menekankan uniformitas yang membuat kaum migran atau warga pendatang dari berbagai latar belakang dilebur "paksa" menjadi satu-kesatuan asimilasi di bawah payung negara (Kanada, AS, Inggris, dan Australia). Kedua, proses kematangan modernitas yang ditandai naiknya tingkat edukasi warga negara; tersedianya jasa transportasi dan komunikasi massa tampak dari semakin membanjirnya kaum migran yang datang ke berbagai tempat. Ketiga, fenomena tentang adanya pertanyaan dan pengkritisan ulang terhadap narasi nasionalisme (sejarah kebangsaan, asal usul identitas masing-masing etnik, politik diskriminasi yang selama ini dibangun oleh pemerintah). Keempat, multikulturalisme juga muncul karena adanya akademisi dan politisi yang menghadirkan kritik-kritik sosial, kultural, dan politik. Kelima, munculnya ide multikulturalisme merupakan kritik sekaligus solusi alternatif terhadap proyek-proyek modernitas yang mengabaikan kekuatan identitas manusia yang beragam, meskipun itu minoritas.

Multikulturalisme pada dasarnya merupakan sebuah filosofi yang ditafsirkan sebagai ideologi yang menghendaki adanya persatuan dari berbagai kelompok kebudayaan dengan hak dan status sosial politik yang sama dalam masyarakat modern. Istilah multikultural juga sering digunakan untuk menggambarkan kesatuan berbagai etnis masyarakat yang berbeda dalam suatu negara. Multikulturalisme itu sendiri berasal dari dua kata; multi (banyak/beragam) dan cultural (budaya atau kebudayaan), yang secara etimologi berarti keberagaman budaya. Budaya yang mesti dipahami, adalah bukan budaya dalam arti sempit, melainkan sebagai semua dialektika manusia terhadap kehidupannya. Dialektika ini akan melahirkan banyak wajah, seperti sejarah, pemikiran, budaya verbal, bahasa dan lain-lain.

Will Kymlicka yang dikutip oleh Poetrie (2013), menjelaskan mengenai sumber dari multikulturalisme itu adalah imigrasi, yaitu keputusan individu atau sekelompok individu untuk meninggalkan tanah air mereka dan pindah ke society yang baru. Pada akhirnya negara yang menerima imigran tersebut dapat dikatakan sebagai negara multikulturalisme, karena negara yang menerima imigran tersebut juga memberikan peluang bagi para pendatang untuk tetap mempertahankan karakter budayanya masing-masing. Multikulturalisme akan menjadi sebuah acuan utama bagi terwujudnya masyarakat multikultural, karena sebagai sebuah ideologi akan mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan. Dalam model multikulturalisme ini, sebuah masyarakat mempunyai sebuah kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat tersebut yang coraknya seperti sebuah mosaik. Di dalam mosaik tercakup semua kebudayaan dari masyarakat-masyarakat yang lebih kecil yang membentuk terwujudnya masyarakat yang lebih besar, yang mempunyai kebudayaan seperti sebuah mosaik. Dengan demikian, multikulturalisme diperlukan dalam bentuk tata kehidupan masyarakat yang damai dan harmonis meskipun terdiri dari beraneka ragam latar belakang kebudayan.

Sementara menurut Tanudirjo (2011) multikulturalisme sesungguhnya merupakan kosep politik, khususnya politik identitas, karena mempunyai berbagai makna yang dapat dikaitkan dengan konteks penggunaannya. Sebagai sebuah konsep politik, multikulturalisme muncul sebagai kebijakan pemerintah dalam memperlakukan warganya yang beragam atau plural. Oleh karena itu, multikulturalisme bukan hanya merujuk pada keragaman budaya tetapi juga keragaman dalam agama, etnis, ras, bahasa, bahkan juga mayoritas dan minoritas. Dalam konteks ini, multikulturalisme terkait dan membawa dampak pada kepentingan ekonomi maupun politik, di antaranya adalah tuntutan memperbaiki kedudukan ekonomi dan politis dari kelompok yang tidak diuntungkan karena status mereka "dibedakan".

Dalam menerapkan multikulturalisme, pemerintah suatu negara dapat membuat beberapa kebijakan untuk mengatasi konflik atau diskriminasi akibat saling kebersinggungan antarkebudayaan dalam masyarakatnya. Pada masa pemerintahan Perdana Menteri Whitlam Australia menerapkan tiga langkah strategis untuk menghilangkan diskriminasi ras, yaitu: (1) undang-undang bahwa semua imigran berhak mendapat kewarganegaraan setelah tiga tahun tinggal permanen di Australia; (2) instruksi kebijakan masalah perpindahan penduduk luar negeri untuk benar-benar mengabaikan ras sebagai faktor dalam pemilihan migran; dan (3) meratifikasi semua perjanjian internasional yang berkaitan dengan imigrasi dan ras.

Kebijakan multikultural tadi didasari pada empat prinsip pokok, yaitu: (1) tanggung jawab semua. Artinya seluruh warga Australia memiliki kewajiban untuk mendukung struktur-struktur dasar dan prinsip-prinsip masyarakat yang menjamin kebebasan dan kesetaraan; (2) menghormati setiap orang karena semua warga Australia memiliki hak untuk mengekspresikan kebudayaan dan keyakinan mereka dan kewajiban untuk menghormati hak orang lain untuk melakukan hal yang sama; (3) keadilan bagi setiap orang agar dapat berkontribusi pada kehidupan sosial, politik, dan ekonomi; dan (4) manfaat bagi semua untuk mendapatkan keuntungan dari deviden budaya, sosial, dan ekonomi yang signifikan timbul dari keragaman penduduk.

Kebijakan yang dibuat pada masa pemerintahan Perdana Menteri Whitlam merupakan puncak dari diberlakukannya kebijakan multikulturalisme di Australia. Pada saat masih menerapkan White Australia Policy usaha-usaha untuk menciptakan kedamaian dan kesetaraan ras dilakukan dalam bentuk kebijakan-kebijakan. Adapun kebijakan yang dibuat oleh pemerintah Australia dalam usahanya menggantikan White Australia Policy menjadi Multikulturalisme diantaranya adalah: tahun 1958 merevisi Undang-undang Migrasi dengan memperkenalkan sistem sederhana untuk tinggal di Australia tanpa melakukan test dikte; Undang-undang Pemilihan Persemakmuran yang menyatakan bahwa seluruh penduduk asli Australia berhak untuk mendaftarkan diri dan memberikan suara pada pemilihan federal (1962); Undang-undang Migrasi 1966 yang membongkar kebijakan White Australia dan peningkatan akses terhadap migrasi non-Eropa; pencabutan hukum yang memberi kuasa kepada aparat untuk memisahkan anak-anak Aborigin dari keluarganya (1970); pemberlakuan Undang-undang Diskriminasi Rasial Persemakmuran (1975); pemberlakuan Undang-undang Hak Tanah Aborigin (Northen Territory) tahun 1976; negara bagian New South Wales memberlakukan Undang-undang Anti Diskriminasi (1977); negara bagian Australia Barat memberlakukan Undang-undang Kesetaraan Kesempatan (1984); Australia Selatan menerapkan Undang-undang Kesetaraan Kesempatan (1984) dan Undang-undang Pencemaran Ras (1996); pemerintah federal menerapkan Undang-undang Kebencian Rasial Persemakmuran (1995), pemberlakuan Undang-undang Komisi Hak Asasi Manusia dan Kesetaraan Kesempatan (1986), Undang-undang Diskriminasi (1991); Queenslan menerapkan Undang-undang Anti-Diskriminasi (1991); Victoria menerapkan Undang-undang Kesetaraan Kesempatan (1995), Toleransi Ras dan Agama (2001); dan negara bagian Tasmania menerapkan Undang-undang Anti Diskriminasi (1998).

Selain undang-undang pemerintah Australia juga membentuk lembaga-lembaga khusus demi terciptanya sebuah masyarakat multikultural yang mengakui adanya keberagaman dan toleran terhadap ekspresi budaya yang ditunjukkan oleh individu di dalam masyarakat. Pada tahun 1991 misalnya, pemerintah membentuk sebuah Dewan Rekonsiliasi Aborigin yang bertujuan untuk mempromosikan proses rekonsiliasi antara pribumi dengan pendatang. Upaya tersebut secara bertahap mulai menunjukkan hasil pada masa pemerintahan Kevin Rudd. Perdana Menteri Kevin Rudd permohonan maaf kepada suku Aborigin atas segala penderitaan yang mereka alami selama dua abad terakhir. Ruud ingin agar warga keturunan Aborigin tidak lagi merasa sebagai warga kelas dua dan mengejar ketinggalan mereka dari warga Australia lainnya. Pemerintah Australia juga memberikan ijin resmi untuk bekerja, mengenyam pendidikan serta membiarkan anak-anak aborigin untuk tinggal bersama keluarganya (www.immi.gov.au).

Sebelumnya, pada tahun 1987 pemerintah Australia juga membentuk Office of Multicultural Affair (OMA) yang berada di bawah Departemen Perdana Menteri. Mmelalui OMA dikembangkan konsep-konsep multikulturalisme secara lebih mendalam dan menekankan batasan-batasan konsep itu serta ide Australia sebagai suatu unsur unifikasi. Bahkan, melalui agenda nasionalnya OMA menjelaskan dan mempertajam definisi multikulturalisme sebagai suatu istilah yang menggambarkan diversitas budaya dan etnik dalam Australia Baru. Dengan begitu imigran-imigran diharapkan akan memberikan loyalitasnya terhadap Australia.

Tidak mau kalah dengan OMA, Australia Barat juga membentuk sebuah lembaga yang dinamakan Office of Multicultural Interests (OMI) atau Divisi Komunitas Multikultural Berkepentingan Bersama di bawah Departemen Lokal dan Komunitas. OMI mendukung pengembangan kebijakan dan program Pemerintah Negara Bagian dalam mempromosikan multikulturalisme dan meningkatkan layanan kepada penduduk Australia Barat yang berasal dari berbagai latar belakang budaya, bahasa, dan agama. OMI juga memegang tampuk kepemimpinan atas komunitas Australia Barat untuk urusan multikulturalisme di sektor pemerintah, dan sektor bisnis agar dapat menciptakan kemitraan bagi masyarakat yang lebih inklusif dan produktif.

Multikulturalisme juga disebarluaskan melalui lembaga pendidikan. Adapun tujuannya adalah memberi pengertian bahwa Australia pada hakekatnya adalah masyarakat multibudaya di dalam sejarah, baik sebelum maupun sesudah kolonisasi bangsa Eropa; menemukan kesadaran dan kontribusi dari berbagai latar kebudayaan untuk membangun Australia; memberi pengertian antarbudaya melalui kajian-kajian tingkah laku, kepercayaan, dan nilai-nilai yang berkaitan dengan multikulturalisme; dan memperluas kesadaran akan penerimaan seseorang akan identitaas nasional dan identitas spesifik di dalam masyarakat multi budaya.

Implikasi Multikulturalisme di Australia
Kebijakan Multikulturalisme yang diterapkan oleh pemerintah Australia dalam perkembangannya ternyata tidak berjalan mulus. Dalam analisisnya, Shamad (2009) menyatakan bahwa kebijakan ini memunculkan reaksi-reaksi dari kalangan Anglo-Australian yang ingin mempertahankan bentuk masyarakat homogen. Menurut mereka, dengan diterapkannya kebijakan multikulturalisme, berarti terancamnya hegemoni unsur-unsur kebudayaan Anglo di Australia. Keluhan-keluhan seperti ini secara tidak langsung telah mendorong munculnya perasaan dislokasi, bahkan menumbuhkan gejolak rasisme bagi orang-orang Anglo-Australia yang merasa kehilangan hegemoni identitas dan kebudayaannya.

Sebaliknya, di kalangan imigran juga muncul berbagai reaksi atas kebijakan multikulturalisme karena dalam prakteknya lebih menekankan pada aspek etnisitas. Banyak kalangan yang menganggap bahwa multikulturalisme sebagai semboyan kosong yang justru bersifat rasisme struktural, teritama bila dilihat dari perilaku ekonomi dan pasar tenaga kerja. Demikian juga dengan sikap pribumi (Aborigin) yang melihat bahwa dengan adanya kebijakan ini mereka kehilangan kepercayaan terhadap pemerintahan Australia sendiri. Mereka merasa bahwa berbagai kebijakan yang diterapkan tidak lain hanyalah upaya kontrol sosial terhadap kebudayaan mereka.

Simpulan
Kebijakan multikulturalisme yang diharapkan oleh pemerintah Australia mampu menghapuskan segala diskriminasi dan menumbuhkan sikap toleran serta membina kerukunan ternyata belum dapat diterapkan secara menyeluruh. Sisa-sisa kebijakan White Australia Policy yang menganggap ras kulit putih sebagai superior dan memandang remeh ras berwarna masih dijumpai. Hal ini menggambarkan bahwa walaupun telah banyak diberlakukan undang-undang tentang multikulturalisme, tetapi masyarakat kulit putih di Australia belum sepenuhnya dapat menghilangkan sentimen rasialisme terhadap ras berwana. Kebijakan Multikulturalisme berujung pada instabilitas politik dalam negeri Australia akibat konflik-konflik sosial yang menyangkut masalah etnisitas dalam setiap aspek kehidupan.

