Quantcast
Channel: Budaya
Viewing all 829 articles
Browse latest View live

Ngaberak

$
0
0
Ngaberak adalah istilah orang Sunda bagi kegiatan memberikan pupuk pada tanaman pertanian tanah basah (sawah). Kegiatan ini dilaksanakan pada saat nyacar dan setelah ngarambet kahiji serta ngarambet mindo. Ngaberak pada saat nyacar menggunakan pupuk organik dari kotoran hewan seperti kambing dan kerbau serta pupuk organik buatan pabrik. Adapun caranya adalah dengan membenamkannya ke dalam tanah bersamaan dengan jerami bekas panen yang sedang dicacar agar menjadi busuk.

Sementara untuk pemupukan pada saat ngarambet menggunakan pupuk kimia (anorganik) berupa Urea dan ZA atau NPK. Kedua jenis pupuk ini dapat dibeli dari Dinas Pertanian maupun toko-toko penyedia peralatan dan perlengkapan pertanian. Harga pupuk bergantung pada banyak tidaknya stok persediaan dan kondisi sosial politik di Indonesia. Caranya adalah dengan menebarkan pupuk secara merata agar tanah semakin gembur, sehingga anak tanaman bertambah banyak. Adapun jumlah takaran pemberian pupuknya bergantung pada luas lahan yang sedang digarap. Misalnya, satu hektar sawah memerlukan 1,5 kuintal orea dan 3 kuintal NPK untuk dua kali pemupukan. Pemupukan pertama yang dilaksanakan setelah ngarambet pertama ditebarkan sebanyak satu kuintal orea dan dua kuintal NPK. Sedangkan sisanya sebanyak 50 kilogram orea dan 1 kuintal NPK baru ditebarkan lagi ketika selesai ngarambet kedua. Alat pembawa pupuk buatan tidak ada kekhususan, cukup dengan dingkul atau wadah lainnya dan jika telah sampai di sawah maka pupuk buatan ini dipindahkan ke dalam wadah yang lebih kecil untuk kemudian ditebarkan. Untuk pupuk kandang dibawa pada carangka dengan cara dipikul.

KH. Muhammad Thohir

$
0
0
KH. Muhammad Thohir merupakan salah seorang ulama besar yang amat disegani di wilayah Lampung Barat karena memiliki ilmu agama yang tinggi. Beliau pernah memperdalam ilmu agama selama kurang lebih 30 tahun di jazirah Arab, yaitu di Mekkah, Madinah, Mesir, Palestina, dan Baghdad dan pernah berguru pada Syekh Abdul Qodir Jaelani yang banyak mengajarkan ilmu tarekat (facebook.com).

Lahir dengan nama Adjma, anak H. Ahmad Khotib, seorang keturunan Banten yang hijrah ke Krui, Pesisir Barat. Sewaktu kecil Adma sudah menunjukkan ketaatannya terhadap ajaran Islam dengan rajin mengaji dan belajar ilmu fiqih di kampungnya, Pekon Penengahan, Laai, Krui (sekarang tergabung dalam Kabupaten Pesisir Barat).

Oleh karena itu, tidak mengherankan ketika berusia 16 tahun Adjma berangkat ke Mekkah untuk melanjutkan pelajaran agamanya sekaligus juga ingin menunaikan ibadah haji. Tidak berapa lama bermukim di Mekkah, Adjma yang mengganti namanya menjadi Muhammad Thohir berangkat ke Kairo, Mesir, untuk memperdalam ilmu agama di Al Azhar. Masih kurang puas menimba ilmu di Al Azhar, beliau pergi ke Baghdad untuk berguru pada Syekh Abdul Qodir Jaelani. Dalam perjalanan menuju Baghgdad, beliau sempat mengunjungi Masjid Al Aqso di Palestina.

Usai berguru pada Syekh Abdul Qodir Jaelani, KH. M. Thohir pulang ke Liwa. Tidak lama berselang deliau lalu menikah dengan seorang gadis bernama Jamilah. Namun perkawinan mereka tidak bertahan lama karena Jamilah meninggal dunia. Kemudian, beliau menikah lagi dengan Fatimah dan dikaruniai tiga orang anak.

Selain mencari pasangan hidup di Liwa, KH. M. Thohir juga berusaha menyebarluaskan ilmu yang diperolehnya di jazirah Arab dengan mengajar agama di Pekon (Kampung) Balak Way Tegaga. Oleh pemerintah pendudukan Belanda, beliau diangkat menjadi guru agama Islam di Kawedanaan Krui. Tugasnya antara lain adalah mengajarkan agama Islam dari satu kampung ke kampung lainnya secara bergiliran.

Dalam mengajar KH. M. Thohir dikenal sebagai orang yang memiliki pendirian keras dan tegas terhadap hukum Islam. Namun, dibalik ketegasannya itu beliau termasuk orang yang lemah lembut dalam berbicara dan suka memaafkan orang lain. Selain itu, beliau juga pandai mengobati berbagai macam penyakit, sehingga banyak orang yang ingin berobat kepadanya. Bahkan, demi mencapai kesembuhan banyak diantara mereka yang rela menetap di rumah beliau selama berhari-hari atau berminggu-minggu. Semuanya dilakukan KH. M. Thohir tanpa pamrih sedikit pun.

Sebagai tokoh agama yang cukup berpengaruh di Lampung Barat, pada tahun 1936 KH. M. Thohir juga turut berpartisipasi dalam Muktamar Nahdlatut Ulama di Menes, Serang, Banten. Dalam muktamar tersebut beliau sempat mengutarakan tiga buah usulan, yaitu: pembentukan lembaga pendidikan Nahdlatul Ulama, muslimat Nahdlatul Ulama, dan bank berbasis Islam. Usulan terakhir konon merupakan cikal bakal berdirinya bank berbasis syariah yang umum dikenal sekarang ini (nu-lampung.or.id).

Sepulang muktamar KH. M. Thohir membentuk forum silaturahmi alim ulama yang merupakan salah satu jaringan Nahdlatul Ulama di Lampung. Jaringan ini kelak menjadi organisasi NU di Provinsi Lampung yang waktu itu masih bergabung dengan Provinsi Sumatera Selatan. Namun tidak lama setelahnya, mungkin karena usia yang sudah uzur, kondisi fisik beliau mulai menurun dan sakit-sakitan. Dan, beliau pun akhirnya wafat dalam usia 90 tahun pada tanggal 18 Januari 1950 bertepatan dengan tanggal 12 rabiul awal tahun 1370.

Foto: http://nu-lampung.or.id/blog/195.html
Sumber:
"KH. Muhammad Thohir, Tokoh Agama yang Tegas dan Berilmu Tinggi", diakses dari http://nu-lampung.or.id/blog/195.html, tanggal 15 Agustus 2016.

"KH. Muhammad Thohir", diakses dari https://www.facebook.com/permalink.php?story _fbid=532273943637624&id=439683669563319, tanggal 15 Agustus 2016.

Lincolin Arsyad

$
0
0
Lincolin Arsyad adalah intelektual asal Lampung Barat yang mampu menembus jajaran ekonom elite pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada. Posisi yang prestisius bagi laki-laki kelahiran Liwa, 21 Juli 1958 ini diraih berkat kerja keras, ketekunan, serta peran orang tua yang mengutamakan pendidikan sebagai bekal hidup. Semenjak kecil (sekolah dasar), Arsyad telah dituntut untuk selalu belajar dan terus belajar agar dapat menjadi orang yang berguna bagi nusa dan bangsa.

Bagi ayah Arsyad, M. Arsjad Siradji, ilmu pengetahuan merupakan bekal yang sangat penting dalam mengarungi kehidupan. Bekal ini jauh lebih penting dan berharga ketimbang limpahan warisan harta benda yang apabila tidak dijaga akan habis begitu saja. Dengan berbekal ilmu pengetahuan yang dimiliki, Arsyad Siradji yang pernah menjadi anggota DPRD Lampung dari Parmusi itu yakin bahwa seseorang dapat mengarungi segala rintangan dan tantangan dalam kehidupan.

Motivasi yang diberikan oleh Sang Ayah ternyata berdampak positif bagi pemikiran Lincolin. Setelah menamatkan pendidikan menengah pertamanya di SMPN 2 Tanjungkarang, Lincolin hijrah ke Yogyakarta untuk melanjutkan ke SMA Muhammadiyah 1. Lulus dari Muhammadiyah 1, dia lalu meneruskan lagi ke Universitas Gadjah Mada di Bulaksumur. Di universitas itu Lincolin memilih menimba ilmu di Fakultas Ekonomi Jurusan Ilmu Ekonomi dan Pembangunan karena dia sangat mengidolakan tiga ekonom senior Indonesia, yaitu: Prof. Sumitro Djojohadikusumo, Prof. Widjojo Nitisastro, dan Prof. Mubyarto (Wardoyo, dkk: 2008).

Tahun 1982 Lincolin lulus sarjana muda dan mendapat gelar Bsc. Oleh karena dia tetap melanjutkan ke jenjang Strata 1 dan dapat menunjukkan prestasi dalam studinya, maka pada tahun 1984 lulus serta mendapat gelar Drs pada tahun berikutnya. Setelah mendapat gelar, Lincolin pun melamar bekerja pada fakultas tempatnya menimba ilmu dan diterima sebagai dosen Fakultas Ekonomi UGM pada tahun 1985. Semenjak itu, karir suami dari Ine Maria Arsyad dan ayah dari Vania Gita Pratiwi Arsyad, Avecinna Caesary Arsyad, dan Gibran Erlangga Arsyad ini secara perlahan mulai menanjak.

Agar lebih menunjang karir, Lincolin lebih memperdalam ilmu ekonominya dengan melanjutkan pendidikan ke University of Pennsylvania di Philadelphia, Amerika Serikat, dari bulan Januari 1988 hingga lulus tahun 1990 dan mendapat gelar M.Sc dalam bidang Energy Management. Pulang dari Amerika Serikat, secara bertahap Lincolin mendapat sejumlah posisi penting baik di lingkungan kampus UGM maupun lembaga pemerintah lainnya. Posisi tersebut diantaranya adalah: (1) staf pengajar program Magister Manajemen (1990-sekarang); (2) Konsultan Bappeda Daerah Istimewa Yogyakarta (1991-1992); (3) Kepala Divisi Struktur dan Kebijakan Industri, Pusat Antar-Universitas (PAU) UGM (1990-1992); (4) Konsultan Balitbang Depdagri (1994-1995); (5) Wakil Direktur Lembaga Penelitian dan Pengembangan Ekonomi FE UGM (1995-2000); dan (6) Deputi Direktur Bidang Akademik Magister Ekonomika Pembangunan UGM (2004-2005) (Wardoyo, dkk: 2008).

Di sela-sela kesibukannya sebagai Deputi Direktur Bidang Akademik Magister Ekonomika UGM, Lincolin melanjutkan lagi studinya hingga jenjang Strata 3. Adapun lembaga pendidikan yang dipilihnya adalah School of Business Economics, Flinders University, Adelaide, Australia. Lincolin lulus tahun 2005 dan mendapat gelar Ph.D dengan disertasinya yang berjudul Assessing the Performance and Sustainability of Microfinance institution: The Case of Village Credit Institution of Bali.

Sesuai dengan judulnya, disertasi Lincolin terpusat pada masalah pembangunan daerah dan pengembangan lembaga keuangan mikro dengan fokus kajian pada upaya pengentasan kemiskinan dan advokasi pada rakyat kecil. Dia terobsesi memberantas kemiskinan melalui optimalisasi lembaga-lembaga keuangan mikro. Dari pengamatannya sejak tahun 1993, Lincolin meyakini masyarakat miskin dapat meningkatkan derajat kehidupannya menjadi lebih baik apabila diberi kesempatan yang memadai. Salah satu caranya adalah dengan membentuk lembaga keuangan mikro. Apabila keduany saling mengisi, warga miskin dapat melepaskan diri dari belenggu kemiskinan, sedangkan lembaga keuangan mikro pun dapat memetik keuntungan dan menjadi lembaga yang kuat.

Di daerah Bali lembaga keuangan mikro yang dapat berkembang baik adalah Lembaga Perkreditas Desa (LPD). Ide pendirian lembaga ini muncul dari, untuk, dan dikelola oleh masyarakat sendiri yang tidak lepas dari aspek budaya dan adat istiadat Bali. Hampir seluruh masyarakat Bali masih memegang teguh adat istiadat. Dengan adanya adat istiadat yang kuat, peran pemerintah pun tidak perlu banyak ikut campur dalam operasional LPD, tetapi cukup melindungi melalui peraturan daeran dan memfasilitasinya saja.

Selain mengkhususkan diri pada keuangan mikro, Lincolin juga sangat intens menganalisis kebijakan pemerintah terkait daya saing investasi. Lincolin berpendapat bahwa turunnya daya saing Indonesia dalam menarik investor asing karena regulasi pemerintah yang kurang mendukung iklim investasi, serta tidak adanya kepastian hukum terhadap berbagai penyimpangan berupa maraknya pungutan liar. Bahkan kebijakan politik pemerintah juga memiliki andil dalam penurunan daya saing investasi karena dampak dari pergantian sejumlah menteri atau pejabat negara yang mengakibatkan kepercayaan investor asing turun. Sedangkan dari aspek eksterdal, dapat dilihat bagaimana kini Vietnam sudah menjadi investor dan memiliki tenaga kerja produktif yang murah, sementara Indonesia kurang menjanjikan.

Minat pada lembaga keuangan mikro dalam ekonomi pembangunan, ekonomi kelembagaan, serta ekonomi bisnis ini membawa Lincolin masuk dalam berbagai organisasi ekonomi bertaraf nasional dan internasional, menempati berbagai posisi prestisius, menghasilkan puluhan karya ilmiah, serta meraih sejumlah penghargaan. Adapun organisasi tingkat nasional dan internasional yang diikutinya adalah: anggota Majelis Dikti dan Litbang PP Muhammadiyah (1991-1994 dan 2005-2010); Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI); dan International Association of Energy Economist (IAEE) (acadstaff.ugm.ac.id).

Sedangkan posisi prestisius setelah menjabat sebagai Deputi Direktur Bidang Akademik Magister Ekonomika Pembangunan UGM adalah: Direktur Program Magister Ekonomika Pembangunan UGM (Januari 2006-Aril 2007); Wakil Dekan Bidang Akademik FEB UGM (April-Oktober 2007); Dekan Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM; dan Ketua Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) cabang Yogyakarta periode 2010-2013. Lincolin dipilih sebagai ketua ISEI Yogyakarta secara aklamasi berdasarkan hasil Rapat Anggota Cabang ISEI di ruang sidang MM UGM (mm.feb.ugm.ac.id).

Untuk lebih jelasnya, berikut adalah curriculum vitae dari Lincolin Arsyad yang dikutip dari acadstaff.ugm.ac.id:
Education Background
1. Doctor, School of Business Economics, Flinders University, Adelaide, Australia, January 2001-January 2005, Thesis : Assessing the Performance and Sustainability of Microfinance Institution: The Case of Village Credit Institution of Bali
2. Master, Energy Management and Policy, The Graduate School of Social Sciences, University of Pennsylvania, Philadelphia, United States, January 1988 - January 1990, Thesis : -
3. Undergraduate, Bachelor Degree in Economics, Department of Economics, Universitas Gadjah Mada, Indonesia, August 1981 - August 1985, Thesis : -

Research Cluster/Group
1. Development Economics

Award
1. Modal Lecturer, Faculty of Economics, Gadjah Mada University, 1998
2. Third place winner in P4 Seminar, non, 1996
3. Modal Student, Faculty of Economics, Gadjah Mada University, 1984

Work Experience
1. Board of Director , January 2009 - January 2009, Magister Of Economics Development, Faculty of Economics and Business, Universitas Gadjah Mada.
2. Director of Graduate Program, January 2006 - Present, Graduate Program in Development Economics.
3. Vice Director for Academic Affair, January 2004 - January 2005, Graduate Program in Development Economics, Faculty of Economics, Gadjah Mada University, Yogyakarta.
4. Vice Director, January 1995 - January 2000, The Center for Research and Economic Development, Faculty of Economics, Gadjah Mada University, Yogyakarta
5. Consultant, January 1991 - January 1992, Board of Regional Development Planning
6. Lecturer, January 1990 - Present, Master of Management Program, Development Economics Page Program, and Postgraduate School of Economics.
7. Head of The Division of Structure and Industrial P, January 1990 - January 1992, Inter University Center (IUC), Gadjah Mada University, Yogyakarta, Indonesia.
8. Lecturer, March 1985 - Present, Faculty Economics and Business, Gadjah Mada University.