Daftar Pustaka
Abdulah, Irwan. 2006. "Tantangan Multikulturalisme dalam Pembangunan", dalam Jurnal Antropologi Sosial Budaya Etnovisi, Volume II No. 1, April 2006.

Aziz, Wildan Abdul. 2015. "Australia 'Place of Whitness': Kebijakan Australia Putih dan Multikulturalisme di Australia" (Makalah tugas mata kuliah Politik Pemerintahan Australia), Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Jember.

Dhoni, Prasetyo. S. 2012. "Sejarah Australia dan Oceania" (Makalah Tugas Mata Kuliah Sejarah Australia dan Oceania). Universitas Negeri Semarang.

"History", diakses dari http://www.australia.com/id-id/facts/history.html, tanggal 1 Mei 2016.

Iswalono, Sugi. 2013. "Impian Aborijin: Sebuah Kajian Etnik Minoritas yang Termarjinalkan", Makalah pada Proceedings of the International Seminar on Languages and Arts FBS Padang State University 2013.

Purbasari. 1999. "Proses Perjalanan Australia menuju Masyarakat Multikultural 1945-1975" (Skripsi). Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.

Poetri, Sandy Tieas Rahmana. 2013. "Diskriminasi Imigran Kulit Putih Berwarna dalam Masa Kebijakan Multikulturalisme Pasca Penghapusan White Australia Policy", dalam Lakon: Jurnal Kajian Sastra dan Budaya, Volume 1 No. 2, Juli 2013.

Siboro, J. 1989. Sejarah Australia. Bandung: Tarsito.

Shamad, A. Ishash. 2009. "Politik dan Kebudayaan Etnik", diakses dari http://www.irhash.com/2009/03/politik-dan-kebudayaan-etnik.html, tanggal 1 Mei 2016.

Shamad, Irhash A. 2009. "Politik dan Kebudayaan Etnik: Multikulturalisme Versi Australia" diakses dari http://www.irhash.com/2009/03/politik-dan-kebudayaan-etnik.html, tanggal 1 Mei 2016.

Saputra, Rifki Agung. 2009. "Kegagalan Victoria Chinese Immigration Act 1855 dan Pengaruhnya Terhadap Konflik di Buckland River 1857" (Skripsi). Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia.

Tanudirjo, Daud Aris. 2011. "Membangun Pemahaman Multikulturalisme: Perspektif Arkeologi". Makalah pada Kegiatan Workshop Multikulturalisme dan Integrasi Bangsa dalam Pembangunan Kebudayaan di Kusuma Sahid Prince Hotel, Solo 5 Mei 2011.

"Selamat Datang di Western Australia!", diakses dari www.omi.wa.gov.au, tanggal 10 Mei 2016.

"The Dreamtime", diakses dari http://aboriginalart.com.au/culture/dreamtime2.html, tanggal 5 Mei 2016.

"Orang Aborijin Australia", diakses dari http://www.dfat.gov.au/aii/publications/_lib/pdf/ Chapter04.pdf, tanggal 5 Mei 2016.

"Geografi Australia", diakses dari https://dfat.gov.au/about-us/publications/people-to-people/geografi-australia/bab02/index.html, tanggal 28 April 2016.

Hidahidaan. 2012. "Australia dan Rasisme Aborigin", diakses dari https://hidahidaan.wordpress.com/2012/02/21/australia-dan-rasisme-aborigin/, tanggal 8 Mei 2016.

"Aboriginal Culture", diakses dari http://www.aboriginalart.com.au, tanggal 29 April 2016.

“Australia yang multicultural”, diakses dari http://www.immi.gov.au/living-in-australia/help-with-english/learn-english/client/amep_citz_fs/indonesian/indonesian_fs2.pdf, 5 Mei 2016.

Tabah, Mpu, dkk. 2014. " Tahap-tahap Perkembangan Australia Menuju Negara Demokratis dan Dampaknya Sejak Adanya Yudikatur Act 1823 sampai Goverment Act 1850" (Makalah tugas mata kuliah Sejarah Australia dan Oceania), Program Studi Pendidikan Sejarah, Universitas Sebelas Maret.

Sap Dudung

$
0
0
Sap dudung adalah sebuah tempat menyimpan berbagai macam benda ringan. Oleh kaum perempuan sukubangsa Lampung, sap dudung umumnya digunakan sebagai tempat menyimpan bahan jahitan atau pakaian. Sap dudung dibuat dari anyaman rotan halus yang diperindah, memakai pegangan agar mudah diangkat dan dibawa. Pada tepi bagian tutupnya dipergunakan bilah rotan sebagai pengunci.

Gakik

$
0
0
Gakik adalah istilah orang Lampung untuk menyebut sebuah alat transportasi sungai yang dalam bahasa Indonesia disebut sebagai rakit. Gakik dibuat dari batang-batang bambu atau kayu-kayu bulat yang disusun dan dirangkaikan sedemikian rupa dengan tali rotan hingga dapat mengapung di sungai. Adapun cara menjalankannya biasanya dilakukan oleh beberapa orang menggunakan cawang, yaitu kayu atau bambu yang ditekankan pada dasar sungai.

Gasrok

$
0
0
Gasrok adalah sebutan orang Sunda pada sebuah alat yang digunakan untuk ngarambet atau membersihkan rerumputan yang mengganggu pertumbuhan tanaman padi. Gasrok terdiri atas dua macam bentuk. Bentuk pertama berupa bantalan kayu yang bagian bawahnya dipasangi paku-paku bengkok berderet hingga memenuhi permukaannya. Sebagai pegangannya, bantalan kayu ini diberi tangkai mencuat ke atas dengan sudut kemiringan sekitar 45 derajat. Rerumputan yang tergasrok akan terkait oleh paku-paku yang ada di bawah bantalan. Sedangkan bentuk gasrok lainnya berupa kotak kayu persegi enam yang diberi as (sumbu roda) sehingga dapat berputar. Setiap segi dari kotak kayu tersebut diberi cucuk besi yang akan berdiri bila sedang dipergunakan (seperti bulu binatang landak), sehingga rumput-rumput liar akan terkait olehnya. Adapun cara menggunakan kedua jenis gasrok itu adalah dengan mendorongnya mengikuti gang atau celah-celah antartanaman. (gufron)

Ngarambet

$
0
0
Ngarambet adalah istilah orang Sunda untuk kegiatan pembersihan rerumputan yang mengganggu pertumbuhan tanaman padi dengan cara menenggelamkannya ke dalam tanah agar busuk dan menjadi pupuk. Tahap ngarambet (menyiangi) dilakukan dua kali, yaitu pada saat umur padi 15-20 hari ke arah panjang lahan dan 35-40 hari ke arah lebar lahan. Sedangkan Pelaksanaan pekerjaannya dapat dilakukan juga dengan dua cara. Cara pertama, cukup dengan tangan tanpa bantuan alat, segala tanaman yang mengganggu dicabut kemudian ditenggelamkan ke dalam tanah. Cara kedua, menggunakan alat yang disebut gasrok.

Pemeliharaan tanaman padi dengan cara membersihan tanaman pengganggu tidak hanya dilakukan di sela-sela tanaman padi, tetapi juga pada tepian galengan atau pematang. Pembersihan rerumputan di tepian galengan ini bukan dinamakan ngarambet tetapi namping atau nyacar galeng atau ngabutik. Alat yang dipergunakan pun bukan gasrok melainkan parang atau arit dan dilakukan oleh petani laki-laki. (gufron)

K.H. Muhammad Arief Mahya

$
0
0
K.H. M. Arief Mahya adalah seorang tokoh pejuang, penulis, mubalig sekaligus ulama asal, Liwa, Lampung Barat. Laki-laki yang akrab disapa Buya ini lahir pada tanggal 6 Juni 1926 di Gedung Asin, Liwa, dari pasangan Mahya dan Fatimah. Buya adalah putera ketiga dari lima bersaudara H. Mursyid Mahya, Zainab, Drs. H. Muslim Mahya, Hj. Rotinam, dan Rofi'ah (paratokohlampung.blogspot.co.id).

Walau lahir di Gedung Asin, masa kecil Buya di tempat ini hanya dilalui selama sekitar tiga tahun. Pada akhir tahun 1929 keluarganya pindah ke Kampung Talangparis, Kecamatan Abung Tinggi, sekitar enam kilometer dari Bukit Kemuning. Di tempat inilah Buya menempuh pendidikan formalnya pada usia sekitar 7 tahun di volkschool Ulakrengas. Sepulang dari sekolah dia kemudian belajar mengaji dan ilmu agama pada saudara sepupunya, Sulaiman bin H.M. Saleh bin H.M. Nuh yang pernah nyantri di Kedah, Malaysia.

Lulus dari volkschool, Buya melanjutkan ke Madrasah Diniyah Al-Islamiyah di Tanjungmenang guna mempelajari ilmu-ilmu Islam seperti tauhid, fikih, tasawuf, akhlak, hadis, tajwid, tarikh Islam, dan bahasa Arab. Setamat Madrasah, Buya kemudian ke Standardschool Wustho Zu'ama (sekolah pemimpin menengah) dan Wustho Mu'allimin (sekolah guru menengah atau Onderbouw Kweekschool) (nu-lampung.or.id). Namun karena terjadi Perang Dunia II, setamat Wustho Mu'allimin dia tidak melanjutkan sekolah tetapi memilih terjun ke medan perang merebut kemerdekaan Indonesia.

Di sela-sela perjuangannya itu, menurut Wardoyo, dkk (2008), sekitar tahun 1942 Buya sempat ikut rombongan Darwys Manan yang terdiri dari A. Halim dan Idris Mu'in berdakwah ke beberapa kampung di Way Tenong, Belalau, dan Liwa. Untuk menjalankan misi dakwahnya itu mereka harus berjalan kaki selama tiga hari tiga malam sejauh sekitar 100 kilometer. Selain berdakwah, dari tahun 1942-1943 Buya sempat mengajar di Madrasah Ibtidaiyah Talangparis, Bukit Kemuning Lampung Utara dan Madrasah Muhammadiyah di Pekon Karangagung, Way Tenong, Lampung Barat.

Namun, ketika penjajahan beralih dari bangsa Belanda ke bangsa Jepang keluarga besar Buya terpaksa hidup berpindah-pindah. Adapun tujuannya adalah agar terhindar dari sistem kerja paksa BPP (Badan Pembantu Perang) yang diterapkan oleh pemerintah pendudukan Jepang guna membantu mereka berperang melawan sekutu. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari mereka berdagang dengan sistem cingkau atau menjual dan membeli berbagai macam barang dari satu daerah ke daerah lainnya hingga akhirnya menetap di Hadimulyo, Metro pada tahun 1943.

Pada awal kepidahan keluarga besarnya ke Metro, Buya masih memilih tinggal di Liwa. Dia baru menyusul ke Metro pada akhir tahun 1944. Waktu itu Buya langsung disambut oleh tokoh setempat karena di sana masih jarang ada orang yang berpendidikan tinggi. Oleh karena itu, sejak Februari 1945 hingga Desember 1948 Buya pun didaulat menjadi Kepala Perguruan Islam menggantikan Ustaz M. Jailani yang mengundurkan diri.

Beberapa tahun menjabat sebagai Kepala Perguruan Islam, pada tanggal 1 September 1945 Buya mengabdikan diri kepada negara menjadi Pegawai Negeri Sipil dengan menjadi guru agama di Sekolah Rakyat Negeri (SRN) 1 dan 2 Metro. Satu tahun kemudian, dia diangkat oleh Partai Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) menjadi pemeriksa pelajaran agama pada sekolah-sekolah pemerintah di Metro, lalu juga menjadi sekretaris Masyumi, dan Ketua Lasykar Huzbullah/Sabilillah cabang Metro. Selanjutnya, tahun 1946 menjadi Ketua Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) Metro. Sederet aktivitas inilah yang akhirnya membuat Buya aktif pada jalur pendidikan, politik, dan bahkan militer di daerah Lampung.

Saat Belanda mendarat di Pelabuhan Panjang pada tanggal 1 Januari 1949 misalnya, Buya dan para pemuda turun ke desa-desa memberi penjelasan ihwal perjuangan mempertahankan kemerdekaan dana mengobarkan semangat anti-penjajahan kepada masyarakat Lampung. Pengobaran semangat anti-penjajahan pada masyarakat Lampung ini merupakan hasil dari rapat kilat yang diadakan di kantor PU Metro dengan tujuan untuk mengantisipasi kedatangan kembali bangsa Belanda.

Sebelas bulan kemudian, tepatnya Desember 1949 Buya bersama Makmun Nawawi diutus menghadiri Kongres Masyumi dan Badan Kongres Muslim Indonesia (BKMI) di Yogyakarta. Oleh karena waktu itu Belanda masih menduduki beberapa wilayah penting di Indonesia, maka mereka harus membawa machteging atau surat kuasa jalan selaku delegasi RI untuk perdamaian dengan Belanda dari Residen Lampung Mr. Gele Harun. Sesampai di Yogyakarta mereka tidak hanya dapat menghadiri Kongres Masyumi, tetapi juga sempat menyaksikan pelantikan Ir. Soekarno menjadi Presiden Republik Indonesia Serikat di Sitihinggil Keraton Yogyakarta, pidato kedua negara (RIS dan Belanda), serta penurunan bendera Belanda dan penaikan Sang Saka Merah Putih (Wardoyo, dkk: 2008).

Sepulang dari Yogyakarta, sekitar bulan Januari 1950 Buya diangkat menjadi Kepala Sekretariat KUA Lampung Tengah di Metro. Selain itu dia juga mendapat tugas dari Kepala Djawatan Agama Lampung, K.H. A.Razak Arsyad untuk membantu menyusun dan mengisi formasi pegawai Kantor Urusan Agama (KUA) mulai tingkat kabupaten hingga kecamatan di seluruh Lampung Tengah. Dan, pada tahun ini pula Buya terpikat oleh seorang gadis bernama Mas Amah yang merupakan sesama aktivis di GPII. Mereka pun akhirnya menikah pada 26 Agustus 1950 dan dikaruniai delapan orang anak, yaitu: Hilyati, Istamar Arief, Erna Pilih, Prisrita Rita, Edy Irawan Arief, Neli Aida, Septi Aprilia, dan Andi Arief.

Pada pertengahan tahun 1952 hingga 1956 Buya sempat nonaktif menjadi Pegawai Negeri Sipil karena terpilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sementara (DPRDS) wilayah Lampung Tengah. Setelah tidak menjabat sebagai anggota Dewan, Buya kembali lagi menjadi Pegawai Negeri dan menjabat sebagai Kepala Staf Penerangan Agama pada KUA Ogan Komering Ulu. Setelah Lampung menjadi sebuah provinsi tahun 1964, Buya dimutasikan menjadi Kepala Kantor Penerangan Agama Provinsi Lampung di Telukbetung. Satu tahun kemudian masuk dalam Tim Screening PNS dengan tugas menyelidiki seluruh PNS yang ada di Provinsi Lampung yang diduga terlibat dalam Gerakan 30 September atau Partai Komunis Indonesia.

Selesai menjalankan tugas sebagai Tim Screening PNS, tahun 1966 Buya beralih menjadi Sekretaris Yayasan Perguruan Tinggi Islam (Yaperti) Lampung yang kini menjadi Institut Agama Islam Negeri Raden Intan Lampung. Tiga tahun sesudahnya dia diangkat menjadi Kepala Jawatan Penerangan Agama Provinsi Lampung hingga tahun 1973 dan tahun 1975 Buya menjadi pengurus sekaligus penasihat Majelis Ulama Indonesia (MUI) Lampung.

Satu tahun menjelang pensiun sebagai PNS, Buya menunaikan ibadah Haji. Setelah pensiun, Buya tetap aktif dalam dunia pendidikan, dakwah, dan politik. Hari-harinya selalu diisi dengan memberi pelajaran mengaji pada anak-anak di sekitar rumahnya. Dedikasinya terhadap dunia dahwah pun semakin meningkat dengan rutin mengisi ceramah agama untuk menyebarluaskan syiar Islam, meningkatkan kualitas keimanan masyarakat Lampung, dan memperkokoh nilai-nilai sosial-budaya masyarakat dengan rumusan amar makruf nahi mungkar; mengadakan aksi sosial bersama PWNU Lampung; mengisi kuliah subuh di RRI Tanjungkarang; menjadi wakil ketua Pengurus Masjid Al Furqon; pengurus Forum Komunikasi Umat Beragama bentukan Gubernur Lampung; dan menulis berbagai artikel keislaman di media massa lokal.

Sumber:
"M. Arief Mahya: Warga NU Selalu Enggan Mengawal Hasil Konferensi", diaksesd dari http://nu-lampung.or.id/blog/m-arief-mahya-warga-nu-selalu-enggan-mengawal-hasil-konferensi.html, tanggal 2 Agustus 2016. (Foto)

"K.H.M. Arief Mahya (1926-...): Jejak Langkah Kiai Pejuang", diakses dari http:// paratokohlampung.blogspot.co.id/2008/11/kh-m-arief-mahya-1926-jejak-langkah.html, tanggal 24 Juli 2016.

Heri Wardoyo, dkk. 2008. 100 Tokoh Terkemuka Lampung, 100 Tahun Kebangkitan Nasional. Bandar Lampung: Lampung Post. Hlm. 63-67.

Farid Anfasa Moeloek

$
0
0
Farid Anfasa Moeloek atau lebih lengkapnya Prof. Dr. H. Farid Anfasa Moeloek, Sp.O.G. bukanlah nama asing dalam dunia kesehatan di Indonesia. Pria kelahiran Liwa ini pernah menduduki posisi penting dalam pemerintahan Republik Indonesia sebagai Menteri Kesehatan pada era Presiden Soeharto (Kabinet Pembangunan VII) dan dalam Kabinet Reformasi masa pemerintahan Presiden B.J. Habibie (23 Mei 1998-23 Oktober 1999)1.

Farid adalah anak dari Abdoel Moeloek, seorang dokter asal Padang Panjang, Sumatera Barat, yang namanya begitu lekat dengan masyarakat Lampung sehingga diabadikan sebagai Rumah Sakit Umum Daerah Bandarlampung. Kiprah Abdoel Moeloek di dunia kedokteran sendiri dimulai ketika dia merantau ke Batavia untuk melanjutkan pendidikan di Stovia, sekolah kedokteran yang didirikan Belanda2. Lulus dari Stovia Abdoel Muluk memutuskan hijrah ke Semarang dan bekerja sebagai tenaga medis di Rumah Sakit Dokter Karyadi. Namun, karena situasi politik dan keamanan waktu itu tidak mendukung, Abdul Moelok mengasingkan diri ke Desa Winong, Liwa, Lampung Barat2.

Di Liwa Abdoel Moelok Mengabdikan diri menjadi dokter bagi rakyat kecil yang berada di sekitar tempat tinggalnya, sementara isterinya Poeti Alam Naisjah bekerja sebagai guru. Saat menetap di Liwa inilah Farid lahir pada tanggal 28 Juni 1944. Tidak lama setelahnya (ketika bangsa Indonesia merdeka) Abdoel Moeloek beserta keluarga pindah ke Tanjung Karang untuk menjabat sebagai Kepala Rumah Sakit Tanjung Karang yang sebelumnya dikelola oleh Jepang.

Semasa kecil, Farid mengenyam pendidikan dasar hingga menengahnya di Tanjung Karang. Oleh karena ingin menjadi tukang insinyur, selepas SMA dia hijrah ke Bandung dan masuk ke Fakultas Teknis Sipil Institut Teknologi Bandung. Namun baru berjalan beberapa bulan (sekitar tiga bulan), menurut Pramudiarja (2012) Farid memutuskan pindah ke Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) karena ada sedikit "intervensi" dari keluarga yang kebanyakan berprofesi sebagai dokter. Sementara menurut Farid sendiri yang dilansir oleh pdpersi.co.id, ada dua alasan kepindahannya ke FKUI, yaitu: ingin tampil beda dari abangnya yang sudah lebih dahulu menjadi engineer dan terpengaruh oleh figur ayahnya terutama saat menghadapi Belanda. Waktu itu, sebagai Kepala Rumah Sakit Tanjung Karang Abdoel Moeloek bekerja siang malam menangani para korban perang. Dengan mengutamakan rasa kemanusiaannya, dia merawat seluruh korban yang datang ke rumah sakit tanpa membedakan apakah itu pejuang republik atau serdadu Belanda.

Lepas dari keterpaksaan atau tidaknya masuk FKUI yang jelas pada tahun 1970 Farid berhasil menamatkan pendidikannya dan memperoleh gelar dokter. Bahkan tidak hanya gelar yang diperoleh dari FKUI, melainkan juga pasangan hidup bernama Nila Juwita. Mereka menikah pada tahun 1972. Dari pernikahan itu mereka dikaruniai tiga orang anak, yaitu: Muhamad Reiza Moeloek, Puti Alifa Moeloek, dan Puti Annisa Moeloek. Ketiganya dididik secara demokratis, termasuk dalam menentukan jenis pendidikan yang akan ditempuh setelah tamat SMA. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila setelah dewasa tidak ada yang mengikuti jejak Farid menjadi dokter. Alasannya cukup sederhana, yaitu profesi dokter relatif sibuk dan tidak mengenal waktu5.

Empat tahun setelah menikah (1976) Farid yang tetap melanjutkan pendidikannya berhasil meraih gelar Sp.O.G (spesialis obgyn dan gynecologi atau kandungan dan kebidanan) di fakultas yang sama. Dan, tidak puas dengan gelar tersebut, Farid sekolah lagi hingga menyandang gelar Doktor Ilmu Kedokteran dengan predikat Cum Laude, juga dari fakultas yang sama.

Selain mendapat ijazah dari FKUI Farid juga sempat mengecap pendidikan di luar negeri, di antaranya: (a) The Course in Fertility Management and MCH Care (Perawatan Kesehatan Ibu dan Anak) yang diselenggarakan tahun 1977 oleh WHO di Singapura; (b) The Course in Infertility Management and Gynbaecologic Microsurgery di Universitas John Hopkins, Baltimore, USA (1979); dan (c) Advance Course in Operative Endoscopy in Fertility and Infertility di Elizabet Krankenhouse, Hamburg, Jerman (1980)5.

Sebelum mendapat gelar strata duanya Farid telah memulai karir di bidang kedokteran dengan menjadi staf pengajar di FK UI. Dia mengajar ilmu kebidanan dan ilmu lingkungan untuk mahasiswa strata satu dan Obstetri serta Ginekologi untuk Pascasarjana. Selanjutnya, dia sempat menjadi Direktur Pascasarjana UI dari tahun 1996-1998; Kepala Subbagian Kesehatan Reproduksi Klinik Raden Saleh; Deputi Direktur Bidang Akademik Program Pascasarjana Universitas Indonesia (1990-1996); menjadi anggota MPR RI (1999); Ketua Pengarah Tim Pemeriksaan Calon Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia (2004)6; dan Penasihat bidang Penanganan Masalah Musibah, Pelembagaan Pola Hidup Sehar, serta Pengembangan Generasi Muda HIPPRADA (Himpunan Pandu Pramuka Wreda)7.

Sementara dalam bidang keorganisasian Farid juga mengikuti sejumlah perkumpulan, diantaranya: Yayasan Koalisi Indonesia Sehat; Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI); Perkumpulan Kontrasepsi Mantap Indonesia (PKMI); Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI); Ikatan Dokter Indonesia (IDI); Medical Association of South East Asia Nation; Honorary Member of International Society on Human Reproduction; Honorary Member of Society on Fallopian Tube in Health and Disease5; dan General Chairman of the VIII World Congress on Human Reproduction and IV World Conference on Fallopian Tube in Health and Disease6.

Dari sekian banyak jabatan yang telah diemban oleh Farid tersebut, ada satu jabatan yang sangat prestisius yaitu sebagai Menteri Kesehatan. Pada saat Soeharto terpilih kembali sebagai presiden RI dan membentuk Kabinet Pembangunan VII, Farid dipercaya menduduki jabatan Menkes pada tanggal 16 Maret 1998. Jabatan ini juga tetap dia emban walau Soeharto dilengserkan dan diganti oleh BJ Habibie melalui Kabinet Reformasi Pembangunannya periode 1998-1999.

Setelah tidak menjabat sebagai menteri, pria yang dikukuhkan sebagai Guru Besar FKUI tahun 1994 ini tetap mengabdikan dirinya pada dunia kedokteran. Baginya, kesehatan merupakan hal fundamental yang dapat memutuskan rantai kemiskinan dan kebodohan di Indonesia2. Oleh karena itu, bersama para pakar dari berbagai disiplin ilmu (Prof Emil Salim, Sri Mulyani, Malik Fajar, Muladi) dia berusaha menanamkan paradigma sehat pada seluruh masyarakat Indonesia. Adapun wadahnya berupa yayasan yang diberi nama Koalisi Indonesia Sehat 2010.

Paradigma sehat yang digagas oleh Prof. Moeloek bermula dari konsepsi yang salah tentang kedokteran dan kesehatan di Indonesia. Menurutnya, saat ini konotasi kesehatan seolah-olah hanya terfokus pada pelayanan dasar, seperti puskesmas dan rumah sakit. Padahal, di dalam konsep kesehatan sejatinya ada problem kesehatan keluarga, air bersih, rumah sehat, lingkungan sehat, gizi, maupun olahraga. Jadi, harus ada korelasi yang erat antara kesehatan individu, keluarga, masyarakat, dan perilaku bangsa2.