Research Supervision
1. Sekartaji, Angelica Dyah, Analisis perbedaan kinerja industri kerajinan yang clustered dan unclustered , Undegraduate, January 2005 - January 2005.
2. Ariyanti, Zita Kusuma, Pengaruh Modal Sosial terhadap Produktivitas Tenaga Kerja: studi kasus PT Pagilaran, Batang, Jateng , Undegraduate, January 2008 - January 2008.
3. Yuwono, Hariyudo Fajar, Analisis contagion effect krisis ekonomi Asia Tenggara tahun 1997/1998 menggunakan pendekatan model markov-switchinh variabel tahun 1992.1 - 1997.7 , Undegraduate, January 2008 - January 2008.

Course Subject
1. Institutional Economics, 3 credits, Undergraduate
2. Development Economics, 3 credits, Undergraduate

Research Grant
1. Bank of Indonesia, An Analysis of Saving Behavior in Central Java and Yogyakarta Province, January 1994 - Present.
2. the Department of Cooperative and Development of Small and Medium-scale Firms of the Republic of Ind, An Evaluation of Development and Improvement of Micro credit Program, January 1993 - January 1999.
3. DPP-SPP, Gadjah Mada University, The Impact of Micro credits on the Development of the Rural Small-scale Industries, January 1993 - Present.
4. Bank of Indonesia, An Analysis of Investment Opportunities in Yogyakarta, January 1993 - Present.
5. Inter University Center (IUC), Gadjah Mada University, An Analysis of Prospects of Small-scale Industries in Indonesia, January 1992 - Present.
6. Board of National Development Planning., The Role of Micro credits in Increasing Income of Rural Community, January 1992 - Present.
7. Board of National Development Planning, An Analysis of Poverty and Income Distribution in Indonesia, January 1991 - Present.
8. Board of Regional Development Planning of Yogyakarta Province, An Analysis of Income Distribution in Yogyakarta Province, January 1990 - Present.
9. Inter University Center (IUC), Gadjah Mada University, The Impact of Government Policy on Industrial Development in Indonesia, January 1988 - Present.
10. Inter University Center (IUC), Gadjah Mada University, The Role of Energy in Industrialization in Indonesia, January 1987 - Present.
11. Central Bureau of Statistics (BPS), A Statistical Analysis of Electricity Generation in Indonesia, January 1986 - Present.

Industrial Project
1. Bank Of Indonesia with PSEKP UGM, Baseline Economic Survey in Special District of Yogyakarta, January 2005 - Present.
2. Assessing the Performance and Sustainability of Microfinance Institution: The Case of Village Credit Institution of Bali, January 2005 - Present.
3. PPE FE UGM and BAPPEDA Yogya Province, Informal Sector Strategy for Enhancing Economic Growth of Yogyakarta Province, January 2005 - Present.
4. Center for Economic and Public Policy Studies Gadjah Mada University and PT Bank BTN , Survey for Educational Saving Development, January 2005 - Present.
5. Bappeda Sikka District, Crafting Strategic Planning for Sikka District of East Nusa Tenggara Province, January 2005 - Present.
6. Bank Of Indonesia with PSEKP UGM, Export Oriented Commodity (SIABE) Research in Special District of Yogyakarta, January 2003 - Present

Community Service
1. Farmers of Kecamatan Lendah, The Impact of Socio-economic Fators on Farmers Income: A Case Study in Kecamatan Lendah, Kulon Progo District, Yogyakarta Province., January 1985 -

Articles
1. Lincolin Arsyad, The Prospects of Small-scale Industries Development., Manajemen Usahawan Muda, January 1st 1993, pp.
2. Lincolin Arsyad, Trans-National Corporation and Economic Globalization., Business News, January 1st 1991, pp. non .
3. Lincolin Arsyad, Structure and Performance of Manufacturing Industries of ASEAN Countries, Manajemen Usahawan Muda, January 1st 1991, pp. Non.
4. Lincolin Arsyad, Agribusiness in Indonesia: Facts, Problems, and Prospects., Business News, January 1st 1986, pp. non

Book
1. Lincolin Arsyad, Introduction to Regional Economic Development and Planning, 2nd edition, Yogyakarta: BPFE UGM, 2002.
2. Lincolin Arsyad, Development Economics, 4th edition, Yogyakarta: UU BHP, 1999.
3. Lincolin Arsyad, Microeconomics, 2nd edition, Yogyakarta: BPFE UGM, 1994.
4. Lincolin Arsyad, Managerial Economics: An Applied Microeconomics for Business Management, 3rd edition, Yogyakarta: PT BPFE, 1993.
5. Lincolin Arsyad, Research Methodology for Economics and Business, Yogyakarta: AMP YKPN, 1993.
6. Lincolin Arsyad, Business Forecasting, Yogyakarta: PT BPFE, 1955.

Selected Publication
1. Lincolin Arsyad, Mudrajad Kuncoro, Wihana Kirana Jaya, and Untung W., Good Institution Good Investment , FSDE 2007, HIMIESPA FEB UGM, Yogyakarta, Indonesia, February 24th 2007.
2. Lincolin Arsyad, Assessing the Affecting Factors of Repayment Rate of Microfinance Institutions: A Case Study of Village Credit Institutions of Gianyar, Bali, International Journal of Business, vol. non, pp. non, 2006.
3. Lincolin Arsyad, How Do Microfinance Institutions Cope with Risk and Uncertainty? A Literature Survey., Journal of Indonesian Economics and Business (JEBI), vol. non, pp. non, 2006.
4. Lincolin Arsyad, An Assessment of Performance and Sustainability of Microfinance Institutions: The Importance of Institutional Environment., International Journal of Business, vol. non, pp. non, 2005.
5. Lincolin Arsyad, Institutions Do Really Matter: Lesson from Village Credit Institutions of Bali, Journal of Indonesian Economics and Business (JEBI), vol. non, pp. non, 2005.
6. Lincolin Arsyad, Do Institutions Really Matter? Lesson from Village Credit Institutions of Bali., International Seminar on Micro banking, non, Bali, Indonesia, January 1st 2004.
7. Lincolin Arsyad, Village Credit Institutions of Bali: An Institutional Analysis, 6th IRSA International Conference, IRSA, Yogyakarta, Indonesia, January 1st 2004.
8. Lincolin Arsyad, The Role of Microfinance Institutions in Economic Development: Evidence from Developing Countries, Journal of Indonesian Economics and Business (JEBI), vol. non, pp. non, 2000.
9. Lincolin Arsyad, An Analysis of Total Factor Productivity of manufacturing Industry in Indonesia, 1980 – 1992., Economics and Development Journal, vol. non, pp. non, 1998.
10. Lincolin Arsyad, The Pattern of Manufacturing Development in Indonesia in the period 1976-1993., Journal of Indonesian Economics and Business (JEBI), vol. non, pp. non, 1997.
11. Lincolin Arsyad, An Analysis of Eco-efficiency of Wood Manufacturing Industry: A Comparison between PT Inhutani and Perum Perhutani, Business Journal of Widya Wiwaha School of Business, Yogyakarta, vol. non, pp. non, 1997.
12. Lincolin Arsyad, The Causal Relationship between Energy Consumption and GDP: The Case of Indonesia, Universitas Gadjah Mada Business Review, vol. non, pp. non, 1994.
13. Lincolin Arsyad, The Prospects of Small-scale Industries Development., Manajemen Usahawan Indonesia, vol. non, 1993.
14. Lincolin Arsyad, Understanding Poverty Problem in Indonesia: An Introduction., Journal of Indonesian Economics and Business (JEBI), vol. non, 1992 15. Lincolin Arsyad, Rural Credit System and Microcredit in Indonesia, Journal of MBA IPWI, vol. 1/4, pp. non, 1992.

Sumber:
"Prof. Lincolin Arsyad, Ph.D Ketua ISEI Yogyakarta", diakses dari http://mm.feb.ugm.ac.id/index.php/news-index/2254, tanggal 2 Agustus 2016.

"Lincolin Arsyad", diakses dari http://acadstaff.ugm.ac.id/MTk1ODA3MjExOTg2MDMxMDAy, tanggal 23 Juli 2016.

Heri Wardoyo, dkk. 2008. 100 Tokoh Terkemuka Lampung, 100 Tahun Kebangkitan Nasional. Bandar Lampung: Lampung Post. Hlm. 331-334.

Ngaseuk

$
0
0
Berladang merupakan salah satu bentuk pertanian (dalam arti luas). Dalam kebudayaan Sunda proses bercocok tanam di ladang para prinsipnya ada empat tahap, yaitu: pengolahan tanah, penanaman, pemeliharaan, dan penuaian (pemungutan hasil). Pada tahap pengolahan tanah terdiri atas ngaresik, nguyab, ngeprek, ngagaritan, ngalobang, dan ngaseuk.

Ngaseuk adalah membuat lubang sebagai tempat untuk memasukkan benih. Alat yang dipergunakan adalah sebatang kayu berbentuk menyerupai alu (alat penumbuh padi) yang salah satu ujungnya runcing, sehingga ketika ditusukkan ke tanah akan menghasilkan lubang.

Gunawan Supriadi

$
0
0
Apabila ada hama yang kini malah dijadikan sebagai maskot daerah, hanyalah luwak yang dapat melakukannya. Berkat hewan sejenis musang itu nama Kota Liwa mendunia. Bahkan, Pemerintah setempat saat ini setiap hari Jumat mewajibkan para pegawainya mengenakan batik berwarna merah khas Lampung Barat yang dihiasi taburan gambar luwak (Harjono: 2010).

Padahal, dahulu penduduk Lampung Barat (terutama para petani) menganggap luwak sebagai hama yang harus dimusnahkan. Hewan omnivora ini sering memakan buhan-buahan yang ditanam petani, seperti: kopi, pisang, pepaya, dan kakao. Dan, apabila wilayah perburuannya memasuki perkampungan penduduk luwak dapat memangsa ayam atau itik yang berada di kandang. Oleh karena itu, luwak sering diburu dan dimusnahkan menggunakan Timex (sejenis racun babi hutan).

Pencitraan luwak sebagai hama mulai bergeser ketika ada sejumlah wartawan televisi Hongkong datang ke Liwa untuk mencari kopi "olahan" luwak hutan. Dari mereka itulah, para penduduk mengetahui bahwa biji kopi yang telah diolah dalam organ pencernaan luwak ternyata memiliki nilai jual jauh lebih tinggi daripada biji kopi yang diusahakan oleh petani selama ini. Walhasil, perburuan luwak pun lebih intesif tetapi bukan untuk dibunuh melainkan ditangkarkan. Luwak menjadi binatang populer di Lampung Barat yang apabila diperdagangkan harganya dapat mencapai Rp.500.000,00 untuk jenis biasa (luwak/musang bulan) hingga Rp.1 juta per ekor untuk jenis yang mulai langka, yaitu luwak binturung atau sering disebut sebagai musang pandang (Harjono: 2010).

Sejak itu pula menggeliatlah industri kopi di Lampung Barat. Banyak daerah di kabupaten ini yang warganya mulai beralih pekerjaan menjadi pebisnis kopi luwak seperti di Way Mengaku, Liwa. Industri kopi luwak di Way Mengaku tidak didominasi oleh perusahaan nasional atau pemilik modal kuat, melainkan (dari hulu ke hilir) dilakukan oleh warga setempat dalam skala rumah tangga dengan sedikitnya ada empat merek dagang yang cukup terkenal, yaitu Kupi Musong Liwa, Raja Luwak, Ratu Luwak, dan Duta Luwak.

Salah satu merek dagang tersebut, yaitu Raja Luwak, dimiliki oleh pengusaha Gunawan Supriadi. Dahulu, Gunawan berprofesi sebagai "koordinator" (kalau tidak boleh disebut "preman") yang menguasai sejumlah lahan perparkiran di Liwa. Sosoknya lumayan ditakuti dan disegani karena sempat dua kali masuk sel akibat perselisihan soal parkir. Namun kini, orang lebih banyak mengenalnya sebagai pengusaha kopi luwak yang cukup mapan dan sukses (Harjono: 2011).

Rintisan usaha kopi luwak Gunawan bermula dari hobinya memelihara hewan-hewan liar, termasuk luwak yang diberi nama Inul dan Adam (mengambil nama pasangan penyanyi dangdut beken dan suaminya) (Harjono: 2011). Suatu hari ada seorang kawannya yang meminta izin mengurus luwaknya. Oleh Sang kawan Inul dan Adam tidak diberi makan daging ayam, melainkan kopi lalu kotorannya dikumpulkan. Penasaran melihat hal itu, Gunawan menelusurinya melalui media elektronik (internet) dan akhirnya mengetahui bahwa biji kopi yang telah diolah secara alami di dalam pencernaan luwak harganya sangat mahal (www.tribunnews.com).

Melihat adanya peluang usaha baru yang lebih menjanjikan, Gunawan segera memerintahkan para tukang parkir anak buahnya yang berjumlah 16 orang untuk mencari binatang luwak sebanyaknya. Setelah terkumpul luwan-luwak itu kemudian dipelihara di halaman belakang rumahnya. Namun, ketika ingin menjual biji kopi hasil "olahan" luwak-luwaknya Gunawan sempat terganjal persoalan pemasaran, terutama masalah hak paten yang mencapai belasan juta rupiah dan isu fatwa haram meski akhirnya ditarik kembali (Harjono: 2010).

Untuk mengatasinya dia terpaksa menawarkan kopi luwak yang diberi merek dagang "Raja Luwak" secara gerilya dari kafe ke kafe dan dari hotel ke hotel di sekitar Liwa. Dan, agar lebih menarik minat pembeli, Gunawan kadang membawa luwak jinak yang masih anak supaya pembeli percaya bahwa kopi yang dijualnya benar-benar hasil olahan binatang luwak (www.pengusaha.us).

Lambat laun usaha Gunawan mulai berkembang dengan jumlah luwak dapat mencapai 60 ekor bila sedang musim Kopi dengan omzet antara 20 kilogram hingga 2 kuintal per bulan dalam bentuk brenjelan. Sedangkan pada hari-hari biasa jumlah luwak yang dipelihara hanya sekitar 26 ekor. Sisanya ada yang diserahkan pada para pengusaha binaannya dan ada pula yang dilepasliarkan kembali. Gunawan bertransformasi dari seorang preman menjadi jutawan "Raja Luwak". Usaha kopi luwaknya kini telah mampu menembus pasar kopi kelas atas di Indonesia dan mancanegara, antara lain Jepang, Korea, Hongkong, dan Kanada (banyakbaca.com). Hal ini karena kopi luwak, khususnya dari Liwa, memiliki reputasi teramat baik, dan bahkan disebut-sebut sebagai salah satu kopi termahal dan terlangka di dunia.

Sukses menjadi pengusaha kopi Luwak tidak membuat Gunawan "lupa daratan" dan ingin memonopoli peredaran kopi luwak di Liwa. Hal ini dia buktikan dengan cara membantu para pengusaha kopi luwak lain yang tinggal di sekitarnya agar tidak terjebak dengan keterbatasan modal dan kendala lainnya sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan mereka. Keterbatasan modal merupakan masalah utama yang dihadapi pengusaha kopi luwak sehingga banyak yang gulung tikar. Mereka kurang mampu memutar modal usaha karena permintaan pasar belum rutin sementara biaya operasional (pemeliharaan luwak) relatif tinggi (sekitar Rp 1,6 juta per bulan per ekor). Kendala lainnya adalah maraknya peredaraan kopi luwak palsu di berbagai kota di Indonesia sehingga pengusaha kopi luwak asli kalah bersaing karena produknya lebih mahal.

Untuk mengatasi segala persoalan pengusaha kopi luwak tersebut Gunawan mencoba mengkoordinir para pengusaha kopi luwak di sekitar rumahnya, Gang Pekonan, Way Mengaku. Sebagian besar di antara mereka adalah para pemula yang tidak memiliki pasar ataupun merek dagang sendiri. Adapun caranya adalah dengan menampung sebagian kopi mereka lalu menjualnya dengan mereka dagang "Raja Luwak". Setiap pengusaha binaan Gunawan diwajibnya menyetor sejumlah 5 kilogram kopi dalam bentuk brenjelan (masih berupa kotoran). Selain itu, mereka juga diharuskan membayar iuran yang nantinya akan difungsikan sebagai bantuan permodalan khususnya untuk membeli kandang dan luwak bagi pengusaha kopi luwak yang masih belum mapan. Bagi Gunawan, keberadaan budidaya kopi luwak tidak hanya dapat memberikan nilai tambah yang mensejahterakan dirinya dan orang lain di sekitarnya tetapi juga menyelamatkan binatang luwak itu sendiri yang populasinya dahulu sempat terancam karena dianggap sebagai hama. (Gufron)

Foto: https://indonesiaproud.wordpress.com/2011/01/19/gunawan-supriadi-raja-kopi-luwak-dari-liwa/
Sumber:
Harjono, Yulvianus. 2010. "Dulu Dianggap Hama, Kini Jadi Maskot", diakses dari http://handsbusiness. blogspot.co.id/2010/12/dulu-dianggap-hama-kini-jadi-maskot.html, tanggal 10 Juni 2016.

----------------. 2011. "Raja Kopi Luwak", diakses dari http://sains.kompas.com/read/2011/01/ 19/10333359/.Raja.Kopi.Luwak, tanggal 10 Juni 2016.

"Mantan Preman Jadi Raja Kopi Luwak", diakses dari http://www.tribunnews.com/regional /2011/01/19/mantan-preman-jadi-raja-kopi-luwak?page=4, tanggal 12 Juni 2016.

"Dahsyat, Mantan Preman Sukses Jadi Milyuner Berkat Usaha Kopi Luwak", diakses dari http://www.banyakbaca.com/dahsyat-mantan-preman-sukses-jadi-milyuner-berkat-usaha-kopi-luwak, tanggal 12 Juni 2016.

"Gunawan Mantan Preman Sekarang Jadi Raja Kopi", diakses dari http://www.pengusaha.us/ 2015/01/gunawan-mantan-preman-sekarang-jadi.html, tanggal 13 Juni 2016.

Golok Ciomas

$
0
0
Bila mendengar kata Banten tentu yang terlintas di benak sebagian kita adalah tanah para jawara. Dalam aktivitas kesehariannya, para jawara itu tentu tidak akan lepas dari atribut-atribut yang mereka sandang. Salah satunya adalah golok yang menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia diartikan sebagai benda sejenis parang atau pedang yang berukuran pendek (http://kbbi.web.id/). Adapun fungsinya, menurut satupedang.blogspot.co.id, ialah sebagai alat pertahanan diri sekaligus juga sebagai lambang kehormatan seorang jawara.

Di Banten terdapat beberapa daerah penghasil golok. Salah satunya adalah golok dari daerah Ciomas, sebuah kecamatan yang berjarak sekitar 20 kilometer dari Kota Serang. Golok buatan Ciomas sangat tenar di kalangan masyarakat Banten dan bahkan hingga ke mancanegara. Ketenarannya bukan hanya dari keindahan bentuk, ukuran serta ketajamannya, tetapi juga karena dipercaya memiliki daya magis kuat (dimensilain.com).

Ada bermacam daya magis yang dimiliki oleh golok buatan Ciomas, di antaranya adalah: dapat meredakan suasana hati (marah, jengkel, dan lain sebagainya) (Ridho, 2015); menambah kesaktian karena mengandung sima (wisatabanten.com); mampu menaklukkan musuh tanpa harus mencabutnya dari warangka serta meredakan perselisihan (dimensilain.com), dan lain sebagainya.

Kemagisan golok Ciomas tersebut berkaitan erat dengan proses pembuatannya. Menurut wisatabanten.com, walau dari segi bentuk relatif sama dengan sejumlah golok produksi daerah lain, golok yang mengacu pada empat desain (Mamancungan, Kembang Kacang, Salam Nunggal, dan Candung) ini memiliki keunikan tersendiri. Ia dibuat melalui suatu tata cara khusus yang sakral dan telah diwariskan secara turun-temurun di Ciomas.

Proses Pembuatan
Pembuatan golok Ciomas hanya dilakukan pada bulan Mulud dalam kalender Jawa atau bulan Rabi'ul Awwal dalam kalender Hijriah. Tujuannya adalah sebagai penghormatan warga masyarakat Ciomas, khususnya warga Pondok Kaharu kepada Nabi Muhammad yang lahir pada tanggal 12 bulan Rabi'ul Awwal (dimensilain.com). Pada bulan ini proses pembuatan golok diawali dengan pengambilan air sepuh dari sembilan mata air yang ada di sekitar wilayah Pondok Kaharu. Selain itu, diadakan juga ritual khusus berupa puasa dan pembacaan doa atau tawasulaan. Si pembuatnya (pandai besi) pun terlebih dahulu harus berziarah ke para tokoh spiritual dan pendekar Banten (Ridho, 2015).

Proses penempaan goloknya sendiri dimulai pada tanggal 12 bulan Mulud menggunakan alat tempa khusus berupa godam keramat yang diberi nama Si Denok. Konon, godam Si Denok merupakan hadiah dari Sultan Banten yang diberikan kepada Ki Cenguk, orang pertama yang membuat golok di daerah Ciomas pada masa kerajaan Islam di Banten (wisatabanten.com). Ada beberapa versi mengenai keberadaan dan pengguna godam ini. Versi pertama dari dimensilain.com, menyatakan bahwa godam Si Denok digunakan oleh Ki Sidik Santani yang berada di Kampung Cibopong, Desa Citaman (kampung pemekaran di Desa Pondok Kaharu). Versi kedua dari wisatabanten.com yang menyatakan bahwa dahulu godam Si Denok berjumlah tujuh buah, namun saat ini hanya tersisa satu buah di Kampung Seuat. Sedangkan versi lainnya lagi dari okpganespa.blogspot.co.id,menyatakan bahwa godam Si Denok dimiliki oleh Jamsari, salah seorang kuturunan Ki Cengkuk. Jamsari hanya meminjamkan godamnya bagi siapa saja yang membutuhkan karena dia hanyalah petani dan bukan pandai besi.

Lepas dari keberadaan serta siapa pemakainya, yang jelas oleh masyarakat Ciomas Si Denok digunakan untuk menempa bakalan golok (setengah jadi) yang bahanya berupa besi khusus yang diambil dari Desa Pondok Kahuru dan Bojong Honje yang ditambah dengan lima atau tujuh campuran yang sifatnya rahasia. Konon, besi kusus ini telah ada sejak zaman Kesultanan Banten yang cara pengambilannya harus melalui riyadhoh atau wiridan dan puasa terlebih dahulu (Ridho, 2015).

Bila penempaan telah selesai, proses selanjutnya adalah membuat gagang golok. Bentuk gagang ada yang disebut wawayangan atau menyerupai wayang, belimbing (menyerupai buah belimbing), mamanukan (menyerupai burung), dan jebug sepasi yang menyerupai buah pinang dibelah. Adapun bahan pembuatnya dari akar kayu jawar karena dipercaya memiliki kekuatan yang baik. Dan terakhir, adalah pembuatan sarangka atau sarung golok yang diberi nama sendiri-sendiri, seperti sompal, simut meuting, dan peper. Sarung golok dilengkapi dengan cincin berjumlah ganjil yang terbuat dari tanduk binatang.

Berikut adalah demonstrasi pembuatan golok Ciomas yang ditampilkan dalam acara "Golok Day" pada event Bulan Wisata Kota Cilegon. Foto diambil akhir bulan April 2016.
Foto: Gufron
Sumber:
Ridho, Rasyid. 2015. "Misteri Keistimewaan Golok Ciomas (Bagian 1)", diakses dari http://daerah. sindonews.com/read/954898/29/misteri-keistimewaan-golok-ciomas-bagian-1-1422015688/30, tanggal 25 November 2016.

"Senjata Golok Ciomas, Pusaka Legendaris dari Banten", diakses dari http://dimensilain.com/senjata-golok-ciomas-pusaka-legendaris-dari-banten/, tanggal 25 November 2016.

"Sejarah dan Jenis Golok Jawara Banten", diakses dari http://satupedang.blogspot.co.id/2015/08/sejarah-dan-jenis-golok-jawara-banten.html, tanggal 25 November 2016.

"Golok", diakses dari http://kbbi.web.id/golok, tanggal 25 November 2016.

"Golok Ciomas: Produk Khas & Asli Banten", diakses dari https://wisatabanten.com/golok-ciomas-banten/, tanggal 26 November 2016.

"Golok Ciomas: Budaya Tradisi dan Warisan Religi Banten", diakses dari https://okpganespa.blogspot.co.id/2011/04/golok-ciomas-budaya-tradisi-dan-warisan.html, tanggal 26 November 2016.

Mapag Galeng

$
0
0
Mapag galeng adalah istilah orang Sunda bagi kegiatan memperbaiki tepian sawah (pematang atau galengan) agar terlihat rapi. Pekerjaan yang disebut sebagai mapag atau numpang galeng ini dilakukan setelah ngawalajar (pembalikan tanah sawah) selesai dilakukan. Adapun alat yang digunakan berupa cangkul atau pacul. Caranya adalah dengan mencangkul tanah lalu menaruhnya di tepian pematang sambil diinjak-injak agar membentuk pematang yang padat. Dalam satu hektar sawah tenaga yang diperlukan untuk mapag sekitar 4 hingga 6 orang. Mereka umumnya adalah buruh laki-laki yang bekerja mulai dari pukul 07.00 hingga masuk waktu ngabedug (magrib).


Foto: Ali Gufron

Oen Sin Yang

$
0
0
Berbicara mengenai kesenian gambang kromong, terutama yang menyajikan lagu-lagu dalem, tentu tidak akan lepas dari sosok bernama Oen Sin Yang atau akrab disapa sebagai Goyong/Go Yong. Dia adalah seniman sekaligus pembuat alat musik tradisional tehyan. Tehyan/teh-hian merupakan sebuah alat musik bernada siang (e) dan liuh (g) yang terdiri atas resonator (wadah gema) dari tempurung kelapa yang dibelah lalu dilapis kulit tipis, tiang kayu berbentuk bulat panjang, dan purilan atau alat penegang dawai. Tehyan dimainkan dengan cara digesek menggunakan tongkat bersenar plastik (kenur).

Kepiawaian Goyong memainkan tehyan tidak lepas dari peran Sang ayah, Oen Hok. Oen Hok sendiri awalnya bukanlan seorang seniman. Menurut satelitnews.co.id, Oen Hok hanyalah seorang penjual es lilin keliling yang sering nongkrong di pertunjukan lenong sekitar Kota Tangerang sambil menjajakan dagangannya. Di situ dia yang waktu itu telah menduda berkenalan dan akhirnya menikah dengan salah seorang panjak bernama Masnah (Pan Tjin Nio). Ibu tiri Goyong ini merupakan legenda dalam kesenian gambang kromong. Dialah satu-satunya seniman Betawi yang masih dapat menyanyikan salah satu jenis lagu dalam kesenian gambang kromong, yaitu lagu dalem.

Ada beberapa versi mengenai jenis lagu dalam kesenian gambang kromong. Versi pertama berasal dari Sopandi dkk, 1992, yang menyatakan bahwa jenis lagu gambang kromong ada tiga macam, yaitu phobin, sayur, dan lagu untuk rancag. Lagu phobin adalah lagu berirama cepat yang dibawakan dalam bentuk instrumentalia. Lagu sayur adalah lagu selingan atau hiburan, seperti: Versi, Jali-jali, Cente Manis, Cente Manis Gula Batu, Cente Manis Kelapa Muda, Surilang, Balo-balo, Stambul Siliwangi, Jali-jali Kalih Jodo, Jali-jali Si Ronda, Jali-jali Pasar Malam, Jali-jali Bunga Siantan, Jali-jali Ujung Menteng, Jali-jali Kramat Karem. Dan, jenis lagu rancag adalah lagu iringan dan lagu vokal dalam penyajian rancag, seperti: Sipitung, Siangkri, Orang Bujang, Galatik Unguk, Stambul.

Sementara versi lainnya lagi menyatakan bahwa lagu gambang kromong hanya terdiri dari dua jenis, yaitu: lagu dalem dan lagu sayur. Lagu dalem adalah lagu yang masih kental dengan nuansa musik Tionghoa. Jenis lagu ini umumnya dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: phobin, musik dan vokal, lalu diakhiri dengan lopan. Komposisinya dapat berupa phobin--musik dan vokal--lopan atau phobin-musik dan vokal-phobin. Irama phobin dan lopan yang sama dapat dimainkan untuk mengiringi lagu yang berbeda.

Phobin merupakan intro atau musik pengantar berdurasi pendek sebelum suara vokal masuk. Menurut Kwa (2005), dahulu phobin merupakan irama khusus yang digunakan untuk mengiringi berbagai macam upacara dalam lingkaran hidup masyarakat Tionghoa tradisional. Judul phobin umumnya menggunakan nama-nama tokoh dalam cerita rakyat Tionghoa berdialek Hokkian di Cina Selatan, seperti: Phobin Poa Si Litan, Phobin Peh Pan Tau, Phobin Cu Te Pan, Phobin Cai Cu Siu, Phobin Cai Cu Teng (Punjung Cendekiawan Berbakat), Phobin Seng Kiok, Ma To Jin (Pendeta Perempuan), Jin Kui Hwe Ke (Jin Kui Pulang Kampung), Lui Kong (Dewa Halilintar), Cia Peh Pan, It Ki Kim (Setangkai Emas), Tai Peng Wan (Teluk Perdamaian dan Ketenteraman), Pek Bou Tan (Bunga Peoni Putih), Cai Cu Siu (Kekayaan, Keturunan dan Usia Panjang), Kim Hoa Cun (Perahu Bunga Emas), Liu Tiau Kim, Si Sai Hwe Ke, Ban Kim Hoa (Berlaksa Bunga Emas), Pat Sian Kwe Hai (Delapan Dewa Menyeberangi Laut), Lian Hoa The (Tubuh Bunga Teratai), Se Ho Liu, Hong Tian, Cu Te Pan, Cay Cu Teng, Kong Ji Lok, Coan Na, Ki Seng Co, Ciang Kun Leng, Tio Kong In, Sam Pau Hoa, Pek Hou Tian, Kim Sun Siang, Ce Hu Liu, Bangliau, Li Ten Hwe Bin, Phobin Kong Ji Lok, dan lain sebagainya.