Agar tercapai kondisi kesehatan yang menyeluruh bagi seluruh lapisan masyarakat Indonesia, maka para dokterlah yang sejatinya bisa menjadi agent of changenya. Oleh karena itu paradigma sehat perlu digalakkan bagi para dokter dan masyarakat agar terjadi perubahan cara berfikir dari yang semula diartikan sebagai "bagaimana menyembuhkan orang sakit" menjadi "bagaimana warga negara Indonesia sehat mental, fisik, spiritual, lingkungan, dan sebagainya"4.

Paradigma sehat harus didukung oleh beberapa faktor penting agar cepat terlaksana, yaitu: (a) konsep atau pemikiran yang harus dijalankan; (b) competense atau kemampuan melaksanakan konsep tersebut. Competence terdiri atas rencana strategi, kendala-kendala yang dihadapi, kelemahan, kekuatan, ancaman, dan lain sebagainya; dan (c) koneksi yang saling bekerja sama dan saling mendukung4.

Adapun contoh pengejawantahan dari paradigma sehat dapat berupa pemberian dana bagi Pertamina agar dapat menarik timbal dan plumbam yang ada dalam bahan bakar minyak yang mereka produksi. Tujuannya adalah untuk mengurangi polusi udara yang dapat menyebabkan otak kanak-kanak menjadi mengkerut dan kehilangan IQ point bila menghirupnya. Contoh pengejawantahan lainnya adalah dikembangkannya konsep dokter keluarga yang sewaktu-waktu dapat berkeliling ke rumah-rumah untuk memberikan penyuluhan, memeriksa kesehatan dan lain sebaginya4.

Foto: http://www.kalbe.co.id/AboutKalbe/KalbeinBrief/BoardofCommissioners.aspx
Sumber:
1. Heri Wardoyo, dkk. 2008. 100 Tokoh Terkemuka Lampung, 100 Tahun Kebangkitan Nasional. Bandar Lampung: Lampung Post. Hlm. 186-189.

2. Andriyani, Titik. 2009. "Keluarga Moeloek, Salah Satu Dinasti Dokter Sukses di Indonesia", diakses dari https://suprizaltanjung.wordpress.com/2013/03/18/keluarga-moeloek-salah-satu-dinasti-dokter-sukses-di-indonesia/, tanggal 22 Juli 2016.

3. Pramudiarja, AN Uyung. 2012. "Prof Dr Farid A Moeloek, SpOG Jadi Dokter karena Terpaksa", diakses dari http://health.detik.com/read/2012/01/09/112831/1810124/1201/prof-dr-farid-a-moeloek-spog-jadi-dokter-karena-terpaksa, tanggal 4 Agustus 2016.

4. "Prof DR dr H Farid Anfasa Moeloek SpOG: Indonesia Sehat, Bila Menerapkan Paradigma Sehat, diakses dari http://www.pdpersi.co.id/?show=detailnews&kode=189&tbl= figur, tanggal 6 Agustus 2016.

5. Santoso, Teguh Budi. 2009. "Prof.Dr.dr.H. Farid Anfasa Moeloek, SpOG", diakses dari http:// health.detik.com/read/2009/07/06/123618/1159700/774/prof-dr-dr-h-farid-anfasa-moeloek-spog, tanggal 20 Juli 2016.

6. "Faried Anfasa Moeloek" diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Faried_Anfasa_ Moeloek, tanggal 22 Juli 2016.

7. "Demi Kesehatan Masyarakat Bentuk Yayasan Koalisi Indonesia Sehat 2010", diakses dari http://www. gemari.or.id/cetakartikel.php?id=933, tanggal 3 Agustus 2016.

Tursandi Alwi

$
0
0
Tursandi Alwi merupakan satu-satunya satu putra Lampung Barat yang berhasil menduduki posisi di lingkar dalam orang nomor dua di Republik Indonesia sebagai sekretaris wakil presiden. Posisi ini diembannya karena dinilai sangat matang pengalaman dalam urusan birokrasi pemerintahan. Tursandi telah menempuh hampir semua jenjang birokrasi, mulai dari wakil camat hingga tiga kali menjadi pejabat pelaksana gubernur (Wardoyo, dkk: 2008).

Pria yang lahir di Sukau tanggal 14 Oktober 1950 ini mulai mengenal dunia birokrasi ketika mengenyam pendidikan di Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN) di Palembang pada tahun 1973. Kemudian, dia melanjutkan pendidikannya ke Institut Ilmu Pemerintahan Jakarta hingga lulus tahun 1977. Tidak puas hanya mendapat satu gelar, Tursandi sekolah lagi di Universitas Tarumanegara hingga meraih gelar Sarjana Hukum Tata Negara tahun 1991. Dan terakhir, dilanjutkan dengan Magister Management di IPWI Jakarta tahun 1997 (www.bijaks.net).

Sedangkan karirnya dalam birokrasi pemerintahan diawali dengan menjadi Wakil Camat Jakarta Barat lalu naik menjadi Camat Jakarta Barat, dan Wakil Walikota Jakarta Barat. Kemudian oleh Departemen Dalam Negeri dia diangkat sebagai Kepala Bidang Penelitian dan Pengembangan, Dirjen Pembangunan Daerah, dan Dirjen Sosial Politik Depdagri. Selesai menjabat sebagai Dirjen Sosial Politik, dia dilantik menjadi Pejabat Gubernur Gorontalo pada 16 Februari 2001 ketika wilayah itu baru saja dimekarkan dari Provinsi Sulawesi Utara.

Dari Gorontalo Tursandi dialihkan ke kampung halamannya untuk menjadi Pejabat Gubernur Lampung pada 5 Februari 2003 ketika suasana politik tengah memanas akibat tidak dilantiknya gubernur terpilih Alzier Dianis Thabrani. Walau sulit, Tursandi melewati masa-masa itu dengan bijak sehingga dapat meredam suhu politik sampai gubernur baru Sjachroedin Z.P dan pasangannya Syamsurya Ryaccudu dilantik pada 2 Juni 2004 (id.wikipedia.org).

Lepas dari Lampung, Tursandi dilantik lagi sebagai Pejabat Gubernur Kalimantan Selatan (2005-2006). Selanjutnya ditarik ke Jakarta untuk menjadi Staf Ahli Menteri Dalam Negeri Bidang Pemerintahan tahun 2006-2007. Dari staf ahli menteri, pria yang enggan disebut tokoh ini akhirnya diangkat menjadi Sekretaris Wakil Presiden pada tanggal 26 April 2007. Tiga tahun berikutnya (2010) dia menjabat sebagai Komisaris PT Angkasa Pura II.

Foto: https://www.scribd.com/doc/211466374/Profil-Tursandi-Alwy
Sumber:
"Tursandi Alwi", diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Tursandi_Alwi, tanggal 7 Juni 2016.

"Tursandi Alwi", diakses dari http://www.bijaks.net/aktor/profile/htursandialwi5153b7a5 bc15c, tanggal 7 Juni 2016.

Heri Wardoyo, dkk. 2008. 100 Tokoh Terkemuka Lampung, 100 Tahun Kebangkitan Nasional. Bandar Lampung: Lampung Post. Hlm. 244-246.

Lomba Makan Kerupuk

$
0
0
Kerupuk adalah makanan bertekstur garing yang paling populer di kalangan masyarakat Indonesia sebagai pelengkap makanan utama (nasi). Kerupuk terbuat dari adonan tepung dicampur dengan lumatan udang atau ikan atau perasa lainnya yang dikukus kemudian disayat-sayat tipis atau dibentuk dengan alat cetak lalu dijemur agar mudah digoreng dengan minyak atau pasir (kbbi.web.id).

Oleh karena proses pembuatan dan pemasakannya berbeda-beda, maka kerupuk memiliki cukup banyak varian, yaitu: kerupuk udang, kerupuk ikan, kerupuk ikan palembang, kerupuk mie kuning, kerupuk kedelai, kerupuk Bangka, kerupuk aci, kemplang, kerupuk bawang putih, kerupuk bawang, kerupuk kulit, kerupuk melarat, kerupuk gendar, kerupuk sanjai, rengginang, rempeyek, rambak, kerupuk ceker ayam, dan lain sebagainya (id.wikipedia.org, jendelakamu.blogspot.co.id).

Sebagai penganan yang populer dan merakyat, makan kerupuk dijadikan sebagai salah satu dari sekian banyak perlombaan yang selalu rutin diadakan pada saat memperingati hari kemerdekaan Indonesia. Sesuai dengan namanya, dalam permainan ini para pesertanya diharuskan untuk menggigit dan memakan habis sebuah kerupuk yang digantungkan menggunakan seutas tali. Mengenai kapan dan dimana pertama kali muncul permainan ini sudah tidak diketahui lagi, namun sejak adanya pelbagai macam permainan untuk memperingati dan memeriahkan hari kemerdekaan, permainan makan kerupuk selalu diikutsertakan.

Pemain
Perlombaan makan kerupuk dapat dikategorikan sebagai permainan anak-anak, remaja, dan dewasa yang dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan berusia 5-45 tahun. Selain pemain, lomba ini juga menggunakan wasit untuk mengawasi jalannya perlombaan dan menetapkan pemenang.

Tempat dan Peralatan Permainan
Permainan makan kerupuk tidak membutuhkan empat atau arena yang luas. Ia dapat dimainkan di mana saja, seperti: halaman/pekarangan rumah atau tanah lapang. Sedangkan, peralatan yang digunakan adalah: (1) kerupuk ikan atau udang berwarna putih dan berbentuk bulat; (2) tali rafia untuk menggantungkan kerupuk secara berjejer; dan (3) batang bambu atau kayu yang nantinya akan dijadikan sebagai mistar tempat untuk menggantungkan kerupuk.

Aturan Permainan
Aturan dalam perlombaan makan kerupuk tergolong mudah. Peserta diharuskan menggigit dan memakan hingga habis kerupuk yang telah digantungkan oleh panitia lomba. Bagi peserta yang dapat menghabiskan kerupuk dalam waktu paling cepat, dinyatakan sebagai pemenangnya.

Jalannya Permainan
Apabila panitia perlombaan telah mempersiapkan peralatan dan perlengkapan permainan, maka mereka akan memanggil para peserta untuk berdiri tepat di depan kerupuk yang digantungkan. Tinggi kerupuk dari kepala peserta kadang disamakan (rata) dan kadang pula dibedakan (bergantung dari tinggi badan tiap peserta). Setelah peserta siap dengan posisi tangan dibelakang (dilarang memegang kerupuk), panitia akan memberikan aba-aba sebagai tanda perlombaan dimulai.

Saat aba-aba diberikan para peserta segera mulai menggigit dan memakan kerupuk yang digantungkan dengan tali rafia setinggi kira-kira beberapa sentimeter di atas mulut. Keadaan ini membuat peserta harus ber"jinjit" agar dapat menggigit kerupuk yang posisinya tidak tetap karena selalu berputar mengikuti hentakan mulut peserta yang mencoba menggigitnya. Dan, apabila ada peserta yang berhasil menghabiskan kerupuknya, maka dia dinyatakan sebagai pemenangnya.

Nilai Budaya
Nilai budaya yang terkandung dalam permainan yang disebut sebagai makan kerupuk ini adalah: kerja keras dan sportivitas. Nilai kerja keras tercermin dari semangat para pemain untuk dapat mengigit dan memakan kerupuk hingga habis agar menjadi pemenang. Dan, nilai sportivitas tercermin tidak hanya dari sikap para pemain yang tidak berbuat curang dengan memegangi kerupuk saat berlangsungnya permainan, tetapi juga mau menerima kekalahan dengan lapang dada. (ali gufron)

Foto: http://lampung.tribunnews.com/2016/05/14/balita-susah-makan-jangan-dibiarkan-makan-kerupuk
Sumber:
"Kerupuk", diakses dari http://kbbi.web.id/kerupuk, tanggal 25 Agustus 2016.

"Sejarah Kerupuk", diakses dari http://jendelakamu.blogspot.co.id/2011/11/sejarah-kerupuk.html, tanggal 25 Agustus 2016.

"Kerupuk", diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Kerupuk, tanggal 26 Agustus 2016.

Kerupuk

$
0
0
Berbicara tentang kuliner khas Indonesia yang dianggap paling merakyat tentu tidak akan terlewatkan dengan sebuah makanan yang diberi nama kerupuk. Makanan yang mungkin namanya diambil dari teksturnya yang garing serta bunyinya yang kriuk-kriuk ketika dimakan ini konon diciptakan oleh sebuah keluarga dengan banyak anak. Oleh karena sangat miskin, maka untuk bertahan hidup mereka harus memutar otak agar tidak kelaparan. Walhasil, ketela pohon pun diolah menjadi makanan. Adapun caranya adalah dengan memarutnya, lalu diberi air, diperas, diendapkan, dan dijemur. Tepung hasil endapan ketela pohon tadi kemudian diolah sedemikian rupa menjadi makanan yang akhirnya disebut sebagai kerupuk samiler (jendelakamu.blogspot.co.id; www.kaskus.co.id).