Untuk dapat memainkan lagu-lagu phobin tersebut, seseorang harus menggunakan notasi dalam huruf Tionghoa yang biasa dipakai unuk lagu-lagu Hokkian Selatan. Oleh karena itu, sekarang sudah sangat jarang ada pemusik gambang kromong yang dapat memainkan lagu phobin secara lengkap. Kalau pun ada, hanya beberapa judul saja, seperti Phobin Khong Ji Lok serta beberapa phobin sebagai pengiring upacara inisiasi menjelang pernikahan atau kematian di kalangan orang Tionghoa tradisional (Kwa, 2005).

Setelah lagu phobin barulah vokal penyanyi masuk dalam tempo lambat dan monoton. Syair yang dilantunkan diambil dari kumpulan pantun Melayu-Betawi atau syair Tionghoa koleksi penyanyinya dan diiringi instrumen musik yang didominasi oleh suling, kong-a-hian, teh-yan dan su-kong tanpa menggunakan instrumen modern. Judul lagu dalem bersyair Melayu-Betawi diantaranya adalah: Peca Piring, Semar Gunem, Mawar Tumpa, Mas Nona, Gula Ganting, Tanjung Burung, Nori Kocok (Burung Nuri), Centeh Manis Berduri, Dempok, Temenggung, Menulis, Enko Si Baba, Indung-indung, Jungjang Semarang, Kulanun Salah, Gunung Payung, Bong Tjeng Kawin, Mas Mira, Persi Kocok, dan Duri Rembang. Sedangkan, yang bersyair Tionghoa adalah: Poa Si Li Tan, Bangliau, Tan Sha Sioe Khie, Gouw Nio, dan Tang Hoa Ko Nyanyi. Lagu dalem kemudian diakhiri dengan lopan atau musik pengakhir lagu dengan judul berbahasa Tionghoa atau Melayu-Betawi, misalnya Lopan Tukang Sado.

Lepas dari berbagai versi lagu tersebut, yang jelas melalui Masnahlah Oen Hok mengenal dan mendalami musik gambang kromong. Bersama kelompok gambang kromong Irama Bersatu mereka ngamen ke berbagai daerah di Jakarta hingga ke Mancanegara, seperti Belanda, Jepang, dan Amerika Serikat. Bahkan, baik Oen Hok maupun Masnah, masing-masing sempat menelurkan album rekaman berlabel Rounder Record, Camp Street Cambridge, Massacuhsetts dan Smithsonian Folkways Recordings (satelitnews.co.id).

Oleh karena aktivitas kedua orang tua berkutat di dunia seni, tentu saja Goyong kecil menjadi terbiasa melihat dan mencoba memainkan peralatan musik yang digunakan, khususnya tehyan. Walau awalnya tidak berpikir untuk mengikuti jejak orang tua, tetapi dalam umur delapan tahun Goyong mampu menguasai tehyan dan juga membaca tangga nada secara otodidak (infonitas.com). Padahal, menurut satelitnews.co.id, Goyong tidak secara khusus belajar tehyan dari Oen Hok. Dia belajar hanya dengan cara melihat ayah dan anggota gorup Irama Bersatu bermain gambang kromong.

Goyong baru serius menekuni tehyan setelah Sang Ayah meninggal dunia. Bersama dengan group Irama Masa yang didirikannya, pada tahun 1987 Goyong mulai ngamen keliling Tangerang mengisi acara perkawinan, perayaan imlek, hingga upacara kematian (tugaskab.blogspot.co.id). Awal kariernya ini secara tidak langsung terbantu oleh ketenaran Sang Ayah. Para penggemar yang merasa kehilangan Oen Hok mulai beralih pada Goyong karena dianggap sebagai "titisannya". Mungkin, mereka beranggapan bahwa buah jatuh pasti tidak jauh dari pohonnya. Gaya permainan tehyan Goyong kemungkinan besar tidak akan jauh dari Oen Hok.

Seiring waktu, permainan tehyan Goyong semakin diakui pula oleh masyarakat, baik yang tinggal di Tangerang maupun daerah lain di Indonesia. Masyarakat Tionghoa yang tinggal di daerah Bangka Belitung misalnya, sering mengundangnya mengisi acara-acara keagamaan. Bila didaulat mengisi acara pernikahan, dia akan membawakan lagu-lagu berirama Cio Taw yang bernuansa riang gembira. sementara bila berada dalam upacara kematian dia akan membawakan lagu-lagu dalem yang sendu dan relatif sulit dimainkan.

Bahkan, berkat usahanya melestarikan kesenian gambang kromong dan alat musik tehyan, dia pernah mendapatkan penghargaan dari Gubernur Banten dan Walikota Tangerang (husnimunir.wixsite.com). Penghargaan dari Walikota Tangerang diserahkan pada peringatan Sumpah Pemuda tahun 2012 atas jasa Goyong sebagai seniman yang memajukan seni dan budaya Kota Tangerang. Sedangkan penghargaan dari Gubernur Banten diberikan pada tahun 2010 sebagai praktisi seni dan budaya tingkat provinsi (satelitnews.co.id). Selain diberi penghargaan, dia juga didaulat oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Tangerang untuk melatih tehyan pada guru serta siswa sekolah di Kota Tangeran. Namun, pelatihannya hanya dilaksanakan setiap tiga bulan sekali (infonitas.com).

Namun, sebagaimana seniman tradisional pada umumnya, Goyong juga dihadapkan dengan masalah klasik, yakni aktivitas berkesenian tidak dapat mencukupi kebutuhannya sehari-hari. Oleh karenanya, disela-sela jadwal manggungnya yang kian jarang, pria yang tinggal di Kampung Sewan, Kecamatan Neglasari, Kota Tangerang ini juga membuat tehyan untuk diperjual belikan berdasarkan pesanan. Adapun pembelinya dari berbagai kota di Indonesia (Surabaya, Bangka, Jakarta, Balikpapan), hingga ke mancanegara (Belanda). Dan, bila tidak ada pesanan, bersama anak lelakinya Goyong menebar jala di Pintu Air 10.








Foto: Ali Gufron
Sumber:
"Oen Sin Yang", diakses dari http://husnimunir.wixsite.com/scopophilia/single-post/2014/ 12/24/Oen-Sin-Yang, tanggal 25 November 2016.

"Goyong, Hanya Ingin Tehyan Lestari", diakses dari http://satelitnews.co.id /read/2012/11/12/goyong-hanya-ingin-tehyan-lestari, tanggal 25 November 2016.

"Oey Sin Yang, Tak Ingin Budaya Ditelan Zaman", diakses dari http://www.infonitas.com /profil/tak-ingin-budaya-ditelan-zaman/12962, tanggal 25 November 2016.

" Tradisi Seni dalam Cina Benteng: Gambang Kromong", diakses dari http://tugaskab. blogspot.co.id/2013/01/tradisi-seni-dalam-cina-benteng-gambang.html, tanggal 26 November 2016.

Sopandi, Atik. dkk. (1992). Gambang Rancag. Jakarta: Dinas Kebudayaan DKI Jakarta.

Kwa, D. 2005. "Lebih dalam tentang gambang kromong & wayang", dalam Jurnal cisadane, 7: 10-15.

Ampyang

$
0
0
Bila mendengar kata ampyang, maka pikiran kita akan tertuju pada penganan khas Jawa tengah yang rasanya manis, bentuknya bundar, berwarna coklat, dan permukaannya dipenuhi oleh butiran kacang tanah. Selain kacang tanah, bahan pembuat lainnya adalah gula merah atau gula jawa, gula pasir, jahe, air, dan daun pisang sebagai alasnya. Sedangkan proses pembuatannya diawali dengan pemarutan atau pencincangan gula merah lalu dilanjutkan dengan pesangraian kacang tanah dan pengirisan jahe. Bila bahan-bahan tersebut telah siap, proses selanjutnya adalah peleburan menjadi adonan dengan bantuan air di dalam wajan hingga mengental. Dan terakhir, pembentukan adonan menjadi lingkaran tipis di atas daun pisang atau kertas roti. Setelah dingin dan mengeras, ampyang siap disajikan.

Foto: https://www.youtube.com/watch?v=v1ZTxtjo3_0

Anjung

$
0
0
Anjung atau sapew umbul adalah sebutan orang Lampung bagi sebuah bangunan berupa rumah darurat di daerah peladangan atau umbulan (talang). Bentuk anjung segi empat memanjang, bertiang 1,80 meter, berlantai pelupuh bambu, berdinding pelupuh anyaman bambu atau kulit kayu, beratap alang-alang atau rumbia, dan memakai loteng darurat. Selain itu anjung juga bertangga, berserambi, mempunyai kamar, dapur dan bergarang. Anjung berfungsi sebagai tempat kediaman sementara dan kadang-kadang secara tetap, untuk tempat menunggu ladang dan atau kebun dari mulai masa tanam hingga panen.

Kabupaten Lampung Barat

$
0
0
Letak dan Keadaan Alam
Lampung Barat adalah salah satu kabupaten yang secara administratif termasuk dalam provinsi Lampung dengan batas geografis sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Bengkulu Selatan (Provinsi Bengkulu) dan Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan (Provinsi Sumatera Selatan); sebelah timur dengan Kabupaten Lampung Utara, Kabupaten Way Kanan, Kabupaten Tanggamus, dan Kabupaten Lampung Tengah; sebelah selatan dengan Selat Sunda dan Kabupaten Tanggamus; dan sebelah barat berbatasan dengan Samudera Hindia. Kabupaten yang dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1991 yang diundangkan tanggal 16 Juli 1991 ini memiliki luas wilayah sekitar 2.141,57 km² atau 495.040 ha dengan titik koordinat 40° 47’ 16” – 50° 56’ 42” Lintang Selatan dan 103° 35’ 08” – 104° 33’ 51” Bujur Timur (id.wikipedia.org).

Kabupaten Lampung Barat terdiri atas 15 Kecamatan yang mencakup 5 kelurahan serta 131 pekon (desa). Ke-15 kecamatan itu beserta luasnya adalah sebagai berikut: (1) Kecamatan Balik Bukit beribukota di Pasar Liwa terdiri atas 10 pekon dan 2 kelurahan seluas 175,63 km2 (8,20%); (2) Kecamatan Sukau beribukota di Buay Nyerupa terdiri atas 10 pekon seluas 223,10 km2 (10,42%); (3) Kecamatan Belalau beribukota di Kenali terdiri atas 10 pekon seluas 217,93 km2 (10.18%); (4) Kecamatan Sekincau beribukota di Pampangan terdiri atas 4 pekon dan 1 kelurahan seluas 118,28 km2 (5,52%); (5) Kecamatan Suoh beribukota di Sumber Agung terdiri atas 7 pekon seluas 170,77 km2 (7,97%) (6) Kecamatan Batubrak beribukota di Pekon Balak terdiri atas 11 pekon seluas 261,55 km2 (12,21%); (7) Kecamatan Sumber Jaya beribukota di Tugu Sari terdiri atas 5 pekon dan 1 kelurahan seluas 195,38 km2 (9,12%); (8) Kecamatan Way Tenong beribukota di Mutar Alam terdiri atas 8 pekon dan 1 kelurahan seluas 116,67 km2 (5,45%) (9) Kecamatan Gedung Surian beribukota di Gedung Surian terdiri atas 5 pekon seluas 87,14 km2; (4,07%); (10) Kecamatan Kebun Tebu beribukota di Putra Jaya terdiri atas 10 pekon seluas 14,58 km2 (0,68%); (11) Kecamatan Air Hitam beribukota di Semarang Jaya terdiri atas 10 pekon seluas 76,23 km2 (3,56%); (12) Kecamatan Pagar Dewa beribukota di Basungan terdiri tas 10 pekon seluas 110,19 km2 (5,15%); (13) Kecamatan Batu Ketulis beribukota di Bakhu terdiri atas 10 pekon seluas 103,70 km2 (4,84%); (14) Kecamatan Bandar Negeri Suoh beribukota di Sri Mulyo terdiri atas 10 pekon seluas 170,85 km2 (7,98%); dan (15) Kecamatan Lumbok Seminung beribukota di Lumbok terdiri atas 11 pekon dengan luas 22,40 km2 (1,05%) (BPS Kabupaten Lampung Barat, 2016; dan bappeda.1x24jam.com).

Topografi Kabupaten Lampung Barat bervariasi mulai dari dataran rendah hingga tinggi (perbukitan dan pegunungan). Dataran rendah yang ketinggiannya 0,1-500 meter dari permukaan air laut hanya sekitar 27,2% dari seluruh wilayah Lampung Barat. Demikian pula dengan dataran di atas 1.001 meter dari permukaan air laut hanya sekitar 25,9%. Sedangkan porsi yang paling besar (46,9%) adalah berupa dataran yang berketinggian antara 501-1.000 meter di atas permukaan air laut.

Iklim yang menyelimuti daerahnya sama seperti daerah lain di Indonesia, yaitu tropis yang ditandai oleh adanya dua musim, penghujan dan kemarau. Musim penghujan biasanya dimulai pada Oktober - Maret, sedangkan musim kemarau biasanya dimulai pada bulan April - September. Curah hujannya rata-rata 2.500-3.000 milimeter per tahun. Sedangkan, temperaturnya rata-rata 20-30 Celcius. Sesuai dengan iklimnya yang tropis maka flora yang ada di sana pada umumnya sama dengan daerah-daerah lain di Indonesia, seperti: jati, kelapa, bambu, tanaman buah (seperti rambutan, manggis, duku, dan durian), padi, dan tanaman palawija (seperti jagung, kedelai, singkong, dan mentimun). Fauna yang ada di wilayah kabupaten ini seperti yang biasa diternakan oleh masyarakat di Indonesia pada umumnya.

Kependudukan
Penduduk Kabupaten Lampung Barat Berjumlah 293.105 jiwa. Jika dilihat berdasarkan jenis kelaminnya, maka jumlah penduduk laki-lakinya mencapai 155.804 jiwa dan penduduk berjenis kelamin perempuan mencapai 137.301 jiwa. Sedangkan jika dilihat berdasarkan golongan usia, maka penduduk yang berusia 0-14 tahun ada 82.584 jiwa, kemudian yang berusia 15-54 tahun ada 181.822 jiwa, dan yang berusia 55 tahun ke atas sejumlah 28.699 jiwa. Ini meninjukkan bahwa penduduk Kabupaten Lampung Barat sebagian besar berusia produktif.

Menurut Badan Pusat Statistik Kabupaten Lampung Barat (2016), dibandingkan tahun sebelumnya, penduduk Lampung Barat mengalami pertumbuhan sebesar 1,19% dengan masing-masing persentase pertumbuhan penduduk laki-laki sebesar 1,01% dan perempuan sebesar 1,16%. Sedangkan kepadatan penduduknya mencapai 136 jiwa/ km2 dengan rata-rata jumlah penduduk per rumah tangga sejumlah 4 orang. Kepadatan penduduk di 15 kecamatan cukup beragam dengan kepadatan tertinggi di Kecamatan Way Tenong (600 jiwa/ km2) dan terendah di Kecamatan Peudada sebesar 67 jiwa/ km2.

Pemerintahan
Perintahan Kabupaten Lampung Barat memiliki sejarah yang relatif masih baru karena merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Lampung Utara. Kabupaten Lampung Utara sendiri terbentuk setelah Gubernur mengeluarkan keputusan Nomor 113 tanggal 17 Mei 1946 yang berisi pemecahan Residen Lampung menjadi tiga, yaitu: Lampung Utara, Lampung Tengah, dan Lampung Selatan. Kemudian, ditetapkan lagi melalui Undang-undang Nomor 4 Darurat Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Kabupaten di lingkungan Daerah Provinsi Sumatera Selatan. Dalam Bab I Pasal 1 dan 2 Undang-undang tersebut dinyatakan bahwa Lampung Utara menjadi sebuah kabupaten dengan batas-batas wilayah sesuai dengan Ketetapan Residen Lampung tanggal 15 Juni 1946 Nomor 304.

Namun, seiring dengan pertambahan jumlah penduduk, kabupaten yang awalnya memiliki luas sekitar 58% dari luas Provinsi Lampung ini akhirnya dimekarkan sebanyak tiga kali. Pemekaran pertama dilakukan pada tahun 1991 dengan terbentuknya Kabupaten Lampung Barat. Pemekaran kedua membentuk sebuah kabupaten baru lagi bernama Tulang Bawang berdasarkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1997. Dan, pemekaran terakhir berdasarkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1999 membentuk Kabupaten Way Kanan.

Pembentukan Kabupaten Lampung Barat menjadi kabupaten yang otonom ditetapkan melalui Undang-undang Nomor 6 Tahun 1991 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II Lampung Barat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1991 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3452) tanggal 16 Agustus 1991. Oleh karena sejak berdiri terjadi perkembangan yang cukup signifikan dalam bidang pemerintahan yang awalnya hanya terdiri dari enam kecamatan, maka pada tahun 2012 dimekarkan lagi menjadi 26 kecamatan. Dan, dari ke-26 kecamatan itu 11 diantaranya digabungkan menjadi kabupaten tersendiri yaitu Kabupaten Pesisir Barat berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2012 tentang pemekaran Daerah Otonom Baru Pesisir Barat (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2012 Nomor 231 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 5364).

Sebagaimana wilayah lain di Indonesia, Kabupaten Lampung Barat juga memiliki lambang daerah. Sebelum berganti logo, bentuk lambang daerah Lampung Barat menyerupai perisai bersudut lima yang menggambarkan bahwa masyarakat Lampung Barat sanggup mempertahankan cita-cita bangsa Indonesia dan melanjutkan pembangunan serta memajukan daerah berdasarkan Pancasila. Di dalam lambang tersebut terdapat gambar-gambar atau lukisan-lukisan sebagai berikut: (a) siger yang melambangkan empat paksi atau atau buay (kelompok adat), yaitu Buay Pernong, Buay Belunguh, Buay Bejalan Di Way, dan Buay Nyerupa; (b) pita berbentuk pintu gerbang bertuliskan "Lampung Barat" dalam aksara Lampung berwarna putih melambangkan masyarakat asli adalah masyarakat Lampung yang siap menerima kedatangan masyarakat pendatang dan bekerja sama dalam membangun daerah; (c) biji kopi berjumlah 24 buah berdaun sembilan helai serta bulir padi sejumlah 91 butir melambangkan peresmian terbentuknya Kabupaten Lampung Barat pada tanggal 24 September 1991; (d) bambu buntu beruas lima buah melambangkan bahwa Kabupaten Lampung Barat merupakan daerah tingat II kelima di Provinsi Lampung; (e) perisai kecil bergambar pegunungan, daun, dan air melambangkan wilayah Lampung Barat merupakan dataran tinggi yang terdiri dari hutan lindung dan pertanian; (f) air beralur enam buah melambangkan bagian barat kabupaten ini berbatasan langsung dengan Samudera Hindia serta melambangkan pula enam tatanan masyarakat adat; dan (g) keris serta tombak melambangkan senjata asli masyarakat Lampung yang digunakan untuk membela diri dari berbagai ancaman (www.kemendagri.go.id).
Selain itu, kabupaten ini juga memiliki misi yaitu Terwujudnya masyarakat Lampung Barat yang "CEKATAN" (Cerdas, Kreatif, Aman, Taqwa, dan Andalan). Sedangkan misinya adalah: meningkatkan kualitas kehidupan beragama dan kerukunan hidup umat beragama; mengentaskan kemiskinan berbasiskan kegiatan ekonomi kerakyatan serta pembangunan yang berwawasan lingkungan dan kesinambungan; meningkatkan pelayanan kesehatan dan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau; meningkatkan kualitas pelayanan umum, jaringan transportasi dan komunikasi; dan meningkatkan kesadaran politik dan demokratisasi guna menciptakan pemerintahan yang bersih dan baik dan mewujudkan kemanan, ketertiban dan kenyamanan.

Pendidikan dan Kesehatan
Sebagai sebuah kabupaten, Lampung Barat tentu saja memiliki sarana pendidikan dan kesehatan yang memadai bagi masyarakatnya. Adapun sarana pendidikan yang terdapat di kabupaten ini, diantaranya adalah: 210 buah Sekolah Dasar dengan jumlah siswa sebanyak 30.679 orang dan 2.604 tenaga pengajar; dan 55 buah Sekolah Menengah Pertama dengan jumlah siswa sebanyak 10.978 orang dan 1.130 orang tenaga pengajar.; 35 buah Madrasah Ibtidaiyah dengan jumlah siswa sebanyak 3.531 orang dan 267 orang tenaga pengajar; 39 buah Madrasah Tsanawiyah dengan jumlah siswa sebanyak 6.083 orang dan 150 orang tenaga pengajar; dan 14 buah Madrasah Aliyah dengan jumlah siswa sebanyak 6.210 orang dan 333 orang tenaga pengajar.

Sedangkan untuk sarana kesehatan terdapat 1 buah rumah sakit, 1 buah rumah bersalin, 17 buah puskesmas, 17 buah posyandu, 18 buah Polindes, dan 14 buah klinik/balai kesehatan. Berdasarkan data yang tercatat pada Balap Pusat Statistik Kabupaten Lampung Barat tahun 2016 tercatat 1.412 orang tenaga kesehatan, diantaranya adalah: 3 dokter spesialis, 3 dokter gigi, 13 dokter umum, 285 orang bidan, dan 17 orang tenaga kesehatan lainnya (BPS Kabupaten Lampung Barat, 2016).

Perekonomian
Letak Kabupaten Lampung Barat yang relatif jauh dari ibukota provinsi (Bandarlampung) membuat perekonomian mayoritas penduduknya masih mengandalkan sektor pertanian untuk memenuhi kebutuhan hidup. Menurut data dari BPS Kabupaten Lampung Barat, hanya sebagian kecil lahan saja yang digunakan sebagai areal perumahan. Selebihnya, merupakan lahan pertanian, perladangan, dan kolam, dengan rincian: padi sawah seluas 11.010 ha, padi irigasi non teknis seluas 2.433 ha, bawang daun seluas 289 ha, cabai seluas 418 ha, kacang panjang seluas 418 ha, kubis seluas 144 ha, petsai seluas 423 ha, kopi robusta seluas 53.606 ha dengan produksi sebanyak 52.644 ton, lada seluas 3.644 ha, kayu manis seluas 832,5 ha, kakao seluas 713, 4 ha, cengkeh seluas 608 ha, labu seluas siam seluas 2.525 ha, dan kelapa seluas 617,6 ha.

Agama dan Kepercayaan
Agama yang dianut oleh Masyarakat Kabupaten Lampung Barat sangat beragam, yaitu: Islam (97,27%), Kristen (1,11%), Katolik (0,92%), Hindu (0,52%), Budha (0,18%), dan aliran Kepercayaan. Ada korelasi positif antara jumlah pemeluk suatu agama dengan jumlah sarana peribadatan. Hal itu tercermin dari banyaknya sarana peribadatan yang berkaitan dengan agama Islam (mesjid, musholla dan langar). Berdasarkan data yang tertera pada Badan Pusat Statistik Kabupaten Lampung Barat, jumlah mesjid yang ada di sana mencapai 487 buah dan musholla/langgar/surau mencapai 237 buah. Sarana peribadatan yang berkenaan dengan penganut agama Kristen dan Katolik mencapai 13 buah, agama Hindu mencapai 5 buah, dan agama Budha hanya ada 4 buah vihara atau kelenteng. Sementara data yang berkaitan dengan sarana peribadatan atau gedung pertemuan maupun jumlah penganut aliran kepercayaan belum ada. (ali gufron)

Sumber:
Lampung Barat Dalam Angka 2016. 2016. Badan Pusat Statistik Kabupaten Lampung Barat.

"Kabupaten Lampung Barat", diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Lampung _Barat, tanggal 5 Mei 2016.

"Kabupaten Lampung Barat", diakses dari http://www.kemendagri.go.id/pages/profil-daerah/ kabupaten/id/18/name/lampung/detail/1804/lampung-barat, tanggal 5 Mei 2016.

"Tentang Lampung Barat", diakses dari http://bappeda.1x24jam.com/tentang-lampung-barat/, tanggal 6 Mei 2016.

Dayang Kumunah

$
0
0
(Cerita Rakyat Daerah Riau)

Alkisah, pada zaman dahulu kala hidup seorang laki-laki tua sebatang kara bernama Awang Gading. Untuk menghidupi dirinya Awang Gading bekerja menangkap ikan di sungai. Apabila hasil tangkapan berlimpah, sebagian dia bungkus dan bawa ke pasar untuk ditukar dengan beras atau barang kebutuhan pokok lain. Kegiatan ini (menangkap ikan) dilakukannya setiap hari dengan hati gembira tanpa pernah mengeluh.

Suatu hari, ketika dia sedang mencari ikan Awang Gading mendengar tangis seorang bayi. Oleh karena hari itu dia sedang sial dengan tidak mendapatkan seekor ikan pun, maka tangisan sang bayi tadi menjadi perhatiannya. Setelah mengemasi peralatan memancingnya dia lalu mencari sumber suara tangisan itu. Tak berapa lama berselang, dia mendapati seorang bayi masih merah tergeletak di bawah sebuah pohon rindang di tepi sungai.

Awang Gading segera mendatangi sang bayi untuk menenangkannya. Pikirnya, mungkin ibunya sedang mencuci pakaian atau mandi di sungai. Dia bermaksud menjaga sang bayi dari hal-hal yang tidak diinginkan hingga sang ibu kembali. Namun, setelah ditunggu hingga menjelang senja ternyata ibu sang bayi tidak juga muncul. Entah mengapa, dia memang sengaja ditinggalkan di tempat itu. Awang Gading memutuskan untuk membawa sang bayi pulang ke rumah. Dia menamainya Dayang Kumunah.

Kehadiran Dayang Kumunah di rumah Awang Gading ternyata menarik perhatian para tetangga. Beberapa di antara mereka, terutama kepala kampung, menganggap bahwa Dayang Kumunah sebagai bayi titipan raja penguasa sungai. Anggapan inilah yang membuat para warga menyarankan agar Awang Gading merawat dan memelihara Dayang Kumunah dengan baik.

Belasan tahun kemudian, Dayang Kumunah tumbuh menjadi gadis yang bertingkah laku sopan dan berbudi luhur. Ketika dewasa, dia menjelma menjadi seorang yang cantik jelita dengan tetap mempertahankan sifat yang sama. Sayangnya, dia memiliki satu kekurangan yaitu tidak pernah tertawa. Sedari bayi hingga menjadi gadis cantik, tak ada seorang pun yang pernah melihatnya tertawa, termasuk Awang Gading sendiri.

Namun, kekurangan itu tertutup oleh kecantikan, kemolekan serta kesintalan tubuh Dayang Kumunah. Oleh sebab itu, selalu saja ada pria yang penasaran dan ingin bertemu dengannya. Salah satunya adalah Awangku Usop, seorang pemuda kaya raya dari kampung sebelah. Ketika mereka bertemu muka, Awangku Usop langsung jatuh cinta dan mengajak Dayang Kumunah menikah.

Mendengar lamaran Awangku Usop, Dayang Kumunah berusaha memberi penjelasan bahwa dia bukanlah manusia biasa melainkan "anak penghuni sungai". Selain itu, dia juga tidak boleh tertawa. Jadi, Awangku Usop tidak boleh memintanya untuk tertawa. Apabila Awangku Usop bersedia menerima "perbedaan" tersebut, maka Dayang Kumunah siap menjadi isterinya.

Terpesona oleh kecantikan, kemolekan, serta kesintalan tubuh Dayang Kumunah, tanpa berpikir panjang Awangku Usop langsung menyanggupinya. Mereka pun akhirnya menikah dalam sebuah pesta yang sangat meriah. Hampir seluruh warga masyarakat yang tinggal di sekitar dusun tempat tinggal Dayang Kumunah maupun Awangku Usop menghadiri prosesi pernikahan.

Pernikahan mereka berlangsung bahagia dengan dikaruniai lima orang anak. Dayang Kumunah melaksanakan tugasnya dengan penuh keikhlasan walaupun hanya berada pada sektor domestik alias mencuci, masak, membersihkan rumah, meladeni suami, merawat anak-anak, dan lain sebagainya. Dia tampak bahagia walau tidak pernah sekalipun tertawa dan hanya tersenyum saja.

Suatu ketika, karena telah lanjut usia Awang Gading meninggal dunia. Hal ini membuat Dayang Kumunah menjadi sedih. Raut mukanya terlihat murung dan seakan tidak memiliki gairah hidup. Sang suami yang melihat hal itu berusaha menghiburnya dengan segala macam cara sehingga perlahan-lahan Dayang Kumunah kembali gembira dan dapat merelakan kepergian Awang Gading yang telah mengasuhnya sejak bayi.

Sukses dalam mengembalikan keceriaan Dayang Kumunah, membuat Awangku Usop lupa akan janjinya. Dia malah berusaha membuat isterinya tidak hanya tersenyum, tetapi juga tertawa. Tepat saat anak bungsu mereka mulai dapat berjalan, Awangku Usop mengerahkan anak-anaknya untuk menggoda si bungsu sehingga mereka pun (termasuk si bungsu) tertawa terkekeh-kekeh.

Agar tidak kehilangan moment, Awangku Usop segera berteriak memanggil sang isteri yang sedang menanak nasi di dapur. Ketika Dayang Kumunah datang, mereka mengajaknya tertawa bersama menyaksikan tingkah polah si bungsu yang memang sangat lucu. Walhasil, Dayang Kumunah lepas kendali dan akhirnya tertawa terbahak menyaksikan si bungsu berusaha berdiri di atas kedua kakinya yang gemuk dan menggemaskan. Sebaliknya, Awangku Usop dan keempat anaknya menjadi tertegun karena melihat insang di dalam rongga mulut Dayang Kumunah.

Tidak berapa lama setelahnya, sadar akan kesalahan, Dayang Kumunah langsung terdiam. Tanpa berkata sepatah pun, dia segera berlari menuju sungai meninggalkan suami dan anak-anaknya. Sesampainya di sungai, dia menceburkan diri dan seketika itu juga tubuhnya beralih ujud menjadi seekor ikan. Awangku Usop yang mengejar di belakangnya tidak dapat berbuat apa-apa. Dia hanya diam terpaku ketika sang ikan jelmaan Dayang Kumunah berputar di sekelilingnya dan kemudian pergi menjauh. Yang ada di benaknya hanyalah kesedihan serta penyesalan karena telah melanggar janji untuk tidak membuat sang isteri tertawa.

Namun ibarat pepatah, nasi telah menjadi bubur. Dayang Kumunah telah menjelma menjadi ikan bersisik mengkilat dan berekor layaknya sepasang kaki perempuan yang disilangkan. Oleh masyarakat setempat ikan itu kemudian dinamakan sebagai patin. Dahulu mereka pantang memakan ikan patin karena dianggap sebagai jelmaan Dayang Kumunah.

Diceritakan kembali oleh ali gufron

Asal Mula Tanjung Lesung

$
0
0
(Cerita Rakyat Daerah Banten)

Alkisah, ada seorang pengelana dari daerah Laut Selatan bernama Raden Budog. Suatu hari dia bermimpi bertemu seorang gadis yang cantik jelita. Mimpi itu selalu membayang di pikiran sehingga pengelanaannya pun diarahkan untuk mencari si gadis. Keyakinannya menyatakan bahwa si gadis pasti mewujud di suatu tempat entah di mana.

Berbekal makanan secukupnya serta sebilah golok dan batu asah Raden Budog mulai berkelana bersama kuda dan anjingnya mencari keberadaan sang gadis impian. Namun setelah beberapa hari menempuh perjalanan tanpa henti, dia belum juga memperoleh petunjuk keberadaan sang gadis. Semakin penasaran, dia tetap melanjukan perjalanan walaupun kedua hewan kesayangannya telah kelelahan.