Lepas dari asal usul yang masih "konon" tersebut, yang jelas saat ini kerupuk terbuat dari adonan tepung dicampur dengan lumatan udang atau ikan atau perasa lainnya yang dikukus kemudian disayat-sayat tipis atau dibentuk dengan alat cetak lalu dijemur agar mudah digoreng dengan minyak atau pasir (kbbi.web.id).

Oleh karena proses pembuatan dan pemasakannya berbeda-beda, maka kerupuk memiliki cukup banyak varian, yaitu: (1) kerupuk ikan; (2) kerupuk ikan palembang; (3) kerupuk mie kuning; (4) kerupuk kedelai; (5) kerupuk Bangka; (6) kerupuk aci; (7) kemplang; (8) kerupuk bawang putih; (9) kerupuk bawang (id.wikipedia.org); (10) kerupuk tahu; (11) seblak; (12) kerupuk tulang; (13) kerupuk gapit, kerupuk blek; (14) kerupuk kulit; (15) kerupuk gendar. Kerupuk gendar dibuat dari adonan nasi yang dicampur dengan bumbu rempah dan penambah rasa. Agar lebih kenyal, dalam adonan dapat bula ditambahkan bleng atau tepung tapioka sebelum diiris tipis dan dijemur selama 2-3 hari hingga kering; (16) kerupuk sanjai; (17) kerupuk ceker ayam; (18) rengginang. Rengginang terbuat dari nasi atau beras ketan yang dikeringkan di bawah panas matahari. Bentuk rengginang agak berbeda dari jenis kerupuk pada umumnya karena bahan yang digunakan tidak dihaluskan terlebih dahulu. Jadi, ketika telah dibentuk bulat atau bundar lalu digoreng, biji-biji beras atau beras ketan sebagai bahan pembentuknya akan tetap terlihat; (19) kerupuk melarat. Kerupuk melarat dibuat dari tepung tapioka yang dibentuk menyerupai tali kusut diberi pewarna menyala (merah, kuning, hijau). Sesuai dengan namanya yang berarti "miskin", kerupuk ini tidak digoreng menggunakan minyak melainkan pasir yang sudah dibersihkan sehingga proses penyaringannya harus dilakukan dengan cara diayak; (20) kerupuk kulit. Kerupuk kulit (rambak/jangek) tidak dibuat dari tapioka melainkan kulit sapi atau kulit kerbau yang diiris tipis-tipis kemudian diberi bumbu sebagai penambah rasa lalu dijemur hingga kering selama 2-3 hari. Dalam proses penyajiannya kerupuk kulit perlu digoreng sejumlah dua kali karena sulit mengembang. Proses penggorengan pertama dilakukan dengan minyak bersuhu rendah sebelum dipindahkan dalam penggorengan berisi minyak goreng panas; (21) kerupuk jengkol. Kerupuk jengkol berbahan dasar jengkol yang dilumatkan lalu dicampur dengan tepung kanji dan dibentuk bulat. Sesuai dengan namanya, ketika telah digoreng kerupuk ini berwarna cokelat serta berbau dan berasa seperti jengkol; dan (22) kerupuk udang. Kerupuk udang terbuat dari adonan halus tepung tapioka dan udang rebon serta bumbu rempah sebagai penambah rasa. Bila telah merata, adonan dikukus hingga matang dan kenyal ^_^ lalu diiris tipis-tipis dan dijemur selama 2-3 hari sampai kering. (ali gufron)

Foto: https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Kerupuk_mi_kuning.JPG
Sumber:
"Kerupuk", diakses dari http://kbbi.web.id/kerupuk, tanggal 25 Agustus 2016.

"Sejarah Kerupuk", diakses dari http://jendelakamu.blogspot.co.id/2011/11/sejarah-kerupuk.html, tanggal 25 Agustus 2016.

"Kerupuk", diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Kerupuk, tanggal 26 Agustus 2016.

"Sejarah Kerupuk dan Macam-macam Kerupuk", diakses dari http://www.kaskus.co.id/ thread/51b588a08227cfb03b000005/sejarah-kerupuk-dan-macam-macam-kerupuk/, tanggal 29 Agustus 2016.

Unem

$
0
0
Unem adalah peralatan tradisional yang digunakan oleh orang Sunda untuk membawa atau memindahkan beras dari satu tempat ke tempat lainnya. Unem dibuat dari tempurung kelapa yang dibentuk menyerupai cawan dengan kapasitas bergantung dari besarnya tempurung yang didapat. Cara menggunakannya dengan disipat, yaitu meratakan beras pada permukaaan unem dengan alat yang disebut gegeloh (sejengkal bambu atau kayu yang dibentuk menyerupai silinder).

Lesung

$
0
0
Bercocok tanam adalah teknologi untuk menggarap tanah sampai menghasilkan panen tanaman untuk keperluan hidup (Koentjaraningrat, dkk, 2003:25). Apabila diklasifikasikan, bercocok tanam dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu di ladang (tanah kering) dan di sawah (tanah basah). Keduanya memiliki tahap yang bila digeneralisasikan terdiri atas: pengolahan tanah, penanaman, pemeliharaan tanaman, dan pemungutan hasil (panen).

Apabila jenis tanaman yang diusahakan adalah padi, apabila seluruh hasil panen terkumpul, dijemur sampai kering dan baru kemudian disimpan. Di daerah Jawa Barat penjemuran padi biasanya beralaskan giribig (semacam tikar terbuat dari anyaman bambu dengan ukuran 2x3 meter), kain terpal atau lantai yang di plester. Bila jenisnya pare leutik (padi kecil), cara menjemurnya adalah dengan menebarkannya di atas giribig. Agar kering merata padi perlu dibolak-balikkan dengan alat yang dinamakan sosorong. Sementara bila jenisnya pare gede (padi besar), cara menjemurnya adalah dengan dijebrakeun, yaitu ikatan padi berada di bawah dan tertutupi oleh untaian-untaian butir padi, sehingga hampir seluruh butir padi akan tersinari panas matahari. Setelah itu dijemur dengan posisi yang berlawanan dari arah sebelumnya sehingga ikatan padi berada di atas. Demikianlah seterusnya sampai padi kering secara merata.

Pare leutik yang telah kering dan tidak lagi panas kena sinar matahari, dapat langsung dimasukkan ke dalam karung atau wadah untuk kemudian disimpan. Sedangkan pare gede terlebih dahulu harus melalui tahap mangkek (mengikat padi). Caranya dimulai dengan diguar (ikatan padi dibuka) lalu dibalikkan supaya bagian dalam menjadi di luar. Setelah itu nyabutan salakop atau mencabuti tangkai padi atau jerami yang terlepas supaya bersih dan rapi. Selanjutnya dipapakeun (tangkai padi diratakan dengan cara dipukul-pukul ujungnya), lalu diikat dengan tali bambu yang telah diolesi tanah liat agar lentur. Untuk memperkuat ikatan, dibantu dengan alat yang disebut pahul, yaitu tongkat kayu atau bambu yang panjangnya dua jengkal dan garis tengahnya kurang lebih 2 centimeter. Cara mengencangkannya, ujung tali diikatkan pada pahul, sementara itu ujung yang lain diikatkan pada batang-batang padi, kemudian pahul diputar sehingga ikatan menjadi kencang.

Dahulu, padi yang telah kering akan disimpan di dalam leuit (lumbung) yang letaknya di samping atau belakang, terpisah dari rumah utama. Jika ingin dijadikan beras, padi akan diambil secukupnya lalu diinjak-injak hingga menjadi gabah, kemudian dimasukkan ke dalam lisung (lesung) untuk ditumbuk agar lepas kulitnya menggunakan halu atau alu. Lesung adalah lumpang kayu panjang yang digunakan untuk menumbuk padi dan sebagainya (kbbi.web.id). Menurut id.wikipedia.org, lesung umumnya terbuat dari kayu berbentuk menyerupai perahu kecil dengan panjang sekitar 2 meter, lebar 0,5 meter, dan berkedalaman sekitar 40 centimeter. Adapun alat penumbuknya yang disebut sebagai alu atau halu berbentuk tongkat setinggi sekitar 1,5 meter.

Selanjutnya, agar beras tersebut menjadi bersih (putih), maka perlu ditumbuk lagi dan ditampi dengan alat yang disebut nyiru atau niru. Dengan cara sedemikian rupa, kulit ari padi akan terbang jatuh terpisah dari beras yang akan tertinggal pada nyiru tersebut. Kulit ari tersebut dapat dimakfaatkan sebagai pakan ayam dan bebek. Sedangkan berasnya dapat langsung ditanak atau disimpan dalam gentong atau padaringan (tempayan gerabah). Namun, dewasa ini para petani tidak perlu memberaskan dengan cara “tradisional” sebagaimana yang diuraikan di atas. Mereka dapat memberaskan ke penggilingan-penggilingan padi yang ada di Desanya. (ali gufron)
Sumber:
Koentjaraningrat, Parsudi Suparlan, dkk. 2003. Kamus Istilah Antropologi, Jakarta: Progres
"Lesung", diakses dari http://kbbi.web.id/lesung, tanggal 26 Agustus 2016.
"Lesung", diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Lesung, tanggal 26 Agustus 2016.

Legenda Rawa Pening

$
0
0
(Cerita Rakyat Jawa Tengah)

Alkisah, pada zaman dahulu kala di suatu lembah antara Gunung Merbabu dan Telomoyo ada sebuah desa bernama Ngasem. Di desa ini hidup sepasang suami-isteri bernama Nyai Selakanta dan Ki Hajar. Mereka telah lama berumah tangga, namun belum juga dikaruniai momongan.

Suatu hari, menjelang senja Nyai Selakanta duduk termenung seorang diri di teras rumahnya. Entah apa yang sedang dipikirkannya, ketika sang suami datang dan menghampiri pun dia tidak menyadarinya.

"Kamu sedang memikirkan apa, Nyai?" tanya Ki Hajar ketika berada di samping isterinya.

"Aku merasa kesepian, Kang," jawab Nyai Selakanta. "Seandainya saja kita dikaruniai anak, hidup pasti akan lebih berwarna. Aku tidak akan merasa kesepian walau kamu tinggal pergi bekerja," lanjutnya.

"Kita sudah mencoba bermacam cara, mungkin belum waktunya. Kalau kamu mengizinkan, aku akan pergi bersemedi memohon petunjuk Yang Maha Kuasa," kata Ki Hajar.

Nyai Selakanta tidak berkata apa-apa. Dia hanya mengangguk pelan sambil menitikkan air mata sebagai tanda persetujuannya. Dan, tanpa membuang waktu lagi, keesokan harinya Ki Hajar berangkat menuju ke suatu tempat yang dianggap masih sunyi, yaitu di lereng Gunung Telomoyo.

Kepergian Ki Hajar ternyata bukan hanya selama satu atau beberapa minggu saja, melainkan berbulan-bulan sehingga membuat hati Nyai Selakanta menjadi gundah gulana. Dia khawatir kalau terjadi hal-hal yang tidak diinginkan atas keselamatan Sang Suami. Namun, dia tidak dapat berbuat apa-apa karena tidak mengetahui lokasi keberadaan Ki Hajar. Yang dapat dia lakukan hanyalah berdoa dan memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar suaminya dapat segera kembali dengan selamat.

Alih-alih mendapatkan suaminya kembali, Nyai Selakanta malah mulai merasakan perubahan di dalam dirinya. Tiap pagi dia merasa mual dan muntah-muntah layaknya orang yang sedang hamil. Hal ini diikuti dengan semakin membesarnya perut hingga sembilan bulan setelahnya keluarlah bayi dari dalam rahimnya. Anehnya, Sang bayi bukanlah berwujud anak manusia, melainkan seekor naga.

Walau sangat terkejut, Nyai Selakanta juga bahagia karena dikaruniai momongan. Bayi naga itu dinamainya Baru Klinthing, sesuai dengan nama tombak milik suaminya yang ditinggalkan sebagai "penjaga rumah". Kata Baru Klinthing berasal dari "bra" yang berarti Brahmana dan "klinthing" yang berarti lonceng. Jadi Baru Klinthing dapat diartikan sebagai lonceng Sang Brahmana.

Oleh karena Baru Klinthing tergolong sebagai "bayi ajaib", begitu lahir dia langsung dapat berbicara layaknya manusia. Hal ini membuat suasana hati Nyai Selakanta bercampur-aduk (bahagia, haru, malu, sekaligus juga kecewa). Dia bahagia dan terharu dapat memiliki momongan sebagaimana layaknya keluarga lain. Tetapi di sisi lain dia juga kecewa sekaligus malu memiliki "bayi ajaib" yang penampilan fisiknya sangat berbeda dari orang kebanyakan.

Belasan tahun kemudian, setelah Baru Klinthing tumbuh remaja, dia bertanya kepada ibunya, "Bu, mengapa kita hanya hidup berdua? Apakah aku tidak memiliki ayah?"