Oleh karena perjalanan harus menyusuri tanah berbatu serta serta menanjak, ketika berada di Gunung Walang kuda yang ditunggangi Raden Budog terperosok. Mereka jatuh berguling hingga ke lereng gunung. Raden Budog menderita luka lecet di sekujur tubuh. Demikian pula dengan kuda tunggangannya. Bahkan, pelana yang berada di atas punggungnya sampai rusak dan tidak dapat digunakan lagi.

Sadar akan kondisi kuda tunggangannya yang kelelahan Raden Budog memutuskan beristirahat sejenak. Beberapa jam kemudian dia melanjutkan lagi perjalanan. Kali ini dia tidak lagi duduk di pelana, melainkan berjalan bersama dengan kuda dan anjingnya ke daerah Tali Alas hingga tiba di Pantai Cawar. Sesampai di tepi pantai dia langsung menceburkan diri ke air laut untuk menyegarkan diri, sementara kuda dan anjingnya menunggu di bawah sebuah pohon kelapa yang agak teduh.

Puas berendam di air, Raden Budog berniat melanjutkan perjalanan. Namun, entah mengapa kedua hewan itu tidak beranjak ketika diperintah. Bahkan, mereka tetap tidak bergeming walau telah ditarik-tarik dan didorong agar mau beranjang pergi. Raden Budog pun menyerah dan memutuskan untuk meneruskan perjalanan seorang diri menuju arah Legon Waru. Padahal, dia sebenarnya sangat sedih karena kedua hewan itu telah menemani di sepanjang penjalanan. Tetapi karena hasrat ingin berjumpa dengan gadis impian lebih kuat, dia terpaksa merelakan anjing dan kuda kesayangannya.

Setiba di daerah Legon Waru Raden Budog lantas beristirahat di suatu tempat. Badannya, terutama bagian pundak, terasa ngilu karena membawa batu asah yang tadinya dibawa oleh sang kuda. Saat hendak melanjutkan perjalanan kembali, ditinggalkanlah batu asah yang membuat pundaknya terasa ngilu dan nyeri. Konon, batu asah tadi menjelma menjadi sebuah karang. Oleh masyarakat setempat, karang jelmaan batu asah milik Raden Budog itu dinamakan sebagai Karang Pangasahan.

Di tengah perjalanan menyusuri pantai, tiba-tiba turun hujan lebat sehingga dia terpaksa berhenti dan mencari tempat berteduh. Bersamaan dengan basahnya pasir akibat guyuran air hujan, secara perlahan-lahan muncullah ratusan ekor anak penyu yang beramai-ramai berjalan menuju pantai. Oleh masyarakat setempat, lokasi kemunculan para penyu itu kemudian dinamakan sebagai Cipenyu.

Tetapi setelah ditunggu sekian lama hujan tidak juga reda, Raden Budog nekat melanjutkan perjalanan berbekal selembar daun sebagai penutup kepala. Dalam kondisi cuaca buruk tersebut dia melangkahkan kaki menyusuri pantai hingga tiba di mulut sebuah goa karang. Oleh karena pakaian yang dikenakan telah basah kuyup, sementara hujan tidak juga reda dan langit malah bertambah gelap dengan kilatan petir yang menyambar-nyambar, maka dia memutuskan berteduh di dalam goa. Agar tidak kecipratan air hujan, ditutupnya mulut goa itu dengan daun yang digunakan sebagai penutup kepala tadi. Setelah hujan reda, dia bergegas keluar untuk melanjutkan pencariannya. Entah kenapa, daun yang digunakan sebagai penutup goa tadi tetap menempel dan menjadi keras. Oleh masyarakat setempat, goa itu kemudian dinamakan sebagai Karang Meumpeuk.

Langkah kaki Raden Budog membawanya ke sebuah muara sungai yang sedang meluap. Untuk mencapai ke seberang tentu saja tidak mudah karena arus air sangat deras. Dia terpaksa menunggu hingga air sungai surut baru dapat menyeberang. Selanjutnya, sungai meluap itu diberi nama juga oleh masyarakat setempat sebagai "Kali Caah" yang berarti "sungai yang sedang banjir".

Sesampai di seberang, dia melihat ada sebuah desa yang relatif padat namun asri. Dari arah lumbung desa itu sayup-sayup terdengar alunan merdu tumbukan lesung. Setelah didekati, ternyata ada sekelompok gadis sedang ngagondang, sebuah permainan sambil menumbuk padi dengan cara tertentu agar terdengar merdu dan indah. Permainan ini dianggap sakral dan tidak diperkenankan dimainkan pada hari Jumat. Bagi orang yang melanggar akan berakibat buruk pada dirinya sendiri.

Salah seorang diantara gadis yang sedang ngagondang itu berparas cantik, sintal, dan menggairahkan. Dia adalah Sri Po Haci, anak seorang janda bernama Nyi Siti. Dialah gadis yang hadir dalam mimpi Raden Budog yang membuatnya bertekad melakukan pencarian ke seluruh pelosok negeri. Melihat sang gadis impian ada di depan mata, tentu saja jantung Raden Budog berdebar-debar.

Usai ngagondang, sang gadis kembali ke rumah. Dia diikuti oleh Raden Budog. Tiba di rumah Sri Po Haci, Raden Budog meminta izin bermalam. Tetapi karena di rumah hanya ada seorang janda dan anak gadisnya, tentu permintaan tersebut segera di tolak. Tidak hilang akal, Raden Budog lalu menuju ke dipan bambu yang terletak tidak jauh dari rumah Nyi Siti. Dia beristirahat di dipan itu.

Singkat cerita, Raden Budog pun berkenalan dengan Nyi Po Haci. Mereka menjadi dekat, berpacaran, dan akhirnya menikah, walau awalnya ditentang oleh Nyi Siti karena tidak mengetahui asal usul Raden Budog. Setelah menikah Raden Budog tidak megekang kebiasaan Nyi Po Haci. Salah satu di antaranya adalah kebiasaan ngagondang bersama para tetangga. Bahkan, dia justru ikut-ikutan ngagodang. Saking senangnya ngagondang, dia lupa kalau ada larangan bermain setiap hari Jumat. Walhasil, tanpa disadari, ketika sedang membunyikan lesung tiba-tiba tubuhnya beralih ujud menjadi seekor lutung.

Warga desa yang tadinya telah memperingatkan akan larangan tersebut sontak menjadi tertawa geli melihat Raden Budog menjadi lutung yang melompat-lompat sambil bermain lesung. Sadar kalau dirinya sedang ditertawakan, Raden Budog segera menghentikan permainannya. Saat akan meletakkan alu di atas lesung, dia melihat tangannya telah ditumbuhi bulu lebat dan panjang. Selain itu, bagian tubuh belakangnya juga telah keluar sebuah ekor lumayan panjang.

Malu kalau sekarang telah berubah menjadi seekor lutung, tanpa berkata lagi dia langsung melompat menuju hutan di pinggiran desa. Dia menyesal telah melanggar aturan adat sehingga menjadi lutung. Tetapi nasi telah menjadi bubur. Raden Budog telah menjadi lutung selamanya yang harus hidup di dalam hutan. Dan semenjak kejadian itu, nama desa yang berada di dekat tanjung tersebut diubah menjadi Tanjung Lesung.

Diceritakan kembali oleh ali gufron

Asal Mula Batu Rantai

$
0
0
(Cerita Rakyat Daerah Kepulauan Riau)

Alkisah, ada seorang raja bernama Paduka Seri Maharaja. Raja yang memerintah Negeri Tumasik ini dikenal mempunyai perangai buruk. Dia memiliki sifat tamak, iri hati, kejam, dan sering berperilaku sewenang-wenang pada rakyatnya. Suatu ketika rakyat Negeri Tumasik mendapat serangan mendadak dari ratusan ribu ikan todak. Mereka tidak hanya menyerang warga di sepanjang pantai, tetapi juga yang tinggal agak jauh dari laut (pedalaman).

Agar tidak menimbulkan banyak korban jiwa, terutama dari kalangan perempuan dan anak-anak, Paduka Seri Maharaja memerintahkan penduduk laki-laki membuat pagar betis. Namun, strategi itu tidak efektif. Ikan-ikan todak mampu menembus barisan pagar betis sehingga menimbulkan banyak lebih korban. Rakyat tidak sanggup menahan keganasan mereka.

Di tengah kebingungan menghadapi kawanan ikan tersebut, tiba-tiba ada seorang anak kecil datang menghadap Paduka Seri Maharaja. Sang anak kecil berujar bahwa usaha Baginda Maharaja mengerahkan penduduk membuat pagar betis hanyalah sia-sia belaka. Moncong ikan todak yang bagaikan pedang akan dengan mudah menembus barisan pagar manusia.

Paduka Seri Maharaja tentu saja tidak terima pendapat anak kecil yang dianggap sok tahu dan masih ingusan. Bagaimana mungkin anak ingusan dapat memberikan solusi tepat bagi sebuah masalah besar yang melanda kerajaan. Oleh karena itu, dia langsung menghardik sang anak kecil yang tiba-tiba "nongol" dan tidak jelas asal usulnya.

"Hamba Kabil dari Bintan Penaungan, Baginda Raja," jawabnya tegas. "Hamba telah berpengalaman menghadapi ikan todak. Seluruh perilaku ikan tersebut sudah hamba hafal. Jadi, hamba sedikit tahu bagaimana cara mengatasinya," lanjutnya.

Walau jengkel atas kelancangan sang bocah, tetapi Paduka Seri Maharaja tidak mempunyai opsi lain. Dia terpaksa menuruti anjuran Kabil. Oleh karena itu, dia lalu memerintahkan segenap rakyatnya menebang pohon-pohon pisang di seluruh negeri untuk dijejerkan rapat menyerupai pagar. Tujuannya, agar moncong para ikan todak tersangkut atau tertancap pada batang pisang.

Keesokan harinya, ketika kawanan ikan todak menyerang lagi, satu per satu mulut mereka menancap pada batang pisang. Rakyat pun beramai-ramai menangkapnya. Sebagian mereka ada yang langsung mencincang tubuh ikan-ikan sebagai balas dendam atas terlukanya sanak kerabat mereka. Sedangkan sebagian lagi ada yang memotong-motongnya untuk selanjutnya dimasak dengan berbagai macam cara.

Euforia dapat mengalahkan kawanan ikan todak dirasakan oleh hampir seluruh penduduk kerajaan, terutama rakyat kecil. Mereka tidak hanya terbebas dari serangan ikan todak, melainkan juga tidak perlu pergi melaut. Daging kawanan ikan todak yang tertancap di batang-batang pisang dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka selama beberapa bulan.

Namun sebaliknya, para pembesar kerajaan tidak begitu senang sebab kemenangan tersebut berasal dari kalangan orang kebanyakan yang bernama Kabil. Mereka khawatir, dukungan rakyat pada Kabil akan sangat besar sehingga sewaktu-waktu dapat menggulingkan kekuasaan Paduka Seri Maharaja. Apabila hal itu terjadi, kedudukan mereka selaku pejabat dan pembesar istana juga terancam.

Melalui salah seorang perwakilannya, para pembesar mengungkapkan kekhawatiran mereka pada Paduka Seri Maharaja. Selain itu, mereka juga berusaha mempengaruhi agar Paduka Seri Maharaja panas hati dan menyingkirkan Kabil. Adapun caranya, perlu dibuat sedemikian rupa agar dia tidak dapat kembali lagi. Sebab, apabila kembali dikhawatirkan akan menggalang kekuatan untuk melengserkan Paduka Seri Maharaja.

Untuk mengakomodir kekhawatiran para pembesar, Paduka Seri Maharaja memerintahkan pada para pengawal menangkap Kabil. Setelah tertangkap, perintah selanjutnya adalah memasukkannya ke dalam kerangkeng besi dengan tubuh terbalut rantai besi. Dan apbila telah seluruh tubuh telah terikat rantai, maka perintah berikutnya adalah menenggelamkannya di perairan Pulau Segantang Lada. Dengan cara demikian, Paduka Seri Maharaja yakin Kabil tidak akan dapat menggoyangkan kekuasaannya di Kerajaan Tumasik.

Tidak berapa lama setelah perintah diberikan, para prajurit datang menghadap sambil membawa Kabil. Selanjutnya, Paduka Seri Maharaja bersama para prajurit yang membawa kabil dalam kerangkeng ke pelabuhan untuk berlayar menuju perairan Pulau Segantang Lada yang relatif tenang. Ketika sauh diturunkan di tengah laut dan Kabil hendak ditenggelamkan, dia sempat melakukan protes. Dia mempertanyakan mengapa raja menghukumnya, padahal telah memberi saran bijak yang dapat membuat kawanan ikan todak tidak menyerang lagi.

Pertanyaan keberatan itu tidak dipedulikan Paduka Seri Maharaja. Dia tetap memerintahkan beberapa prajurit untuk membuang kerangkeng berisi Kabil ke dalam laut. Kabil pun akhirnya tenggelam dan mati mengenaskan. Tidak lama kemudian, entah mengapa, air laut di lokasi tewasnya Kabil mendadak menjadi sebuah pusaran berbahaya. Penduduk setempat menamainya sebagai Batu Rantai. Para nakhoda yang melintasi perairan itu harus ekstra hati-hati apabila melintasinya.

Diceritakan kembali oleh ali gufron

Pengelosan

$
0
0
Pengelosan/kelosan/gelosan adalah alat untuk mengelos atau menggulung/memintal benang yang akan dijadikan sebagai kain tenun. Adapun benang yang dipintal bukanlah benang siap pakai, melainkan benang jenis masres dan sunwash yang warnanya hanya putih polos. Wujud awal benangnya sendiri masih dalam bentuk pak-pakan atau ball-ballan sehingga harus dicuci, kemudian direndam selama lebih kurang satu malam lalu dijemur hingga kering selama lebih kurang satu hari, bergantung ada atau tidaknya sinar matahari.

Kelosan ada yang menggunakan penggerak mesin dan ada pula yang menggunakan tenaga manusia. Kelosan bertenaga mesin berbentuk persegi pajang terbuat dari bahan besi bulat yang bagian atasnya terdapat beberapa buah roda penggulungan berukuran besar dan kecil. Roda berukuran besar berfungsi untuk memintal benang hasil jemuran, sedangkan roda berukuran kecil untuk memindahkan benang dari roda besar menjadi kelosan-kelosan kecil. Sementara kelosan bertenaga manusia bentuknya lebih sederhana dan terbuat dari bahan kayu dan sebuah velg sepeda beserta pedal kayuhannya. Adapun prosesnya sama seperti kelosan mesin, hanya hasilnya lebih sedikit dan waktu pengerjaannya relatif lebih lama.










Keteng

$
0
0
Keteng atau penghanian atau pihanean adalah sebutan orang Lampung bagi alat perentang (pengeteng) benang tenun (kelosan). Benang kelosan atau disebut juga benang strengan atau benang lusi itu diletakkan pada kreel, yaitu rangka kayu untuk mencucukkan kelosan. Selanjutnya, ujung-ujung benang pada kelosan tadi diambil secara berurutan dari kreel nomor 1, 2, 3, dan seterusnya lalu dimasukkan atau dicucukkan secara berurutan pula pada besi silang, sisir silang (untuk satu lubang sisir hanya boleh satu helai benang), dan sisir hani. Setelah seluruh benang telah dicucukkan, maka bagian ujung-ujungnya disatukan lalu diikat pada kaitan yang terdapat pada tambur. Penghanian bisa dimulai dengan memutar tambur hingga benang tergulung dalam boom tenun dengan jumlah sebanyak yang diperlukan (maksimal hingga 200 meter).

Pada saat melakukan penghanian ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu: (a) benang yang digulung panjangnya harus sama; (b) letak benang yang digulung pada boom tenun harus dalam keadaan sejajar; (c) benang yang digulung pada boom tenun bisa penuh atau sesuai keperluan; (d) lebar benang yang digulung pada boom tenun harus sedikit lebih besar dari sisir; (e) benang yang digulung harus lebih panjang dari kain yang akan dibuat; dan (f) permukaan benang pada boom tenun harus rata.






Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM)

$
0
0
Sesuai dengan namanya, ATBM adalah alat pembuat kain dasar untuk dijadikan sebagai kain tenun tradisional. ATBM terdiri dari rangka kayu yang gerakan mekaniknya dilakukan oleh tenaga manusia. Adapun bagian-bagian dari ATBM di antaranya adalah: (1) Gulungan lusi, sebagai penjaga tepian lusi yang telah dihani. Alat ini berupa kayu bulat panjang dengan jari-jari sekitar 7 centimeter dan pada kedua sisinya terdapat piringan kayu; (2) Gandar gosok, berfungsi sebagai jalan lusi; (3) Kayu silang, berfungsi menjaga agar benang lusi selalu dalam keadaan sejajar agar memudahkan mencari benang yang putus dan mencucuknya kembali dalam mata gun sehingga benang lusi tidak saling tertukar; (4) Gun atau sering disebut kamran terdiri dari dua buah kayu bingkai yang dihubungkan dengan dua buah besi. Fungsi gun adalah sebagai pembagi benang lusi yang dinaik-turunkan menjadi mulut lusi. Di dalam mulut lusi inilah benang pakan diluncurkan untuk kemudian bersilang dengan benang-benang lusi yang akhirnya menjadi sehelai kain; (5) Kerekan, terbuat dari kayu panjang dengan jari-jari 4 centimeter berfungsi untuk menggantungkan gun; (6) Sisir, berfungsi untuk mengetak benang pakan yang telah diluncurkan dalam mulut lusi pada proses menenun serta untuk mengatur kekerapan benang lusi yang disesuaikan dengan halus/kasarnya kain yang dibuat; (7) Laci tenun untuk memegang sisir berbentuk suatu kerangkat terbuat dari kayu. Pada kedua sisi alat ini ada sebuah kotak teropong yang di dalamnya terdapat picker atau alat untuk melontarkan teropong dari kotak yang satu ke kotak yang lain; (8) Gandar dada, berfungsi sebagai jalan kain sebelum digulung; (9) Gulungan kain, terletak di bagian depan di bawah gandar dada namun agak masuk ke dalam alat tenun. Alat ini terbuat dari kayu bundar panjang berjari-jari sama dengan gulungan lusi. Pada salah satu ujung gulungan diberi roda gigi walang dan dilengkapi dengan pal penahan agar gulungan lusi tidak dapat berputar lagi. Satu pal lagi menggunakan pegangan yang berfungsi untuk memutar gulungan pada waktu menggulung kain yang baru ditenun; (10) Gandar rem untuk mengendurkan lusi apabila kain harus dimajukan karena sebagian sudah ditenun; (11) Injakan, berupa dua buah kayu panjang yang terletak di bawah alat tenun dan mempunyai titik putar di bagian belakangny; dan (12) Alat pemukul, berupa beberapa buah tongkat yang dihubungkan dengan tali. Apabila salah satu tongkat digerakkan dengan mendorong laci tenun ke belakang, semua tongkat bergerak dan tongkat terakhir akan menarik tali picker hingga tersentak untuk melontarkan teropong.






Kabupaten Pesisir Barat

$
0
0
Letak dan Keadaan Alam
Pesisir Barat adalah salah satu kabupaten yang secara administratif termasuk dalam provinsi Lampung dengan batas geografis sebelah utara dengan Kabupaten Lampung Barat (Kecamatan Balik Bukit, Kecamatan Batu Brak, Kecamatan Suoh, Kecamatan Bandar Negeri Suoh) dan Kabupaten Ogan Komering Ulu (Provinsi Sumatera Selatan); sebelah timur dengan Kecamatan Pematang Sawah dan Kecamatan Semaka; sebelah selatan dengan Samudera Hindia; dan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Kaur (Provinsi Bengkulu). Kabupaten yang dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2012 (lembaran Negara Nomor 231, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5364) yang diundangkan tanggal 17 November 2012 ini memiliki luas wilayah sekitar 2.907,23 km² atau 495.04 ha dengan titik koordinat 4° 40’ 0” – 6° 0’ 0” Lintang Selatan dan 103° 30’ 0” – 104° 50’ 0” Bujur Timur (id.wikipedia.org).

Kabupaten Pesisir Barat terdiri atas 11 Kecamatan yang mencakup 2 kelurahan serta 116 pekon (desa). Ke-11 kecamatan itu beserta luasnya adalah sebagai berikut: (1) Kecamatan Bengkunat Belimbing beribukota di Kota Jawa terdiri atas 14 pekon seluas 943,70 km2 (32,69%); (2) Kecamatan Bengkunat beribukota di Pardasuka terdiri atas 9 pekon seluas 215,03 km2 (7,45%); (3) Kecamatan Ngambur beribukota di Negeri Ratu Ngambur terdiri atas 9 pekon seluas 327,17 km2 (11,33%); (4) Kecamatan Pesisir Selatan beribukota di Biha terdiri atas 15 pekon seluas 409,17 km2 (14,17%); (5) Kecamatan Krui Selatan beribukota di Way Napal terdiri atas 10 pekon seluas 36,25 km2 (1,26%) (6) Kecamatan Pesisir Tengah beribukota di Pasar Krui terdiri atas 2 kelurahan dan 6 pekon seluas 120,64 km2 (4,18%); (7) Kecamatan Way Krui beribukota di Gunung Kemala terdiri atas 10 pekon seluas 40,92 km2 (1,42%); (8) Kecamatan Karya Penggawa beribukota di Kebuayan terdiri atas 12 pekon seluas 211,11 km2 (7,31%) (9) Kecamatan Pesisir Utara beribukota di Kuripan terdiri atas 12 pekon seluas 84,27 km2 (2,92%); (10) Kecamatan Lemong beribukota di Lemong terdiri atas 13 pekon seluas 454,97 km2 (15,76%); dan (11) Kecamatan Pulau Pisang beribukota di Pulau Pisang terdiri atas 6 pekon seluas 64,00 km2 (1,51%) (BPS Kabupaten Pesisir Barat, 2013).

Topografi Kabupaten Pesisir Barat bervariasi mulai dari dataran rendah hingga tinggi (perbukitan dan pegunungan). Dataran rendah yang ketinggiannya 0,1-600 meter dari permukaan air laut hanya sekitar 27,2% dari seluruh wilayah Pesisir Barat. Demikian pula dengan dataran di atas 1.001 meter dari permukaan air laut hanya sekitar 25,9% yang seluruhnya merupakan wilayah pegunungan (Gunung Pugung, Sebayan, Telalawan, dan Tampak Tunggak). Sedangkan porsi yang paling besar (46,9%) adalah berupa dataran yang berketinggian antara 601-1.000 meter di atas permukaan air laut dengan kemiringan berkisar antara 3%-5%.

Sebagaimana daerah Sumatera yang berada di rantai pegunungan Bukit Barisan pada umumnya, Kabupaten Pesisir Barat beriklim tropis yang ditandai oleh adanya dua zona iklim, yakni zona A dan zona B. Zona A yang memiliki jumlah bulan basah lebih dari bulan berada di bagian barat Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), termasuk daerah Krui dan Bintuhan. Sedangkan, zona B yang memiliki jumlah bulan basah antara 7-9 bulan berada di bagian timur TNBBS. Curah hujannya rata-rata 2.500-3.000 (zona A) dan 3.000-4.000 (Zona B) milimeter per tahun. Sementara itu, suhu udaranya berkisar dari 20° Celcius sampai dengan 28° Celcius.

Oleh karena sebagian wilayahnya berada dalam lingkup TNBBS yang merupakan salah satu perwakilan ekosistem hutan hujan dataran rendah di Pulau Sumatera, maka memiliki formasi vegetasi yang cukup lengkap, yaitu vegetasi pantai, payau, rawa, hutan tanaman, hutan bambu dan hutan hujan hujan tropika. Jenis-jenis tumbuhan yang banyak dijumpai di dalam vegetasi ini diantaranya adalah pidada (Sonneratia sp.), nipah (Nypa fruticans), cemara laut (Casuarina equisetifolia), pandan (Pandanus sp.), cempaka (Michelia champaka), meranti (Shorea sp.), mersawa (Anisoptera curtisii), ramin (Gonystylus bancanus), keruing (Dipterocarpus sp.), damar (Agathis sp.), rotan (Calamus sp.), bunga raflesia (Rafflesia arnoldi), bunga bangkai jangkung (Amorphophallus decus-silvae), bunga bangkai raksasa (A. titanum), anggrek raksasa/tebu (Grammatophylum speciosum), dan lain sebagainya (sekitar 10.000 jenis tumbuhan yang 17 diantaranya termasuk marga endemik).

Vegetasi-vegetasi tersebut sampai saat ini kondisinya relatif masih lengkap dan asli, sehingga memungkinkan beraneka ragam jenis fauna hidup dan berkembang di dalamnya. Menurut situs resmi Balai TNBBS (tnbbs.org), di taman nasional ini memiliki beragam jenis satwa yang terdiri dari 201 spesies mamalia (22 spesies diantaranya dilindungi undang-undang), 582 spesies burung (21 dilindungi), 270 spesies ikan air tawar, dan 30 jenis amfibi dan repilia yang beberapa diantaranya dilindungi undang-undang. Jenis-jenis satwa itu diantaranya adalah: beruang madu (Helarctos malayanus malayanus), badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis sumatrensis) berjumlah sekitar 300 ekor, harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) berjumlah kurang dari 400 ekor, gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) berjumlah kurang dari 2000 ekor, tapir (Tapirus indicus), ungko (Hylobates agilis), siamang (H. syndactylus syndactylus), simpai (Presbytis melalophos fuscamurina), kancil (Tragulus javanicus kanchil), penyu sisik (Eretmochelys imbracata), kelinci belang sumatera, sekitar 22 jenis kelelawar (Balionyctres maculata, Cynopterus branchyotis, Cynopterus minutus, Hipposideros bicolor, Hipposideros cervinus, Hipposideros cineraceus, Hipposideros diadema, Hipposideros larvatus, Kerivoula hardwickii, kerivoula intermedia, Kerivoula papillosa, Kerivoula pellucida, Megaderma spasma, Murina cyclotis, Murina Suilla, Nycteris javanica, Phonisscus atrox, Rhinolopus affinis, Rhinolopus bornensis, Rhinolopus lepidus, dan Rhiolopus trifoliatus), dan lain sebagainya.

Pemerintahan
Perintahan Kabupaten Pesisir Barat memiliki sejarah yang relatif masih baru karena merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Lampung Barat. Kabupaten Lampung Barat sendiri terbentuk pada tahun 1991 karena adanya pemekaran Kabupaten Lampung Utara yang awalnya memiliki luas sekitar 58% dari luas Provinsi Lampung. Pemekaran Kabupaten Lampung Utara selanjutnya membentuk sebuah kabupaten baru lagi bernama Tulang Bawang berdasarkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1997. Dan, pemekaran terakhir berdasarkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1999 membentuk Kabupaten Way Kanan.

Pembentukan Pesisir Barat menjadi kabupaten yang otonom ditetapkan melalui Undang-undang Nomor 22 Tahun 2012 tentang Pemekaran Daerah Otonom Pesisir Barat (Lembaran Negara Nomor 231 tahun 2012, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5364 tahun 2012) tanggal 17 November 2012 (Buku Putih Sanitasi (PBS) Tahun 2014). Adapun bentuk lambang daerahnya, berdasarkan peraturan upati Pesisir Barat Nomor 04 tahun 2013, adalah menyerupai perisai/tameng bersudut lima yang menggambarkan bahwa pemerintah setempat menjamin keamanan dan ketertiban wilayahnya. Di dalam lambang tersebut terdapat aksara serta gambar-gambar atau lukisan-lukisan sebagai berikut: (a) aksara Lampung berbunyi "Helauni Kibakhong" berwarna hitam dengan dasar kuning emas memiliki arti "kebersamaan" yang bermakna terbentuk dan keberadaan Kabupaten Pesisir Barat atas dasar semangat dan gotong royong masyarakatnya; (b) bidang persegi panjang vertikal berwarna putih di tengah dasar melambangkan pemerintahan yang lurus, bersih, dan berwibawa dengan mengutamakan transparansi; (c) garis berkelok berwarna putih dan biru muda representasi dari air laut melambangkan Kabupaten Pesisir Barat kaya akan sumber daya kealutan. Selain itu air laut juga dapat pula diartikan sebagai gerakan dinamis masyarakat dalam membangun daerahnya; (d) perahu berwarna merah melambangkan ketangguhan masyarakat menghadapi segala bentuk rintangan serta hambatan dalam mengarui kehidupan; (e) pohon damar berwarna hijau muda yang membentuk stilasi siger melambangkan kekayaan potensi hasil hutan serta simbol masyarakat Pesisir Barat yang menjunjung tinggi kehormatan dan martabat daerah dan negara; (f) pegunungan berwarna hitam melambangkan kesuburan dalam bidang pertanian dan perkebunan di wilayah Pesisir Barat; dan (g) payung agung berwarna kuning emas sebagai simbol melindungi, mengayomi, dan menjunjung tinggi.
Selain itu, kabupaten ini juga memiliki visi yaitu menuju kota modern berbasis lingkungan. Sedangkan misinya adalah: meningkatkan pemanfaatan potensi perikanan dan pertanian; meningkatkan pengelolaan pariwisata dan budaya daerah; meningkatkan perekonomian masyarakat dari sektor pertanian, perkebunan, dan kehutanan; meningkatkan kualitas pelayanan umum, jaringan transportasi dan komunikasi; meningkatkan pelayanan pendidikan berkualitas dan terjangkau; meningkatkan pelayanan kesehatan berkualitan dan terjangkau; dan meningkatkan kesadaran pembangunan berwawasan lingkungan (pesisirbaratkab.go.id).

Sedangkan organisasi pemerintahan awalnya berdasar pada Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2007 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4741), sehingga Bupati mengeluarkan Peraturan Pejabat Bupati Nomor 01 tahun 2013 tentang Pembentukan, Organisasi, dan Tata Kerja Perangkat Daerah Kabupaten Pesisir Barat yang sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 138/2051/SJ/ tanggal 31 Agustus 2007. Namun, untuk lebih merampingkan struktur organisasinya agar bekerja lebih efektif, Bupati mengeluarkan lagi Peraturan Nomor 01 tahun 2013 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah Kabupaten Pesisir Barat yang terdiri atas: PLT Bupati, DPRD. Sekretarian DPRD, Sekretarian Daerah, Staf Ahli (Pemerintahan, Pembangunan, Ekonomi dan Keuangan), Asisten Bidang Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat (Bagian Tata Pemerintahan, Bagian Hukum dan Organisasi, Bagian Kesejahteraan Rakyat), Asisten Bidang Administrasi Umum (Bagian Umum, Bagian Hubungan Masyarakat dan Protokol), Kecamatan, Dinas Daerah (Pendidikan, Kebudayaan, Pemuda, dan Olahraga; Kesehatan; Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi; Pekerjaan Umum; Perhubungan dan Kominfo; Pertambangan dan Energi; Kependudukan dan Pencatatan Sipil; Perinsudtrian, Perdagangan, Koperasi, dan Pasar; Pertanian), Lembaga Teknis Daerah (Inspektorat Kabupaten; Badan Perencanaan Pembangunan Daerah; Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Pekon; Badan Kepegawaian Daerah; Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana; Badan Lingkungan Hidup, Kebersihan, dan Pertamanan; Badan Penanggulangan Bencana Daerah; Badan Penyuluh Pertanian, Perkebunan, Peternakan, dan Kehutanan; Kantor Kesatuan Bangsa, Politik, dan Perlindungan Masyarakat; Perpustakaan Dokumentasi dan Arsip Daerah; Rumah Sakit Umum Daerah; Kantor Ketahanan Pangan), dan Asisten Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Pembangunan.