"A..a..ayahmu?" jawab Nyai Selakanta tergagap. "Ayahmu bernama Ki Hajar, Anakku. Dia sedang bertapa di suatu tempat sekitar lereng Gunung Telomoyo," lanjutnya setelah dapat menguasai diri.

"Apakah aku boleh menemuinya, Bu?" tanya Baru Klinthing.

"Tentu saja boleh, Anakku. Tapi kamu harus membawa tombak pusaka milik ayahmu sebagai bukti bahwa kamu adalah anaknya," jawab Nyai Selakanta.

Setelah mempersiapkan segala perbekalan termasuk tombak pusaka, Baru Klinthing meminta izin pada Nyai Selakanta untuk mencari Sang Ayah. Setibanya di sekitar Gunung Telomoyo dia melihat sebuah goa besar yang bagian dalamnya sangat gelap dan menyeramkan. Karena beranggapan bahwa tempat itu sangat cocok sebagai pertapaan, dia pun segera memasukinya.

Sesampai di dalam goa Baru Klinthing mendapati seorang lelaki tua yang sedang bersemedi sambil duduk bersila. "Maaf bila mengganggu, apakah Bapak Ki Hajar?" tanya Baru Klinthing setelah berada di dekatnya.

Sang lelaki tua yang tengah khusuk bersemedi itu agak terkejut hingga membuka matanya. Dia lebih terkejut lagi ketika yang dilihatnya bukanlah manusia melainkan seekor naga yang menyeramkan. "Aku Ki Hajar. Siapa kamu?" tanya Ki Hajar dengan suara keras karena merasa terganggu.

"Saya Baru Klinthing, anakmu. Sebagai buktinya, saya dibekali oleh ibu untuk membawa tombak ini," jawab Baru Klinting sambil menghantarkan tombak dan bersujud di kaki Ki Hajar.

"Ini memang tombak pusakaku," kata Ki Hajar. "Tapi aku belum yakin kalau kamu adalah anakku. Bukti ini belum cukup. Melihat bentuk tubuhmu yang tidak seperti diriku, aku ingin kamu melingkarkan tubuhmu itu ke gunung ini. Apabila berhasil, kamu akan kuaku sebagai anak," lanjutnya.

Oleh karena Baru Klinthing adalah "anak ajaib", maka persyaratan yang diberikan oleh Ki Hajar bukanlah hal yang mustahil baginya. Dengan sangat mudah dia dapat melingkarkan tubuhnya pada Gunung Telomoyo. Ki Hajar akhirnya mengakui Baru Klinthing sebagai anak. Selanjutnya, dia memerintahkan Baru Klinthing untuk bertapa di suatu tempat di Bukit Tugur agar beralih ujud menjadi manusia normal.

Saat Baru Klinthing menjalankan perintah Sang Ayah, di lain tempat di sebuah dusun bernama Pathok penduduknya hendak mengadakan merti dusun selepas panen raya. Kehidupan penduduk Pathok relatif makmur, sehingga banyak diantaranya yang menjadi over acting dan angkuh. Untuk prosesi merti dusun yang sebenarnya sebagai ungkapan rasa syukur setelah panen misalnya, akan mereka adakan dengan sangat mewah demi membuat para undangan dari desa lain di sekitarnya terkesan.

Untuk menyediakan berbagai hidangan lezat bagi tamu tersebut, selain hasil panen juga dari hutan di sekitarnya, terutama kebutuhan akan daging. Mereka beramai-ramai berburu hewan di hutan-hutan sekitar Dusun Pathok, termasuk hutan di Bukit Tugur. Sesampai di Bukit Tugur mereka bertemu dengan Baru Klinthing yang sedang bersemedi. Tanpa perpikir panjang mereka langsung membunuh Baru Klinthing yang masih berujud naga dan memotong-motong dagingnya untuk dijadikan hidangan dalam merti dusun.

Beberapa hari kemudian ketika diadakan merti dusun yang dihadiri oleh segenap warga masyarakat dari Dusun Pathok dan dusun-dusun lain di sekitarnya, datanglah seorang laki-laki muda dengan sekujur tubuh penuh luka dan menimbulkan bau amis. Lelaki muda itu tidak lain adalah Baru Klinthing. Sewaktu tubuhnya yang masih berupa seekor naga dipotong-potong, ternyata sukmanya masih tetap ada dan beralih ujud menjadi seorang manusia.

Baru Klinthing berusaha ingin bergabung dengan orang-orang yang sedang melakukan prosesi merti dusun tersebut. Tujuannya adalah ingin mendapatkan barang sesuap nasi karena sudah berhar-hari tidak makan. Namun sambutan yang didapatnya hanyalah berupa caci-maki, umpatan, cemoohan, hardikan, dan bahkan pengusiran. Semua orang yang dihampirinya selalu menutup hidung karena bau amis menyengat dari kulitnya yang penuh luka.

Tidak tahan dengan segala "sambutan hangat" itu, Baru Klinthing memilih meninggalkan Dusun Pathok, walau perutnya sangat lapar selepas bersemedi berhari-hari. Sesampainya di perbatasan dusun dia bertemu seorang janda tua bernama Nyi Latung. Oleh Nyi Latung yang ternyata baik hati, Baru Klinthing malah diajak kerumahnya untuk diberi makan. Ternyata Sang janda tua tadi juga senasib dengan Baru Klinthing. Dia tidak diundang dalam acara merti dusun karena dianggap terlalu miskin dan berpenampilan sangat buruk.

Mendengar penuturan Nyi Latung yang tidak boleh ikut merti dusun, Baru Klinthing yang tadinya menganggap sepele terhadap pengusiran dirinya menjadi sangat murka. Selesai makan, dia bermaksud kembali lagi ke acara keramaian tadi. Sebelum berangkat dia sempat berpesan pada Nyi Latung agar menyiapkan lesung apabila nanti mendengar suara air bergemuruh dari tengah dusun.

Setibanya di keramaian, Baru Klinthing langsung menancapkan sebatang lidi di tengah-tengah kerumunan massa. Sambil berteriak dia menantang warga untuk mencabut lidi yang telah ditancapkannya. Agar cepat menyulut emosi warga, Baru Klinthing mengejek dan merendahkan mereka dengan kata-kata yang tidak enak didengar.

Walhasil, warga pun marah. Mereka menyuruh anak-anak kecil untuk mencabutnya karena dianggap remah. Bila berhasil, rencana berikutnya adalah menghajar si pengejek hingga babak belur. Namun usaha anak-anak mencabut lidi ternyata tidak berhasil. Lidi itu bahkan semakin kuat menancap di tanah. Selanjutnya, satu-persatu warga pun mencoba untuk mencabutnya. Dan, karena tetap tidak berhasil mereka akhirnya beramai-ramai mencoba mencabutnya tetapi tetap tidak berhasil.

"Apa kataku, kalian memang benar-benar payah, kan?" kata Baru Klinthing sambil berjalan menghampiri tancapan lidi.

Selanjutnya, dicabutlah lidi itu sehingga mengeluarkan air. Ketika orang-orang tertegun dan heran melihat ada aliran air yang keluar dari lubang bekas tancapan lidi, secara diam-diam dia pergi meninggalkan keramaian menuju rumah Nyi Latung. Sesampai di rumah, bersama Nyi Latung dia menaiki lesung yang difungsikan sebagai perahu karena air semakin lama makin deras sehingga menenggelamkan seluruh desa beserta isinya. Dan, desa itu akhirnya menjadi sebuah danau yang diberi nama Rawa Pening. Untuk menjaga agar tetap menjadi danau, Baru Klinthing meubah lagi dirinya menjadi naga dan berdiam di suatu tempat di tengah danau yang luasnya sekitar 2.670 hektar. Letak Rawa Pening saat ini berada antara Gunung Merbabu, Telomoyo, dan Ungaran. Tepatnya di Kecamatan Ambarawa, Bawen, Tuntang, dan Banyubiru, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.

Diceritakan kembali oleh gufron

Keong Mas

$
0
0
(Cerita Rakyat Daerah Jawa Timur)

Alkisah, zaman dahulu kala di Karajaan Daha ada dua orang puteri cantik jelita yang hidup sangat berkecukupan. Mereka bernama Candra Kirana dan Dewi Galuh. Semenjang kecil hingga remaja keduanya hidup rukun hingga suatu saat ada seorang pangeran tampan bernama Raden Inu Kertapati dari Kerajaan Kahuripan yang datang hendak melamar Candra Kirana. Lamaran itu disambut baik Raja Kertamarta, ayah Candra Kirana. Raden Inu Kertapati dan Candra Kirana kemudian bertunangan.

Rupanya Dewi Galuh juga menyimpan hati pada Raden Inu Kertapati yang ketampanannya tiada banding di Kerajaan Daha. Bahkan, dia sampai merasa bahwa yang pantas untuk menjadi isteri Raden Inu Kertapati adalah dirinya dan bukan Candra Kirana. Hal ini membuat Dewi Galuh menjadi iri serta dengki. Untuk itu dia pergi meminta bantuan seorang dukun sihir agar dapat menyingkirkan Candra Kirana. Dia ingin agar si dukun mengubah Candra Kirana menjadi sesuatu yang menjijikkan sehingga Raden Inu tidak mau menjadikannya sebagai isteri. Setelah disepakati jumlah harga yang harus dibayar sebagai maharnya, dukun lalu menyihir Candra Kirana menjadi seekor keong mas.

Sang keong mas kemudian dibuang ke sungai karena dianggap sebagai hama pengganggu tanaman kolam. Berpuluh kilometer dia hanyut hingga tersangkut dalam jaring seorang nenek yang sedang mencari ikan. Sang Nenek tertarik akan keindahan cangkang keong mas itu dan membawanya pulang untuk dipelihara dalam tempayan. Selanjutnya dia kembali ke sungai untuk menangkap ikan lagi. Namun, karena hari itu menjelang senja, Sang Nenek tidak berani menjaring di tengah sungai. Hari itu dia tidak berhasil mendapatkan tangkapan.

Dengan perasaan kecewa dia menggulung serta merapikan peralatan jaringnya sebelum beranjak pulang. Padahal, sejak pagi dia belum makan sama sekali karena tidak mendapatkan seekor ikan pun kecuali seekor keong mas yang walaupun dapat dimakan tetapi tidak akan cukup untuk mengganjal perutnya.

Sesampainya di rumah, Sang Nenek menuju dapur untuk menaruh peralatan jaringnya. Ketika berada di dapur di kaget bukan kepalang melihat begitu banyak makanan lezat telah tersaji lengkap dengan lalapan dan segala tetek bengeknya. Siapa yang mengirimkan makanan layaknya hidangan khas istana ini, pikirnya dalam hati. Namun, karena desakan perut yang tidak dapat dikompromikan, tanpa berpikir panjang dia langsung menyantap makanan tersebut hingga habis.

Anehnya, kejadian serupa berulang hingga beberapa kali. Dia selalu pulang dari sungai dengan tangan kosong, sementara di rumah ada saja makanan mewah yang telah terhidang di meja dapur. Hal ini membuat Sang Nenek penasaran. Siapakah gerangan yang selama ini telah berbaik hati memberikan makanan? Agar tidak penasaran, dia memutuskan untuk menyelidiki apa yang terjadi ketika dia sedang mencari ikan.

Keesokan harinya, seperti biasa dia pergi ke sungai untuk mencari ikan. Namun, ketika sampai di persimpangan jalan menuju sungai, berbalik lagi ke rumahnya. Tiba di pekarangan, dengan mengendap-endap dia menuju belakang rumah untuk mengintip "aktivitas" apa yang sedang terjadi. Dan, alangkah terkejutnya dia melihat di dapur ada seorang gadis cantik sedang menata piring-piring yang penuh dengan makanan lezat.

Sang Nenek memberanikan diri menghampiri dan bertanya, "Siapakah engkau, hai gadis cantik? Mengapa engkau selalu menyiapkan makanan untukku?"

"Namaku Candra Kirana, Nek. Aku berasal dari Kerajaan Daha. Aku telah disihir oleh suruhan Saudaraku yang merasa iri," jawab Candra Kirana sambil mengubah diri kembali menjadi keong mas yang membuat Sang Nenek terheran-heran.

Beralih dari Sang Nenek yang tidak percaya kalau keong yang dipeliharanya bisa berbicara, di lain tempat (istana Kerajaan Daha) rupanya Raden Inu sedang mencari keberadaan calon isterinya. Dia tidak habis pikir mengapa Candra Kirana tiba-tiba menghilang seperti ditelan bumi. Apakah dia sebenarnya tidak setuju dengan pertunangan mereka? Apakah ada orang lain yang lebih dulu merebut hatinya dan dia pergi bersama orang itu? Ataukah ada orang yang sengaja menculiknya agar pertunangan mereka tidak berlanjut ke pernikahan?