Dari struktur di atas dapat diketahui bahwa tampuk pimpinan tertinggi kabupaten dipegang oleh seorang Bupati. Pengangkatannya dipilih oleh masyarakat untuk periode lima tahun. Dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh Sekretariat Daerah yang menyusun kebijakan dan mengoordinasikan dinas daerah dan Lembaga Teknis Daerah. Untuk melaksanakan tugas Sekretariat Daerah memiliki struktur organisasi yang terdiri atas: Sekretaris Daerah; Asisten Bidang Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat (membawahi Bagian Tata Pemerintahan, Bagian Hukum dan Organisasi, Bagian Kesejahteraan Rakyat); Asisten Bidang Perekonomian dan Pembangunan; Asisten Bidang Administrasi Umum, dan Kelompok Jabatan Fungsional.

Selain Sekretariat Daerah, Sekretaris Daerah juga membawahi sejumlah Dinas Daerah, Lembaga Teknis Daerah, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, dan Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Pekon. Lembaga-lembaga tersebut merupakan unsur pelaksana otonomi daerah yang memiliki fungsi: (a) perumusan kebijakan teknis sesuai dengan lingkup tugasnya; (b) penyelenggaraan urusan pemerintahan dan pelayanan umum; (c) pembinaan dan pelaksanaan tugas; (d) pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Bupati; dan (e) pengelolaan administratif.

Kependudukan
Penduduk Kabupaten Pesisir Barat Berjumlah 144.763 jiwa, dengan jumlah Kepala Keluarga (KK) 33.292. Jika dilihat berdasarkan jenis kelaminnya, maka jumlah penduduk laki-lakinya mencapai 76.240 jiwa dan penduduk berjenis kelamin perempuan mencapai 68.523 jiwa. Para penduduk ini tersebar di 11 kecamatan, yaitu Pesisir Selatan dihuni oleh 21.762 jiwa (5,09%), Bengkunat dihuni oleh 7.620 jiwa (5,61%), Bengkunat Belimbing 24.009 jiwa (5,61%), Ngambur 17.953 jiwa 4,20%, Pesisir Tengah 18.358 jiwa (4,29%), Karya Penggawa 14.292 jiwa (3,34%), Way Krui 8.328 jiwa 1,95%, Krui Selatan 8.531 jiwa 1,99%, Pesisir Utara 8.202 jiwa 1,92%, Lemong 14.365 jiwa 3,36%, dan Pulau Pisang dihuni oleh 1.343 jiwa (0,31%). Jika dilihat berdasarkan golongan usia, maka penduduk yang berusia 0-14 tahun ada 54.825 jiwa (34,44%), kemudian yang berusia 15—54 tahun ada 76.632 jiwa (50,83%), dan yang berusia 55 tahun ke atas 12.559 jiwa (14,73%). Ini menunjukkan bahwa penduduk Pesisir Barat sebagian besar berusia produktif.

Pola Pemukiman
Dari segi luas, pemukiman menempati urutan keempat setelah setelah hutan, persawahan dan perkebunan. Pemukiman yang tentunya berada di luar hutan, perladangan dan persawahan ini semakin mendekati jalan semakin padat. Umumnya perumahan berada di sekitar jalan, baik itu jalan kabupaten, kecamatan, maupun desa, berjajar dengan arah menghadap ke jalan (pola pita/ribbon). Arah rumah yang berada bukan di pinggir jalan pun arahnya mengikuti yang ada di pinggir jalan.

Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Pesisir Barat tahun 2014, jumlah rumah yang ada di kecamatan tersebut ada 34.196 buah. Dari ke 34.196 buah rumah tersebut, 7.217 buah diantaranya berada di Kecamatan Pesisir tengah. Sisanya, (berdasarkan jumlah) berada di Kecamatan Pesisir Selatan 5.563 buah, Bengkunat Belimbing 5.338 buah, Ngambur 4.344 buah, Lemong 3.229 buah, Pesisir Utara 2.556 buah, Bengkunat 2.466 buah, Karya Penggawa 1.445 buah, Way Krui 826 buah, Krui Selatan 783 buah, dan Kecamatan Pulau Pisang 429 buah.

Sebagian besar rumah yang berada di Pesisir Barat masih bersifat tradisional yang mengelompok dan tersebar secara sporadis. Adapun cirinya berupa bangunan semi permanen berbentuk panggung, tingkat KDB rendah, MCK di luar rumah, menggunakan sumur (air tanah) sebagai sumber air minum, dan kurang atau belum mendapat pasokan listrik. Khusus untuk pasokan listrik, kabupaten baru ini relatif masih kurang. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila sering terjadi pemadaman listrik secara bergilir. Bahkan, pemadaman hampir terjadi setiap hari dengan jangka waktu antara beberapa jam hingga beberapa hari. Oleh karena itu, untuk mensiasatinya hampir di setiap rumah memasang genset berbahan bakar solar agar dapat tetap menikmati listrik.

Perekonomian
Letak Kabupaten Lampung Barat yang relatif jauh dari ibukota provinsi (Bandarlampung) membuat perekonomian mayoritas penduduknya masih mengandalkan sektor pertanian untuk memenuhi kebutuhan hidup. Menurut data dari BPS Kabupaten Pesisir Barat tahun 2013, hanya sebagian kecil lahan saja yang digunakan sebagai areal perumahan. Selebihnya, merupakan lahan pertanian, dan perladangan/perkebunan, dengan rincian: padi sawah seluas 8.683 ha dengan produksi sejumlah 67.663 ton, padi irigasi non teknis seluas 3.894 ha dengan produksi sejumlah 9.755 ton, Jagung seluas 1.543 ha 15.005 ton, ubi kayu seluas 169 ha 5.455 ton, ubi jalar seluas 90 ha 770 ton, kedelai seluas 158 ha 61 ton, kacang hijau seluas 152 ha 82 ton, kacang tanah seluas 246 ha 204 ton, mentimun seluas 176 ha 24.113 ton, bawang daun seluas 2 ha 2.072 ton, bawang merah seluas 5 ha 350 ton, buncis seluas 247 ha 20.838 ton, kacang panjang seluas 261 ha 20.819 ton, kentang seluas 40 ha 4.966 ton, kubis seluas 406 ha 104.010 ton, sawi seluas 369 ha 4.747 ton, terung seluas 240 ha 10.460 ton, cabe seluas 323 ha 39.885 ton, tomat 315 ha 75.432 ton, wortel 244 ha 48.527 ton, bayam 138 ha 8.21 ton, kangkung 151 ha 9.283 ton, labu siam 61 ha 58.958 ton, nenas 566 ha 1.770 ton, sawo 366 ha 4.188 ton, rambutan 744 ha 2.539 ton, alpokat 965 ha 8.952 ton, duku 15.323 ha menghasilkan buah sejumlah 11.460 ton, nilai 4,7 ton, pinang 95,8 ton, fanili 0,8 ton, aren 87, ton, cengkeh 252 ton, kakao 1.002 ton, kayu manis 212, ton, kelapa 7.100 ton, karet 24, ton, kelapa sawit 58.680 ton, kemiri 50 ton, robusta 4.470 ton, dan lada menghasilkan panen sejumlah 1.873 ton.

Selain pertanian ada banyak lagi sektor yang menunjang perekonomian. Menurut data dari PDRB Kabupaten Pesisir Barat yang mengutip dari BPS Lampung Barat (Kabupaten Induk), aktivitas perekonomian yang mencapai 2,9 triliun dibagi menjadi beberapa kategori lapangan usaha, yaitu: pertanian, kehutanan dan perikanan 52,90%; pertambangan dan penggalian 5,15%; industri pengolahan 5,37%; pengadaan air, pengelolaan sampah, limbah dan daur ulang 0,06%; konstruksi 5,09%; perdagangan besar/eceran, reparasi mobil, dan sepeda motor 11,23%; transportasi dan pergudangan 0,9%; penyedia akomodasi dan makan minum 1,55%; informasi dan komunikasi 1,56%; jasa keuangan dan asuransi 1,64%; real estate 3,55%; jasa perumahan 0.14%; dan administrasi pemerintahan, pertanahan dan jaminan sosial 5,17%.

Pendidikan dan Kesehatan
Sebagai sebuah kabupaten, Pesisir Barat tentu saja memiliki sarana pendidikan dan kesehatan yang cukup memadai bagi masyarakatnya. Adapun sarana pendidikan yang terdapat di kabupaten ini, diantaranya adalah: 53 buah Taman Kanak-kanak dengan jumlah siswa sebanyak 1.503 orang dan 163 tenaga pengajar; 109 buah Sekolah Dasar dengan jumlah siswa sebanyak 18.808 orang dan 1.157 tenaga pengajar; 31 buah Sekolah Menengah Pertama dengan jumlah siswa sebanyak 30.414 orang dan 5.649 orang tenaga pengajar; 14 buah Sekolah Menangah Atas dengan jumlah siswa sebanyak 5336 dan 219 tenaga pengajar; 26 buah Madrasah Ibtidaiyah dengan jumlah siswa sebanyak 2.780 orang dan 332 orang tenaga pengajar; 40 buah Madrasah Tsanawiyah dengan jumlah siswa sebanyak 4.000 orang dan 332 orang tenaga pengajar; dan 8 buah Madrasah Aliyah dengan jumlah siswa sebanyak 936 orang dan 156 orang tenaga pengajar.

Sedangkan untuk sarana kesehatan terdapat 1 buah rumah sakit, 5 buah puskesmas, 17 buah posyandu, dan 18 buah Polindes. Berdasarkan data yang tercatat pada Balap Pusat Statistik Kabupaten Lampung Barat tahun 2013 tercatat 253 orang tenaga kesehatan, diantaranya adalah: 2 dokter umum, 196 orang bidan/perawat, dan 55 orang tenaga kesehatan lainnya (BPS Kabupaten Lampung Barat, 2013).

Agama dan Kepercayaan
Agama yang dianut oleh Masyarakat Kabupaten Lampung Barat sangat beragam, yaitu: Islam (144.493 jiwa), Kristen, Katolik, Hindu (270 jiwa), Budha, dan aliran Kepercayaan. Ada korelasi positif antara jumlah pemeluk suatu agama dengan jumlah sarana peribadatan. Hal itu tercermin dari banyaknya sarana peribadatan yang berkaitan dengan agama Islam (mesjid, musholla dan langar). Berdasarkan data yang tertera pada Badan Pusat Statistik Kabupaten Pesisir Barat, jumlah mesjid yang ada di sana mencapai 250 buah dan musholla/langgar/surau mencapai 222 buah. Sarana peribadatan yang berkenaan dengan penganut agama Kristen dan Katolik mencapai 13 buah. Sementara data yang berkaitan dengan sarana peribadatan penganut Hindu, Budha, dan atau gedung pertemuan maupun jumlah penganut aliran kepercayaan belum ada. (Ali Gufron)

Sumber:
"Visi dan Misi", diakses dari http://www.pesisirbaratkab.go.id/?page_id=68, tanggal Februari 2017.

Lampung Barat Dalam Angka 2013. 2013. Badan Pusat Statistik Kabupaten Lampung Barat.

PDRB Kabupaten Pesisir Barat Tahun 2015. 2015.Badan Pusat Statistik Kabupaten Lampung Barat.

Buku Putih Sanitasi (PBS) Tahun 2014. 2014. Pokja Sanitasi Kabupaten Pesisir Barat.

"Kondisi Umum", diakses dari http://tnbbs.org/Profile/Kondisi-Umum.aspx, tanggal 19 Februari 2017.

"Kabupaten Pesisir Barat", diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Pesisir_Barat, tanggal 19 Februari 2017.

Lalipak

$
0
0
Lalipak adalah istilah orang Lampung untuk menyebut alat sederhana pengangkut/transportasi barang dan manusia. Bahan pembuah lalipak adalah kayu bulat dari sebatang pohon tua yang dibelah dua. Salah satu bagian dari kayu yang telah dibelah kemudian dibuang bagian dalamnya sehingga membentuk perahu menyerupai lesung. Agar dapat imbang (tidak terbalik) ketika berada di air Lalipak dilengkapi cadik yang terbuat dari bambu. Dan, sebagai alat penggeraknya dilengkapi oleh pengayuh berupa dayung. Sampai saat ini lalipak masih banyak digunakan orang, terutama mereka yang tinggal di tepian Danau Ranau.

Festival Teluk Stabas

$
0
0
Teluk Stabas berada di sekitar Krui, Kabupaten Pesisir Barat. Konon, nama teluk ini berasal dari kata Sebastian, seorang nakhoda kapal dagang bangsa Belanda. Waktu itu Sebastian bersama anak buahnya berlabuh di sekitar teluk untuk berdagang. Oleh karena tidak terbiasa menyebut kata Sebastian, masyarakat setempat menyapanya dengan sebutan “Stabas”. Dan, teluk tempat kapal Sang Stabas berlabuh lama-kelamaan pun dinamakan menjadi Teluk Stabas.

Oleh pemda setempat, di teluk itu setiap bulan Juli diadakan event kepariwisataan tahuan bertajuk Festival Teluk Stabas. Adapun tujuannya, antara lain: (1) sebagai wahana prestasi budaya dan olahraga masyarakat; (3) sarana hiburan bagi masyarakat; (3) untuk menggali, mengembangkan, dan melestarikan potensi alam, seni, dan budaya di Lampung barat; dan (4) sebagai wahana untuk mempromosikan daya tarik wisata, seni, dan budaya dalam rangka menarik kunjungan wisatawan, baik mancanegara maupun domestik yang pada akhirnya akan memberikan pendapatan dan peningkatan serta mobilitas perekonomian masyarakat.

Sesuai dengan tujuannya, maka dalam festival yang diadakan di Teluk Stabas ini digelar berbagai macam kesenian dan perlombaan. Pesertanya berasal dari seluruh kecamatan yang ada di Lampung Barat, sanggar seni budaya, Dewan Kesenian Lampung, utusan kabupaten/kota diluar Lampung Barat, para budayawan, dan pelaku dunia usaha wisata.

Adapun kegiatannya sendiri diadakan di tiga tempat, yaitu Liwa, Krui, dan Kecamatan Sumberjaya. Kegiatan di Liwa dipusatkan di Lapangan Merdeka dengan menampilkan atraksi Sekura, tarian masal, Pelangi Budaya Nusantara (penampilan kesenian dari berbagai macam etnis yang ada di Pesisir Barat dan Lampung Barat), kesenian tradisional, lomba foto pariwisata dan budaya, kontes burung berkicau, lomba bedikikh, lomba butetah, lomba tari kreasi Lampung, lomba gambus tunggal, lomba lagu daerah, lomba lagu pop, pemilihan Muli Mekhanai (Bujang-Gadis), lomba jelajah alam di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), dan pasar malam. Kegiatan yang diadakan di Krui meliputi atraksi panjat damar, bola volly pantai, olahraga tradisional, lomba pacu kambing, lomba Muli Mekhanai, lomba hahiwang, olahraga kuda buta, upih ngesot, lomba nghahaddo, dan lomba layang-layang. Dan terakhir, perlombaan arum jeram yang dilakukan di Sungai Way Besi, Kecamatan Sumberjaya.

Foto:
http://lenteraswaralampung.com/berita-1300-festival-teluk-stabas-ramaikan-hut-.html
Viewing all 829 articles
Browse latest View live