Pertanyaan-pertanyaan inilah yang berkecamuk dalam benak Raden Inu sehingga dia memutuskan mencari Candra Kirana ke seluruh pelosok negeri. Agar tidak dikenali oleh rakyat, dia melepas semua atribut kebangsawanannya dan menyamar menjadi orang kebanyakan. Dengan cara demikian, dia dapat leluasa keluar-masuk kampung tanpa menjadi pusat perhatian.

Namun, penyamaran Raden Inu Kertapati diketahui oleh si dukun sihir yang telah mengubah Candra Kirana menjadi keong mas. Merasa takut bila Raden Inu akhirnya mengetahui bahwa "hilangnya" Candra Kirana adalah hasil dari perbuatannya, Si dukun kemudian mengubah dirinya menjadi seekor burung gagak. Adapun tujuannya adalah untuk membuat Raden Inu bingung dalam usaha pencariannya.

Setelah menjadi gagak dia terbang mengikuti kemanapun Raden Inu pergi. Suatu saat ketika Raden Inu sedang beristirahat di dekat sebuah pohon rindang, Sang gagak terbang menghampir dan menawarkan diri untuk mengantarkannya ke tempat Candra Kirana berada. Padahal tujuan Sang Gagak sebenarnya adalah agar Raden Inu tersesat dan tidak pernah menemukan calon isterinya. Tetapi, karena Raden Inu menganggap bahwa Sang Gagak itu sangat sakti (dapat berbicara), maka diturutilah perkataannya.

Tidak berapa lama mengikuti Sang Gagak, Raden Inu bertemu dengan seorang kakek sangat sakti namun secara fisik tampak seolah-olah lemah lunglai layaknya orang yang beberapa hari tidak makan. Merasa iba, Raden Inu lalu memberi Si Kakek sedikit makanan dari bekal yang dibawanya. Saat sedang makan itulah dia melihat ada seekor gagak yang hinggap tidak jauh dari Raden Inu. Sambil makan, tanpa berkata-kata dia langsung melemparkan tongkatnya ke arah gagak itu hingg terkena dan lenyap menjadi asap.

Selesai makan Si Kakek menjelaskan pada Rade Inu bahwa burung gagak tadi adalah jelmaan dukun sihir yang telah mencelakai Candra Kirana. Selanjutnya, dia juga memberitahukan bahwa Candra Kirana berada di Desa Dadapan. Apabila Raden Inu ingin menuju ke sana, menurut Si Kakek dia harus berjalan selama berhari-hari melewati hutan, lembah, dan bukit.

Awalnya Raden Inu Kertapati kurang percaya pada penuturan Sang Kakek sakti tadi. Sebab, sampai saat ini tidak ada seorang pun yang mengetahui keberadaan Candra Kirana. Bahkan, dukun sihir yang menjelma menjadi burung gagak sebenarnya juga tidak tahu keberadaan Candra Kirana karena dia telah mengubahnya menjadi keong mas dan membuangnya di sungai yang berair deras dan dalam. Tetapi melihat raut wajah Sang Kakek yang tampak seperti orang suci, Raden Inu akhirnya menuruti sarannya.

Selama berhari-hari dia berjalan keluar masuk hutan dan menyusuri lembah-bukit hingga sampai di batas wilayah Desa Dadapan. Di tempat itu dilihatnya ada sebuah gubuk reot yang letaknya jauh terpisah dari rumah-rumah lainnya. Oleh karena didorong rasa lapar, dia mendekati bagian dapur gubuk untuk meminta sedikit makanan. Sesampainya di belakang gubuk dia terkejut bukan kepalang melihat Candra Kirana sedang menata piring-piring yang penuh dengan makanan lezat.

Singkat cerita, Raden Inu menghampiri dan memegang tangan Candra Kirana. Entah kenapa, perjumpaan itu rupanya menghilangkan sihir yang menimpa Candra Kirana sehingga dia tidak berganti ujud lagi menjadi keong mas. Mereka pun akhirnya pulang ke istana dan hidup bahagia sebagai suami-isteri. Sementara Dewi Galuh, melarikan diri ke hutan belantara karena takut akan mendapat hukuman yang setimpal atas perbuatannya.

Diceritakan kembali oleh gufron

Si Tanduk Panjang

$
0
0
(Cerita Rakyat Daerah Sumatera Utara)

Alkisah, ada sebuah keluarga miskin yang terdiri dari ayah, ibu, dan seorang anak berjenis kelamin perempuan. Mereka sayang kepada anaknya, walaupun sebenarnya kecewa karena yang diharapkan adalah seorang anak laki-laki. Oleh karenanya, setiap malam mereka selalu bermohon kepada Tuhan agar dikaruniai bayi laki-laki sebagai penyambung keturunan.

Suatu saat, Tuhan mengambulkan permohonan mereka. Lahirlah seorang bayi laki-laki. Namun, dibalik kegembiraan karena ada penerus keturunan, mereka juga kecewa dan bahkan malu. Bayi itu ternyata memiliki "kelebihan" dibandingkan dengan bayi-bayi kebanyakan orang. Dia memiliki tanduk layaknya kambing, kerbau atau sapi jantan.

Agar tidak diejek dan dicemooh oleh para kerabat maupun orang-orang sedesanya, suami-isteri itu sepakat untuk membuang sang bayi laki-laki yang baru dilahirkan. Adapun caranya adalah dengan menghanyutkannya di sungai. Sebelum dihanyutkan, Sang bayi ditempatkan dalam sebuah peti agar tidak tenggalam. Dia juga dibekali sebutir telur ayam serta secangkir beras.

Tak dinyana, anak perempuan pasangan suami-isteri itu sangat sayang pada adiknya. Secara diam-diam dia membuntuti kedua orang tuanya ke sungai dan mengikuti Sang adik yang dihanyutkan di sungai. Beberapa kilometer setelah dihanyutkan, terdengarlah suara tangis Sang Adik dari dalam peti. Si Kakak segera bernyanyi menghibur agar dia tenang kembali.

Begitu seterusnya hingga berbulan-bulan kemudian peti terdorong arus dan terdampar di tepian. Ketika menyentuh tanah, dari dalam peti melompatlah seorang anak laki-laki tampan dan gagah yang di kepalanya memiliki tanduk panjang. Sejurus setelahnya melompat pula seekor ayam jantan yang merupakan tetasan telur bekal hidup si anak bertanduk panjang tadi. Rupanya, mereka dapat bertahan hidup hanya dengan secangkir beras yang dibekali oleh orang tua si anak.

Si anak bertanduk panjang segera menghampiri kakak yang selama ini hanya terdengar suara nyanyiannya saja. Setelah berpelukan, bersama sang ayam jantan mereka berjalan menuju desa terdekat. Tiba di gerbang mereka dihadang oleh penduduk agar tidak masuk ke desa. Ada sebuah aturan yang mengharuskan orang asing mengadu ayam terlebih dahulu agar bisa masuk ke desa. Apabila bersedia dan berhasil memenangkan pertandingan, maka baru diperkenankan masuk sekaligus mendapat harta benda yang banyak. Sebaliknya, apabila kalah harus menjadi budak bagi seluruh warga desa.

Persyaratan berat itu tentu saja ditolak oleh Sang Kakak. Baginya, lebih baik pergi ke lain tempat daripada harus mengadu ayam yang kemungkinan besar akan kalah dan menjadi budak. Tapi berbeda dengan Sang Kakak, Si anak bertanduk panjang malah menyanggupinya. Dia pun kemudian membawa ayam jantannya ke lapangan di luar desa untuk ditandingkan dengan ayam jantan milik warga desa yang tidak pernah kalah dalam bertanding. Ternyata ayam jantan milik Si anak bertanduk panjang dapat memenangkan pertandingan hanya dalam beberapa kali gerakan. Dan sebagai konsekuensinya, dia beserta Sang Kakak boleh memasuki desa serta mendapat sejumlah harta.

Selesai beramah-tamah dengan penduduk mereka melanjutkan perjalanan. Anehnya, di setiap desa yang akan mereka singgahi selalu saja ada peraturan sabung ayam. Walhasil, mereka menjadi kaya raya karena ayam jantannya selalu menang di mana pun dia disabungkan. Tidak ada lagi orang yang meremehkan penampilan fisik Si Tanduk Panjang karena tertutup oleh kehebatan dalam menyabung ayam dan kekayaan yang diperolehnya.

Kehebatan serta kekayaan Si Tanduk Panjang akhirnya tersebar ke seluruh negeri, tidak terkecuali di desa tempat orang tuanya tinggal. Oleh karena itu, ketika perjalanan sampai di sana, kedua orang tua kandung Si Tanduk Panjang dan Kakaknya segera menyambut dengan sukacita. Namun setelah berhadapan muka keduanya tidak mau mengakui. Alasannya, sewaktu mereka memerlukan kasih sayang serta perlindungan, justru malah dibuang karena merasa malu memiliki anak bertanduk layaknya binatang.

Mendengar alasan Si Tanduk Panjang dan Sang Kakak yang tidak mau mengakui, kedua orang tuanya tidak lantas marah. Mereka malah sangat menyesal karena memang telah menelantarkan anak-anaknya. Mereka lalu pulang lagi ke rumah dan beberapa bulan kemudian meninggal dalam waktu yang tidak terpaut lama.

Diceritakan kembali oleh gufron

Sazli Rais

$
0
0
Radio Republik Indonesia dan Televisi Republik Indonesia adalah Lembaga Penyiaran Publik (LPP) milik pemerintah. Adapun tujuan pendiriannya sebagai layanan bagi kepentingan masyarakat yang bersifat independen, netral dan tidak komersial (ayubwahyudi.wordpress.com). Radio Republik Indonesia (RRI) secara resmi didirikan pada tanggal 11 September 1945 oleh para tokoh yang sebelumnya aktif mengoperasikan beberapa stasiun radio Jepang (id.wikipedia.org). Sementara Televisi Republik Indonesia (TVRI) mulai digagas sekitar tahun 1961 dan baru pada tanggal 24 Agustus 1962 mengudara untuk pertama kalinya menyiarkan secara langsung upacara pembukaan Asian Games IV dari Senayan (sekarang Gelora Bung Karno) (id.wikipedia.org).

Sebagai lembaga penyiaran publik pertama di Indonesia, hingga akhir dasawarsa 80-an TVRI dan RRI memiliki jangkauan hampir di seluruh wilayah Indonesia dengan jumlah pemirsa sekitar 82 persen dari seluruh penduduk. Oleh karena itu, sebelum adanya Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) dan Lembaga Penyiaran Berlangganan (LPB), kedua media ini sempat menjadi sarana informasi dan hiburan utama bagi masyarakat. Walhasil, para penyiarnya pun menjadi populer dan bahkan diidolakan oleh para pemirsanya.

Salah seorang penyiar berita TVRI dan RRI yang cukup diidolakan adalah Sazli Rais. Wajah serta suaranya yang berat namun mengalun lembut sering hadir dalam ruang-ruang keluarga Indonesia di era 1970-80an. Dia adalah salah seorang putra Lampung kelahiran Liwa yang mampu "menggelombang" di radio dan televisi nasional bersama dengan para pembaca berita kawakan lainnya, seperti: Tatiek Tamzil, Anita Rachman, Sambas, Idrus, Toeti Adhitama, Yasir Den Has, Edwin Saleh Indrapraja, Iskandar Suradilaga, dan Hassan Ashari.

Pria yang lahir di Desa Sebarus, Pekon Tengah, Liwa, Lampung Barat, tanggal 14 Desember 1944 ini bukanlah berasal dari keluarga sembarangan. Dia merupakan putra pertama (sembilan bersaudara) dari H. Rais Latief dan Hayuna Dani. Ayahnya adalah pelopor tradisi literasi di wilayah Lampung Barat yang berhasil menyusun terjemahan hadist sahih Muslim (lampost.co). Pada saat usianya baru enam tahun Sazli ikut hijrah ke Jakarta karena Sang Ayah menjadi pegawai negeri di Jawatan Penerangan Agama (Departemen Agama).

Ketika berdomisili di Jakarta, tentu saja Sazli dapat mengenyam pendidikan yang lebih baik ketimbang di Liwa. Setelah lulus dari Sekolah Menengah Atas misalnya, dia dapat melanjutkan pendidikan di Sekolah Kedinasan Akademi Penerangan. Kemudian, dia lanjut lagi ke Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Negara Republik Indonesia (LAN RI). Namun masa perkuliahannya sempat terhenti akibat banyaknya demo dari kalangan mahasiswa yang menuntut Orde Lama turun. Akibatnya, Sazli banyak menganggur di rumah karena tidak banyak memiliki kegiatan selain sekolah.

Agar tidak jenuh Sazli mencoba melamar menjadi pegawai di Radio Republik Indonesia yang kebetulan saat itu sedang membuka lowongan formasi penyiar. Walau usianya waktu itu masih 21 tahun, ternyata dia berhasil menjadi salah seorang dari 19 peserta yang diterima melalui tes setelah menyingkirkan lebih dari 480 orang calon lainnya. Salah satu hal yang menjadi penyebab keberhasilannya menjadi penyiar di RRI ini adalah dari rasa kagumnya terhadap dunia broadcasting. Pada zamannya dahulu, sarana informasi dan hiburan yang sifatnya nasional hanyalah melalui siaran radio, sehingga Sazli beranggapan bahwa melalui jalur broadcastinglah dia dapat "menggenggam dunia".

Kecintaannya pada ranah informasi memang membuatnya total menekuni bidang ini. Pernah selama empat tahun lebih waktunya banyak dihabiskan di studio daripada di rumah. Sazli muda begitu antusias dan sepenuh hati menggeluti profesi dalam memproduksi acara-acara siaran. Bertambah serius lagi ketika setiap pekan, dia selalu menerima dua karung goni surat/kartu pos sebagai respons/feedback dari pendengar atas acara musik pengantar istirahat siang dan kontak dengan pendengar yang diasuhnya.

Selama sebelas tahun bekerja di RRI, Sazli diperbantukan juga sebagai penyiar dan wartawan TVRI yang masih satu atap di bawah Departemen Penerangan. Tugasnya antara lain sebagai peliput acara-acara kenegaraan di Indonesia dan acara-acara olahraga di mancanegara (All England, Thomas Cup, ASEAN Games, Asian Games, dan Olimpiade). Selain itu dia juga diberi kesempatan mengikuti beragam kursus, di antaranya:Consumer Education Through Broadcasting Asia Pacific Institute for Broadcasting Development di Kuala Lumpur, Malaysia (1979) dan Senior Broadcasting Management Asia Pacific Institut for Broadcasting Development di Kuala Lumpur, Malaysia (1992) (Wardoyo, Heri, dkk.: 2008).

Tidak berapa lama berada di TVRI, suami dari Junaera Tahir dan ayah dari Dani Pirzada Sazli serta Risa Araya Sazli ini ditarik kembali ke RRI untuk menjadi Kepala RRI Gorontalo dari tahun 1990-1993. Kemudian kembali ke Jakarta menjadi kepala Bagian Tata Usaha Direktorat Radio Departemen Penerangan 1993-1997. Setelah itu kembali ditugaskan ke Banjarmasin menjadi kepala RRI Banjarmasin 1997-2002. Akhirnya 2002-2005 menjabat kepala RRI Semarang (Wardoyo, Heri, dkk.: 2008).

Selesai menjalankan masa baktinya sebagai pegawai negeri sipil, Sazli kembali ke Jakarta untuk menikmati masa tuanya. Tetapi walau berdomisili di Jakarta Sazli tidak pernah lupa akan kampung halaman. Dia masih sering pulang ke Liwa. Bahkan, sebagai rasa cintanya pada Liwa, ketika putra pertama menikah upacara perkawinannya pun dilangsungkan di Liwa menggunakan prosesi adat Lampung Saibatin. (gufron)

Foto: http://paratokohlampung.blogspot.co.id/2008/11/sazli-rais-1944-menggelombang-di-radio.html
Sumber:
"Radio Republik Indonesia" diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Radio_Republik_ Indonesia, tanggal 10 Agustus 2016.

"Lembaga Penyiaran Publik 'TVRI dan RRI': Kritik Definisi", diakses dari https://ayub wahyudi.wordpress.com/2014/08/04/lembaga-penyiaran-publik-tvri-dan-rri-kritik-defenisi/, tanggal 10 Agustus 2016.

"Televisi Republik Indonesia", diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Televisi_Republik _Indonesia, tanggal 11 Agustus 2016.

"Siswa Lambar Bisa Suburkan Tradisi Literasi", diakses dari http://lampost.co/berita/siswa -lambar-bisa-suburkan-tradisi-literasi, tanggal 27 Maret 2016.

Wardoyo, Heri, dkk. 2008. 100 Tokoh Terkemuka Lampung, 100 Tahun Kebangkitan Nasional. Bandar Lampung: Lampung Post.Hlm. 190-192.

Situs Curug Mas

$
0
0
Pembangunan Waduk Jatigede tidak hanya berdampak pada hilangnya sejumlah desa di lima wilayah kecamatan di Kabupaten Sumedang (lebih lengkapnya lihat di sini). Selain desa yang membuat penduduknya harus direlokasi, area terdampak Waduk Jatigede juga meliputi 25 buah situs peninggalan Kerajaan Sumedang Larang (www.cnnindonesia.com). Salah satunya adalah Situs Curug Mas yang berlokasi di Dusun Cadasngampar, Desa Sukakersa, Kecamatan Jatigede (fajarsusilowati.blogspot.co.id).

Situs Curug Mas terdiri atas tiga objek, yaitu: (1) makam keramat Embah Dalem Panungtung Haji Putih Sungklanglarang (penyabar agama Islam dari Kesultanan Mataram) yang telah berkeramik warna putih, pagar bertutup kain warna merah-putih, dan bangunan tempat peziarah berkumpul. Di sekitar jalan menuju makam Embah Dalem Panungtung ada tiga buah makam lagi yang nisannya terbuat dari tumpukan batu kali, yaitu makam Embah Cokrowiryo/Angling Dharma, Uyut Jagadinata, dan Uyut Gelung Sakti; (2) air terjun (curug) Mas yang diyakini sebagai tempat menyimpan bokor emas, bekakak ayam emas, serta tumpeng emas; dan (3) sumur keramat yang diberi nama Sumur Bandung. Menurut sumedangtandang.com, masyarakat setempat percaya bahwa di sekitar air terjun "dijaga" oleh makhluk halus (roh) bernama Haji Saleh dan Nyi Mas Ratu Agan Mas, sementara di Sumur Bandung oleh Centring Manik dan Langlang Buana.
Foto: Ali Gufron
Sumber:
"Puluhan Situs Sejarah Sumedang Siap Ditenggelamkan Jatigede", diakses dari http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150730124307-20-69072/puluhan-situs-sejarah-sumedang-siap-ditenggelamkan-jatigede/, tanggal 2 Oktober 2016.

"Situs Curug Mas", diakses dari http://sumedangtandang.com/direktori/detail/situs-curug-mas.htm, tanggal 3 Oktober 2016.

"Curug Mas Sumedang", diakses dari http://fajarsusilowati.blogspot.co.id/2009/03/curug-mas-sumedang.html, tanggal 3 Oktober 2016.

Alimuddin Umar

$
0
0
Alimuddin Umar merupakan salah satu tokoh berpengaruh yang berjasa dalam pendirian Kabupaten Lampung Barat sebagai salah satu wilayah yang dulunya menjadi bagian dari Kabupaten Lampung Utara (lenteraswaralampung.com). Sosok rendah hati yang pernah menjabat sebagai Walikota Bandar Lampung periode 1963-1969 dan Ketua DPRD Lampung 1987-1992 ini lahir di Kenali, Belalau, Lampung Barat pada tanggal 23 Maret 1928 (id.wikipedia.org).

Selain sebagai ketua DPRD dan walikota Alimuddin juga pernah mengemban amanah sebagai anggota DPR RI periode 1990-1997 dan Komandan Polisi Militer (Danpom) Garuda Hitam Provinsi Lampung periode 1948-1948. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila dibalik sosoknya yang rendah hati dan sederhana tersimpan tersimpan jiwa pekerja keras dan memiliki disiplin tinggi layaknya seorang prajurit (saliwanovanadiputra.blogspot.co.id).

Sebagai mantan prajurit, pria yang menikah dengan Rosmasari dan dikaruniai delapan belas orang cucu serta enam belas orang cicit ini mampu menjembatani dikotomi antara birokrat sipil dan militer guna membangun Lampung. Alimuddin berhasil menjadi pemimpin yang bijaksana dalam menanamkan semangat kerja keras kepada masyarakat Lampung. Dia juga berhasil menjadi figur yang selalu dapat mengayomi serta memberi motivasi sehingga dijadikan sebagai panutan bagi masyarakat.

Setelah mengabdikan dirinya bagi kemajuan masyarakat Lampung, Alimuddin Umar berpulang ke Rahmatullah pada hari Rabu 3 Oktober 2012 dalam usia 84 tahun. Mengikuti amanahnya, almarhum yang sebenarnya layak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Provinsi Lampung lebih memilih menyatu dengan masyarakat kebayakan di Taman Pemakaman Umum Pahoman. Atas jasa-jasanya terhadap Bumi Ruwa Jurai khususnya Kabupaten Lampung Barat, namanya kemudian diabadikan sebagai nama Rumah Sakit Umum Daerah Liwa.

Foto: https://id.wikipedia.org/wiki/Alimuddin_Umar
Sumber:
"Alimuddin Umar Tokoh Lampung dari Sekala Brak", diakses dari http://saliwanovanadiputra.blogspot.co.id/2016/02/alimuddin-umar-tokoh-lampung-dari.html, tanggal 16 Oktober 2016.

"RSUD Liwa Sematkan Nama Tokoh Lampung", diakses dari http://lenteraswaralampung.com/berita-532-rsud-liwa-sematkan-nama-tokoh-lampung.html, tanggal 16 Oktober 2016.

"Alimuddin Umar", diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Alimuddin_Umar, tanggal 16 Oktober 2016.

Nukman Helwi Moeleok

$
0
0
Selain Abdoel Moeloek dan Farid Afansa Moeloek, ada seorang lagi keluarga Moeloek yang cukup dikenal oleh masyarakat Lampung Barat, yaitu Nukman Moeloek. Nukman lahir di Liwa pada tanggal 29 Desember 1945 dari pasangan Abdoel Moelok dan Poeti Alam Naisjah. Sang Ayah merupakan dokter asal Padang Panjang, Sumatera Barat, yang pernah mengabdikan diri menjadi dokter bagi rakyat kecil di sekitar tempat tinggalnya di Liwa, sementara isterinya Poeti Alam Naisjah bekerja sebagai guru. Saat menetap di Liwa inilah Nukman lahir. Tidak lama setelahnya (ketika bangsa Indonesia merdeka) Abdoel Moeloek beserta keluarga pindah ke Tanjung Karang untuk menjabat sebagai Kepala Rumah Sakit Tanjung Karang yang sebelumnya dikelola oleh Jepang.

Seperti kata ungkapan "buah jatuh tidak akan jauh dari pohonnya", Nukman pun mengikuti jejak Sang Ayah menjadi dokter. Dia lulus dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia pada tahun 1970. Kemudian, lanjut lagi menempuh gelar masternya dengan kekhususan pada bidang Biologi Reproduksi dan Imunologi (Andrologi) di universitas yang sama. Dan terakhir, dia mendapatkan gelar doktornya juga di universitas yang sama pada tahun 1990 (kabarindonesia.com).

Tidak hanya sukses dalam menempuh pendidikan, Nukman juga sukses dalam karier. Suami dari Devita Astra dan ayah dari Adam Moeloek serta Imam Moeloek ini berhasil meraih gelar Guru Besar dari FKUI dalam bidang Andrologi dan Biologi Kedokteran tahun 1998 serta menjadi Ketua Departemen Biologi Kedokteran FKUI periode 2000-2004 (id.wikipedia.org). Selain aktif mengajar, Nukman juga percah tercatat sebagai WHO Investigator Project dan WHO Steering Committe of Task Force Contraception di Indonesia serta Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Andrologi Indonesia. Dia juga aktif dalam beberapa organisasi profesi kedokteran, antara lain: Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Perhimpunan Biologi Indonesia (PBI), Perkumpulan Andrologi Indonesia (PANDI), dan International Society of Andrology.

Dedikasinya dalam dunia kedokteran khususnya bidang andrologi membuat Nukman mendapat sejumlah penghargaan, diantaranya: empat kali menerima Penghargaan Karya Ilmiah Terbaik dari Majelah Kedokteran Indonesia; penghargaan dari Dunia Akademik Eropa sebagai pendamping penulis; penghargaan dari Asosiasi Medis Dunia (2005); dan beberapa kali mendapatkan hibah internasional dari WHO, USAID, DAAD, dan lain sebagainya.

Nukman Helwi Moeloek meninggal dunia pada 9 Oktober 2012 pada usia 66 tahun. Sebelum dimakankan di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta Pusat, jenazah almarhum terlebih dahulu disemayamkan di Lobi Bawah FKUI. Jenazah kemudian dilepas oleh Wakil Dekan FKUI, Prof. Dr. Partiwi P. Sudarmono, SpMK(K) yang dihadiri oleh segenap staf pengajar, karyawan, sahabat, kolega, serta mahasiswa FKUI.

Foto: http://biomedicine.ui.ac.id/?page=news.detail&id=73&lang=id
Sumber:
"Prof. Dr. Dr. Nukman Helwi Moeleok Tutup Usia", diakses dari http://kabarindonesia.com/ berita.php?pil=3&jd=Prof.+Dr.+dr.+Nukman+Helwi+Moeloek+Tutup+Usia&dn=20121013094844, tanggal 14 Agustus 2016.

"Nukman Moeloek" diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Nukman_Moeloek, tanggal 14 Agustus 2016.
Viewing all 829 articles
Browse latest View live